Budaya Maluku
Maluku adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara. [1] Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut. [1] Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni kebudayaan. [2]
Budaya Kalwedo
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. [2] Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan bagi masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD). [2] Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara. [3] Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan masyarakat adat di kepulauan Babar. [2] Kalwedo juga kuat mengakar dalam budaya dan bahasa masyarakat MBD. Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan. [3]
Nilai Adat Kalwedo
Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. [3] Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Barbar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat,[3] dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.[2] Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki). [3] Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.[3]
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik). [2] Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saing membantu dengan potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD. [2]
Budaya Hawear
Hawear adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. [4] Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. [3] Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. [3] Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. [3] Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). [3] Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. [3] Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya. [3] Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.[4]
Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. [5] Selain baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku.[5] Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat. [5] Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. [3] Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda Islam (Salam) dan Kristen (Sarane). [5] Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. [5] Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa. [5] Upaya eksistensi batu Pamali kini ditempuh oleh beberapa negeri. [5]
Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. [6] Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. [6] Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan yang tidak mudah pecah atau retak. [6]
Makna Upacara Fangnea Kidabela
Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. [6] Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial dengan Kampung Sulung di pulau Enus, yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena. [6] Makna upacara Fangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah. [6] Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang tetap kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat. [6]
Hibua Lamo
Referensi
- ^ a b Juni, 2010. Kepulauan Rempah-rempah : Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950
- ^ a b c d e f g 2012 Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon
- ^ a b c d e f g h i j k l m "Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya". Unpatti. Diakses tanggal 2 April 2014.01.00. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Jendela Buku" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Hawear di Kepulauan Kei, 2012
- ^ a b c d e f g Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012, Peranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku.
- ^ a b c d e f g Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku, Upacara Fangnea Kidabela, 2012