Lompat ke isi

Konservatisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante.

Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan.”[1] Roger Scruton menyebutnya sebagai “pelestarian ekologi sosial” dan “politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial.”[2]

Perkembangan pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Konservatisme belum pernah, dan tidak pernah bermaksud menerbitkan risalat-risalat sistematis seperti Leviathan karya Thomas Hobbes atau Dua Risalah tentang Pemerintahan karya Locke. Akibatnya, apa artinya menjadi seorang konservatif pada masa sekarang sering kali menjadi pokok perdebatan dan topik yang dikaburkan oleh asosiasi dengan bermacam-macam ideologi atau partai politik (dan yang sering kali berlawanan). R.J. White pernah mengatakannya demikian:

"Menempatkan konservatisme di dalam botol dengan sebuah label adalah seperti berusaha mengubah atmosfer menjadi cair … Kesulitannya muncul dari sifat konservatisme sendiri. Karena konservatisme lebih merupakan suatu kebiasaan pikiran, cara merasa, cara hidup, daripada sebuah doktrin politik."[3]

Meskipun konservatisme adalah suatu pemikiran politik, sejak awal, ia mengandung banyak alur yang kemudian dapat diberi label konservatif, baru pada Masa Penalaran, dan khususnya reaksi terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar Revolusi Prancis pada 1789, konservatisme mulai muncul sebagai suatu sikap atau alur pemikiran yang khas. Banyak orang yang mengusulkan bahwa bangkitnya kecenderungan konservatif sudah terjadi lebih awal, pada masa-masa awal Reformasi, khususnya dalam karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh, Richard Hooker – yang menekankan pengurangan dalam politik demi menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan menuju keharmonisan sosial dan kebaikan bersama. Namun baru ketika polemic Edmund Burke muncul - Reflections on the Revolution in France - konservatisme memperoleh penyaluran pandangan-pandangannya yang paling berpengaruh.

Edmund Burke (1729-1797)

Negarawan Inggris-Irlandia Edmund Burke, yang dengan gigih mengajukan argumen menentang Revolusi Prancis, juga bersimpati dengan sebagian dari tujuan-tujuan Revolusi Amerika. Tradisi konservatif klasik ini sering kali menekankan bahwa konservatisme tidak mempunyai ideologi, dalam pengertian program utopis, dengan suatu bentuk rancangan umum. Burke mengembangkan gagasan-gagasan ini sebagai reaksi terhadap gagasan 'tercerahkan' tentang suatu masyarakat yang dipimpin oleh nalar yang abstrak. Meskipun ia tidak menggunakan istilah ini, ia mengantisipasi kritik terhadap modernisme, sebuah istilah yang pertama-tama digunakan pada akhir abad ke-19 oleh tokoh konservatif keagamaan Belanda Abraham Kuyper. Burke merasa terganggu oleh Pencerahan, dan sebaliknya menganjurkan nilai tradisi.

Sebagian orang, kata Burke, tidak cukup mempunyai nalar dibandingkan orang lain, dan karena itu sebagian dari mereka akan menciptakan pemerintahan yang lebih buruk daripada yang lainnya bila mereka benar-benar mengandalkan nalar. Bagi Burke, rumusan yang semestinya tentang pemerintahan tidak diperoleh dari abstraksi seperti "Nalar," melainkan dari perkembangan negara sesuai dengan apa yang dihargai zaman dan lembaga-lembaga penting masyarakat lainnya seperti keluarga dan Gereja.


Meskipun secara nominal Konservatif, Disraeli bersimpati dengan beberapa tuntutan dari kaum Chartis dan membela aliansi antara kaum bangsawan yang bertanah dengan kelas pekerjaan dalam menghadapi kekuatan kelas menengah yang meningkat. Ia membantu pembentukan kelompok Inggris Muda pada 1842 untuk mempromosikan pandangan bahwa yang kaya harus menggunakan kekuasaan mereka untuk melindungi yang miskin dari eksploitasi oleh kelas menengah. Perubahan Partai Konservatif menjadi suatu organisasi massa modern dipercepat oleh konsep tentang "Demokrasi Tory " yang dihubungkan dengan Lord Randolph Churchill.

Sebuah koalisi Liberal-Konservatif pada masa Perang Dunia I berbarengan dengan bangkitnya Partai Buruh, mempercepat runtuhnya kaum Liberal pada 1920-an. Setelah Perang Dunia II, Partai Konservatif membuat konsesi-konsesi bagi kebijakan-kebijakan sosialis kaum Kiri. Kompromi ini adalah suatu langkah pragmatis untuk memperoleh kembali kekuasaan, tetapi juga sebagai akibat dari sukses-sukses awal dari perencanaan terpusat dan kepemilikan negara yang menciptakan suatu consensus lintas-partai. Hal ini dikenal sebagai 'Butskellisme', setelah kebijakan-kebijakan Keynesian yang hampir identik dari Rab Butler atas nama kaum Konservatif, dan Hugh Gaitskell untuk Partai Buruh.

Namun demikian, pada 1980-an, di bawah pimpinan Margaret Thatcher, dan pengaruh Sir Keith Joseph, Partai ini kembali ke gagasan-gagasan ekonomi liberal klasik, dan swastanisasi dari banyak perusahaan negara pun diberlakukan. Untuk pembahasan lebih terinci, lihat Sejarah Partai Konservatif.

Warisan Thatcher bersifat campuran. Sebagian komentator menyatakan bahwa ia menghancurkan konsensus tradisional dan filosofi Partai, dan, dengan melakukan hal itu, menicptakan suatu situasi di mana masyarakat tidak benar-benar tahu nilai-nilai apa yang dipegang oleh Partai. Kini Partai Konservatif sibuk mencoba mencari jati dirinya kembali.

Lukisan yang berjudul: Konservatisme

Di bagian-bagian lain dari Eropa, konservatisme arus utama sering kali diwakili oleh partai-partai Kristen Demokrat. Mereka membentuk faksi besar Partai Rakyat Eropa di Parlemen Eropa. Asal usul partai-partai ini umumnya adalah partai-partai Katolik dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan ajaran sosial Katolik sering kali menjadi inspirasi awal mereka. Setelah bertahun-tahun, konservatisme pelan-pelan menjadi inspirasi ideologis utama mereka, dan mereka umumnya menjadi kurang Katolik. CDU, partai saudaranya di Bavaria Persatuan Sosial Kristen (CSU), dan Seruan Demokrat Kristen (CDA) di Belanda adalah partai-partai Protestan-Katolik.

Di negara-negara Nordik, konservatisme diwakili dalam partai-partai konservatif liberal seperti Partai Moderat di Swedia dan Partai Rakyat Konservatif di Denmark. Secara domestik, partai-partai ini umumnya mendukung kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar, dan biasanya memperoleh dukungan dari komunitas bisnis serta kaum profesional kerah putih. Secara internasional, mereka umumnya mendukung Uni Eropa dan pertahanan yang kuat. Pandangan-pandangan mereka tentang masalah-masalah sosial cenderung lebih liberal daripada, misalnya, Partai Republik Amerika Serikat. Konservatisme sosial di negara-negara Nordik sering kali ditemukan dalam partai-partai Kristen Demokrat mereka. Di beberapa negara Nordik, partai-partai populis sayap kanan telah memperoleh dukungan sejak 1970-an. Politik mereka telah dipusatkan pada pemotongan pajak, pengurangan imigrasi, dan undang-undang yang lebih keras dan kebijakan-kebijakan ketertiban.

Pada umumnya, orang dapat mengklaim bahwa kaum konservatif Eropa cenderung lebih moderat dalam berbagai isu sosial dan ekonomi, daripada konservatif Amerika. Mereka cenderung cukup bersahabat dengan tujuan-tujuan negara kesejahteraan, meskipun mereka juga prihatin dengan lingkungan bisnis yang sehat. Namun demikian, beberapa kelompok cenderung lebih mendukung agenda-agenda libertarian atau laissez-faire yang lebih konservaitf, khususnya di bawah pengaruh Thatcherisme. Kelompok-kelompok konservatif Eropa sering memandang diri mereka sebagai pengawal-pengawal kebijaksanaan, moderasi, pengalaman historis yang sudah teruji, dibandingkan dengan radikalisme dan percobaan sosial. Persetujuan dari budaya tinggi dan lembaga-lembaga politik yang mapan seperti monarki ditemukan dalam konservatisme Eropa. Kelompok-kelompok konservatif arus utama sering kali adalah pendukung-pendukung gigih Uni Eropa. Namun demikian, kaum tradisional juga dapat menemukan pula unsur-unsur nasionalisme di banyak negara.

Di Tiongkok konservatisme didasarkan pada ajaran-ajaran Kong Hu Cu. Kong Hu Cu yang hidup pada masa kekacauan dan peperangan antara berbagai kerajaan, banyak menulis tentang pentingnya keluarga, kestabilan sosial, dan ketaatan terhadap kekuasaan yang adil. Gagasan-gagasannya terus menyebar di masyarakat Tiongkok. Konservatisme Tiongkok yang tradisional yang diwarnai oleh pemikiran Kong Hu Cu telah muncul kembali pada tahun-tahun belakangan ini, meskipun selama lebih dari setengah abad ditekan oleh pemerintahan Marxis-Leninis yang otoriter.

Setelah kematian Mao pada 1976, tiga faksi berebutan untuk menggantikannya: kaum Maois garis keras, yang ingin melanjutkan mobilisasi revolusioner; kaum restorasionis, yang menginginkan Tiongkok kembali ke model komunisme Soviet; dan para pembaharu, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, yang berharap untuk mengurangi peranan ideology dalam pemerintahan dan merombak ekonomi Tiongkok.

Nilai-nilai Tiongkok yang tradisional telah muncul dengan cukup kuat, meskipun lama ditekan oleh rezim komunis yang revolusioner. Saat ini, Partai Komunis Tiongkok dikelola oleh para teknokrat, yang mengusahakan stabilitas dan kemajuan ekonomi, sementara menindas kebebasan berbicara dan agama. Partai dilihat oleh sebagian orang sebagai penerima Mandat Surgawi, sebuah gagasan Tiongkok tradisional. Partai Komunis menjinakkan dirinya sendiri dan tidak lagi secara konsisten menganjurkan teori Marxis yang revolusioner, dan sebaliknya berpegang pada fleksibilitas ideologist teologi yang konsisten dengan ucapan Deng Xiaoping, yakni mencari kebenaran di antara fakta.

Cinta tanah air dan kebanggaan nasional telah muncul kembali seperti halnya pula tradisionalisme. Nasionalisme Tiongkok cenderung mengagung-agungkan negara Tiongkok yang sangat tersentralisasi dan kuat. Pemerintah berusaha untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan warga negaranya serta orang-orang Tiongkok yang baru-baru ini pindah ke luar negeri. Sebuah buku laris baru-baru ini China Can Say No mengungkapkan sebuah sentiment yang mendukung sebuah cara Tiongkok yang unik yang, dengan terus terang, tidak perlu melibatkan norma-norma Amerika, seperti individualisme dan liberalisme Barat. Selain itu, nasionalisme Tiongkok masih mungkin akan berkembang, karena generasi para pemimpin Tiongkok akan bertumbuh dalam lingkungan yang dipenuh dengan semangat nasionalisme.

Sejak 1990-an, telah muncul gerakan neo-konservatif di Tiongkok (tidak ada kaitannya dengan gerakan neo-konservatif di AS).

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ www.samfrancis.net
  2. ^ "profam.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-06. Diakses tanggal 2007-02-15. 
  3. ^ Sebagai bagian dari pengantar dari The Conservative Tradition, ed. R.J. White (London: Nicholas Kaye, 1950)

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]