Lompat ke isi

Milenialisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Milenialisme (dari kata Latin millennium, artinya "sahasrawarsa", diimbuhi akhiran -isme) atau Khiliasme (dari padanan Yunaninya, χιλιασμός, khiliasmos) adalah keyakinan yang diajarkan oleh beberapa denominasi agama, bahwasanya akan datang suatu Zaman Gemilang atau akan terwujud suatu Firdaus di muka Bumi menjelang Hari Kiamat, menyongsong kehidupan akhirat yang kekal.

Agama Kristen maupun agama Yahudi telah melahirkan berbagai gerakan mesianis yang mengusung ajaran-ajaran milenialis, misalnya gagasan bahwa Kerajaan Allah tidak lama lagi akan terwujud di muka Bumi. Gerakan-gerakan milenarian tersebut sering kali menimbulkan keresahan masyarakat.[1]

Milenialisme serupa juga terdapat di dalam agama Mazdayasna, yang membabak zaman menjadi sederet sahasrawarsa, tiap sahasrawarsa berakhir dengan mahapralaya dalam wujud kesesatan maupun kehancuran, sampai akhirnya kedurjanaan dibinasakan dan roh kedurjanaan dimusnahkan untuk selama-lamanya oleh seorang raja damai nan jaya pada penghujung sahasrawarsa penghabisan. "Lalu Sosyans memurnikan kembali segala makhluk seperti sediakala, maka terjadilah kebangkitan dan kehidupan akhirat" (Zand-i Vohuman Yast 3:62).

Para sarjana sudah pula mengaitkan berbagai gerakan sosial dan politik lainnya, baik yang bersifat agamawi maupun yang bersifat sekuler, dengan metafora-metafora milenialis.

Kristen

Sebagian besar fikrah milenialis Kristen didasarkan atas Kitab Wahyu, khususnya bab ke-20,[2] yang meriwayatkan penglihatan Yohanes akan sosok malaikat yang turun dari langit membawa rantai besar dan anak kunci jurang maut, lalu membelenggu Satan, dan mengurungnya selama satu sahasrawarsa:

Ia menangkap naga, si ular tua itu, yaitu Iblis dan Satan. Dan ia mengikatnya seribu tahun lamanya, lalu melemparkannya ke dalam jurang maut, dan menutup jurang maut itu dan memeteraikannya di atasnya, supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun itu; kemudian dari pada itu ia akan dilepaskan untuk sedikit waktu lamanya.

— Wahyu 20:2–3[3]

Kitab Wahyu selanjutnya menjabarkan hakim-hakim yang duduk di atas takhtanya masing-masing, serta penglihatan Yohanes akan arwah-arwah orang yang mati dipancung lantaran kesaksian tentang Yesus dan lantaran menolak tanda binatang. Orang-orang yang mati dipancung itu:

hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun. Tetapi orang-orang mati yang lain tidak bangkit sebelum berakhir masa yang seribu tahun itu. Inilah kebangkitan pertama. Berbahagia dan kuduslah ia, yang mendapat bagian dalam kebangkitan pertama itu. Kematian yang kedua tidak berkuasa lagi atas mereka, tetapi mereka akan menjadi imam-imam Allah dan Kristus, dan mereka akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia, seribu tahun lamanya.

— Wahyu 20:4–6[4]

Gereja Perdana

Pramilenialisme

Pada abad-abad permulaan tarikh Masehi, ada berbagai macam bentuk khiliasme (milenialisme) di dalam tubuh Gereja, baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat.[5] Pramilenialisme yang dianut Gereja Perdana disebut "pramilenialisme historis",[6] didukung oleh Papias,[7] Ireneus, Yustinus Martir,[8] Tertulianus,[9] Polikarpus,[10] Pseudo-Barnabas,[11] Metodius, Laktansius,[12] Komodianus,[13] Teofilus,[14] Meliton,[15] Hipolitus dari Roma, Viktorinus dari Pettau,[16][17] Nepos, Yulius Afrikanus, Tasianus[18] dan Montanus.[19] Meskipun demikian, pandangan-pandangan pramilenial Montanus mungkin sekali berdampak terhadap penolakan yang timbul kemudian hari terhadap paham pramilenialisme di dalam Gereja, sementara Montanisme sendiri dicap sebagai bidat.[18]

Amilenialisme

Pada abad ke-2 tarikh Masehi, kaum Alogi (golongan yang menolak semua karya tulis Yohanes) adalah kaum amilenial, demikian pula Kayus pada seperempat pertama abad ke-3.[20] Lantaran terpengaruh ajaran filsafat Plato, Klemens dari Aleksandria dan Origenes mendustakan paham pramilenialisme.[21] Dionisius dari Aleksandria (wafat tahun 264) berpandangan bahwa Kitab Wahyu bukanlah karya tulis Yohanes dan tidak dapat ditafsirkan secara harfiah, ia juga seorang amilenial.[22]

Yustinus Martir (wafat tahun 165), yang cenderung khiliastis dalam berteologi, menyinggung tentang keberagaman pandangan yang beredar di dalam bab ke-80 dari risalahnya, Dialog dengan Trifo Orang Yahudi, sebagai berikut:[23]

"Saya dan banyak orang lain mengusung pendapat ini [pramilennialisme], dam [percaya] bahwa seperti itulah yang akan terjadi, sebagaimana tentunya sudah engkau mafhumi; akan tetapi di lain pihak, perlu saya beritahukan kepadamu bahwa banyak orang yang murni imannya lagi bertakwa, yakni orang-orang Kristen yang sejati, justru berpikir sebaliknya."[23]

Agustinus mula-mula mengamini paham pramilenialisme, tetapi kemudian hari beralih ke amilenialisme, sehingga melejitkan ketenaran paham itu bersama-sama dengan Paus Gregorius Agung.[24][25]

Catholic Encyclopedia memaparkan bahwa para penganjur berbagai akidah Gnostik pada abad ke-2 (yang dicap bidat) juga mendustakan paham milenarianisme.[26]

Reformasi dan sesudahnya

Perbandingan tafsir milenial Kristen

Pandangan-pandangan Kristen tentang urut-urutan peristiwa yang bakal terjadi kelak di masa depan menjadi beraneka ragam selepas Reformasi Protestan (sekitar tahun 1517). Pada khususnya, muncul penekanan-penekanan baru terhadap nas-nas Kitab Wahyu yang menyiratkan bahwa Kristus akan datang kembali untuk menghakimi orang-orang hidup dan orang-orang mati, Satan akan dikurung selama seribu tahun, kemudian dilepas ke muka bumi untuk menyulut perang penghabisan melawan Allah dan orang-orang kudus-Nya.[27] Tidak ada kata mufakat maupun pandangan yang jelas di kalangan teolog Katolik dan Ortodoks terdahulu mengenai makna yang sesungguhnya dari nas-nas tersebut (hanya konsep tentang akhir zaman yang datang tanpa disangka-sangka "seperti pencuri pada malam hari", dan konsep tentang "antikristus" sajalah yang dimufakati secara universal). Teori-teori milenialis mencoba menjelaskan seperti apa masa "1000 tahun dibelenggunya Satan" itu jadinya nanti.

Ada berbagai macam paham milenialisme yang muncul terkait eskatologi Kristen, khususnya di lingkungan Kristen Protestan, seperti Pramilenialisme, Pascamilenialisme, dan Amilenialisme. Pramilenialisme dan Pascamilenialisme adalah sebutan untuk beragam pandangan tentang keterkaitan "Kerajaan Seribu Tahun" dengan kedatangan Kristus untuk kedua kalinya.

Pramilenialisme memandang kedatangan Kristus untuk kedua kalinya sebagai peristiwa yang mendahului masa seribu tahun, dan dengan demikian masa seribu tahun menjadi rentang waktu yang memisahkan peristiwa kedatangan kedua dari peristiwa penghakiman terakhir. Menurut pandangan ini, "pemerintahan Kristus" akan terselenggara secara jasmaniah di muka bumi.

Pascamilenialisme memandang kedatangan Kristus untuk kedua kalinya sebagai peristiwa yang terjadi sesudah masa seribu tahun, bertepatan dengan peristiwa penghakiman terakhir. Menurut pandangan ini, "pemerintahan Kristus" (terselenggara sepanjang masa seribu tahun) terwujud secara rohaniah di dalam dan melalui Gereja.

Amilenialisme berpandangan bahwa Kerajaan Seribu Tahun yang diuraikan di dalam nas Wahyu 20ː1-6 sebagai suatu kiasan, dan "pemerintahan Kristus" sekarang ini sedang berjalan di dalam dan melalui Gereja. Oleh karena itu, sekalipun tidak percaya akan adanya suatu pemerintahan selama seribu tahun di masa depan, Amilenialisme berkeyakinan bahwa Langit Baru dan Bumi Baru akan terwujud pada saat Kristus datang untuk kedua kalinya.

Gereja Katolik mengutuk keras milenialisme, sebagaimana tampak pada pernyataan berikut ini:

Tipu daya antikristus sudah mulai nyata di dalam dunia setiap kali pernyataan dimunculkan supaya dimafhumi di dalam sejarah bahwasa harapan akan kedatangan Mesias hanya dapat terkabulkan sesudah tamatnya sejarah melalui penghakiman eskatologis. Gereja malah sudah menolak ragam-ragam modifikasi dari penyemuan kerajaan yang akan datang itu dengan nama milenarianisme, khususnya bentuk politis mesianisme sekuler yang "pada hakikatnya menyimpang".

— Joseph Kardinal Ratzinger, Katekismus Gereja Katolik, 1995[28], hlm. 194

Abad ke-19 dan ke-20

Gerakan Siswa Alkitab

Gerakan Siswa Alkitab adalah gerakan milenialis berlandaskan pandangan-pandangan yang tertuang di dalam buku Rancangan Allah atas Segala Zaman (terbit tahun 1886), jilid pertama dari seri Studi Alkitab yang disusun Pendeta Charles Taze Russell (seri ini masih terus diterbitkan sejak tahun 1927 oleh Asosiasi Siswa-Siswi Alkitab Fajar). Siswa-siswi Alkitabmeyakini bahwa kelak semua orang akan diberi peluang, baik yang hidup di masa silam maupun di masa kini, bukan orang-orang yang sudah menyambut panggilan surgawi, untuk beroleh hidup kekal di muka Bumi pada masa seribu tahun.[29]

Saksi Yehuwa

Saksi-Saksi Yehuwa percaya bahwa Kristus akan memerintah dari surga selama seribu tahun selaku raja di muka bumi, dibantu oleh 144.000 insan yang diangkat ke surga.[30]

Gereja Allah Yang Mahakuasa

Denominasi yang juga dikenal dengan nama Kilat dari Timur ini mengajarkan bahwa Zaman Kerajaan Seribu Tahun akan datang sesudah terjadinya rangkaian malapetaka yang dinubuatkan di dalam Kitab Wahyu.[31]

Agama Yahudi

Fikrah milenialis pertama kali mengemuka di dalam sastra apokrip Yahudi dari zaman Haikal Kedua yang penuh dengan gejolak.[32]

Gerschom Scholem mengulik ajaran-ajaran milenialis Yahudi yang muncul pada permulaan zaman modern di dalam bukunya, Sabbatai Sevi, the mystical messiah. Pusat perhatian di dalam buku ini adalah gerakan abad ke-17 yang mengagung-agungkan Sabetai Sebi (tahun 1626-1676), tokoh yang mengaku-ngaku sebagai Mesias (pada tahun 1648).[33]

Agama Baha'i

Di dalam Kitáb-i-Íqán, Baha'u'llah mengatakan bahwa Allah akan memperbaharui "Kota Allah" kira-kira seribu tahun sekali,[34] dan secara khusus menyebutkan bahwa tidak ada Titisan Allah (nabi) baru yang bakal muncul sepanjang 1.000 tahun (tahun 1852–2852 Masehi) masa dispensasi yang diajarkan Baha'u'llah, tetapi pesan Baha'u'llah akan terus berwibawa sampai 500.000 tahun.[35][36]

Teosofi

Teosofis Alice Bailey mengajarkan bahwa Almasih atau Sang Guru Jagat akan kembali “suatu saat nanti sesudah tahun 2025 Masehi”, dan kedatangannya akan mengawali suatu Zaman Baru yang kurang lebih sama dengan konsep Kristen tentang kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Perlu diingat bahwa yang dimaksud Alice Bailey dengan Sang Guru Jagat adalah wujud rohaniah yang dikenal para Teosofis lain dengan sebutan Maitreya[37][38]

Gerakan sosial

Gerakan-gerakan sosial milenial, yang merupakan salah satu bentuk spesifik dari milenarianisme, didasarkan pada beberapa konsep siklus sahasrawarsa. Kadang-kadang kedua istilah tersebut dipakai sebagai kata-kata yang saling bersinonim, tetapi kaum puris menganggapnya tidak betul-betul akurat. Gerakan-gerakan sosial milenial tidak mesti berlandaskan agama, tetapi harus memiliki visi tentang akhir zaman yang bersifat utopia maupun distopia. Pihak-pihak yang berkaitan dengan gerakan-gerakan sosial milenial "cenderung melakukan kekerasan", manakala beberapa ragam milenialisme tertentu berkaitan erat dengan kekerasan.[39][40]

Di dalam milenialisme progresif, "transformasi tatanan sosial terjadi secara berangsur-angsur dan manusia memainkan peranan di dalam memajukan transformasi itu".[41]

Milenialisme katasptopis "menganggap tatanan sosial yang ada saat ini sudah kelewat bobrok sehingga tidak mungkin diperbaiki lagi, sehingga perlu dirombak total demi membuka ruang bagi pembangunan suatu tatanan baru yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan".[42]

Meskipun demikian, tautan yang menghubungkan milenialisme dengan kekerasan mungkin saja problematis, karena gerakan-gerakan agamawi baru dapat menyimpang keluar dari pandangan katastropis seiring bergulirnya waktu.[43]

Nazisme

Salah satu tafsir terkontroversial atas pembabakan tiga zaman dan milenialisme pada umumnya adalah "Reich Ketiga" (bahasa Jerman: Drittes Reich) yang digagas Adolf Hitler, yang ia cita-citakan bakal berdiri selama satu sahasrawarsa (Tausendjähriges Reich) tetapi pada kenyataannya cuma bertahan selama 12 tahun (1933–1945).

Filsuf Jerman Arthur Moeller van den Bruck menciptakan frasa "Reich Ketiga" dan menerbitkan sebuah buku berjudul Das Dritte Reich pada tahun 1923. Sesudah mengilas balik sejarah silam bangsa Jerman, ia membabaknya menjadi dua zaman, dan menyamakannya dengan zaman-zaman menurut pembabakan yang dibuat teolog Italia abad ke-12, Yoakim dari Fiore:

Setelah melewati masa jeda Republik Weimar (sejak tahun 1918), yang didominasi konstitusionalisme, parlementerisme, bahkan pasifisme, kedua zaman itu diikuti oleh:

  • "Reich Ketiga", disamakan dengan Zaman Roh Kudus.

Meskipun van den Bruck tidak terkesan saat bertemu dengan Hitler pada tahun 1922 dan tidak bergabung dengan partai Nazi, Nazi mengadopsi istilah "Reich Ketiga" untuk dijadikan sebutan bagi negara totaliter yang hendak mereka dirikan jika kelak berhasil menduduki tampuk pemerintahan Jerman, cita-cita yang akhirnya terwujud pada tahun 1933. Meskipun demikian, kemudian hari para petinggi Nazi mengharamkan pemakaian istilah "Reich Ketiga" yang sebenarnya bukan istilah resmi di dalam semua media massa Jerman pada musim panas tahun 1939, dan memerintahkan pemakaian istilah-istilah yang lebih resmi saja, seperti "Reich Jerman", "Reich Jerman Raya", dan "Negara Nasional Sosialis Jerman".[44]

Pada masa-masa awal Reich Ketiga, banyak rakyat Jerman yang mengelu-elukan Hitler sebagai Mesias Jerman, khususnya ketika ia menggelar rapat akbar. Kemudian hari, rapat akbar dijadikan acara tahunan (dari tahun 1933 sampai 1938) di Nürnberg dan diselenggarakan pada tanggal-tanggal menjelang Matahari melintasi khatulistiwa ke belahan bumi selatan.

Di dalam pidatonya pada tanggal 27 November 1937, Hitler mengutarakan rencananya untuk merubuhkan sebagian besar kawasan kota Berlin dengan maksud untuk:

[...] einem tausendjährigen Volk mit tausendjähriger geschichtlicher und kultureller Vergangenheit für die vor ihm liegende unabsehbare Zukunft eine ebenbürtige tausendjährige Stadt zu bauen [...].

[...] mendirikan, bagi suatu bangsa setua seribu tahun dengan warisan sejarah dan budaya sepurba seribu tahun, demi menyongsong masa depan nan terbentang tak terterawang di hadapannya, sebuah kota berdaya tahan seribu tahun yang sepadan kegemilangannya [...]

Sesudah Adolf Hitler gagal mewujudkan pemerintahan seribu tahunnya, Vatikan mengeluarkan maklumat resmi yang menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan milenial tidak dapat diajarkan tanpa menimbulkan masalah, dan bahwasanya nas-nas terkait di dalam Wahyu (disebut pula Apokalips) seharusnya dipahami dalam arti rohaniah. Sastrawan Katolik Bernard LeFrois mengemukakan di dalam bukunya sebagai berikut:

Millenium [sic]: [...] Lantaran Jawatan Suci memaklumkan (pada tanggal 21 Juli 1944) bahwasanya tidaklah orang dapat mengajarkan tanpa menimbulkan masalah bahwa pada kedatangan-Nya yang kedua kali Kristus akan memerintah secara kasatmata bersama-sama segelintir orang saja (yang dibangkitkan dari maut) dari antara semua orang kudus-Nya sepanjang suatu masa sebelum tiba penghakiman terakhir dan menyeluruh, maka sepatutnya yang tercantum di dalam nas Wahyu 20:4–6 itu dimaknai sebagai suatu milenium rohaniah. Santo Yohanes menyajikan suatu ikhtisar sepak terjang Satan, serta pemerintahan rohaniah orang-orang kudus bersama Kristus di surga dan di dalam Gereja-Nya di muka bumi..

— [45]

Utopianisme

Konsep-konsep milenialisme Kristen purba sudah melebar sampai ke luar ruang lingkup agama berabad-abad kemudian, manakala berbagai berbagai perumus teori mencampuradukkan dan memoles konsep-konsep itu dengan gagasan-gagasan tentang utopia.

Sesudah kemunculan fikrah milenial perdana, dikembangkanlah filsafat Tiga Zaman. Rahib dan teolog Italia, Yoakim dari Fiore (wafat tahun 1202) membabak seluruh perjalanan sejarah umat manusia menjadi tiga zaman, yaitu:

  1. Zaman Bapa (zaman Perjanjian Lama)
  2. Zaman Putra (zaman Perjanjian Baru)
  3. Zaman Roh Kudus (zaman yang bermula sejak Kristus naik ke surga, dan Paraklitus, Pribadi Tritunggal Mahakudus yang ketiga, diutus untuk menuntun umat beriman)

Zaman Roh Kudus dipercaya bermula sekitar tahun 1260, dan sejak saat itu semua umat beriman akan menjalani kehidupan selaku rahib dan rubiah, diubah secara mistik dan dipenuhi dengan puji-pujian kepada Allah selama seribu tahun sampai tiba Hari Penghakiman yang mengakhiri sejarah planet Bumi.

Pembagian sejarah yang dibuat Yoakim dari Fiore juga sangat memengaruhi gerakan Zaman Baru, yang mentransformasikan filsafat Tiga Zaman menjadi istilah astrologis, mengait-ngaitkan gerak Matahari melintasi khatulistiwa ke belahan bumi utara dengan bermacam-macam rasi bintang. Berdasarkan skenario tersebut, Zaman Bapa adalah Zaman Aries, Zaman Putra adalah Zaman Pises, dan Zaman Roh Kudus adalah Zaman Baru Aquarius. Konon pada zaman yang sekarang ini disebut-sebut sebagai "Zaman Aquarius", akan terjadi beberapa perubahan besar bagi kemaslahatan umat manusia,[46] cerminan dari unsur-unsur yang lumrah dijumpai di dalam beberapa manifestasi paham milenialisme.[47]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ Beberapa contohnya disajikan Gerschom Scholem di dalam Sabbatai Sevi, the mystical messiah (London: Routledge, 1973). Buku ini khusus mengulik hal-ihwal segolongan umat Yahudi milenarian yang berbaiat kepada Sabetai Sebi, tetapi di dalam bagian 1 Scholem juga menyajikan beberapa contoh yang sebanding dari kalangan Kristen, misalnya di hlmn. 100–101.
  2. ^ Wahyu 20
  3. ^ Wahyu 20:2–3
  4. ^ Wahyu 20:4–6
  5. ^ "Theology Today – Jld. 53, No. 4 – Januari 1997 – ARTICLE – Paul Tillich and the Millenialist Heritage". 2005-01-03. hlm. 464–476. Diarsipkan dari versi asli tanggal 03 Januari 2005. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  6. ^ Blomberg, Craig L.; Chung, Sung Wook (2009-02-01). A Case for Historic Premillennialism: An Alternative to "Left Behind" Eschatology (dalam bahasa Inggris). Baker Academic. ISBN 978-1-4412-1056-2 – via Google Books. 
  7. ^ Davies and Allison. A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel according to Saint Matthew, Jilid 1, ICC. hlm. 13. 
  8. ^ "Historic Premillennialism". Monergism. Diakses tanggal 26 Februari 2018. 
  9. ^ Chung, Sung Wook; Mathewson, David L. (2018-08-27). Models of Premillennialism (dalam bahasa Inggris). Wipf & Stock Publishers. ISBN 978-1-5326-3769-8 – via Google Books. 
  10. ^ Chung, Sung Wook; Mathewson, David L. (2018-08-27). Models of Premillennialism (dalam bahasa Inggris). Wipf & Stock Publishers. ISBN 978-1-5326-3771-1 – via Google Books. 
  11. ^ "Philip Schaff: ANF01. The Apostolic Fathers with Justin Martyr and Irenaeus – Christian Classics Ethereal Library". www.ccel.org. Volume 2, p. 382. Diakses tanggal 2023-06-16. Di kalangan Bapa Apostolik Barnabas adalah yang pertama dan saru-satunya tokoh yang terang-terangan mengajarkan tentang pemerintahan pra-milenial Kristus di muka bumi. Ia menganggap sejarah penciptaan di dalam kitab-kitab Musa sebagai lambang dari enam zaman berkarya bagi dunia, tiap zaman lamanya seribu tahun, ditambah satu sahasrawarsa istirahat, sebab bersama Allah ‘satu hari sama dengan seribu tahun.’ Sabat milenial di muka bumi akan disusul satu hari kedelapan yang kekal di suatu dunia yang baru, yakni hari yang dilambangkan dengan Hari Tuhan (disebut Barnabas ‘hari kedelapan’) 
  12. ^ Insruct. adv. Gentium Deos, hlmn. 43, 44.
  13. ^ Menurut Encyclopedia of the Early ChurchKomodianus (pertengahan abad ke-3) mengangkat tema masa 7000 tahun, 1000 tahun yang terakhir adalah masa milenium (Instr. II 35, 8 ff.).” M. Simonetti, “Millenarism,” hlm. 560.
  14. ^ Melawan Markion, buku 3, bab 25
  15. ^ Simonetti mengemukakan di dalam Encyclopedia of the Early Church bahwa “kita tahu bahwasanya Melito juga adalah seorang milenarian" mengingat Hieronimus pernah menyebutnya sebagai seorang kilias. M. Simonetti, “Millenarism,” hlm. 560.
  16. ^ Perlu diingat bahwa tokoh ini adalah Viktorinus dari Pettau bukan Markus Piav(v)onius Viktorinus, Kaisar Galia
  17. ^ Di dalam risalahnya Ulasan Kitab Wahyu dan dari fragmen risalah De Fabrica Mundi (bagian dari ulasan Kitab Kejadian). Hieronimus menyebutnya seorang pramilenialis.
  18. ^ a b Foster, K. Neill; Fessenden, David E. (2007-02-01). Essays on Premillennialism: A Modern Reaffirmation of an Ancient Doctrine (dalam bahasa Inggris). Moody Publishers. ISBN 978-1-60066-959-0 – via Google Books. 
  19. ^ Foster, K. Neill; Fessenden, David E. (2007-02-01). Essays on Premillennialism: A Modern Reaffirmation of an Ancient Doctrine (dalam bahasa Inggris). Moody Publishers. ISBN 978-1-60066-959-0 – via Google Books. 
  20. ^ Eusebius, 3.28.1–2
  21. ^ De Principiis, 2.11.2–3
  22. ^ Eusebius, Sejarah Gereja, 7.24.3; 7.25
  23. ^ a b Schaff, Philip. "Philip Schaff: ANF01. The Apostolic Fathers with Justin Martyr and Irenaeus – Christian Classics Ethereal Library". www.ccel.org. Diakses tanggal 2022-11-06. 
  24. ^ Olson, Roger E. (2005). The SCM Press A-Z of Evangelical Theology (dalam bahasa Inggris). Hymns Ancient and Modern Ltd. ISBN 978-0-334-04011-8 – via Google Books. 
  25. ^ G. Folliet, “La typologie du sabbat chez Saint Augustin. Son interpretation millénariste entre 386 et 400 Diarsipkan 2011-07-18 di Wayback Machine.,” REAug 2 (1956):371-90. Dirujuk di dalam David R. Anderson, “The Soteriological Impact of Augustine’s Change From Premillennialism to Amillennialism: Part One,” The Journal of the Grace Evangelical Society, Jld. 15 (Musim Semi 2002), 27. Johannes Quasten juga mengemukakan di dalam tulisannya bahwa "Agustinus “secara singkat mengaku salah sudah menganut paham milenarianisme sesudah mula-mula mengamininya (De civ. Dei 20, 7; Serm 259.2) dengan menjelaskan nas Wahyu 20:1-5 dengan makna alegoris (menganggap kebangkitan rohaniah dari jasad – jasad-jasad nyata meskipun tidak lagi bersifat fana)" (De civ. Dei 22, 1-28).” Johannes Quasten, Patrology, Jld. 4 (Westminster, Maryland: Christian Classics, Inc.), 452.
  26. ^ Kirsch, J.P. disadur oleh Donald J. Boon. Millennium and Millenarianism
  27. ^ Wahyu 20:1–6
  28. ^ Catechism of the Catholic Church. Imprimatur Potest +Joseph Kardinal Ratzinger. Doubleday, New York, 1995, hlm. 194.
  29. ^ Studi Alkitab, Jilid Pertama, Rancangan Allah atas Segala Zaman, Studi IX, "Tebusan dan Silih," hlmn. 149–152
  30. ^ "Who Goes to Heaven?". Saksi-Saksi Yehuwa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2021. Diakses tanggal 19 Juli 2021. 
  31. ^ Dunn, Emily (27 May 2015). Lightning from the East: Heterodoxy and Christianity in Contemporary China. BRILL. ISBN 9789004297258 – via Google Books. 
  32. ^ Bdk: Tabor, James D. (2011). "13: Ancient Jewish and Early Christian Millennialism". Dalam Wessinger, Catherine. The Oxford Handbook of Millennialism. Oxford Handbooks (edisi ke-reprint). New York: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2016). hlm. 254. ISBN 9780190611941. Diakses tanggal 05 Februari 2019 – via Google Books. Milenialisme, sebagaimana yang berkembang di dalam bentuk-bentuk agama Yahudi yang mulai terbentuk sekitar tahun 200 SM, merupakan suatu tanggapan terhadap permasalahan konseptual yang muncul mendahuluinya maupun terhadap suatu krisis kesejarahan tertentu yang diakibatkan oleh program Helenisasi yang diprakarsai penguasa berkebangsaan Makedonia, Antiokhus IV (bertakhta tahun 175–164 SM), salah seorang penerus Aleksander Agung (tahun 256–323 SM), yang menaklukkan Suriah-Palestina pada tahun 332 SM. 
  33. ^ Gerschom Scholem, Sabbatai Sevi, the mystical messiah (London: Routledge, 1973). Scholem juga menyajikan contoh-contoh gerakan milenialis Yahudi lainnya.
  34. ^ "Bahá'í Reference Library – The Kitáb-i-Íqán, Pages 161–200". reference.bahai.org. hlm. khususnya halaman 199. Diakses tanggal 16 Juni 2023. 
  35. ^ McMullen, Michael D. (2000). The Baha'i: The Religious Construction of a Global Identity. Atlanta, Georgia: Rutgers University Press. hlm. 7. ISBN 0-8135-2836-4 – via Google Books. 
  36. ^ "Bahá'í Reference Library – The Kitáb-i-Aqdas, Halaman 19–34". reference.bahai.org. gr. 37. Diakses tanggal 2023-06-16. 
  37. ^ Bailey, Alice A. The Externalisation of the Hierarchy New York: 1957 Lucis Publishing Co., hlm. 530
  38. ^ Bailey, Alice A. The Reappearance of the Christ, New York: 1948 Lucis Publishing Co.
  39. ^ Bromley, David G. (2003). "Violence and New Religious Movements". Dalam Lewis, James R. The Oxford Handbook of New Religious Movements. Oxford Handbooks in Religion and Theology. 1 (edisi ke-cetak ulang). New York: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2008). hlm. 148. ISBN 9780195369649. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Sudah sering dikemukakan bahwa kelompok-kelompok yang berpengharapan milenial/apokaliptik cenderung melakukan kekerasan lantaran retorika berapi-api yang mereka lontarkan mengecam tatanan sosial yang sudah ada dan keterpisahan dari tatanan tersebut. [...] Meskipun demikian, tampaknya tidak ada hubungan yang sederhana di antara milenialisme dan kekerasan. [...] Kendati milenialisme sebagai suatu bentuk umum tidak berkaitan dengan kekerasan, sudah muncul beberapa dugaan bahwa ragam-ragam tertentu dari milenialisme bisa saja berkaitan dengan kekerasan. 
  40. ^ Bdk: Walliss, John (2011). "Fragile Millennial Communities and Violence". Dalam Wessinger, Catherine. The Oxford Handbook of Millennialism. Oxford Handbooks Series (edisi ke-reprint). Oxford: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2016). hlm. 224. ISBN 9780190611941. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Sama seperti semua kelompok keagamaan, menurut Wessinger, kelompok-kelompok milenial memiliki suatu 'keprihatinan utama' [...] Bilamana keprihatinan – atau 'tujuan milenial' – ini terancam dengan satu atau lain cara, kelompok yang memiliki suatu perspektif dualistik yang radikal dalam beberapa kasus bisa saja berusaha melanggengkan atau mencapai tujuannya melalui tindak kekerasan. [...] Sebalikny, gerakan-gerakan milenial revolusioner kemungkinan besar melakukan tindakan-tindakan ofensif pencegahan, dengan meyakini bahwa 'kekerasan revolusioner diperlukan demi terbebaskan dari pihak yang menganiaya mereka dan untuk menegakkan pemerintahan dan masyarakat yang berbudi luhur' [...]. [...] Pada akhirnya, [...] Wessinger menambahkan kategori kelompok-kelompok milenial yang rapuh, di mana kekerasan muncul dari perpaduan tekanan dari dalam dan persepsi atau pengalaman ditolak dari luar. 
  41. ^ Bromley, David G. (2003). "Violence and New Religious Movements". Dalam Lewis, James R. The Oxford Handbook of New Religious Movements. Oxford Handbooks in Religion and Theology. 1 (edisi ke-cetak ulang). New York: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2008). hlm. 148. ISBN 9780195369649. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Dengan milenialisme progresif, transformasi tatanan sosial terjadi secara berangsur-angsur dan manusia memainkan peranan dalam memajukan transformasi itu. 
  42. ^ Bromley, David G. (2003). "Violence and New Religious Movements". Dalam Lewis, James R. The Oxford Handbook of New Religious Movements. Oxford Handbooks in Religion and Theology. 1 (edisi ke-cetak ulang). New York: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2008). hlm. 148. ISBN 9780195369649. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Milenialisme katastropis menganggap tatanan sosial yang ada saat ini sudah kelewat bobrok sehingga tidak mungkin diperbaiki lagi, sehingga perlu dirombak total demi membuka ruang bagi pembangunan suatu tatanan baru yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan. 
  43. ^ Lewis (2004). Lewis, James R., ed. The Oxford Handbook of New Religious Movements. Oxford University Press. ISBN 0-19-514986-6. 
  44. ^ Schmitz-Berning, Cornelia (2000). Vokabular des Nationalsozialismus [Vocabulary of National Socialism] (dalam bahasa Jerman). Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co. KG. hlm. 159–160 – via Google Books. 
  45. ^ LeFrois, Bernard J. Eschatological Interpretation of the Apocalypse. The Catholic Biblical Quarterly, Jld. XIII, hlmn. 17–20; Dikutip di dalam: Culleton R. G. The Reign of Antichrist, 1951. Cetak ulang TAN Books, Rockford (IL), 1974, hlm. 9 dan di dalam: Culleton, R. Gerald (1951). The Reign of Antichrist. TAN Books (dipublikasikan tanggal 2009). ISBN 9781505102918. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. [...] Lantaran Jawatan Suci memaklumkan (pada tanggal 21 Juli 1944) bahwasanya tidaklah dapat diajarkan tanpa menimbulkan masalah bahwa pada kedatangan-Nya yang kedua kali Kristus akan memerintah secara kasatmata bersama-sama segelintir orang saja (yang dibangkitkan dari maut) dari antara semua orang kudus-Nya selama satu kurun waktu sebelum tiba penghakiman terakhir dan menyeluruh, maka sudah sepatutnya seribu tahun di dalam nas Wahyu 20:4–6 dimaknai sebagai suatu milenium rohaniah. Santo Yohanes menyajikan suatu ikhtisar sepak terjang Satan, serta pemerintahan rohaniah orang-orang kudus bersama Kristus di surga dan di dalam Gereja-Nya di muka bumi. 
  46. ^ Bogdan, Henrik (5 September 2012). "Envisioning the Birth of a New Aeon: Dispensationalism and Millenarianism in the Thelemic Tradition". Dalam Bogdan, Henrik; Starr, Martin P. Aleister Crowley and Western Esotericism. Oxford: Oxford University Press (dipublikasikan tanggal 2012). ISBN 9780199996063. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Zaman Baru juga lazim didefinisikan dengan istilah-istilah astrologis, seperti Zaman Pises yang konon akan digantikan oleh Zaman Aquarius. Lompatan evolusi perkembangan umat manusia yang akan terjadi sebagai konsekuensinya kerap digambarkan sebagai pendahuluan dari suatu perubahan fundamental di dalam pemahaman akan hubungan umat manusia dengan alam semesta. Fikrah semacam ini berpuncak pada munculnya gerakan Zaman Baru pada dasawarsa 1960-an dan awal dasawarsa 1970-an, dengan penyifatan Zaman Aquarius sebagai perwujudan dari asas-asas holistik [...]. [...] Zaman Baru tersebut akan ditandai dengan perdamaian dan kerukunan. 
  47. ^ Compare: Landes, Richard (2006). "Millenarianism and the Dynamics of Apocalyptic Time". Dalam Newport, Kenneth G. C.; Gribben, Crawford. Expecting the End: Millennialism in Social and Historical Context. Waco, Texas: Baylor University Press. hlm. 11. ISBN 9781932792386. Diakses tanggal 30 Agustus 2020 – via Google Books. Milenialisme transformasional cenderung menumbuhsuburkan program-program perubahan sosial yang radikal dan sering kali tidak realistis [...]. [...] Dewasa ini, bentuk milenialisme transformasional yang paling menonjol berasal dari gerakan-gerakan Zaman Baru yang dipicu oleh gelombang milenial dasawarsa 1960-an: komune-komune yang diselaraskan dengan lingkungan. 

Kepustakaan

Pranala luar