Sarwo Edhie Wibowo
Sarwo Edhie Wibowo | |
---|---|
Berkas:Sarwoedi.jpg | |
Pangdam Trikora 4 | |
Masa jabatan 2 Juli 1968 – 20 Februari 1970 | |
Presiden | Soeharto |
Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus 5 | |
Masa jabatan 1964 – 1967 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Purworejo, Indonesia | 25 Juli 1925
Meninggal | 9 November 1989 Jakarta, Indonesia | (umur 64)
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Sunarti Sri Hadiyah |
Anak | Wijiasih Cahyasasi Wrahasti Cendrawasih Kristiani Herrawati Mastuti Rahayu Pramono Edhie Wibowo Hartanto Edhie Wibowo |
Sunting kotak info • L • B |
Sarwo Edhie Wibowo (25 Juli 1925 – 9 November 1989) adalah seorang tokoh militer Indonesia serta ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara RI dan istri presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono serta juga ayah dari KSAD Pramono Edhie Wibowo. Perannya sangat besar sewaktu penumpasan Pemberontakan G30S PKI dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau Kopassus saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Dubes RI di Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.
Awal Kehidupan
Sarwo Edhie lahir di Purworejo, Jawa Tengah untuk keluarga PNS bekerja untuk Belanda Pemerintah Kolonial. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Sekutu Pasukan ditempatkan di Pasifik dan Asia.
Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri dengan Pembela Tentara Motherland ( PETA), yang merupakan Jepang menjalankan kekuatan tambahan yang terdiri dari tentara Indonesia.
Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar untuk memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur dari perwira Jepang. Ketika dia kereta api, semua Sarwo Edhie harus menggunakan adalah senjata kayu. Setelah Deklarasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia hadir ) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalyon bubar.
Itu senegaranya kota kelahirannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalyon di Magelang di Jawa Tengah.
Karir Militer
Karir Hingga 1965
Sarwo Edhie karir di ABRI melihat dia menjadi Komandan Batalyon di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen di Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Angkatan Darat Komando Resimen (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).
RPKAD adalah usaha di Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (Ini akan pergi untuk menjadi Kopassus) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai Komandan unit elit itu berkat tidak ada bagian kecil untuk Yani. Pada tahun 1964, Yani telah meningkat menjadi Panglima Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.
Puting Down G30S Gerakan
Itu selama waktu Sarwo Edhie sebagai Komandan RPKAD bahwa Gerakan 30 September terjadi.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Halim Angkatan Udara Pangkalan Udara. Sementara ini proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Republik Radio Indonesia ( RRI), dan gedung telekomunikasi.
Hari dimulai biasanya cukup bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD dan mereka menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung di Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari Kostrad markas dan informasi Sarwo Edhie dari situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad memiliki untuk saat ini diasumsikan pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak memikirkannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.
Setelah Sudiro kiri, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Bodyguards Presiden), yang G30S, anggota Letnan Kolonel Untung milik. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan Sabur datar bahwa ia akan memihak Suharto.
Pada 11:00 hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan Telekomunikasi pada 06:00 (Batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika 06:00 tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena ada pasukan mundur ke Halim dan bangunan diambil oleh 06:30.
Dengan situasi di Jakarta aman, Soeharto ternyata matanya ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat yang para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah dilemparkan dukungan di belakang gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Mulai serangan mereka pada 2 AM pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD memiliki Pangkalan Udara diambil oleh 06:00.
Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Setelah mengambil Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung Suharto karena keduanya dipanggil ke Bogor Presiden Soekarno. Sementara Suharto menemukan dirinya diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie menemukan dirinya terkejut dengan ketidakpekaan Sukarno dengan kematian enam Jenderal. Untuk pertanyaan tentang "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie akan memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari Lubang Buaya dengan baik.
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Sukarno. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas menghilangkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Hal ini akan mengakibatkan terkenal massal pembunuhan pada bulan Oktober-Desember 1965 di Jawa, Bali, dan bagian dari Sumatra.
Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama bulan-bulan. Jumlah perkiraan awal antara setengah juta setidaknya dan satu juta paling banyak. Pada bulan Desember 1965, nomor yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, itu direvisi menjadi 780,000. Para 78.000 adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Sukarno. Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetap sekitar 400.000. tewas dalam pertumpahan darah ini.
Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Sukarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Sekarang ada protes anti-Sukarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti Front Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Sukarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, untuk simpatisan PKI dalam Kabinet untuk ditangkap, dan untuk harga harus diturunkan.
Suharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses. Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan siswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.
Meskipun ia tumbuh menjadi lawan Sukarno terbesar politik, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Sukarno secara langsung. Oleh Maret 1966 Namun, ia siap untuk memaksa tangan Sukarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Sukarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Sukarno mungkin dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.
Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi. Sukarno, takut untuk hidupnya dievakuasi ke Bogor. Kemudian di hari ia akan mentransfer kekuasaan eksekutif kepada Soeharto melalui surat yang disebut Supersemar.
Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatera dan dibuat Panglima KODAM II / Bukit Barisan. Di Sumatera, Sarwo Edhie lanjut melemah kekuasaan Soekarno dengan melarang nya Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh pulau.
Orde Baru radikal
Sarwo Edhie dukungan tegas dengan Soeharto sebagai yang terakhir mulai membuat bergerak untuk naik ke Kepresidenan. Factionally berbicara Namun, Sarwo Edhie milik faksi dijuluki oleh para ahli sebagai "Orde Baru Radikal". Bersama dengan Kemal Idris dan Kodam VI / Siliwangi Komandan Hartono Rekso Dharsono, Sarwo Edhie ingin partai-partai politik harus dibongkar dan diganti dengan kelompok-kelompok non-ideologis yang menekankan pembangunan dan modernisasi.
"Act of Free Choice"
Untuk ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima KODAM XVII / Cendrawasih. Dalam memimpin hingga "Act of Free Choice", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan Papua resistensi
Pengecualian dari karier Pemerintah dan sisanya
Seperti banyak orang yang telah mendukung Suharto berkuasa, Sarwo Edhie menjadi semakin tidak puas dengan Presiden baru. Seperti tahun-tahun berlalu, Suharto mulai untuk mengecualikan pendukung seperti Sarwo Edhie dari menjalankan Indonesia, lebih memilih untuk mengambil nasihat dari rekan-rekan yang telah naik pangkat dengan dia seperti Ali Murtopo. Menjadi Orde Baru radikal juga tidak membantu kasus Sarwo Edhie dan seperti Kemal dan Dharsono, Suharto tumbuh curiga padanya.
Jerami terakhir terjadi pada 1970, ketika Sarwo Edhie dibesarkan isu korupsi Pemerintah pada tahun 1970. Sejak saat itu, Sarwo Edhie diberi posisi yang masih dipegang perawakan tetapi menjauhkannya dari politik Pemerintah Pusat di Jakarta. Sarwo Edhie kemudian menjabat sebagai ABRI Academy (AKABRI) Gubernur (1970-1973), Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan (1973-1978), dan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (1978-1983).
Ketika Soeharto didirikan Pancasila sebagai Ideologi Nasional pada tahun 1984, Sarwo Edhie ditugaskan dari proses indoktrinasi setelah ditunjuk Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan Pedoman Pemahaman dan Praktek Pancasila (BP-7 ) Dia terpilih untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1987 dan mengundurkan diri dari posisinya pada tahun 1988 sebagai protes Sudharmono nominasi 's kepada Wakil Kepresidenan.
Kematian
Sarwo Edhie meninggal pada tanggal 9 November 1989 pada umur 64 tahun di Jakarta, Indonesia
Keluarga
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah, mempunyai 7 anak.
Pranala luar
Jabatan militer | ||
---|---|---|
Didahului oleh: R. Bintoro |
Pangdam Trikora 2 Juli 1968 - 20 Februari 1970 |
Diteruskan oleh: Acub Zaenal |
Didahului oleh: Mung Parahadimulyo |
Danjen Kopassus 1964 - 1967 |
Diteruskan oleh: Widjoyo Suyono |