Lompat ke isi

Ular gadung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Februari 2013 00.01 oleh Daniel Mietchen (bicara | kontrib) ({{Commonscat|Ahaetulla prasina}})
Ular Gadung
Ular gadung, Ahaetulla prasina
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
A. prasina
Nama binomial
Ahaetulla prasina
Sinonim

Dryophis prasinus

Ular gadung adalah sejenis ular berbisa lemah yang tidak berbahaya dari suku Colubridae. Secara umum, di wilayah Indonesia barat ular ini disebut dengan nama ular pucuk. Nama-nama daerahnya di antaranya oray pucuk (Sd.), ula gadung (Jw.), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Oriental whip-snake.

Disebut ular gadung karena ular ini sepintas menyerupai pucuk tanaman gadung (Dioscorea hispida) yang hijau lampai.

Pemerian

Ular berwarna hijau, panjang dan amat ramping. Terkadang ada pula yang berwarna coklat kekuningan atau krem atau keputihan, terutama pada hewan muda. Panjang tubuh keseluruhan mencapai 2 m, meski kebanyakan sekitar 1,5 m atau lebih; lebih dari sepertiganya adalah ekornya yang kurus seperti cambuk.

Kepala panjang meruncing di moncong, jelas lebih besar daripada leher yang kurus bulat seperti ranting hijau. Mata besar, kuning, dengan celah mata (pupil) mendatar. Panjang moncong sekurangnya dua kali panjang mata. Pipi dengan lekukan serupa saluran horizontal ke arah hidung, memungkinkan mata melihat dengan pandangan stereoskopik dan memperkirakan lokasi mangsa dengan lebih tepat.

Sisi atas tubuh (dorsal) hijau terang atau hijau agak muda, merata hingga ke ekor yang biasanya sedikit lebih gelap. Terkadang, bila merasa terusik, ular pucuk atau biasa disebut ular gadung pari (nama lain di jawa tengah)akan melebarkan, memipihkan dan melipat lehernya serupa huruf S, sehingga muncul warna peringatan berupa belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisiknya. Sisi bawah tubuh (ventral) hijau pucat keputihan, dengan garis tipis kuning keputihan di sepanjang tepi bawah tubuh (ventrolateral).

Perisai (sisik-sisik besar) di bibir atas (supralabial) 8-9 buah, yang nomor 4 sampai 6 menyentuh mata. Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret, 13 deret di dekat ekor. Sisik-sisik ventral 189-241 buah; sisik anal berbelah, jarang tunggal; sisik-sisik subkaudal 169-183 buah (Tweedie 1983: 154-207 buah).

Kebiasaan

Ular yang sering terlihat atau didapati di pekarangan, kebun, semak belukar dan hutan. Senang berada di tajuk pepohonan dan semak, ular gadung tidak jarang terlihat menjalar di atas tanah, rerumputan, atau bahkan menyeberangi jalan. Terkadang ular ini terlihat menjulurkan kepalanya di antara dedaunan, dan sesekali bergoyang seolah sulur-suluran tertiup angin.

Ular gadung aktif di siang hari (diurnal), memburu aneka hewan yang menjadi mangsanya; seperti kodok, cecak dan bunglon, serta aneka jenis kadal. Bahkan juga burung kecil dan mamalia kecil.

Seperti banyak jenis ular pohon, ular gadung bersifat ovovivipar. Telurnya menetas di dalam rahim dan keluar sebagai anak sepanjang kurang-lebih 20 cm. Sekali beranak jumlahnya mencapai 9 ekor.

Di Sumatra, ular ini ditemui mulai dari dekat pantai hingga ketinggian 1300 m dpl.

Anak jenis dan Penyebaran

Ada empat anak jenis (subspesies) dari Ahaetulla prasina, yakni:

Daya bisa

Ular gadung termasuk mudah ditangkap dan mudah dijinakkan. Ketika baru tertangkap, biasanya ular ini lebih agresif dan mudah terprovokasi. Memipihkan lehernya dan menampakkan warna-warna peringatannya, ular gadung akan mencoba menggigit penangkapnya. Namun dengan penanganan yang lemah lembut dan hati-hati, umumnya ular gadung dapat segera ditenangkan.

Bisa ular ini termasuk kategori menengah, dan dapat membunuh seekor burung pipit dalam waktu beberapa menit saja. Akan tetapi sejauh ini diketahui tidak membahayakan manusia. Dampak gigitan bervariasi mulai dari luka gigitan kecil yang sedikit pedih, atau agak gatal, sampai ke pembengkakan ringan disertai sedikit rasa pegal. Secara tradisional, luka ini biasanya diolesi madu, atau diberi antiseptik seperti larutan yodium untuk mencegah infeksi.

Bahan bacaan

  • David, P. & G. Vogel. 1997. The Snakes of Sumatra. An annotated checklist and key with natural history notes. Edition Chimaira. Frankfurt.
  • Stuebing, R.B. & R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu.
  • Tweedie, M.W.F. 1983. The Snakes of Malaya. The Singapore National Printers. Singapore

Pranala luar