Kepulauan Kei

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kepulauan Kei
Geografi
LokasiAsia Tenggara
Koordinat5°45′S 132°44′E / 5.75°S 132.73°E / -5.75; 132.73
Pulau besarKei Besar, Kei Kecil
Luas1.438 km2
Pemerintahan
Negara Indonesia
ProvinsiMaluku
Peta
Gereja Katolik di desa Namaai di Kepulauan Kei pada masa Hindia Belanda

Kepulauan Kei adalah gugusan pulau di kawasan tenggara Kepulauan Maluku yang kini termasuk dalam wilayah Provinsi Maluku, Indonesia.[1][2] Sejak dulu Kepulauan Maluku tersohor sebagai kepulauan rempah-rempah karena merupakan daerah yang mula-mula menghasilkan pala, fuli, dan cengkeh, yakni rempah-rempah yang diminati bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16.[3]

Pribumi Kepulauan Maluku adalah ras Melanesia,[4] namun banyak yang dibinasakan pada abad ke-17 dalam Perang Rempah-Rempah, khususnya di Kepulauan Banda. Arus masuk ras Austronesia kali kedua bermula pada awal abad ke-20, ketika Kepulauan Maluku masih dijajah Belanda, dan terus berlanjut sampai ke masa kemerdekaan Indonesia. Kepulauan ini juga terkenal karena merupakan kampung halaman seorang preman legendaris, yakni John Kei.

Geografi[sunting | sunting sumber]

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini dengan nama Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Selain kedua nama tersebut, kepulauan ini juga disebut sebagai Muar atau Moar dalam beberapa catatan lama.

Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.

Kepulauan Kei terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah

Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2007 sebagai Kota Administratif (sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku), maka Pulau Dulah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulau Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibu kota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010 Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23 januari 2010)

Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah 1438 km² (555 mil²).

Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibu kota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.

Kepulauan Kei merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kei.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Prasejarah[sunting | sunting sumber]

Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200 meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan masyarakat pada masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dn petualang berkunjung ke daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor pada masa lalu.

... . Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji,

— Marcus, "Duyikan Team dari Universitas Hawaii"

Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.

Sejarah Lisan[sunting | sunting sumber]

Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu.

Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.[5]

Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.[5]

Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, ataupun Dewa.

Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup, Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).

Zaman modern[sunting | sunting sumber]

Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kei dan berpenghuni kurang dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku beragama Hindu, tetapi kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kei.

Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kei, akan tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kei; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El) dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kei dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.

Kosakata[sunting | sunting sumber]

Beberapa kata dalam Bahasa Kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan bunyi desis tekak bersuara (simbol IPA: ʁ⟩. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.

Kosakata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang berfonem P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Kei asli.

Contoh beberapa kata serapan:

  • Gur = Guru
  • Agam, Angam, Ayngam = Agama
  • Masikit = Masjid
  • Pen = Pena

Hukum Adat[sunting | sunting sumber]

Pribumi Kepulauan Kei juga sangat membanggakan Hukum Larvul Ngabal, yakni hukum adat yang mendasari seluruh adat-istiadat mereka. Keseluruhan isi hukum ini terangkum dalam tujuh kalimat petuah, yakni:

  1. Uud entauk na atvunad, kepala kita bertumpu di tengkuk kita. Pantang rakyat menumbangkan pemimpin, pantang pemimpin menelantarkan rakyat.
  2. Lelad ain fo mahiling, leher kita yang sebatang hendaklah diluhurkan. Pantang menghilangkan nyawa orang (nyawa manusia diyakini bersemayam dalam rongga leher).
  3. Ul nit envil atumud, kulit mati membungkus badan kita. Pantang menyakiti badan orang.
  4. Lar nakmot na ivud, darah menggenang di perut kita. Pantang menumpahkan darah orang.
  5. Rek fo mahiling, ambang bilik hendaklah diluhurkan. Pantang menista martabat perempuan.
  6. Moryain fo kelmutun, bilik petiduran hendaklah disucikan. Pantang menodai kesucian rumah tangga orang.
  7. Hira ni fo i ni, it did fo it did, milik orang biarlah miliknya, milik kita biarlah milik kita. Pantang melanggar hak milik orang.

Petuah pertama, ke-2, ke-3, dan ke-4 merangkum seluruh isi Hukum Nevnev (hukum pidana), petuah ke-5 dan ke-6 merangkum seluruh isi Hukum Hanilit (hukum keluarga), sementara petuah ke-7 merangkum seluruh isi Hukum Hawear Balwirin (hukum properti). Ketiga hukum ini masing-masing terdiri atas tujuh macam pantangan yang disebut sa sor fit.

Perekonomian[sunting | sunting sumber]

Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka kepulauan Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya adalah penjualan kopra, penjualan cangkang kerang lola (tectus niloticus), penjualan rumput laut, usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.

Seni Budaya[sunting | sunting sumber]

Mitologi[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Kei memiliki legenda unik tentang kehadiran manusia pertama di bumi.[6]

Alkisah ada lima orang adik-beradik yang hidup di langit, tiga laki-laki dan dua perempuan. Pada suatu hari, Parpara, anak laki-laki yang paling muda pergi mengail ikan. Sayangnya tali kail Parpara putus selagi mengail, sehingga hilanglah kail yang ia pinjam dari Hian, abangnya yang paling tua. Hian sangat marah ketika tahu kail yang ia pinjamkan telah hilang. Ia menuntut Parpara mencari kail itu sampai dapat untuk dikembalikan kepadanya. Setelah lelah mencari dengan sia-sia, Parpara bertemu dengan seekor ikan yang bertanya mengapa ia terlihat begitu bersusah hati. Setelah diberi tahu sebabnya, ikan itu berjanji membantu Parpara mencari kail yang hilang di dalam laut. Alhasil mereka bertemu dengan seekor ikan yang sedang menderita kesakitan karena tersendak sesuatu. Parpara pun menolong si ikan memuntahkan benda yang menyangkut di kerongkongannya. Benda yang dimuntahkan si ikan ternyata adalah kail Hian, sehingga Parpara akhirnya dapat mengembalikannya kepada si empunya.

Parpara merasa sakit hati karena telah dibuat susah mencari ke mana-mana, sehingga berniat membalas tindakan abangnya. Ketika Hian sedang pulas tertidur, Parpara menggantung bumbung tuak di atas dipan Hian sedemikian rupa agar tersenggol dan menumpahkan isinya bilamana Hian bangun dan beranjak dari dipan. Rencananya berjalan mulus, dan kini giliran Parpara yang menuntut abangnya mengembalikan setiap tetes tuak yang tertumpah. Dengan susah payah Hian menggali tanah langit untuk mencari tumpahan tuak yang telah meresap ke dalamnya. Begitu dalamnya Hian menggali sampai-sampai lubang galiannya tembus sampai ke rongga di bawah langit.

Adik-beradik itu ingin tahu alam seperti apa yang ada di bawah kolong langit. Mereka memutuskan untuk mengikat salah seekor anjing mereka dengan tambang, dan menurunkannya sampai ke dasar kolong langit, lantas menariknya kembali ke permukaan langit. Setelah melaksanakan rencana itu, mereka mendapati butiran pasir putih pada telapak kaki anjing, sehingga mereka pun memutuskan untuk turun sendiri ke dasar kolong langit, kendati tidak ada warga langit lain yang ingin ikut bersama mereka. Satu demi satu turun ke kolong langit sambil membawa keempat ekor anjing mereka melalui tambang yang dipegang oleh warga langit. Yang paling terakhir turun adalah adik perempuan mereka yang bungsu. Ketika Si Bungsu sedang berangsur turun, salah seorang abangnya menengadah, sehingga membuat Si Bungsu merasa sangat malu. Si Bungsu mengguncang tambang, sehingga warga langit menarik tambang bersama dirinya kembali ke langit. Demikianlah tiga orang laki-laki dan seorang perempuan menjadi warga pertama di muka bumi sekaligus menjadi cikal bakal dari seluruh umat manusia.

Alat Musik[sunting | sunting sumber]

Alat musik tradisional di Kepulauan Kei adalah:

  • Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
  • Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
  • Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.

Tarian[sunting | sunting sumber]

Sosoi Temar-Rubil (tari perang, menggunakan busur dan anak panah, pedang, parang, dan tombak) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoi Kibas (tari kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoi Sawat (tari pergaulan) dan Sosoy Yarit (tari massal, menggunakan pom-pom dari daun siwalan muda yang dikeringkan), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (tari penghormatan, menggunakan pom-pom kecil mirip kemoceng pendek dari bulu kasuari), tetapi gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tari-tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Lazimnya hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan, bahkan di masa lampau Sosoi Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan bilan (perahu adat) hanya ditarikan oleh pria yang sudah menikah.

Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Indonesia: The Kai Islands (Kei Islands) « This Boundless World". thisboundlessworld.com. 
  2. ^ Administrator. "Maluku Travel Information – Kei Islands – East-Indonesia.info". east-indonesia.info. 
  3. ^ "Introducing Maluku". Lonely Planet. Diakses tanggal 18 April 2015. 
  4. ^ IRJA.org Diarsipkan 14 April 2009 di Wayback Machine.
  5. ^ a b Riyani, Utami Evi (2017-07-21). "TERUNGKAP! Sejarah Hubungan Bali dan Kepulauan Kei yang Tak Banyak Diketahui Orang : Okezone Travel". travel.okezone.com/. Diakses tanggal 2022-01-18. 
  6. ^ "Oceanic Mythology: Part III. Indonesia: Chapter I. Myths of Origins and the Deluge". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2017-09-28.