Lompat ke isi

Endriartono Sutarto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Endriartono Sutarto
LahirEndriartono Sutarto
(1947-04-29)29 April 1947
Purworejo, Indonesia
KebangsaanIndonesia
PendidikanAkabri Darat 1971
Tempat kerjaJenderal (Purn) TNI-AD (1971 – 2006)
Dikenal atasMiliter
Partai politikPartai Nasional Demokrat (NASDEM)
Orang tuaDrs. Sutarto
Situs webwww.endriartonosutarto.web.id
Facebook: endriartono X: endrisutarto Modifica els identificadors a Wikidata

Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto (lahir 29 April 1947) adalah mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (2002-2006). Sebelum menjabat Panglima TNI, alumni AKABRI tahun 1971 ini pernah menjabat berbagai posisi penting di TNI Angkatan Darat antara lain sebagai KASAD (9 Oktober 2000 - 4 Juni 2002), Wakil KASAD dan Komandan Sesko TNI. Sebelumnya ia juga pernah menjabat sebagai Asisten Operasi Kepala Staf Umum (Asops Kasum) TNI di Mabes TNI dan Komandan Paspampres. Saat mantan Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Endriartono menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Kehidupan Pribadi

Lahir dari orangtua Drs Sutarto dan Siti Sumarti Sutarto, Endriartono memiliki 1 orang putri (Ratri Indrihapsari) dan 2 orang putra (Indra Gunawan Sutarto dan M. Adi Prasantyo Sutarto) dari pernikahannya dengan Dra Andy Widayati.

Karir Militer

Karier Endriartono semakin melesat pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada tanggal 9 Oktober 2000, Gus Dur melantik Endriartono sebagai KASAD menggantikan Jenderal Tyasno Sudarto.

Selain kemampuan dalam bidang militer, Endriartono juga mampu aktif berbahasa Inggris dan telah menyelesaikan pendidikan kesarjanaan strata I dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Jakarta.

Endriartono mengikuti berbagai macam pendidikan militer untuk pencapaian jenjang karirnya, antara lain Sussarcab Inf, Suslapa Inf, Seskoad, Sesko ABRI dan Lemhanas. Pendidikan pengembangan spesialisasi pun ditempuhnya, seperti Susjurpa Jasmil, Sus Bahasa Inggris, Air Borne, Ranger, Path Finder, Combat Instructor Course dan Sus Danyonif.

Puncak karir militer Endriartono adalah ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mempercayakan pucuk pimpinan TNI ke pundaknya, sebagai Panglima TNI, pada 7 Juni 2002. Sejarah kemudian mencatatkan namanya sebagai Panglima TNI yang ke-12.

Tumbangnya tatanan politik Orde Baru dan munculnya gaung reformasi 1998 menjadi titik balik sejarah TNI. TNI pun gencar melakukan reformasi tugas, fungsi serta perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berorientasi pada aspek pertahanan dan keamanan. Perlahan-lahan reformasi tersebut memulihkan kepercayaan rakyat terhadap TNI.

Netralitas politik TNI diuji ketika bangsa Indonesia melakukan Pemilu 2004. Kala itu banyak politisi dan parpol yang mencoba menarik TNI ke gelanggang politik. TNI dibawah kepemimpinan Jenderal Endriartono Sutarto menentang keras tindakan tersebut. Endriartono secara tegas dan konsisten mencegah tangan-tangan politik untuk kembali merambah tubuh TNI. Pemilu 2004 berlangsung aman dan tertib. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden RI pertama yang langsung dipilih rakyat. Jenderal Endriartono berperan penting menjaga netralitas TNI dalam Pemilu 2004.

Berkas:Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.jpg
Jenderal Endriartono Sutarto saat menjabat sebagai Panglima TNI.

Selama masa jabatannya, banyak beberapa kasus besar yang menonjol yang melibatkan TNI dan kebijakan pertahanan keamanan di Indonesia. Termasuk diantaranya tercapainya kesepakatan perdamaian di Aceh setelah proses panjang diplomasi di Helsinki. Endriartono, sebagai Panglima TNI kala itu, menjadi faktor penting dalam keberhasilan perdamaian Aceh di lapangan.

Bahkan atas peran penting dan integritasnya menjaga netralitas TNI, mensukseskan operasi tsunami, menjaga perdamaian Aceh dalam masa kritis, dan pengabdian dan dedikasinya kepada bangsa dan tanah air tercinta, maka pada tanggal 10 November 2008 bertepatan dengan hari Pahlawan, Modernisator menganugerahinya penghargaan “Mengenang Pahlawan Masa Kini” kepadanya.[1]

Prestasi lain Endriartono selama menjabat sebagai Panglima TNI adalah ketika melakukan reformasi struktur dan jabatan di TNI. Endriartono mengambil keputusan untuk meletakkan harkat dan peringkat semua angkatan untuk berada di dalam garis kesetaraan yang murni. Angkatan Darat, Laut dan Udara adalah sejajar dan seiring dalam segala hal.

Nuansa bahwa TNI selama ini lebih sering didominasi oleh Angkatan Darat dapat dinetralisir oleh Endriartono dengan sangat sistematis, jelas dan tegas. Jabatan-jabatan tertentu yang tadinya hanya bisa diduduki oleh personil Angkatan Darat, dirombak dengan menyeimbangkan posisi jabatan sesuai dengan performa perwira TNI secara adil.

Endriartono yang saat itu merupakan Perwira Tinggi Angkatan Darat, sangat menghargai kedudukan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada era kepemimpinan Endriartono, maka ada perwira Angkatan Udara yang ditugaskan menjadi Asisten Logistik dijajaran Mabes TNI, ada Kasum TNI yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijabat oleh Perwira Angkatan Udara, ditugaskan kembali olehnya.

Demikian pula jabatan Sekjen Dephan, yang sepanjang sejarah belum pernah ditugaskan kepada Angkatan Udara, pada waktu itu diberikan kepada Angkatan Udara. Disisi lain, jabatan bintang tiga dijajaran Mabes TNI yang diwaktu-waktu terdahulu hanya di dominasi Angkatan Darat saja, direstrukturisasi menjadi hanya tiga posisi, dan harus dijabat masing-masing oleh Angkatan Darat, Laut dan Udara. Pada akhirnya, saat Endriartono turun dari jabatan Panglima TNI, dia menyerahkan jabatannya kepada Perwira Tinggi dari Angkatan Udara.


Jabatan

Daftar jabatan militer Endriartono Sutarto adalah sebagai berikut[2]:

Jenjang Kepangkatan

Kepangkatan Endriartono dimulai sebagai Perwira Pertama (Pama) dengan pangkat Letnan Dua pada tahun 1971, kemudian Letnan Satu pada tahun 1974 dan Kapten pada tahun 1977. Dilanjutkan sebagai Perwira Menengah (Pamen) dimulai dari pangkat Mayor pada tahun 1983, Letkol pada tahun 1986, dan Kolonel pada tahun 1993. Pangkat Perwira Tinggi (Pati) diperolehnya pada tahun 1996 sebagai Brigjen, lalu Mayjen pada tahun 1997, Letjen pada tahun 1999, dan pangkat Jenderal pada tahun 2000.


Bintang Jasa dan Tanda Kehormatan

Anugerah bintang dan tanda kehormatan yang dimiliki, antara lain:

  • Bintang Kartika Eka Paksi Utama
  • Bintang Yudha Dharma Pratama
  • Bintang Kartika Eka Paksi Pratama
  • Bintang Yudha Dharma Nararya
  • Bintang Kartika Eka Paksi Nararya III
  • Satya Lencana Kesetiaan XXIV
  • Satya Lencana GOM VII/Aceh
  • Satya Lencana GOM IX/Raksaka Dharma
  • Satya Lencana Seroja
  • Satya Lencana Wira Karya
  • Satya Lencana Santi Dharma
  • Satya Lencana PBB/UNEF-1
  • Satya Lencana PBB/UNIIMOG
  • Bintang Jalasena Utama
  • Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama
  • Bintang Mahaputra Adipradana
  • Bintang Dharma
  • Bintang Yudha Dharma Utama
  • Bintang Bhayangkari Utama
  • Bintang Jasa Utama
  • Penghargaan Kelas 1 dari Pemerintah Singapura
  • Penghargaan Kelas 1 dari Kerajaan Brunei Darusalam
  • Penghargaan Kelas 1 dari pemerintah Malaysia
  • Penghargaan kelas 1 dari pemerintah Thailand
  • Penghargaan kelas 1 dari pemerintah Cambodia 2005
  • Bintang Kehormatan The Royal Order of Sahametrei Mohaserevadh
  • Grand Cross


Penugasan di Luar Negeri

Endriartono Sutarto juga diberi penugasan dan belajar di luar negeri, yang diantaranya dilaksanakan di Mesir pada tahun 1975, Saudi Arabia tahun 1975, Amerika Serikat 1977, Selandia Baru tahun 1983, Malaysia pada tahun 1984 dan 2000, Irak 1989, Iran 1989, Kamboja tahun 1991, Thailand 1992, dan Inggris pada tahun 1995.

Pengabdian Tiada Henti

Endriartono Sutarto menjadi Ketua Umum Ekspedisi 7 Summits Wanadri.

Paska tugasnya sebagai Panglima TNI, Endriartono Sutarto terus aktif dalam sejumlah kegiatan organisasi. Kecintaan pada kegiatan sosial dan organisasi sudah terpupuk sejak Endriartono masih sangat muda. Endriartono menjadi Ketua Murid Umum SMAN 2 Bandung pada tahun 1966-1967.

September tahun 2010, Endriartono bergabung sebagai penasihat tim pembela KPK. Bergabungnya Endriartono ke tim pembela KPK memunculkan spekulasi bahwa ada orang kuat di balik upaya kriminalisasi unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit-Chandra. "Saya tidak mau berandai-andai. Tetapi, kalau itu terjadi, semoga dengan saya masuk di dalamnya (Tim Pembela Bibit- Chandra/TPBC), kalau ada orang besar di belakangnya (upaya kriminalisasi Bibit-Chandra), akan berpikir 2-3 kali untuk melanjutkannya," kata Endriartono, Senin (27/9).[3]

Sejak tahun 2010 hingga sekarang, Endriartono aktif sebagai Ketua Umum 7 Summits Expedition[4] Wanadri sekaligus Pembina Gerakan Indonesia Mengajar. Tidak lelah sampai di situ, sejak tahun 2011 Endriartono juga aktif sebagai Pembina Yayasan Indonesia Setara hingga sekarang.

Pengalaman memimpin angkatan bersenjata di negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan dengan puluhan ribu suku bangsa, kecakapan Endriartono dalam penanganan konflik mendapat pengakuan komunitas internasional. Military Dialog Center, salah satunya secara khusus mengundang Endriartono untuk membantu Pemerintah Myanmar menyelesaikan konflik bersenjata di negara tersebut.[5]

Karir Politik

Endriartono mulai terjun ke politik praktis sejak bulan September 2012. Beberapa pihak menduga terjunnya Endriartono ke politik praktis karena akan ikut serta dalam pemilihan presiden RI di tahun 2014. Endriartono mulai bergabung dengan Partai Nasional Demokrat sejak tanggal 30 September 2012[6]. Di salah satu cuplikan video dalam acara Mata Najwa di Metro TV, Endriartono mengatakan bahwa ia sebenarnya belum bergabung dengan partai Nasdem, tapi baru bergabung dengan organisasi massanya[7]. Dalam perjalanan politiknya ternyata Endriartono sudah menjadi anggota dewan pembina Partai Nasional Demokrat dan bahkan diisukan ia akan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat[8] pada saat kongres Nasional Demokrat yang akan dilaksanakan pada akhir Januari 2013.

Bergabungnya Endriartono dengan Partai Nasdem menimbulkan banyak pertanyaan banyak pihak. Namun Endriartono menegaskan bahwa bergabungnya ia ke partai Nasdem tujuannya adalah untuk melakukan perubahan. "Untuk bisa melakukan perubahan itu perlu power, tanpa power itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Sistem di Indonesia itu, sampai saat ini, untuk mendapatkan power kita harus memenangkan pemilu. kalau tidak menjadi presiden, minimal DPR terkuasai, dan bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang bisa membantu rakyat," katanya.[9].

Dalam survey LSI tentang pilpres 2014[10], nama Endriartono masuk sebagai calon alternatif Presiden RI yang dinilai berdasarkan lima kategori yaitu:

  • Mampu memimpin negara & pemerintahan
  • Tidak melakukan atau diopinikan melakukan KKN atau suap
  • Tidak melakukan atau diopinikan melakukan tindak kriminal atau pelanggaran HAM
  • Jujur, amanah atau bisa dipercaya
  • Mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan

Urutan personil berdasarkan survey LSI ini adalah sebagai berikut:

  1. Mahfud MD 79
  2. Jusuf Kalla 77
  3. Dahlan Iskan 76
  4. Sri Mulyani 72
  5. Hidayat Nurwahid 71
  6. Agus Martowardojo 68
  7. Megawati Soekarnoputri 68
  8. Djoko Suyanto 67
  9. Gita Wirjawan 66
  10. Chairul Tanjung 66
  11. Endriartono Sutarto 66
  12. Hatta Rajasa 66
  13. Surya Paloh 64
  14. Pramono Edhie Wibowo 64
  15. Sukarwo 63
  16. Prabowo Subianto 61
  17. Puan Maharani 61
  18. Ani Yudhoyono 60

Dalam survey LSI ini Endriartono berada pada peringkat ke-11 dengan total nilai 66. Atas hasil survey ini Endriartono memberikan tanggapan dengan mengatakan, "Tentu saya ucapkan terimakasih bagi responden. Tentu itu merupakan salah satu tantangan untuk merealisasikan harapan itu,"[11].

Kontroversi

Pengunduran diri Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI sebelum masa jabatannya berakhir cukup mengejutkan banyak pihak. Pada bulan Oktober tahun 2004, Markas Besar TNI di Cilangkap secara resmi menyampaikan bahwa ada tiga alasan yang diajukan pada surat permintaan mundur yang ditujukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu kepentingan reorganisasi di lingkungan TNI, faktor usia (masa pensiun Endriartono diperpanjang sampai dua tahun), dan pengganti Panglima TNI adalah Kepala Staf Angkatan yang menjabat pada waktu itu. [12][13]

Setelah pensiun dari Panglima TNI, Endriartono menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, jabatan tersebut disandang hanya dalam waktu yang singkat karena Endriartono mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Informasi yang beredar menyebutkan Endriartono mundur disebabkan jumlah gaji yang terlalu besar sementara tugas yang dilakukan olehnya tidak terlalu berat.[14][15]. Marsekal (Purn) Chappy Hakim menyatakan bahwa mundurnya Endiartono Sutarto dari jabatan Komisaris Pertamina pasti karena ada nilai-nilai yang bertabrakan dengan prinsip yang dianutnya[16]

Pranala luar

Referensi

Jabatan militer
Didahului oleh:
Widodo AS
Panglima TNI
2002-2006
Diteruskan oleh:
Djoko Suyanto
Didahului oleh:
Tyasno Sudarto
Kepala Staf TNI Angkatan Darat
2000-2002
Diteruskan oleh:
Ryamizard Ryacudu