Kedaulatan Westfalia
Kedaulatan Westfalia adalah konsep kedaulatan negara bangsa di teritorinya sendiri tanpa campur tangan agen asing dalam struktur domestiknya.
Para pakar hubungan internasional menyebut sistem internasional negara, perusahaan multinasional, dan organisasi modern yang berorientasi Barat bermula di Perdamaian Westfalia tahun 1648.[1] Baik dasar maupun kesimpulan pandangan ini dikritik oleh sejumlah akademisi dan politikus revisionis. Para revisionis mempertanyakan pentingnya perjanjian damai Westfalia tersebut. Sejumlah komentator dan politikus menyerang sistem negara bangsa berdaulat Westfalia.
Pandangan tradisional
Penganut konsep sistem Westfalia merujuk pada Perdamaian Westfalia yang ditandatangani tahun 1648 yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Waktu itu sebagian besar negara Eropa (Kekaisaran Romawi Suci, Spanyol, Prancis, Swedia, dan Republik Belanda) sepakat untuk menghormati prinsip integritas wilayah. Dalam sistem Westfalia, kepentingan nasional dan tujuan negara (serta negara bangsa) secara luas dianggap melampaui kepentingan dan tujuan warga negara atau penguasa manapun. Negara menjadi agen institusional utama dalam sistem hubungan antarnegara. Perdamaian Westfalia kabarnya berhasil mengakhiri upaya penerapan kewenangan supranasional terhadap negara-negara Eropa. Doktrin "Westfalia" yang menyebutkan negara sebagai agen merdeka dipertegas oleh perkembangan pola pikir nasionalisme pada abad ke-19. Pola pikir nasionalisme menganggap negara yang sah punya kaitannya dengan bangsa, yaitu sekumpulan masyarakat yang disatukan oleh bahasa dan budaya.
Sistem Westfalia mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Meski pertimbangan praktisnya masih mendorong negara-negara kuat berusaha memengaruhi urusan negara lain, intervensi paksa oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya semakin berkurang antara 1850 dan 1900, berbeda dengan periode sebelumnya (Leurdijk 1986).
Perdamaian Westfalia penting dipelajari dalam teori hubungan internasional modern dan sering ditetapkan sebagai awal sistem internasional yang dibahas dalam disiplin ilmu ini.[2][3][4][5]
Beberapa teoriwan hubungan internasional mengidentifikasi sejumlah prinsip utama dalam Perdamaian Westfalia yang menjelaskan pentingnya Perdamaian tersebut dan damaknya terhadap dunia masa kini:
- Prinsip kedaulatan negara dan hak asasi penentuan nasib politik
- Prinsip kesetaraan hukum antarnegara
- Prinsip non-intervensi suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya
Prinsip-prinsip tersebut dianut oleh paradigma hubungan internasional "realis" masa kini, sehingga semakin jelas alasannya sistem negara disebut sebagai "Sistem Westfalia".
Baik ide kedaulatan Westfalia dan penerapannya telah dipertanyakan sejak pertengahan abad ke-20 sampai seterusnya dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar perdebatan membahas ide internasionalisme dan globalisasi yang tampaknya bertentangan dengan kedaulatan Westfalia dilihat dari sejumlah interpretasi.
Pandangan modern
Sistem Westfalia dijadikan singkatan oleh para akademisi untuk mendeskripsikan sistem negara yang membentuk dunia saat ini.[6]
Pada tahun 1998, di Simposium Pelanjutan Relevansi Politik Perdamaian Westfalia, Sekretaris Jenderal NATO Javier Solana mengatakan bahwa "kemanusiaan dan demokrasi [adalah] dua prinsip yang pada dasarnya tidak relevan dengan tatanan Westfalia yang asli" dan mengkritik bahwa "sistem Westfalia memiliki batasan. Misalnya, prinsip kedaulatan yang digantungkannya juga menciptakan alasan persaingan, bukan kerja sama antarnegara; pengucilan, bukan integrasi."[7]
Pada tahun 2000, Menteri Luar Negeri Jerman Joschka Fischer mengomentari Perdamaian Westfalia dalam pidatonya di Universitas Humboldt Berlin. Ia berpendapat bahwa sistem politik Eropa yang dibentuk oleh Westfalia sudah kedaluwarsa: "Inti konsep Eropa pasca-1945 masih merupakan penolakan terhadap prinsip keseimbangan kekuatan Eropa dan ambisi hegemonik negara-negara individual yang bermunculan setelah Perdamaian Westfalia tahun 1648, penolakan yang terwujud dalam pencampuran kepentingan vital dan peralihan hak kedaulatan negara-bangsa ke sejumlah lembaga supranasional Eropa."[8]
Setelah serangan Madrid 11 Maret 2004, Lewis Atiyyatullah, yang mengaku sebagai wakil jaringan teroris al-Qaeda, menyatakan bahwa "sistem internasional yang dikembangkan Barat sejak Perjanjian Westfalia akan runtuh; dan sistem internasional baru akan bangkit di bawah kepemimpinan satu negara Islam yang kuat".[9]
Globalisasi juga diklaim telah mengubah sistem internasional melampaui sistem negara berdaulat Westfalia.[10]
Benedict Anderson menyebut "bangsa" yang sifatnya putatif (diada-adakan atau diciptakan) adalah "komunitas khayalan" semata.
Pihak lainnya justru mendukung sistem negara Westfalia, termasuk nasionalis Eropa dan palokonservatif Amerika Serikat Pat Buchanan.[11][12] Para pendukung negara Westfalia menentang sosialisme dan sebagian wujud kapitalisme karena meremehkan negara bangsa. Karier politik Buchanan dipenuhi serangan terhadap globalisasi, teori kritis, neokonservatisme, dan pemikiran lain yang ia anggap berbahaya bagi bangsa-bangsa Barat masa kini.
Globalisasi
Selama 1980-an dan awal 1990-an, literatur globalisasi masih berfokus pada pengikisan kedaulatan ketergantungan dan kedaulatan Westfalia. Kebanyakan literatur tersebut mengkritik model politik internasional realis yang menganggap tafsiran negara Westfalia selaku agen kesatuan sebagai sesuatu yang aksiomatis (Camilleri dan Falk 1992).
Konsep berbagi kedaulatan yang dianut Uni Eropa juga agak bertentangan dengan pandangan historis kedaulatan Westfalia, karena Uni Eropa mengizinkan agen asing ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Dalam artikel tahun 2008, Phil Williams mengaitkan kebangkitan terorisme dan aktor non-negara keras lainnya (VNSA; violent non-state actor) dengan globalisasi. Terorisme dan VNSA dianggap mengancam kedaulatan negara Westfalia.[13]
Intervensi
Intervensi militer
Sejak akhir abad ke-20, ide kedaulatan Westfalia semakin dipertanyakan setelah terjadi serangkaian rencana maupun aksi intervensi militer di bekas Yugoslavia, Afganistan, Irak, Sudan, dan lainnya.
Intervensi kemanusiaan
Intervensi yang dilancarkan ke Kamboja oleh Vietnam (Perang Kamboja-Vietnam) atau ke Bangladesh (waktu itu bagian dari Pakistan) oleh India (Perang Pembebasan Bangladesh dan Perang India-Pakistan 1971) memiliki dasar yang diragukan atau lemah dalam hukum internasional, tetapi dilakukan atas dasar bahwa mereka melakukan intervensi kemanusiaan yang bertujuan mencegah genosida, kehilangan jiwa dalam jumlah besar, atau pemusnahan etnik. Untuk kasus Pakistan Timur/Bangladesh, India mengklaim bahwa mereka bertindak untuk mempertahankan diri alih-alih kepentingan kemanusiaan. India berpendapat bahwa skala arus pengungsi dari Pakistan Timur ke India mengancam stabilitas dalam negeri India, sehingga mereka mengintervensi Benggala Timur untuk memberantas akar ancaman terhadap India.
Walaupun begitu, muncul perdebatan seputar apakah penerobosan kedaulatan negara terkini, seperti yang terjadi di Kosovo (waktu itu bagian dari Serbia dan Montenegro) oleh NATO (Pengeboman Yugoslavia oleh NATO 1999) dan pemisahan de facto Kosovo dari Serbia, di Irak oleh Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya seperti Britania Raya (Perang Irak 2003), di Georgia oleh Rusia (Perang Ossetia Selatan 2008), atau di Libya oleh NATO (Perang saudara Libya 2011), juga merefleksikan prinsip yang lebih agung atau apakah justifikasi sejatinya hanya mengandung kepentingan politik dan ekonomi.
Tafsiran baru mengenai kedaulatan kontingen mulai tercipta, tetapi belum mencapai titik legitimasi internasional. Neokonservatisme telah mengembangkan pola pikir serupa dan menegaskan bahwa ketiadaan demokrasi bisa jadi menciptakan krisis kemanusiaan pada masa depan, atau bahwa demokrasi itu sendiri adalah hak asasi manusia sehingga negara bangsa yang tidak menghormati prinsip-prinsip demokrasi membuka dirinya sendiri terhadap perang sah dengan negara lain.[14] Akan tetapi, para pengusung teori ini dituduh hanya mempermasalahkan demokrasi, HAM, dan krisis kemanusiaan di negara-negara yang menentang dominasi global Amerika Serikat, seperti bekas Yugoslavia, Irak, Iran, Rusia, Tiongkok, Belarus, Korea Utara, Sudan, Venezuela, dan lain-lain, namun malah mengabaikan isu yang sama di negara-negara yang bersahabat dengan Amerika Serikat, seperti Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Georgia, dan Kolombia.
Negara gagal
Kritik lain yang dilontarkan terhadap kedaulatan Westfalia berkaitan dengan negara yang diduga gagal. Afganistan (sebelum invasi AS tahun 2001) sering dianggap contoh negara gagal.[15] Dalam hal ini, kedaulatan dianggap tidak ada dan intervensi internasional diizinkan atas dasar kemanusiaan serta ancaman yang dimiliki negara gagal tersebut terhadap negara tetangganya dan seluruh dunia.
Perdebatan seputar sistem kedaulatan Westfalia juga mengacu pada situasi yang terjadi di Somalia.[15]
Lihat pula
Bacaan lebih lanjut
- Camilleri, J. and Falk, J. (1992), The End of Sovereignty?: The Politics of a Shrinking and Fragmenting World, Edward Elgar, Aldershot.
- Leurdijk, J. (1986), Intervention in International Politics, Eisma BV, Leeuwarden, Netherlands.
- Phil Williams: Violent Non-State Actors and National and International Security, ISN, 2008.
Referensi
- ^ Gabel, Medard (2003), Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation, New York: The New Press, hlm. 2, ISBN 1-56584-727-X
- ^ Osiander, Andreas (2001), "Sovereignty, International Relations, and the Westphalian Myth", International Organization, 55 (2): 251–287, doi:10.1162/00208180151140577. Here: p. 251.
- ^ Gross, Leo (1948), "The Peace of Westphalia", The American Journal of International Law, 42 (1): 20–41, doi:10.2307/2193560, JSTOR 2193560.
- ^ Jackson, R.H.; P. Owens (2005) "The Evolution of World Society" in: John Baylis; Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press, p. 53. ISBN 1-56584-727-X.
- ^ Croxton, Derek (1999), "The Peace of Westphalia of 1648 and the Origins of Sovereignty", International History Review, 21 (3): 569–91, doi:10.1080/07075332.1999.9640869, JSTOR 40109077
- ^ Osiander, p. 251.
- ^ Solana, Javier (November 12, 1998), Securing Peace in Europe, North Atlantic Treaty Organization, diakses tanggal 2008-05-21
- ^ Fischer, Joschka (May 12, 2000), From Confederacy to Federation - Thoughts on the Finality of European Integration, Auswärtiges Amt, diarsipkan dari versi asli tanggal 2002-05-02, diakses tanggal 2008-07-06
- ^ Berman, Yaniv (April 1, 2004), Exclusive - Al-Qa'ida: Islamic State Will Control the World, The Media Line, diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-06-10, diakses tanggal 2008-07-06
- ^ Cutler, A. Claire (2001), "Critical Reflections on the Westphalian Assumptions of International Law and Organization: A Crisis of Legitimacy", Review of International Studies, 27 (2): 133–150, doi:10.1017/S0260210500001339.
- ^ Patrick J. Buchanan (January 1, 2002), Say Goodbye to the Mother Continent, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-14, diakses tanggal 2008-05-21
- ^ Patrick J. Buchanan (May 23, 2006), The Death of the Nation State, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-25, diakses tanggal 2008-05-21
- ^ http://se2.isn.ch/serviceengine/FileContent?serviceID=ISFPub&fileid=8EEBA9FE-478E-EA2C-AA15-32FC9A59434A&lng=en
- ^ Olivier, Michèle (October 3, 2011). "Impact of the Arab Spring: Is democracy emerging as a human right in Africa?". Rights in focus discussion paper. Consultancy Africa Intelligence. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-29. Diakses tanggal 2012-01-16.
- ^ a b The Washington Quarterly, Volume 25, Issue 3, 2002 "The new nature of nation‐state failure" Robert I. Rotbergab