Art Deco
Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior, mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain dari 1920 hingga 1939,[1] yang memengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, maupun seni visual seperti misalnya fesyen, lukisan, seni grafis, dan film. Gerakan ini, dalam pengertian tertentu, adalah gabungan dari berbagai gaya dan gerakan pada awal abad ke-20, termasuk Konstruksionisme, Kubisme, Modernisme, Bauhaus, Art Nouveau, dan Futurisme. Popularitasnya memuncak pada 1920-an. Meskipun banyak gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik atau filsafati, Art Deco murni bersifat dekoratif. Pada masa itu, gaya ini dianggap anggun, fungsional, dan ultra modern.
Sejarah
Art Deco merepresentasikan modernisasi dunia yang begitu cepat. Ketika gaya ini sudah menyebar luas dan sudah ada di dunia fashion di Amerika dan Eropa, kata - kata "Art Deco" sendiri tidak dikenal. Modernistik atau 1925 Style yang menjadi namanya. Kata Art Deco sendiri mulai muncul dari tahun 1925 di sebuah konferensi l'Exposition Internationale des Arts Decoratifs Industriels et Modernes yang diadakan di Paris, Prancis[2].Kata Art Deco termasuk terminologi yang baru pada saat itu, diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966 dalam sebuah katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Decoratifs di Paris yang pada saat itu sedang mengadakan pameran dengan tema “Les Années 25”. Pameran itu bertujuan meninjau kembali pameran internasional l’Expositioan Internationale des Arts Décoratifs Industriels et Modernes. Sejak saat itu nama Art Deco dipakai untuk menamai seni yang saat itu sedang populer dan modern. Munculnya terminologi itu pada beberapa artikel semakin membuat nama Art Deco eksis. Art Deco semakin mendapat tempat dalam dunia seni dengan dipublikasikannya buku “Art Deco” karangan Bevis Hillier di Amerika pada tahun 1969.[3]
Dalam perjalanannya Art Deco dipengaruhi oleh berbagai macam aliran modern, antara lain Kubisme, Futurisme dan Konstruktivisme serta juga mengambil ide-ide desain kuno misalnya dari Mesir, Siria dan Persia.[1] Meskipun Art Deco terlihat seperti ultra modern, sebenarnya bisa ditelaah kembali ke zaman kuburan Mesir kuno. Secara khusus, penemuan kubur Raja Tut pada tahun 1920 membuka pintu lebar terhadap gaya ini. Garis yang tegas, warna - warna yang kuat dan fitur - fitur arsitektural yang berbentuk zig-zag ditambahkan ke dalam objek - objek yang diletakkan di dalam kubur untuk menghibur dan mencerahkan raja yang sedang tertidur.[4]
Eksposisi Paris benar - benar menjadi momok, namun itu bukan awalnya. Tahun 1925 berbagai bangunan mengaplikasikan elemen - elemen yang menuju ke gaya Art Deco. Contohnya adalah Stasiun Kereta Api Eliel Saarinen di Helsinki, Finlandia 1904 - 1914. Dengan 4 figur raksasa, setiap figurnya memiliki Globe of Light atau bola lampu, yang sangat esensial bagi Art Deco[5]
Sumber-sumber dan Atribut-atribut
Art Deco secara umum dianggap sebagai suatu bentuk eklektik dari keanggunan dan gaya modernisme, yang dipengaruhi berbagai sumber. Di antaranya adalah seni tradisional Afrika, Mesir, atau Aztek Meksiko, dan juga Abad Mesin atau teknologi Streamline seperti penerbangan modern, Penerangan listrik, radio, dan bangunan pencakar langit. Pengaruh desain ini terlihat pada fractionated, crystalline, bentuk facet dari dekorasi Kubisme dan Futurisme, dalam wadah Fauvisme. Tema populer lain dalam Art Deco adalah bentuk-bentuk bersifat trapezoid, zigzag, geometri, dan bentuk puzzle, yang banyak terlihat pada karya mula-mula. Sejalan dengan pengaruh-pengaruh ini,Art Deco dikarakterkan dengan penggunaan bahan-bahan seperti aluminum, stainless steel,lacquer, inlaid wood, kulit hiu (shagreen), dan kulit zebra. Penggunaan berani dari bentuk bertingkat, sapuan kurva (unlike the sinuous, natural curves of the Art Nouveau), pola-pola chevron, dan motif pancaran matahari adalah tipikal dari Art Deco. Beberapa dari motif ini sering muncul pada saat ini— contohnya, motif pancaran matahari dalam berbagai konteks seperti sepatu wanita, radiator grilles, auditorium dari Radio City Music Hall, dan puncak dari Gedung Chrysler.
Art Deco di Indonesia
-
Villa Isola, Bandung. Arsitek Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker.
-
Grand Hotel Preanger, Bandung. Arsitek Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker.
-
Hotel Bidakara Grand Savoy Homann, Bandung. Arsitek A.F. Aalbers.
-
Halte Museum Fatahillah yang terletak pada jalur Koridor 12 Transjakarta. Salah satu bangunan bergaya Art Deco yang dibangun pasca kemerdekaan Indonesia, juga merupakan satu dari dua halte Transjakarta Koridor 1 (yang satunya adalah Halte Kali Besar Barat, keduanya sama-sama menjadi titik transit menuju Koridor 12) yang bergaya Art Deco.
-
Pumpunan Moda CSW yang menjadi titik pertemuan bagi Koridor 1, Koridor 13, serta Lin Utara–Selatan (MRT Jakarta).
Referensi
- ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-26. Diakses tanggal 2010-05-04.
- ^ http://www.huntfor.com/arthistory/C20th/artdeco.htm
- ^ http://www.arsitekturindis.com/?p=87[pranala nonaktif permanen]
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-05-15. Diakses tanggal 2010-05-04.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-29. Diakses tanggal 2010-05-04.