Afdeling Paser dan Tanah Bumbu
Afdeling Paser dan Tanah Bumbu (Bahasa Londo: Afdeeling Pasir- en de Tanah-boemboe-landen)[1][2] (sejak 1898), kemudian tahun 1930 diganti namanya menjadi Zuidoostkust van Borneo (Pesisir Tenggara Borneo)[3] adalah sebuah afdeling dalam Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo.[4]
Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibu kota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah "leenplichtige landschappen"
daerah landschap (daerah kesatuan bentang alam) yang langsung diperintah oleh kepala bumiputeranya/kepala pemerintahan sipil (yang biasanya bergelar Pangeran):
- Tjingal
- Manoenggoel
- Bangkalaan
- Sampanahan
- Tjangtoeng
- Batoe Litjin
- Sabamban dan
- Poelau Laoet (Pulau Laut) dengan pulau Seboekoe (Pulau Sebuku)
Sukubangsa di Kalimantan Tenggara 1930
Suku Bangsa | Masa Jajahan Belanda
1930 |
Prosentase |
---|---|---|
Total | 391,927 | 100% |
Dayak | 33,821 | 8,63% |
Banjar | 254,399 | 64,91% |
Bugis | 43,340 | 11,06% |
Jawa | 36,451 | 9,30% |
Kutai Kalimantan | 23,916 | 6,10% |
Kerajaan Tanah Bumbu
Kerajaan Tanah Bumbu adalah kerajaan bawahan dari Kesultanan Banjar yang pernah berdiri pada abad ke-17 di bagian timur provinsi Kalimantan Selatan. Sebelumnya wilayah ini merupakan wilayah kerajaan Pamukan yang telah musnah karena diserang musuh dari luar, yang juga merupakan bawahan dari Kesultanan Banjar. Sultan Banjar menunjuk Pangeran Dipati Tuha sebagai Raja Tanah Bumbu I.
- Dalam Hikayat Banjar ada dua orang yang memakai gelar Pangeran Dipati Tuha yaitu Sultan Banjar V Inayatullah (= Ratu Agung) yang sering disebut Pangeran Dipati Tuha (ke-1). Sultan Inayatullah dengan selirnya Si Dayang Putih memiliki seorang puteri bernama Gusti Batar yang menikah dengan Raden Halus putera Panembahan di Darat. Kemudian ketika upacara pelantikan Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah, Raden Halus ini dianugerahi gelar Pangeran Dipati Tuha (ke-2). Kemungkinan Raja Tanah Bumbu I ini adalah Pangeran Dipati Tuha (ke-2), yang merupakan menantu dari Pangeran Dipati Tuha (ke-1) alias Sultan Inayatullah. Jadi Pangeran Dipati Tuha (ke-2) merupakan adik ipar Sultan Saidullah bin Pangeran Dipati Tuha (ke-1).
Raja Tanah Bumbu I yaitu Pangeran Dipati Tuha (1660-1700) digantikan anaknya Pangeran Mangu (1700-1740). Ratu Mas (1740-1780) menggantikan ayahnya Pangeran Mangu, dan menikahi Daeng Malewa (dianugerahi gelar Pangeran Dipati).
Raja Tanah Bumbu antara lain:
- Pangeran Dipati Tuha (1660-1700)
- Pangeran Mangu (1700-1740)
- Ratu Mas (1740-1780)[7]
- Selanjutnya menjadi kerajaan Bangkalaan sejak 1780[8]
- Pada tahun 1780, kerajaan Tanah Bumbu dibagi dua wilayah. Bagian utara diserahkan kepada Pangeran Prabu, disebut Kerajaan Bangkalaan yang merupakan pusat kerajaan Tanah Bumbu sebelumnya. Sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Ratu Intan I menjadi Ratu Tjangtoeng I dan Batoe Litjin I. Ia menikah dengan Sultan III dari Kesultanan Pasir yaitu Sultan Dipati Anom Alamsyah Aji Dipati (1768-1799). Di wilayah kerajaan selatan ini terdapat daerah Kusan, yang kemudian diserahkan oleh Ratu Intan I kepada keponakannya Pangeran Amir sebagai Raja Kusan I. Ratu Intan I mendukung perjuangan Pangeran Amir untuk menuntut tahta Kesultanan Banjar peninggalan ayahnya, Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah. Tentu saja penunjukkan Pangeran Amir sebagai Raja Kusan ini ditentang oleh rivalnya yaitu pemerintahan pusat keraton Banjar di Kayu Tangi (Martapura) yang segera juga menunjuk Puwana Deke sebagai penguasa Kerajaan Pagatan pada kawasan yang sama. Pangeran Amir akhirnya terusir dari wilayah Kusan. Kelak sebagai penguasa baru kerajaan Kusan ini ditunjuk Pangeran Muhammad Nafis. Di wilayah selatan ini kemudian pada tahun 1861 didirikan juga Kerajaan Sabamban dan Kerajaan Poelau Laoet.
- Kerajaan Bangkalaan yang terletak di wilayah utara kemudian dibagi menjadi beberapa kerajaan kecil kepada anak-anak Pangeran Prabu:
- Pangeran Nata sebagai Raja Bangkalaan II.
- Pangeran Seria sebagai Raja Tjingal I, Tjangtoeng II dan Batoe Litjin II, Bangkalaan III.
- Ratu Agung Gusti Besar sebagai Ratu Manoenggoel, Sampanahan I, Bangkalaan IV.
- Pangeran Mangku Gusti Ali sebagai Raja Sampanahan III.
- Sebelum tahun 1841 Ratu Agung Gusti Besar sebagai penguasa Bangkalaan, Sampanahan dan Manoenggoel dan Pangeran Seria penguasa Tjingal, Tjangtoeng and Batoe Litjin kemudian menggantikan abangnya, Pangeran Nata menjadi Raja Bangkalaan III. Saudaranya yang lain, Pangeran Mangku Gusti Ali, menjabat kepala pemerintahan Sampanahan. Ratu Agung Gusti Besar menikahi Aji Raden dari Pasir, kemudian Ratu Agung Gusti Besar digantikan anaknya, Pangeran Aji Jawi sampai 1841.
- Sekitar tahun 1846 merupakan pemerintahan Ratu Intan II sebagai Ratu Bangkalaan IX, Manoenggoel dan Tjingal II. Ratu Intan II menikahi Pangeran Agung Aji Pati dari Pasir, yang mendampinginya menjabat kepala pemerintahan sampai meninggalnya, yaitu pada tahun 1846. Aji Pati juga dianggap sebagai Raja Bangkalaan IX. Ratu Intan II kemudian menikahi Pangeran Abdul Kadir dari Kusan, yang kelak pada tahun 1861 menjadi Raja Poelau Laoet.
- Dalam Staatblaad tahun 1898 no. 178, yang secara tegas disebut sebagai kerajaan adalah Kerajaan Kota Waringin di Kalimantan Tengah sekarang, tetapi distrik-distrik di atas memang sering disebut sebagai raja misalnya misalnya Raja-raja Kotabaru (Poelau Laoet).
- Pemerintah sipil di wilayah Kalimantan Timur-Kalimantan Tenggara di bawah kekuasaan asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Kutai (Samarinda). Pemerintah swapraja dikuasakan kepada beberapa kepala.
- Kepala di Poelau Laoet yang baru dibentuk dijabat oleh Pangeran Abdul Kadir. Kepala di Pulau Batoe Litjin [dan Tjangtoeng?] dijabat oleh Pangeran Syarif Hamid. Kepala Pulau Sampanahan dijabat oleh Pangeran Mangku Gusti Ali. Kepala di Pulau Bangkalaan, Tjingal. Manoenggel dijabat oleh Pangeran Muda Muhammad Arifbillah Aji Samarang putra dari Pangeran Agung Aji Pati. Kepala di Pulau Sabamban yang baru dibentuk dijabat oleh Pangeran Syarif Ali Alaydrus. Bangkalaan merupakan pusat dari wilayah ini sejak masih bernama Kerajaan Tanah Bumbu. Pemerintah sipil dibentuk sekitar 1860-1863, pasca dihapuskannya kesultanan Banjar oleh penguasa kolonial Belanda pada 1860.
Di Kalimantan Tenggara yang secara aktual bagian dari Kesultanan Banjar menjadi lebih atau lebih semi-independen. Belanda mendaftarkan penguasa lokal tersebut sebagai Raja dan Sultan Bawahan Hindia Belanda.
Referensi
- ^ "Native states (zelfbesturen) in Dutch Borneo, 1900". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. Diakses tanggal 2011-06-30.
- ^ "Administrative divisions in Dutch Borneo, 1902". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. Diakses tanggal 2011-06-25.
- ^ "Administrative divisions in Dutch Borneo, 1930". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. Diakses tanggal 2011-06-25.
- ^ Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1986.
- ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia, Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Bagian 4, Lange & Co., 1855
- ^ A. J. Gooszen, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Netherlands), A demographic history of the Indonesian archipelago, 1880-1942, KITLV Press, 1999 ISBN 90-6718-128-5, 9789067181280[pranala nonaktif permanen]
- ^ Ratu Mas dari Tanah Bumbu
- ^ Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.