Propaganda Italia Fasis
Propaganda Italia Fasis adalah materi yang diberikan Italia Fasis untuk menjustifikasi kekuasaan dan program-programnya, serta meningkatkan dukungan populer.
Kegunaan
[sunting | sunting sumber]Rezim fasis Italia menggunakan propaganda secara besar-besaran, termasuk sendratari dan retorika untuk menginspirasi rakyat umum agar bersatu dan patuh.[1]
Pada awalnya, segala usaha propaganda ditugaskan kepada kantor berita. Secara perlahan, usaha propaganda ini mulai terorganisir dan akhirnya Kementerian Kebudayaan Populer dibentuk pada tahun 1937.[2] Kementerian khusus propaganda diciptakan pada tahun 1935 dengan tujuan khusus untuk menyampaikan kebenaran fasisme, menolak kebohongan musuh, dan menjelaskan segala yang ambigu (yang tentunya akan muncul dalam sebuah pergerakan yang sebesar dan sedinamis fasisme).[3]
Doktrin
[sunting | sunting sumber]Doktrin fasis pada awalnya dicantumkan dalam Manifesto Fasis Benito Mussolini dan dijelaskan lebih lanjut melalui Doktrin Fasisme. Buku kedua ini diklaim ditulis sepenuhnya oleh Benito Mussolini, padahal sesungguhnya ia hanya menulis bagian kedua; bagian pertamanya ditulis secara diam-diam oleh Giovanni Gentile.
Berbagai kontradiksi internal yang ada dalam fasisme dijelaskan oleh Mussolini sebagai hasil dari sifat fasisme itu sendiri, yaitu sebuah doktrin yang menyuarakan aksi, revolusi melawan konformitas dan alienasi yang disebabkan masyarakat borjuis.[4]
Sang Fasis menerima dan mencintai kehidupan, tidak mengenal dan membenci bunuh diri. Ia menganggap kehidupan adalah sebuah tugas, perjuangan, dan kemenangan; hidup yang harus dijalankan tinggi dan penuh, hidup untuk diri sendiri, tetapi bukan, sama sekali bukan, untuk orang lain baik itu yang dekat, yang amat jauh, rekan-rekan sendiri, maupun yang akan tiba.
bahasa Inggris: The Fascist accepts life and loves it, knowing nothing of and despising suicide; he rather conceives of life as duty and struggle and conquest, life, which should be high and full, lived for oneself, but not, above all, for others -- those who are at hand, and those who are far distant, contemporaries, and those who will come after.[5]
Tema
[sunting | sunting sumber]Il Duce adalah pusat Fasisme. Ia juga digambarkan sebagai pusat Fasisme.[6] Kultus individu Il Duce dianggap sebagai tekanan pemersatu dalam rezim fasis, dan berfungsi sebagai pemersatu berbagai kelompok politik dan kelas sosial di dalam partai fasis dan masyarakat Italia.[7] Kultus individu ini membantu masyarakat Italia memandang pemerintahnya dengan lebih positif, meskipun banyak dari mereka yang tidak menyukai para birokrat lokal.[8] Sebuah slogan dasar menyatakan bahwa Il Duce selalu benar (bahasa Italia: Il Duce ha sempre ragione).[9]
Laporan-laporan mengenai Mussolini terus dipublikasikan oleh koran-koran yang diwajibkan menyiarkan apa pun yang disuruh oleh pemerintah, dengan kata-kata yang sudah ditentukan sebelumnya.[6][10]
Il Duce biasanya ditampilkan secara macho, tetapi ia juga bisa ditampilkan sebagai manusia Renaissance, atau sebagai orang militer, sedang di tengah-tengah keluarga, atau bahkan sebagai orang biasa.[10] Hal ini mencerminkan penampilannya sebagai manusia universal yang mampu menjadi apa pun. Misalnya, sebuah lampu selalu dibiarkan menyala di kantornya, lama setelah ia sudah tidur, untuk mengesankan bahwa ia adalah seorang penderita insomnia akibat sifatnya yang tidak bisa meninggalkan kerja.[11] Mussolini juga sering ditampilkan sebagai praktisi macam-macam olahraga, seperti balap mobil, ski, berkuda, menjinakkan singa, dan renang, untuk menciptakan imaji seorang pahlawan yang pemberani dan tidak punya rasa takut.[12] Imaji Mussolini sebagai pahlawan penerbang, seperti Charles Lindbergh, juga penting karena fasisme menganggap sebuah pesawat memiliki banyak sifat baik seperti dinamisme, energi, dan keberanian.[12] Mussolini memilih sendiri foto-foto mana yang boleh muncul. Alasan penolakannya terhadap beberapa foto antara lain adalah bahwa ia kurang tampak besar dalam sebuah kelompok.[13]
Umur Mussolini yang muda (ketika ia naik takhta, ia menjadi perdana menteri termuda dalam sejarah Italia) dan penampilannya yang energetik pun dikedepankan.[14] Dalam simbolisme fasis, "muda" menjadi semacam metafora untuk aksi dan vitalitas, dan dengan demikian menekankan sifat fasisme sebagai sebuah ideologi revolusioner yang berlawanan dengan demokrasi liberal yang statis.[14] Himne resmi gerakan fasis, Giovinezza, mencampurkan konsep-konsep kemudaan, kelahiran kembali bangsa, dan rezim Mussolini, menjadi satu kesatuan simbolis. Para jurnalis dilarang melaporkan ulang tahun dan penyakit yang didera Mussolini agar menciptakan kesan dirinya tidak bertambah tua.[14] Aspek erotis kultus ini juga ditampilkan dengan jelas: Mussolini selalu ditampilkan sebagai seorang penjaga keluarga yang patut dihormati, akan tetapi di sisi lain propaganda negara juga tidak berlaku banyak untuk menurunkan kesan bahwa ia tampak menarik bagi perempuan dan banyak berlaku seksual dengan banyak orang.[15]
Legenda tentang Mussolini selamat dari kematian selama Perang Dunia I dan menghindari rencana pembunuhan juga dipublikasikan untuk memberikan semacam aura "tidak bisa mati".[14] Dikabarkan bahwa tubuh Mussolini pernah ditembus pecahan peluru, seperti tubuh Santo Sebastianus pernah ditembus panah. Perbedaannya, Mussolini berhasil selamat dari insiden ini.[14] Ia juga diperbandingkan dengan Santo Fransiskus dari Assisi, yang seperti Mussolini, "menderita dan mengorbankan dirinya untuk orang lain".[16] Awal kehidupan Mussolini yang sederhana digambarkan dengan persamaan dengan hidup Yesus Kristus. Misalnya, ketika menggambarkan ayah dan ibunya, propaganda fasis menempatkan mereka secara simbolis setara dengan Keluarga Kudus: "Mereka seperti Maria dan Yusuf, dalam hubungannya dengan Yesus."[17] Kampung halamannya, Predappio, dikembangkan sebagai kampung wisata dan tempat ziarah simbolik.[17] Vatikan mengimplikasikan bahwa kekuatan Tuhan menyadari bahwa Mussolini menyelamatkan Italia dari Bolshevisme dan dengan demikian sedang melindungi Mussolini.[16] Paus Pius XI menggambarkan Mussolini sebagai "lelaki dengan Restu Kudus", pada sesi-sesi terakhir Perjanjian Lateran.[16] Pers menggambarkan pidato-pidatonya sebagai pertemuan suci antara Duce dan rakyat.[18] Gaya oratori Mussolini yang melodramatik penuh dengan pose-pose dan gerakan tangan yang berlebihan serta perubahan suara dan nada yang berbeda jauh.[19] Mussolini menginginkan pidato-pidatonya menjadi pertunjukan teatrikal yang menginspirasi rasa percaya. Ia pernah menyatakan bahwa: "orang ramai tidak perlu tahu, mereka hanya perlu percaya." [19]
Selain digambarkan sebagai pilihan Tuhan, rezim juga menggambarkan Mussolini sebagai figur yang mampu melakukan segalanya, atau bahkan memiliki sifat-sifat dewa, seperti mampu bekerja dalam jumlah waktu yang tak mungkin dilakukan manusia biasa (14 hingga 16 jam per hari) tanpa tampak lelah.[20] Koran-koran fasis bahkan mengimplikasikan bahwa Mussolini mampu melakukan mukjizat, seperti mampu menghentikan gerakan lava di Gunung Etna dan menurunkan hujan di Libya yang waktu itu sedang kekeringan, dalam kunjungannya ke daerah itu pada tahun 1937.[21] Ada pula sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki bisu-tuli yang sembuh sepenuhnya setelah mendengarkan suara Duce. Cerita ini masuk ke dalam buku pelajaran sekolah dasar.[22]
Meskipun penampilannya tampak garang, koran-koran tetap menyebarkan pencitraan bahwa ia lebih mencintai kedamaian daripada orang lain.[23]
Pencitraannya juga ditampilkan sebagai seseorang yang telah meningkatkan kualitas moral, material, dan spiritual rakyat Italia.[24]
Sebelum ia naik takhta, ia sudah dianggap sebagai Duce dan sudah dijadikan lagu.[25]
Perang melawan Etiopia dianggap sebagai kelahiran kembali Kekaisaran Romawi. Mussolini, dalam hal ini, disamakan dengan Kaisar Augustus.[26]
Untuk memperbaiki citra fasisme di daerah Afrika Utara dan Levant, dan untuk mendapatkan dukungan orang Arab, Mussolini memaksa agar dirinya ditahbiskan sebagai "Pelindung Islam" saat kunjungan resmi ke Libya pada tahun 1937.[27]
Aksi
[sunting | sunting sumber]Gerakan fasisme sangat mengedepankan aksi dan kekerasan, menghindari pembicaraan dan akal sehat. Hal ini sebagian disebabkan oleh Perang Dunia II[28] dan dilakukan agar mereka bisa mengklaim konsep apa pun, lalu meninggalkannya begitu saja.[29]
Masalah-masalah ekonomi ditampilkan dalam cara yang heroik dan militeristik. Program-program ekonomi diberikan nama-nama perang berbau Romawi seperti Pertempuran Gandum atau Pertempuran Lira.[30]
Urusan militer juga dipuji secara langsung. Tujuannya adalah untuk mempertontonkan keunggulan angkatan darat, laut, dan udara.[31] Perang dianggap maskulin dan kehamilan dianggap feminin, dan dengan demikian negara tidak mungkin mengabaikan angkatan bersenjatanya.[32]
Perang dan pembunuhan dipuja-puja sebagai esensi kelaki-lakian.[9] Sebuah ensiklopedi fasis mengatakan bahwa "Tidak ada hal apa pun dalam sejarah yang dimenangkan tanpa pertumpahan darah."[33] Dasar bagi konsep ini sudah ada pada Perang Dunia I, ketika terdapat pemikiran bahwa penderitaan memang harus ada untuk menggapai kebesaran.[34] Dalam propaganda fasis, Perang Dunia I sering sekali ditampilkan. Medali-medali Perang Dunia I milik para fasis yang lebih terkenal sering sekali ditampilkan.[35] Bagi tokoh-tokoh seperti Gabriele d'Annunzio, kembalinya kedamaian dianggap sebagai kembalinya kerusuhan dan yang ideal adalah perang berkelanjutan. Topik ini dibawa terus dalam propaganda fasis.[36] Tidak berapa lama sebelum Mussolini naik takhta, ia mengatakan bahwa kekerasan lebih baik daripada pertimbangan dan akal sehat.[37] Setelah ia naik takhta, terjadi sebuah periode absensi militer yang panjang. Meskipun demikian, pemerintah tetap membuat pernyataan-pernyataan yang "garang" dan bernada permusuhan.[38] Dalam wawancara yang muncul di pers asing, apabila Mussolini mengatakan ia menginginkan damai, bagian itu selalu disensor sebelum muncul dalam koran Italia.[23] Penjajahan Albania ditampilkan sebagai aksi agresif yang hebat.[39] Ketika Perang Dunia II hampir dimulai, Mussolini sempat mengklaim bahwa ia mampu mengirimkan tentara 8 juta orang. Klaim ini segera dinaikkan ke angka 9 juta, lalu ke angka 12 juta.[40] Posisi permusuhan ini kemudian mempermalukan diri sendiri ketika Perang Dunia II meletus dan Italia tidak turut ke dalam perang. Segala upaya propaganda yang dilakukan sebelumnya pun menjadi rusak.[41]
Orang Italia diberi panggilan seperti legiuner Romawi, sementara musuh-musuhnya digambarkan sebagai orang-orang yang lemah dan mudah tergoda uang.[42] Yang menjadi target utama propaganda dan penghinaan adalah Inggris,[43] meskipun setelah itu, Prancis dan Amerika Serikat juga turut menjadi target.[44]
Heroisme dilebih-lebihkan. Kekerasan yang dilakukan fasis dianggap sebagai cara yang sah untuk mengambil kekuasaan.[45] Pertempuran Roma ditampilkan secara mitis sebagai perebutan kekuasaan yang berdarah-darah dan heroik.[46]
Dalam kebudayaan, futurisme adalah genre yang mendominasi. Genre ini dianggap berguna bagi fasisme karena elemen-elemen militeristiknya.[47]
Persatuan
[sunting | sunting sumber]Persatuan nasional dan sosial disimbolkan dengan fasces, yaitu stik-stik kayu yang lebih kuat ketika bersama-sama daripada ketika sendirian.[48] Penggambaran ini bermula dari tema-tema militer dalam Perang Dunia I, ketika orang Italia harus bersatu.[49] Saat mempersiapkan Pawai ke Roma, secara terbuka Mussolini mengklaim bahwa kaum fasis berani membunuh atau mati kalau yang menjadi taruhan adalah negaranya.[50] Dalam cara yang sama, ia mengklaim bahwa negara tidak melemahkan individu, seperti seorang tentara tidak dilemahkan oleh sisa kelompoknya.[51] Hal ini terang-terangan mencerminkan penolakan individualisme liberal. Di dalam fasces terdapat pula kapak, yaitu aspek penghukuman.[52] Selain itu, fasisme juga merupakan sebuah ideologi totalitarian yang menekankan pengalaman total. Seseorang tidak mungkin menjadi fasis hanya dalam posisi politik. Dengan demikian, fasisme menolak pembedaan antara konsep ruang publik dan ruang privat ala liberalisme.[53] Fasisme bukanlah sebuah partai, melainkan sebuah gaya hidup.[54] Negara korporatis itu ditampilkan sebagai sebentuk pemersatu politik, berlawanan dengan demokrasi liberal.[55] Fasisme dipersamakan dengan negara, dan negara dipersamakan dengan semua hal.[56]
Pekerjaan disampaikan sebagai kerja sosial karena Italia lebih besar daripada sasaran pribadi apa pun.[57] Sarang lebah ditampilkan sebagai model industri dan model harmoni.[58]
Lebih lanjut, dengan kesan kesatuan ini, negara dapat menjustifikasi kebutuhannya akan militer.[59] Hukuman yang diberikan Liga Bangsa-bangsa kepada Italia, ketika Italia menyerang Etiopia, digunakan untuk mempersatukan negara melawan "agresi" ini.[60]
Imperium Italia
[sunting | sunting sumber]Salah satu tema yang sering dimainkan propaganda Italia adalah membangkitkan kembali kejayaan zaman Romawi kuno.[61] Salah satu hal yang diperjuangkan adalah pengambilan kembali kendali atas Mare Nostrum, "Laut Kami", panggilan Laut Mediterania di zaman Romawi.[62] Prancis, Inggris, dan kekuatan lain dihina karena dianggap merintangi jalan Italia.[63] Ada usaha besar untuk meningkatkan antusiasme publik atas kolonialisme pada tahun 1930an.[64]
Selain aspek simbolis, fasces juga digunakan oleh liktor Romawi kuno sebagai representasi otoritas.[65] Tanggal 21 April, ulang tahun kota Roma, dianggap sebagai sebuah hari libur fasis, sebagai tandingan dari Hari Buruh kaum sosialis dan merayakan "kerja" dan "disiplin".[66] Peran Roma dalam mendirikan agama Kristen sebagai agama universal juga dipuji.[66]
Arsitektur juga digunakan untuk menambahkan kesan revitalisasi Romawi dengan cara menempatkan monumen modern dengan bangunan tua, seperti misalnya Via dell'Impero.[67][68] Di kota Roma, proyek-proyek propaganda yang berbau arkeologis yang dilakukan dengan cara membuka kembali (terutama dengan cara menghancurkan bangunan-bangunan Abad Pertengahan yang ada di sekitarnya), mengisolasi, atau merestorasi monumen-monumen kunci seperti Ara Pacis atau Mausoleum Kaisar Augustus mendapatkan dukungan besar dari rezim fasis.[66][68] Sebuah acara propaganda besar, pembukaan "Pameran Romanitas Kaisar Augustus", diadakan pada tanggal 23 September 1937. Acara ini dilakukan untuk merayakan ulang tahun Kaisar Augustus yang ke-2000.[69] Acara itu menekankan koneksi simbolis antara kepemimpinan Kaisar Augustus dan kediktatoran Mussolini.[70] Di pintu masuk pameran terdapat sebuah kutipan dari Mussolini: "Rakyat Italia, kalian perlu memastikan bahwa kejayaan kita di masa lalu dapat dilewati oleh kemenangan kita di masa depan."[71] Kota Roma dapat dianggap sebagai sebuah titik referensi mimpi rasis untuk menciptakan sebuah Italia yang agresif dan melihat ke masa depan.[66] Setelah sukses dalam pertempuran melawan Etiopia dan pendirian Imperium Italia, propaganda rezim yang menggambarkan fasisme kini bahkan mulai bergerak dari masa lalu Romawi.[72]
Spazio vitale
[sunting | sunting sumber]Spazio vitale adalah ruang hidup (atau ruang vital). Menurut propaganda fasis, ruang ini perlu diambil alih dan diperjuangkan. Dengan demikian, negara akan menjadi kuat karena memiliki populasi tambahan. Para kaum tidak bekerja dan tidak memiliki tanah juga akan dapat dipekerjakan di ladang, mereka akan mampu membeli barang-barang Italia, dan digunakan sebagai prajurit batasan.[73] Jutaan orang Italia dapat tinggal di Etiopia. Klaim-klaim berlebihan dibuat mengenai sumber daya alam yang ada di Etiopia.[74]
Hal ini akan memperbaiki situasi Italia setelah Perang Dunia I. Saat itu, sekutu-sekutu Italia bermain curang dan membuat Italia mengekspansi wilayah hingga ke tanah bekas Kerajaan Austro-Hungaria dan Kesultanan Usmaniyah.[75]
Fertilitas
[sunting | sunting sumber]Di satu sisi, rezim fasis Italia menyatakan bahwa populasi harus dikurangi, tetapi di sisi lain juga mengatakan bahwa fertilitas harus diperbaiki. Hal ini dilakukan dengan cara menghina laki-laki yang gagal menciptakan keturunan dan perempuan yang senang berpakaian gaya Paris dan tidak mampu melahirkan.[76] Slogan-slogan menggambarkan maternitas sebagai bentuk patriotisme perempuan.[77] Mussolini menyuruh kepala organisasi wanita di bawah rezim fasis untuk pulang dan memberi tahu para perempuan bahwa mereka harus melahirkan banyak anak.[78] Untuk membantu "pertempuran kelahiran" ini, pemerintah memberikan layanan kepada ibu dan bayi. Penciptaan organisasi yang dapat membantu dalam hal ini pun digalakkan.[79] Kontrasepsi dianggap sebagai kambing hitam atas banyak masalah kesehatan.[80]
Mussolini juga menghimbau kaum yang tinggal di Italia pedesaan agar memperbanyak tingkat kelahiran.[81]
Mussolini mengklaim bahwa "pertempuran" untuk menguasai lahan dan meningkatkan produksi gandum, sudah memproduksi cukup banyak lahan dan pangan, dan Italia mampu menahan 10 juta orang lagi.[82]
Peradaban
[sunting | sunting sumber]Retorika fasis menggambarkan pertempuran Etiopia sebagai memajukan peradaban.[83] Negara-negara Eropa lain dihimbau agar berjuang bersama Italia untuk melawan kaum kanibal primitif dan pemilik budak ini.[84]
Pendanaan untuk peperangan ini didapatkan dari salah satu inisiatif mereka yang paling impresif, yaitu Emas untuk Bapak Pertiwi. Dalam skema ini, rakyat diajak untuk mendonasikan cincin kawin dan emas dalam bentuk lain kepada negara, untuk kemudian ditukar dengan gelang baja yang bertuliskan "Emas untuk Bapak Pertiwi". Banyak orang Italia yang berpartisipasi dalam inisiatif ini. Rachele Mussolini bahkan turut mendonasikan cincin kawinnya. Emas yang diberikan kemudian dihitung dan digunakan untuk membayar perang.[85]
Anti-Etiopia
[sunting | sunting sumber]Saat perang, propaganda tentang kekacauan Etiopia dilebih-lebihkan dan dikibarkan, antara lain tentang perlakuan terhadap narapidana dan penyalahgunaan simbol Palang Merah di instalasi-instalasi militer.[86]
Ekonomi
[sunting | sunting sumber]Ada sebuah seri kebohongan yang terhitung dengan baik yang disiarkan agar orang-orang mendukung peperangan di Etiopia. Klaim yang disampaikan adalah bahwa Italia cukup mampu bertahan dalam hal pangan dan ada jumlah minyak yang cukup untuk perang.[87]
Bolshevisme
[sunting | sunting sumber]Sosialisme, terutama yang berbentuk internasionalis, dilawan habis-habisan. Orang-orang sosialis yang ada diejek sebagai "tentara Rusia". Seorang penulis editorial yang takut bahwa kekerasan fasis akan membuat perempuan menjauh, mengatakan kepada mereka bahwa pembunuhan-pembunuhan itu memang perlu dilakukan untuk menyelamatkan Italia dari "monster Bolshevis".[88]
Dalam pidato pertama Mussolini sebagai deputi, ia mengatakan bahwa tidak ada kompromi yang dapat dibuat antara komunisme dan fasisme. Hal ini ia nyatakan bahkan sambil mengatakan bahwa fasisme mau bekerja sama dengan kelompok lain.[89]
Perang Sipil Spanyol digambarkan sebagai sebuah perang salib melawan komunisme.[90]
Budaya asing
[sunting | sunting sumber]Budaya asing yang masuk langsung diserang.[91] Secara khusus, oleh kampanye propaganda yang terorganisir ini, "Amerikanisme" dianggap sebagai "noda minyak yang menyebar di dalam hidup orang Eropa."[92] Novel-novel Prancis dan Rusia, dan buku Outline of History karya H.G. Wells, juga diserang dan dianggap sebagai racun bagi anak muda.[93] Sastra Inggris dipertunjukkan sebagai contoh bahwa orang Inggris juga sama hinanya dengan orang Prancis. Tingkat kelahiran mereka yang rendah dihina dan dikatakan bahwa Italia menyelamatkan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I.[94]
Italianisasi nama jalan dan monumen, di dalam daerah-daerah Italia yang secara linguistik lebih condong ke Slav atau Jerman, kemudian diwajibkan secara hukum. Guru-guru yang mengajar dalam bahasa lain selain bahasa Italia mengalami hukuman (lihat Katakombenschule).[95] Pada tahun 1926, hukum baru dibuat untuk mewajibkan italinisasi nama-nama belakang Slav.[95] Kelompok-kelompok olahraga juga dipaksa untuk mengitalianisasikan nama mereka, misalnya A.C. Milan berubah menjadi Milano, Internazionale diubah menjadi Ambrosiana (nama santo penjaga kota Milan).[96]
Demokrasi
[sunting | sunting sumber]Demokrasi dan liberalisme dianggap hina. Propaganda Italia mengatakan bahwa fasisme mendapat pujian dari seluruh dunia dan pekerja-pekerja Amerika Utara mengharapkan pemimpin seperti Mussolini.[97] Ia menampilkan superioritas inheren rezim otokratik dibandingkan dengan demokrasi, dengan memperbaiki masalah-masalah yang tidak pernah bisa dijawab oleh liberalisme. Pada tahun 1934, Mussolini menyatakan bahwa baik demokrasi dan liberalisme sudah mati.[98] Kultur dan moralitas borjuis dianggap sebagai bagian internal liberalisme dan ikut pula diserang. Kaum borjuasi dianggap memberikan nilai tambah pada utilitarianisme, materialisme, kesehatan dan menjaga status quo, dan bukan melaksanakan apa yang dianggap baik oleh fasisme, yaitu dinamisme, keberanian, disiplin, dan pengorbanan diri.[99] Sebuah pameran antiborjuis dibuka tanggal 29 November 1937.[99] Pameran ini menjelek-jelekkan "aspek tipikal dari mentalitas borjuis" dan menghina berbagai gestur dan kebiasaan seperti salam tangan, pemakaian jas dan topi tinggi, kebiasaan minum teh di siang hari. Semuanya digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan fasisme seperti Hormat Romawi.[99] Kalender Gregorian pun dianggap borjuis. Dalam Era Fascista, sebuah tahun dimulai pada 29 Oktober, hari setelah ulang tahun Pawai ke Roma. Tahun pun dihitung mulai dari 1922 dengan angka Romawi.[99]
Pengambilan kekuasaan oleh kaum Nazi di Jerman dianggap sebagai imitasi Jerman atas Italia, dan hal ini dikatakan akan diikuti oleh bangsa-bangsa lain.[100]
Penyerangan Etiopia digambarkan sebagai kekuatan dan idealisme Italia yang mampu menghancurkan demokrasi-demokrasi yang berlebihan, tanpa darah, dan pengecut, terutama karena mereka lebih mendukung kaum barbar ketimbang mendukung "ibu dari segala peradaban".[101]
Plutokrasi
[sunting | sunting sumber]Amerika Serikat dihina habis-habisan karena kekayaan dan posisinya.[92]
Perang Dunia II digambarkan sebagai perang melawan plutokrasi berlebihan.[102] Peperangan ini juga dianggap sebagai rintangan terbesar bagi imperialisme Italia.[63] Mussolini sudah mulai berteriak melawan opresi yang dialami Italia bahkan saat negosiasi perdamaian di Perang Dunia I dan di awal gerakan fasisme.[103]
Media
[sunting | sunting sumber]Koran
[sunting | sunting sumber]Polisi diperbolehkan menyita koran yang dikatakan memublikasikan informasi palsu yang mungkin menciptakan kebencian kelas atau kebencian terhadap pemerintah.[2] Di sisi lain, koran-koran yang pro-fasis diberikan subsidi dan pada tahun 1926, sebelum terbit, koran harus memiliki izin.[104]
Slogan
[sunting | sunting sumber]Slogan digunakan secara luas dan ditulis pada dinding-dinding.[105]
Posters
[sunting | sunting sumber]Seniman-seniman grafik ternama di Italia memproduksi poster fasis.[106]
Selama Perang Dunia II, untuk melawan pamflet Inggris yang menyatakan bahwa bom adalah kutukan Garibaldi, ada poster-poster yang menyatakan bahwa kekalahan kaum Inggris akan berujung lebih parah daripada bom, yaitu pada barbarisme.[107] Kaum Amerika digambarkan siap merampas kekayaan Italia.[107]
Pameran
[sunting | sunting sumber]Pameran Revolusi Fasis digunakan sebagai propaganda untuk menggambarkan sejarah Italia dalam Pawai ke Roma. Hal ini dilakukan agar para pengunjung dapat berhubungan dengan Italia fasis secara emosional.[105]
Pawai
[sunting | sunting sumber]Dua pawai besar digunakan sebagai propaganda: Pawai ke Roma, ketika Mussolini mengambil kekuasaan, dan Pawai Kekuasaan Besi, ketika ibu kota Etiopia berhasil dikuasai.[76] Konsep "Pawai ke Roma" ini digunakan untuk menginspirasi heroisme dan perjuangan. Kaum fasis juga menggunakan konsep ini secara penuh.[108]
Musik
[sunting | sunting sumber]Lagu-lagu dan nyanyian digunakan secara luas untuk kegunaan propaganda. Bahkan sebelum mengambil kekuasaan, Mussolini sudah dipuji dalam lagu.[25] Lagu kebangsaan Italia fasis adalah Giovinezza ("Masa Muda").[109]
Radio
[sunting | sunting sumber]Radio digunakan sebagai alat utama propaganda rakyat saat radio mulai digunakan secara luas di rezim fasis.[110] Radio digunakan untuk menyiarkan pidato terbuka Mussolini dan sebagai instrumen untuk mempropaganda anak muda.[111] Penulis dari Amerika, Ezra Pound, juga menyiarkan propaganda ke Amerika Serikat lewat radio gelombang pendek.[112]
Film
[sunting | sunting sumber]Film tidak digunakan secara luas untuk propaganda karena rakyat Italia tidak terlalu tertarik dengan film "serius" yang diproduksi pemerintah. Akan tetapi, sensor tetap digunakan untuk menghindari materi-materi yang tidak diinginkan. Sebuah badan pemerintah didirikan untuk memproduksi film dokumenter tentang pencapaian-pencapaian para fasis.[113]
Sekolah
[sunting | sunting sumber]Kurikulum sekolah segera dibenahi untuk kegunaan para fasis. Kaum Nazi Jerman kemudian mengakui telah mengimitasi beberapa pembenahan-pembenahan fasis Italia ini. Tidak beberapa lama, anak-anak sekolah dasar menghabiskan 20% waktu mereka untuk belajar cara menjadi fasis yang baik.[114] Guru-guru akan dikeluarkan apabila mereka tidak mau patuh. Buku-buku pelajaran diwajibkan untuk menekankan "jiwa fasis".[115]
Kelompok anak muda
[sunting | sunting sumber]Fasis Muda dan Kelompok Fasis Universitas didirikan untuk mengarahkan anak-anak muda kepada Partai Fasis. Selama beberapa tahun, kelompok-kelompok ini adalah sumber satu-satunya anggota baru partai.[116] Mahasiswa baru dengan cepat menyadari bahwa mereka harus masuk ke dalam kelompok-kelompok fasis ini agar bisa naik kelas.[117] Mussolini mengklaim bahwa kegunaannya adalah untuk menginspirasi anak muda agar mengambil dan memperjuangkan kemenangan, dan agar menjadi fasis yang baik.[118]
Hingga usia 14 tahun, kelompok-kelompok ini pada dasarnya berisi olahraga agar badan bugar, tetapi setelah umur 14 tahun, diadakan pula latihan-latihan militer.[119] Mereka diberikan nyanyian dan perintah untuk mengubah pandangan.[120] Semua hal, mulai dari institut kebudayaan hingga piknik, diadakan untuk mengonsolidasi kegiatan tentang fasisme.[115]
Dopolavoro
[sunting | sunting sumber]Artikel ini tidak lengkap. Silakan bantu memperbaiki artikel ini, atau diskusikan hal ini di halaman pembicaraan. |
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]- Propaganda Nazi
- Propaganda Jepang pada Perang Dunia II
- Propaganda Amerika pada Perang Dunia II
- Propaganda Inggris pada Perang Dunia II
- Propaganda Uni Soviet
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p. 25–26 ISBN 0-375-40881-9
- ^ a b Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p70-1 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 85 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p. 25 ISBN 0-375-40881-9
- ^ "The Doctrine of Fascism - Benito Mussolini (1932)". WorldFutureFund.org. 8 January 2008.
- ^ a b Alastair Hamilton, The Appeal of Fascism p73 Macmillan New York 1971
- ^ Christopher Duggan, 2008, The Force of Destiny: A History of Italy Since 1796, p. 479 Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 0-618-35367-4
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p. 37 ISBN 0-679-43809-2
- ^ a b R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p3 ISBN 1-59420-078-5
- ^ a b Professor John Pollard, Mussolini's Rivals: The Limits of the Personality Cult in Fascist Italy
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, pp. 212–13 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ a b Simonetta Falasca-Zamponi (2000), Fascist spectacle: the aesthetics of power in Mussolini's Italy, University of California Press, pp. 68-70, ISBN 0-520-22677-1
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, pp. 206–07 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ a b c d e Falasca-Zamponi, S. (2000), pp. 72–73
- ^ Christopher Duggan, 2008, The Force of Destiny: A History of Italy Since 1796, pp. 479–480 Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 0-618-35367-4
- ^ a b c Falasca-Zamponi (2000), pp. 65–66
- ^ a b Christopher Duggan, 2008, The Force of Destiny: A History of Italy Since 1796, p. 479 Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 0-618-35367-4
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 11 ISBN 1-59420-078-5
- ^ a b Christopher Duggan, 2008, The Force of Destiny: A History of Italy Since 1796, pp. 477–478 Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 0-618-35367-4
- ^ Falasca-Zamponi (2000), pp. 67-68
- ^ Falasca-Zamponi (2000), p. 71
- ^ Christopher Duggan, 2008, The Force of Destiny: A History of Italy Since 1796, p. 478 Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 0-618-35367-4
- ^ a b Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 124 ISBN 0-670-49652-9
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p 110 New York University Press New York 1971
- ^ a b Max Gallo, Mussolini's Italy, p126 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p. 329 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Manuela A. Williams, Mussolini's propaganda abroad: subversion in the Mediterranean and the Middle East, 1935-1940, p. 112, Taylor & Francis, 2006 ISBN 0-415-35856-6
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p22 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p. 28 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p. 130 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 50 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 54–5 ISBN 0-670-49652-9
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p. 108 New York University Press New York 1971
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p66-7 ISBN 1-59420-078-5
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 79 ISBN 1-59420-078-5
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p. 37–8 New York University Press New York 1971
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 195 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 204 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 153 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 169 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Gerhard L. Weinberg, Visions of Victory: The Hopes of Eight World War II Leaders p. 45 ISBN 0-521-85254-4
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p84 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 85 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 86 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 134 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p. 27 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Michael Arthur Ledeen, Universal Fascism p5 Howard Pertig New York 1972
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p5 ISBN 1-59420-078-5
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p67 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p179 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p. 112 New York University Press New York 1971
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p15-6 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p16 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p69 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p. 29 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 219 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 227 ISBN 1-59420-078-5
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 239 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 56 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 70-1 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p67 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p70 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ a b R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p12 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 42-3 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p69-70 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ a b c d Falasca-Zamponi, S. (2000), pp. 91-92
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p13 ISBN 1-59420-078-5
- ^ a b Dyson, S.L (2006). In pursuit of ancient pasts: a history of classical archaeology in the nineteenth and twentieth centuries. pp. 177-178.
- ^ The Augustan Exhibition of Romanitas / The History of the museum - Museo della Civiltà Romana
- ^ Falasca-Zamponi, S. (2000), p. 93
- ^ Feinstein, W. (2003). The civilization of the Holocaust in Italy: poets, artists, saints, anti-semites. Fairleigh Dickinson Univ Press, ISBN 0-8386-3988-7, p. 22.
- ^ Falasca-Zamponi, S. (2000), p. 94
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p555 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 64 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Gerhard L. Weinberg, Visions of Victory: The Hopes of Eight World War II Leaders p. 42 ISBN 0-521-85254-4
- ^ a b Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p554-5 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p81 ISBN 0-679-43809-2
- ^ Mark Mazower, Dark Continent: Europe's 20th Century p83 ISBN 0-679-43809-2
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p244 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 93 ISBN 0-670-49652-9
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 245 ISBN 1-59420-078-5
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p. 111 New York University Press New York 1971
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p322 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 65 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p.322-3 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Michael Burleigh, Moral Combat: Good And Evil In World War II, p. 9 ISBN 978-0-06-058097-1
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 63–64 ISBN 0-670-49652-9
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p.146 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 122 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p 132 New York University Press New York 1971
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 27–28 ISBN 0-670-49652-9
- ^ a b Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 28 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 29 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 93–94 ISBN 0-670-49652-9
- ^ a b Ebner, M.R. (2010). Ordinary Violence in Mussolini's Italy, Cambridge University Press, ISBN 0-521-76213-8, p. 189
- ^ Kassimeris, C. (2008). European football in black and white: tackling racism in football, Lexington Books, ISBN 0-7391-1960-5, p. 20
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 48 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p 54 ISBN 0-670-49652-9
- ^ a b c d Falasca-Zamponi (2000), pp. 104–105
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 49 ISBN 0-670-49652-9
- ^ Denis Mack Smith, Mussolini's Roman Empire, p. 71 ISBN 0-670-49652-9
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p. 9 ISBN 1-59420-078-5
- ^ R. J. B. Bosworth, Mussolini's Italy, p99 ISBN 1-59420-078-5
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 71 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ a b Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 81 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 81-2 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ a b Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p87 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ H.R. Kedward, Fascism in Western Europe 1900-45, p. 45 New York University Press New York 1971
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p129 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ Piers Brendon, The Dark Valley: A Panorama of the 1930s, p. 554 ISBN 0-375-40881-9
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 80–81 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 88 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 77 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 71–72 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ a b Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 220 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York
- ^ Michael Arthur Ledeen, Universal Fascism p10 Howard Pertig New York 1972
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 72 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Michael Arthur Ledeen, Universal Fascism p11 Howard Pertig New York 1972
- ^ Anthony Rhodes, Propaganda: The art of persuasion: World War II, p. 72–73 1976, Chelsea House Publishers, New York
- ^ Max Gallo, Mussolini's Italy, p. 221 Macmillan Publishing Co. Inc., 1973 New York