Filsafat hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Filsafat hak asasi manusia mengemukakan permasalahan tentang keberadaan, muatan/isi, sifat, universalitas, justifikasi atau pembenaran, dan status hukum hak asasi manusia. Sementara, pengertian hak asasi manusia itu sendiri kerap menjadi debat moral dan politik. Hak asasi manusia yang otomatis melekat pada diri individu sejak lahir hingga akhir hayat, merupakan jaminan moral yang memiliki landasan filosofi serta wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Segala tanggung jawab terkait hak asasi manusia sering kali memerlukan tindakan yang melibatkan rasa hormat, perlindungan, fasilitasi, dan kelengkapan, maka di sinilah negara hadir. Negara yang berprinsip negara hukum, wajib memberikan jaminan secara konstitusional bahwa setiap warga negaranya dapat memperoleh haknya. Bahkan, negara yang diakui kedaulatannya di dunia ini harus memastikan bahwa tiap-tiap warga negaranya tidak direpresi untuk menyandang hak asasinya apapun kedudukan yang dimiliki. Negara harus memfasilitasi hak asasi setiap warga negara dengan mengaturnya melalui hukum dan undang-undang, bahkan negara pun tidak diperbolehkan untuk menghilangkan hak asasi yang memang semestinya menjadi anugerah dari Yang Mahakuasa untuk setiap insan. Hak asasi manusia bersifat mutlak dan kekal sehingga tidak dibatasi jangka waktu tertentu. Hak asasi manusia, tanpa terkecuali, berlaku untuk setiap insan di mana pun berada di dunia ini dan pada saat yang sama, tiap-tiap orang wajib menghargai hak asasi yang dimiliki orang lain. Hak asasi difokuskan pada kebebasan, perlindungan, status, maupun faedah bagi seseorang.[1]

Norma hak asasi manusia bisa saja terwujud sebagai norma yang disepakati bersama dan berasal dari moralitas manusia, norma moral yang dibenarkan dan didukung oleh alasan-alasan yang kuat, hak legal di tingkat nasional di mana hak tersebut disebut sebagai hak masyarakat atau hak konstitusional, ataupun hak legal yang diakui oleh hukum internasional. Hak asasi manusia bersifat universal. Setiap orang memiliki hak asasi, tanpa adanya pengecualian, warga negara atau mungkin—karena satu dan lain hal—bukan warga negara mana pun, secara alamiah, tiap orang sejak lahir mempunyai hak asasi, tanpa pandang bulu. Hak asasi manusia tidak hanya dimiliki orang dewasa usia produktif saja, bayi berusia satu bulan pun memiliki hak asasi. Hak asasi manusia tidak dimiliki hanya golongan, agama, suku, atau ras tertentu saja. Bahkan perbedaan hukum ataupun budaya masing-masing negara, tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk memiliki hak asasi. Meskipun seseorang sedang tidak berada di negaranya sendiri dengan suatu alasan, entah dalam kunjungan diplomatik, perjalanan bisnis, liburan, atau bekerja, baik itu sebagai pelajar atau bahkan sebagai pengungsi yang dalam hal ini salah satunya sebagai political refugee, di negara lain pun dirinya tetap memiliki hak asasi yang telah terekat sejak lahir. Hal ini menjadikan hak asasi bersifat mutlak menjadi milik setiap orang selama hayat dikandung badan serta tidak bisa diganggu gugat. Pun demikian, hak asasi berlaku kapan saja, tidak memandang pagi atau malam, terjadi di masa lalu atau sekarang.[2]

Dalam perjalanannya untuk dikenal sebagai konsep yang seperti sekarang ini, bahkan terus berkembang hingga di masa mendatang, hak asasi manusia dirumuskan dari berbagai pemikiran dan gagasan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkemuka memiliki kredibilitas, termasuk para filsuf. Studi tentang hakikat hak asasi manusia berkembang oleh para pemikirnya. Kebijaksanaan terkait pengetahuan tentang hak asasi manusia. Secara kritis, para pemikir mengulik kebenaran hakiki dari hak asasi manusia. Filosofi hak asasi manusia erat kaitannya dengan sejarah yang berakar di Barat Modern berkenaan riwayat latar belakang berkembangnya pemikiran filsafat di mana rakyat pada masa itu melakukan perjuangan untuk menentang kekuasaan mutlak. Para pemikir liberal Barat menghadapi kekuasaan negara yang absolut dimulai sejak awal abad 20-an. Berbagai paham filsafat memiliki dasar ideologi dan pemikirannya masing-masing mengenai hak asasi manusia, mengikuti pula filsufnya. Tiga paham dari bermacam-macam aliran ideologi yang mengemukakan teorinya tentang hak asasi manusia di antaranya individualisme, Marxisme, dan integralisme.

Paham Individualisme

Paham individualisme dikenal pula dengan paham kebebasan yang sering dirujuk sebagai liberalisme. Paham ini dikembangkan sejak masa Renaisans yang menghasilkan dunia baru disebut dengan abad individualisme yang menjadi titik tolak kemajuan sehingga dikenal pula sebagai masa pembebasan dari ikatan dan kewajiban kuno. Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary, liberalisme pada bidang keagamaan adalah sebuah pergerakan dalam Protestanisme modern yang menekankan kebebasan intelektual serta muatan spiritual dan etika Kristiani. “A movement in modern Protestantism emphasizing intellectual liberty and the spiritual and ethical content of Christianity."[3] Masih menurut kamus Webster, bila makna ditinjau secara ekonomi, liberalisme adalah teori ekonomi yang menekankan kebebasan atau kemerdekaan individual dari pengekangan dan biasanya didasarkan pada kompetisi bebas, pasar dengan aturan mandiri, dan ditetapkan berdasarkan standar emas.[4]A theory in economics emphasizing individual freedom from restraint and usually based on free competition, the self-regulating market, and the gold standard.” Dalam bidang filsafat, liberalisme dapat bermakna suatu filosofi politis yang berdasar kepercayaan terhadap perkembangan, kedermawanan esensial dari seseorang, dan otonomi individual, serta mendukung perlindungan kebebasan politik dan masyarakat. “A political philosophy based on belief in progress, the essential goodness of man, and the autonomy of the individual and standing for the protection of political and civil liberties."[5]

Sementara, dalam Kamus Webster, individualisme sendiri disebut sebagai doktrin yang fokus perhatian terhadap indivualnya (seharusnya) mahapenting secara etis, yang dimaknai juga bahwa individualisme merupakan perilaku yang dipedomani dari doktrin tersebut, “a doctrine that the interest of the individual are or ought to be ethically paramount; also conduct guided by such a doctrine."[6] Lebih lanjut, individualisme merupakan konsepsi bahwa semua nilai, hak, dan kewajiban berasal dari individu, “the conception that all values, rights, and duties originate in individuals."[7] Webster juga menyatakan bahwa individualisme adalah teori yang menggarisbawahi kemerdekaan politik dan ekonomi dari seorang individu serta menekankan pada inisiatif, tindakan, dan minat individu; dengan demikian, individualisme juga berarti sebagai tingkah laku atau penerapan kebiasaan yang diteladani dari teori tersebut, “a theory maintaining the political and economic independence of the individual and stressing individual initiative, action, and interests; also: conduct or practice guided by such a theory."[8] Paham individualisme, pada perkembangannya, melahirkan tokoh-tokoh seperti John Locke dan J. J. Rousseau.

John Locke

Sebagai seorang pemikir yang lahir pada 29 Agustus 1632 dan bertumbuh di era Pencerahan, John Locke merumuskan berbagai pandangan yang menjadikan dirinya tokoh penting pada masanya, terutama mengenai hak asasi manusia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang filsuf, John Locke mengemukakan bahwa hak asasi manusia bersifat fundamental atau mendasar sebab hak tersebut dikaruniai oleh manusia secara langsung dari Tuhan sebagai hak kodrati. Hak Kodrati yang didukung oleh John Locke memiliki akar semenjak zaman Yunani Kuno dan Romawi. Grotius merupakan pelopor dari Hak Kodrati yang didukung oleh John Locke. Grotius menekankan bahwa hukum kodrati merupakan landasan non-empiris sehingga seharusnya semua ketentuan dapat dibuktikan manusia apabila menggunakan nalar yang tepat. Gagasan hak kodrati sendiri merebak dan berkembang pesat pada abad ke-17. Melalui hak-hak individu yang diakui secara subjektif, dirumuskan konsepsi bahwa setiap individu dianugerahi hak inheren oleh semesta, dan harta yang dimiliki tidak dapat dialihkan atau dicabut karena harta tersebut milik mereka sendiri. Pandangan mengenai hukum kodrati, menurut Scott Davidson, mempostulatkan bahwa teori liberalisme John Locke merupakan bagian hukum Tuhan yang sempurna, dan hal ini dapat dibuktikan melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat hukum kodrati yang terdahulu adalah ide bahwa masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, sehingga semua orang tunduk pada otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia dianugerahi identitas individu yang unik, yang terpisah dari negara.[9]

Berkas:Filsafat HAM Status Naturalis.jpg
Setiap orang menyandang hak asasi secara status naturalis sesuai pemikiran John Locke, maka hak asasi berlaku tanpa pandang gender, tanpa melihat usia. Dalam hal ini, pun anak-anak memiliki hak untuk hidup, dilindungi dari kekerasan, dan tidak didiskriminasi sebagaimana yang termaktub pada UUD 1945 pasal 28B ayat (2).

Sesuai pemikiran John Locke sebagai filsuf, manusia memiliki kebebasan dan hak-hak asasi yang didapatkan secara alamiah telah melekat sejak dilahirkan (status naturalis). Hak-hak asasi tersebut mencakup hak-hak yang dimiliki secara pribadi seperti hak atas kehidupan, kebebasan dan kemerdekaan, serta harta milik (hak memiliki sesuatu) yang tidak boleh diganggu gugat, bahkan negara pun dilarang untuk mencabut hak tersebut karena hak-hak tersebut dianugerahkan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia, walaupun manusia sendiri tidak berarti bisa berbuat seenaknya tanpa batas. Sebab, setiap orang juga tetap tidak boleh melanggar hak-hak asasi orang lain. “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges every one: and reason, which is that law, teaches all mankind, who will but consult it, that being all equal and independent, no one ought to harm another in his life, health, liberty, or possessions."[10]

Menurut gagasan John Locke, hak asasi manusia dimiliki secara alamiah, dan negara hadir untuk menjamin dan menjaga bahwa hak asasi disandang oleh masing-masing orang tanpa perlu merasa cemas bahwa hak asasinya dilanggar dan dicabut karena negara telah mengaturnya secara konstitusional di dalam undang-undang. Pemikiran John Locke yang menjadi orang pertama sebagai peletak dasar unsur negara hukum demikian kemudian menjadikan dirinya sebagai Bapak Hak Asasi Manusia. John Locke bahkan mengemukakan bahwa negara wajib memberikan jaminan terwujudnya kebebasan dan terlaksananya hak asasi manusia ditegakkan. Pemikiran tersebut merupakan dasar terlahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776.

Mengenai pembentukan negara yang hadir sebagai penjamin terlaksananya hak asasi manusia, John Locke mengemukakan teori kekuasaan yang meliputi kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan pelaksana undang-undang, dan kekuasaan federatif. Namun, John Locke menggarisbawahi pemisahan ketiga kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kesewenangan negara terhadap rakyat.

J. J. Rousseau

Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa menurut kodratnya, manusia pada hakikatnya itu baik, akan tetapi yang merusak manusia adalah peradaban.[11] Rousseau yang lahir di Genewa pada tahun 1712 mengungkapkan pemikiran mengenai hak kodrati adalah bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrat untuk masing-masing individu, namun justru memberikan karunia kepada warga negara suatu kedaulatan yang tidak bisa dicabut sebagai satu kesatuan. Hak yang berasal dari hukum kodrati diturunkan sebagai kolektivitas dan hadir sebagai kehendak umum rakyat.[12]

Sebagai filsuf, Rousseau hanya mengenal satu pactum di dalam teorinya. Pactum unions merupakan suatu perjanjian antarindividu guna membentuk negara. Dalam mewujudkan cita negara hukum, Rousseau merumuskan bahwa hukum negara dibentuk dan dirumuskan dari rakyat yang bersama-sama mengambil keputusan melalui kesepakatan secara menyeluruh berdasarkan suara paling banyak. Hal ini dituangkan Rousseau dalam karya ilmiahnya yang berjudul Du Contract Social pada terbitan tahun 1762. “Jika manusia tidak dapat menciptakan kekuatan baru bagi kepentingan sendiri, tetapi hanya menghimpun serta mengatur kesemuanya seperti yang berlaku sekarang, maka satu-satunya jalan untuk mempertahankan dirinya ialah membentuk kesatuan kekuatan dengan cara menghimpun dirinya dalam satu badan, yang dapat digerakkan untuk bertindak bersama-sama agar mampu mengatasi segala masalah. Persatuan ini harus dihasilkan oleh kesepakatan orang banyak.[13]

Montesquieu

Buah karya pemikiran yang dilahirkan oleh Montesquieu banyak dipengaruhi oleh gagasan John Locke. Hal ini termasuk gagasan yang paling dikenal dari dirinya berupa pemikiran mengenai fungsi negara hukum. Menguatkan pemikiran John Locke, Montesquieu menekankan bahwa fungsi negara hukum harus dipisahkan dari tiga kekuasaan lembaga negara, baik mengenai tugas lembaga (functie), maupun alat perlengkapan (organ) atau orang yang melakukannya. Ketiga lembaga itu tidak diperbolehkan untuk saling campur tangan ataupun saling mempengaruhi antara yang satu dengan lembaga yang lainnya. Pemikiran Montesquieu mengenai tiga kekuasaan lembaga negara tersebut dikenal sebagai Trias Politica, yang mencakup:

  1. Kekuasaan yang membentuk undang-undang (legislatif)
  2. Kekuasaan yang mengadili pelanggaran undang-undang serta menjatuhkan hukuman untuk kejahatan serta yang memberikan putusan jika terjadi perselisihan di antara masyarakat (yudikatif atau kehakiman)
  3. Kekuasaan yang menyelenggarakan dan melaksanakan undang-undang, memutuskan maklumat perang, melakukan tindakan di bidang politik luar negeri dan perdamaian dengan negara lain, menjaga keamanan dan tata tertib, meredam dan menghentikan pemberontakan, dan yang lainnya (eksekutif).

Baik John Locke maupun J. J. Rousseau, bahkan Montesquieu yang kemudian mengembangkan teori Locke mengenai Trias Politica, mengemukakan bahwa ragam hak yang mereka maksud meliputi.[14]

  1. Kemerdekaan dan kebebasan atas diri sendiri
  2. Kebebasan untuk menganut dan memeluk agama serta beraktivitas sesuai yang diajarkan oleh agamanya tersebut
  3. Kemerdekaan untuk berkumpul dan berserikat
  4. Hak Write of Habeas Corpus yang dapat dimaknai sebagai pernyataan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang
  5. Hak kemerdekaan untuk berpikir dan menyuarakan pikiran, serta pers

Paham Marxisme

Karl Marx

Teori dan ideologi Marxisme ini dipelopori oleh sang filsuf besar, Karl Marx. Di dalam Kamus Webster, Marxisme sejatinya adalah paham, kebijakan, dan prinsip politik, ekonomi, serta sosial yang dicetuskan, dikembangkan, dan dipertahankan oleh Karl Marx. Contohnya, teori dan praktik sosialisme yang meliputi teori nilai buruh, materialisme dialektis, perjuangan kelas, pertentangan antargolongan atau antarkelas, dan kediktatoran kaum proletar hingga pada perkembangannya kelas, akan muncul masyarakat tanpa kelas. “The political, economic, and social principles and policies advocated by Marx; esp.: a theory and practice of socialism including the labor theory of value, dialectical materialism, the class struggle, and dictatorship of the proletariat until the establishment of a classless society."[15]

Karl Marx

Ditinjau dari sisi ilmiah, Marx memandang bahwa hukum kodrati termasuk idealistis dan berlawanan dengan sejarah. Dengan demikian, Marxisme menolak adanya teori hak alami. Marx tidak membiarkan hak asasi manusia sebagai argumen untuk memberikan batasan hak warga negara dengan memandang mereka sekadar sebagai alat yang semata patuh terhadap jaminan hak yang tidak politis. Mengenai hak asasi, Marx juga sebatas menyatakan bahwa hak asasi manusia sekadar bahwa negara tidak mendiskriminasi manusia dalam pilihan agamanya sebagaimana negara tidak memiliki hak untuk melakukan diskriminasi terhadap Yahudi, ataupun Kristen yang tidak ada hak untuk mengajukan tuntutan atas Ateisme sebagai syarat warga negara. Marx nyata-nyata menolak konsep hak yang tidak dapat dicabut, namun Marx yang membela kaum akar rumput, melegalkan adanya aturan untuk pembatasan hari kerja bagi para pekerja. Hukum di dalam Marxisme menata bahwa harus ada aturan jelas kapan berakhirnya waktu seorang pekerja menjual dirinya sendiri, dan kapan waktu untuknya sendiri dimulai. Dalam praktik politiknya, Marx meyakini bahwa beberapa hak terkait hak manusia merupakan prasyarat yang dibutuhkan demi kemajuan menuju sosialisme. Bahkan demi mencapai titik di mana makna praktis proyek komunis mengena, Marx sungguh-sungguh memperjuangkan agar hak memilih yang universal, hak untuk berkumpul dan berserikat dengan damai, hak dalam kebebasan pers dan hak edukasi publik tanpa sensor oleh negara menjadi hak-hak yang harus diperoleh.

Marx berpendapat bahwa hak adalah produk borjuis dan produk masyarakat kapitalis, sementara untuk mewujudkan potensi sejatinya, seseorang seharusnya kembali ke kodratnya sebagai makhluk yang sosialis. Oleh karenanya, hak individu tidak diakui di dalam konsep Marxisme, yang ada di dalam tatanan Marxisme hanyalah hak kolektif yang disalurkan ke repository of all rights, serta menjadi kepemilikan negara. Masyarakat Marxisme tidak diperkenalkan adanya hak individu, sebab, yang diakui oleh masyarakat dan negara yang mengatur tatanan masyarakatnya hanyalah hak sosial. Secara khusus, mengenai hak asasi manusia, Marx tidak menolak adanya hak terkait kebebasan berserikat, kebebasan pers, dan kebebasan politik sebab, Marx justru selalu menganggap bahwa hak-hak tersebut merupakan tuntutan pertama yang diperlukan untuk sebuah gerakan revolusioner. Dalam masyarakat Marxisme itu sendiri, kodrat manusia pada hakikatnya dapat dipenuhi jika seluruh masyarakat menjadi makhluk sosial yang diiringi dengan semua alat produksi merupakan kepemilikan bersama tanpa adanya pertikaian antarkelas. Sehingga, kelas-kelas di dalam masyarakat harus ditiadakan dan seutuhnya menjadi masyarakat komunis. Hak di dalam Marxisme dianggap transendental, sehingga bertolak belakang dengan hak pada liberalisme yang bersifat kekal. Hak di dalam masyarakat komunis tercapai apabila sudah tidak ada kelas-kelas lagi, tidak ada pemilikan pribadi atas sumber alam serta tidak ada pemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan hasil produksinya. Semua sudah menjadi milik bersama seluruh masyarakat.[16]

Dalam Marxisme, manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan selalu beraktivitas agar produktif sehingga terlibat dalam proses produksi. Seluruh perasaan dan pikiran masyarakat sudah tercurah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan hasilnya untuk kepentingan bersama. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan mendapatkan bagian hasil sesuai dengan kebutuhannya.[17] Hubungan kemasyarakatan yang terjalin saat bekerja dan berproduksi bersama mengantarkan manusia pada ditorehkannya sejarah. Keterkaitan masyarakat dengan sejarah dan filsafat tersebut yang kemudian disebut sebagai materialisme dialektis dalam Marxisme. Sebab itulah, hak yang diketahui dalam masyarakat Marxisme adalah hak kolektif, alih-alih perseorangan. Pun di dalam pandangan Marxisme, hak asasi manusia terkait keadilan dan kemerdekaan. Keadilan dan kemerdekaan bisa dicapai ketika pengisapan manusia oleh manusia lainnya tiada lagi.[18]

Paham Integralisme

Pada hakikatnya, pandangan integralisme mengemukakan hubungan antara warga negara dengan penguasa negara, agar dapat membentuk satu kesatuan utuh secara menyeluruh. Hubungan tersebut pada konteksnya didukung oleh ikatan kekeluargaan dan kebersamaan, yang menjadi salah satu inti dari integralisme yang berkembang di Indonesia sebagai negara kesatuan. Integralisme sendiri merupakan filsafat yang memiliki integralitas sebagai konsep sentral di mana seluruh bagian yang ada, menyatu berdasar pada struktur tertentu yang organis hingga menjadi terpadu. Struktur tertentu tersebut dapat meliputi segala sumber, energi, materi, nilai, juga informasi. Di dalam pandangan paham integralisme, hak asasi manusia dianggap berasal dari paham individualisme yang berlawanan dengan paham kolektivitas yang merujuk kepada paham sosialis. Paham integralisme melandasi negara dan masyarakat yang menyatu sehingga seluruh hak warga negara secara otomatis diperhatikan oleh negara. Menurut paham integralisme, dengan demikian, negara tidak mungkin akan menindas warga negaranya sendiri.

Spinoza, Müller, dan Hegel mempelopori teori integralisme yang mendunia hingga bahkan paham integralisme yang berusaha diterapkan oleh Soepomo di Indonesia pun diambil dari pemikiran para filsuf tersebut. Secara global, ketiga pemikir filsafat yang diikuti oleh Soepomo tersebut berpendapat bahwa integralistik terjadi dengan adanya hubungan erat antar masyarakat, sementara negara tidak berpihak terhadap salah satu golongan yang dianggap lebih kuat saja.

Integralisme Soepomo

Indonesia pada khususnya, mengenal paham Integralisme Soepomo yang konsepnya disampaikan melalui pidato-pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo pada tahun 1941 sebagai seorang profesor dan 31 Mei 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI sebagai salah seorang anggota perumus undang-undang dasar negara Indonesia yang ditunjuk oleh Jepang. Sebagai landasan rumusan undang-undang dasar negara Indonesia, Soepomo menawarkan tiga teori kepada sidang. Pada hakikatnya, Soepomo menyampaikan gagasan integralismenya karena tidak menerima paham sosialisme sebagai teori kelas (teori golongan) yang dipelopori Marx—serta disepakati oleh Friedrich Engels dan Vladimir Lenin—maupun paham liberalisme sebagai teori perseorangan yang berkembang luas di negara-negara Eropa dan Amerika. Secara spesifik, Soepomo menilai bahwa sosialisme menurut ajaran Marx yang berlandaskan pertikaian antarkelas tidaklah sejalan dengan watak bangsa Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia secara menyeluruh menghindari perselisihan bahkan sebaliknya, ikhlas untuk saling menolong dan gemar bergotong royong. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Marxisme yang menonjolkan pertentangan di mana ada golongan atau kelas yang lebih kuat hadir untuk menindas golongan (kelas) lainnya yang lebih lemah, dengan menjadikan negara sebagai alatnya. Di samping itu, Soepomo juga mengemukakan pandangannya bahwa liberalisme ajaran John Locke, J. J. Rousseau, Thomas Hobbes, Herbert Spencer, dan Harold Joseph Laski—yang terakhir kemudian berubah haluan menganut Marxisme—yang menyebar di Benua Eropa dan Amerika terlalu individualis untuk masyarakat Indonesia yang karakternya penuh dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaan, juga mudah berbaur dan beradaptasi, sehingga jauh berbeda dari watak masyarakat Eropa. Soepomo merumuskan pemikirannya mengenai Negara Integralistik dari paham integralisme yang diilhami oleh Adam Müller, Baruch de Spinoza, dan Hegel.

Paham negara integralisme Indonesia yang dirumuskan Soepomo masih linear dengan teori integralisme oleh para pemikir integralisme lain. Pembeda paham integralisme yang dikenal dunia dari paham integralisme yang digagas Soepomo berakar dari sifat bangsa yang sesuai semboyan bhinneka tunggal ika dengan keanekaragaman budaya dan karakter suku bangsa tapi segala perbedaan tersebut bukan dijadikan pertentangan, tapi sebaliknya, justru dipersatukan dalam satu kesatuan yang integral menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemikiran mengenai negara integralisme yang dicetuskan Soepomo merupakan penggabungan dari paham individualisme dengan sosialisme yang diselaraskan dengan karakter masyarakat Indonesia di mana watak kekeluargaan, gotong royong, bahu-membahu, dan saling membantu sudah mendarah daging. Bisa dikatakan bahwa menurut rumusan Soepomo, negara hadir tidak dengan tujuan untuk menjamin kepentingan masing-masing individu. Negara juga hadir bukan hanya untuk golongan tertentu saja dan negara tidak berpihak kepada suatu golongan, melainkan negara ada untuk memberikan jaminan atas kepentingan keseluruhan masyarakat seutuhnya melebur ke dalam satu kesatuan yang integral. Negara integralistik mengakui bahwa kepentingan umum berada di atas kepentingan individu ataupun golongan, serta sejalan dan selaras dengan kultur Indonesia. Dalam artikel "Teori Integralistik Menurut Soepomo" yang ditulis Vanya Karunia Mulia Putri dengan Nibras Nada Nailufar sebagai editornya, dijabarkan bahwa teori integralisme Soepomo memiliki enam faktor penting, mencakup:[19]

  1. Negara tersusun dari satu kesatuan masyarakat beserta seluruh golongan.
  2. Setiap anggota masyarakat secara menyeluruh bersatu menjadi satu kesatuan secara integral dan organis.
  3. Mengutamakan kepentingan masyarakat yang telah bersatu padu menjadi satu kesatuan utuh.
  4. Negara tidak berpihak kepada salah satu individu atau golongan tertentu. Negara meletakkan kepentingan masyarakat di tas kepentingan pribadinya sendiri. Negara harus meletakkan keselamatan dan kehidupan bangsa sebagai satu kesatuan utuh di atas lainnya.
  5. Negara bersatu dengan rakyat demi membentuk satu kesatuan utuh.
  6. Negara berada di posisi lebih atas daripada semua golongan, di bidang apapun itu.

Filsafat Hak Asasi Manusia di Indonesia

Para pendiri bangsa di dalam merumuskan konsep negara menjelang kemerdekaan, pada hakikatnya mengembangkan dan mengkontemplasikan segala pemikiran para filsuf terdahulu, terutama dari negara-negara Barat. Konsep negara yang kemudian tertuang di dalam UUD 1945 berisi pemikiran para ahli ideologi, sehingga tiap-tiap warga negara Indonesia terlindungi hak-haknya dan dapat menyandang hak-haknya tersebut berkat pemikiran para bapak pendiri bangsa yang menuangkannya berdasarkan filsafat hak asasi manusia di dunia. Baik Soekarno, Hatta, Muhammad Yamin, maupun Soepomo, hadir dengan pemikirannya masing-masing yang berakar dari ideologi para filsuf mengenai hak-hak asasi manusia secara global. Salah satunya hak asasi manusia yang diperjuangkan oleh Soepomo di mana dalam paham integralisme yang dicetuskannya terdapat pada poin bahwa masing-masing Warga Negara Indonesia ataupun semua golongan dijamin untuk tidak tertindas oleh pihak lain, serta memiliki hak mendapatkan perlindungan bilamana seseorang atau golongan ditindas oleh pihak lain, baik antarindividu/antargolongan maupun intragolongan dalam hubungan yang berpola horizontal.

Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia termaktub di dalam UUD 1945 Republik Indonesia sesuai konsep negara yang dirumuskan para founding fathers Soekarno, Hatta, Yamin, dan Soepomo serta kemudian dikembangkan hingga sekarang demi menyesuaikan kondisi kemajuan zaman mutakhir yang berbeda dibandingkan dengan dahulu. Hak asasi manusia Indonesia tercantum di UUD 1945 seperti yang tertuang pada khususnya[20]:

  • pasal 27 ayat (1) hak yang berkenaan kedudukan di bidang hukum dan pemerintahan.
  • pasal 27 ayat (2) hak yang berkenaan pekerjaan dan penghidupan.
  • pasal 28A hak untuk hidup.
  • Pasal 28B ayat (1) hak untuk berkeluarga.
  • pasal 28B ayat (2) hak anak untuk hidup tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi.
  • pasal 28C ayat (1) hak yang berkenaan mendapatkan pendidikan serta mengembangkan diri.
  • pasal 28C ayat (2) hak yang berkenaan memajukan diri dan berjuang atas haknya demi bangsa dan negara.
  • pasal 28D ayat (1) hak yang berkenaan persamaan dalam perlakuan di bidang hukum.
  • pasal 28D ayat (3) hak yang berkenaan kesempatan di dalam pemerintahan.
  • pasal 28D ayat (4) hak yang berkenaan status warga negara.
  • pasal 28E (1) hak yang berkenaan agama, pendidikan, kewarganegaraan, dan tempat tinggal.
  • pasal 28E ayat (2) hak yang berkenaan kebebasan meyakini kepercayaan.
  • pasal 28E ayat (3) hak yang berkenaan berserikat, berkumpul, serta menyuarakan opini.
  • pasal 28F hak yang berkenaan komunikasi, lingkungan sosial, dan informasi.
  • pasal 28G ayat (1) hak yang berkenaan rasa aman dan perlindungan tanpa diancam hingga ketakutan.
  • pasal 28G ayat (2) hak untuk tidak disiksa atau tidak direndahkan, serta hak suaka politik.
  • pasal 28H ayat (1) hak yang berkenaan hidup sejahtera dan mendapat layanan kesehatan.
  • pasal 28H ayat (2) hak untuk mendapat kesamaan kesempatan dan manfaat demi keadilan.
  • pasal 28H ayat (3) hak yang berkenaan jaminan sosial.
  • pasal 28H ayat (4) hak yang berkenaan hak milik pribadi.
  • pasal 28I ayat (1) hak yang berkenaan kemerdekaan pikiran, juga hati nurani.
  • pasal 28I ayat (2) hak yang berkenaan untuk tidak didiskriminasi.
  • pasal 28I ayat (3) hak yang berkenaan penghormatan atas identitas budaya dan masyarakat tradisional.
  • pasal 28I ayat (4) berkenaan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak warga negara.
  • pasal 28I ayat (5) berkenaan jaminan, aturan, dan undang-undang untuk menegakkan dan melindungi pelaksanaan hak asasi manusia.
  • pasal 28J ayat (1) berkenaan kewajiban saling menghormati hak asasi orang lain.
  • pasal 28J ayat (2) berkenaan pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi orang lain.
  • pasal 29 ayat (2) hak yang berkenaan agama dan ibadat.
  • pasal 30 ayat (1) hak yang berkenaan usaha mempertahankan dan mengamankan negara, beserta kewajibannya.
  • pasal 31 ayat (1) hak yang berkenaan pendidikan.

Pada hakikatnya, konsep hak asasi manusia diterima oleh masyarakat Indonesia karena sejalan dengan konsep ideologi Pancasila. Meskipun pada awalnya, para perumus konsep negara memiliki perbedaan pendapat mengenai konsep hak asasi manusia. Menurut Phalita Gatra,[21] Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa hak asasi manusia berakar dari paham individualisme yang bertentangan dengan paham yang akan menjadi prinsip negara sehingga sepakat untuk tidak memasukkan konsep hak asasi manusia ke dalam konsep negara yang tengah mereka bangun. Sementara Hatta dan Mohammad Yamin sama-sama beropini bahwa hak asasi manusia perlu dimasukkan ke dalam UUD 1945. Hatta mengemukakan bahwa itu agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Yamin menekankan bahwa hak asasi manusia harus dapat diakui oleh UUD 1945 sebagai perlindungan kepada kemerdekaan warga negara. Tiap-tiap warga negara harus dijamin kemerdekaannya di dalam menyandang hak asasi yang telah melekat pada dirinya semenjak masih di dalam kandungan sehingga tidak mendapatkan diskriminasi, perisakan, ataupun penindasan dari pihak lain

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Beitz 2019, tanpa halaman.
  2. ^ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
  3. ^ Woolf 1979, hlm. 656.
  4. ^ Woolf 1979, hlm. 656.
  5. ^ Woolf 1979, hlm. 656.
  6. ^ Woolf 1979, hlm. 581.
  7. ^ Woolf 1979, hlm. 581.
  8. ^ Woolf 1979, hlm. 581.
  9. ^ Davidson 1994, hlm. 36.
  10. ^ Introduction to Philosophy.
  11. ^ Scholten 1949, hlm. 83.
  12. ^ Davidson 1994, hlm. 37.
  13. ^ Rousseau 1986, hlm. 15.
  14. ^ Naning 1983, hlm. 15.
  15. ^ Woolf 1979, hlm. 699.
  16. ^ Darsono 2007, hlm. 112.
  17. ^ Darsono 2007, hlm. 112-113.
  18. ^ Njoto 2003, hlm. 2-3.
  19. ^ Putri 2021, tanpa halaman.
  20. ^ Undang-Undang Dasar 1945 & Amandemennya
  21. ^ Gatra 2019, tanpa halaman.

Daftar Pustaka

Buku

Sumber Daring

Pranala Luar