Filsafat hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Filsafat hak asasi manusia mengemukakan permasalahan tentang keberadaan, muatan/isi, sifat, universalitas, justifikasi atau pembenaran, dan status hukum hak asasi manusia. Sementara, pengertian hak asasi manusia itu sendiri kerap menjadi debat moral dan politik. Hak asasi manusia yang otomatis melekat pada diri individu sejak lahir hingga akhir hayat, merupakan jaminan moral yang memiliki landasan filosofi serta wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Segala tanggung jawab terkait hak asasi manusia sering kali memerlukan tindakan yang melibatkan rasa hormat, perlindungan, fasilitasi, dan kelengkapan, maka di sinilah negara hadir. Negara yang berprinsip negara hukum, wajib memberikan jaminan secara konstitusional bahwa setiap warga negaranya dapat memperoleh haknya. Bahkan, negara yang diakui kedaulatannya di dunia ini harus memastikan bahwa tiap-tiap warga negaranya tidak direpresi untuk menyandang hak asasinya apapun kedudukan yang dimiliki. Negara harus memfasilitasi hak asasi setiap warga negara dengan mengaturnya melalui hukum dan undang-undang, bahkan negara pun tidak diperbolehkan untuk menghilangkan hak asasi yang memang semestinya menjadi anugerah dari Yang Mahakuasa untuk setiap insan. Hak asasi manusia bersifat mutlak dan kekal sehingga tidak dibatasi jangka waktu tertentu. Hak asasi manusia, tanpa terkecuali, berlaku untuk setiap insan di mana pun berada di dunia ini dan pada saat yang sama, tiap-tiap orang wajib menghargai hak asasi yang dimiliki orang lain. Hak asasi difokuskan pada kebebasan, perlindungan, status, maupun faedah bagi seseorang.[1]

Norma hak asasi manusia bisa saja terwujud sebagai norma yang disepakati bersama dan berasal dari moralitas manusia, norma moral yang dibenarkan dan didukung oleh alasan-alasan yang kuat, hak legal di tingkat nasional di mana hak tersebut disebut sebagai hak masyarakat atau hak konstitusional, ataupun hak legal yang diakui oleh hukum internasional. Hak asasi manusia bersifat universal. Setiap orang memiliki hak asasi, tanpa adanya pengecualian, warga negara atau mungkin—karena satu dan lain hal—bukan warga negara mana pun, secara alamiah, tiap orang sejak lahir mempunyai hak asasi, tanpa pandang bulu. Hak asasi manusia tidak hanya dimiliki orang dewasa usia produktif saja, bayi berusia satu bulan pun memiliki hak asasi. Hak asasi manusia tidak dimiliki hanya golongan, agama, suku, atau ras tertentu saja. Bahkan perbedaan hukum ataupun budaya masing-masing negara, tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk memiliki hak asasi. Meskipun seseorang sedang tidak berada di negaranya sendiri dengan suatu alasan, entah dalam kunjungan diplomatik, perjalanan bisnis, liburan, atau bekerja, baik itu sebagai pelajar atau bahkan sebagai pengungsi yang dalam hal ini salah satunya sebagai political refugee, di negara lain pun dirinya tetap memiliki hak asasi yang telah terekat sejak lahir. Hal ini menjadikan hak asasi bersifat mutlak menjadi milik setiap orang selama hayat dikandung badan serta tidak bisa diganggu gugat. Pun demikian, hak asasi berlaku kapan saja, tidak memandang pagi atau malam, terjadi di masa lalu atau sekarang.[2]

Dalam perjalanannya untuk dikenal sebagai konsep yang seperti sekarang ini, bahkan terus berkembang hingga di masa mendatang, hak asasi manusia dirumuskan dari berbagai pemikiran dan gagasan yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkemuka memiliki kredibilitas, termasuk para filsuf. Studi tentang hakikat hak asasi manusia berkembang oleh para pemikirnya. Kebijaksanaan terkait pengetahuan tentang hak asasi manusia. Secara kritis, para pemikir mengulik kebenaran hakiki dari hak asasi manusia. Filosofi hak asasi manusia erat kaitannya dengan sejarah yang berakar di Barat Modern berkenaan riwayat latar belakang berkembangnya pemikiran filsafat di mana rakyat pada masa itu melakukan perjuangan untuk menentang kekuasaan mutlak. Para pemikir liberal Barat menghadapi kekuasaan negara yang absolut dimulai sejak awal abad 20-an. Berbagai paham filsafat memiliki dasar ideologi dan pemikirannya masing-masing mengenai hak asasi manusia, mengikuti pula filsufnya. Tiga paham dari bermacam-macam aliran ideologi yang mengemukakan teorinya tentang hak asasi manusia di antaranya individualisme, Marxisme, dan integralisme.

Paham Individualisme[sunting | sunting sumber]

Paham individualisme dikenal pula dengan paham kebebasan yang sering dirujuk sebagai liberalisme. Paham ini dikembangkan sejak masa Renaisans yang menghasilkan dunia baru disebut dengan abad individualisme yang menjadi titik tolak kemajuan sehingga dikenal pula sebagai masa pembebasan dari ikatan dan kewajiban kuno. Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary, liberalisme pada bidang keagamaan adalah sebuah pergerakan dalam Protestanisme modern yang menekankan kebebasan intelektual serta muatan spiritual dan etika Kristiani. “A movement in modern Protestantism emphasizing intellectual liberty and the spiritual and ethical content of Christianity."[3] Masih menurut kamus Webster, bila makna ditinjau secara ekonomi, liberalisme adalah teori ekonomi yang menekankan kebebasan atau kemerdekaan individual dari pengekangan dan biasanya didasarkan pada kompetisi bebas, pasar dengan aturan mandiri, dan ditetapkan berdasarkan standar emas.[3]A theory in economics emphasizing individual freedom from restraint and usually based on free competition, the self-regulating market, and the gold standard.” Dalam bidang filsafat, liberalisme dapat bermakna suatu filosofi politis yang berdasar kepercayaan terhadap perkembangan, kedermawanan esensial dari seseorang, dan otonomi individual, serta mendukung perlindungan kebebasan politik dan masyarakat. “A political philosophy based on belief in progress, the essential goodness of man, and the autonomy of the individual and standing for the protection of political and civil liberties."[3]

Sementara, dalam Kamus Webster, individualisme sendiri disebut sebagai doktrin yang fokus perhatian terhadap individualnya (seharusnya) mahapenting secara etis, yang dimaknai juga bahwa individualisme merupakan perilaku yang dipedomani dari doktrin tersebut, “a doctrine that the interest of the individual are or ought to be ethically paramount; also conduct guided by such a doctrine."[4] Lebih lanjut, individualisme merupakan konsepsi bahwa semua nilai, hak, dan kewajiban berasal dari individu, “the conception that all values, rights, and duties originate in individuals."[4] Webster juga menyatakan bahwa individualisme adalah teori yang menggarisbawahi kemerdekaan politik dan ekonomi dari seorang individu serta menekankan pada inisiatif, tindakan, dan minat individu; dengan demikian, individualisme juga berarti sebagai tingkah laku atau penerapan kebiasaan yang diteladani dari teori tersebut, “a theory maintaining the political and economic independence of the individual and stressing individual initiative, action, and interests; also: conduct or practice guided by such a theory."[4] Paham individualisme, pada perkembangannya, melahirkan tokoh-tokoh seperti John Locke dan J. J. Rousseau.

John Locke[sunting | sunting sumber]

Sebagai seorang pemikir yang lahir pada 29 Agustus 1632 dan bertumbuh di era Pencerahan, John Locke merumuskan berbagai pandangan yang menjadikan dirinya tokoh penting pada masanya, terutama mengenai hak asasi manusia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang filsuf, John Locke mengemukakan bahwa hak asasi manusia bersifat fundamental atau mendasar sebab hak tersebut dikaruniai oleh manusia secara langsung dari Tuhan sebagai hak kodrati. Hak Kodrati yang didukung oleh John Locke memiliki akar semenjak zaman Yunani Kuno dan Romawi. Grotius merupakan pelopor dari Hak Kodrati yang didukung oleh John Locke. Grotius menekankan bahwa hukum kodrati merupakan landasan non-empiris sehingga seharusnya semua ketentuan dapat dibuktikan manusia apabila menggunakan nalar yang tepat. Gagasan hak kodrati sendiri merebak dan berkembang pesat pada abad ke-17. Melalui hak-hak individu yang diakui secara subjektif, dirumuskan konsepsi bahwa setiap individu dianugerahi hak inheren oleh semesta, dan harta yang dimiliki tidak dapat dialihkan atau dicabut karena harta tersebut milik mereka sendiri. Pandangan mengenai hukum kodrati, menurut Scott Davidson, mempostulatkan bahwa teori liberalisme John Locke merupakan bagian hukum Tuhan yang sempurna, dan hal ini dapat dibuktikan melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat hukum kodrati yang terdahulu adalah ide bahwa masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, sehingga semua orang tunduk pada otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia dianugerahi identitas individu yang unik, yang terpisah dari negara.[5]

Sesuai pemikiran John Locke sebagai filsuf, manusia memiliki kebebasan dan hak-hak asasi yang didapatkan secara alamiah telah melekat sejak dilahirkan (status naturalis). Hak-hak asasi tersebut mencakup hak-hak yang dimiliki secara pribadi seperti hak atas kehidupan, kebebasan dan kemerdekaan, serta harta milik (hak memiliki sesuatu) yang tidak boleh diganggu gugat, bahkan negara pun dilarang untuk mencabut hak tersebut karena hak-hak tersebut dianugerahkan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia, walaupun manusia sendiri tidak berarti bisa berbuat seenaknya tanpa batas. Sebab, setiap orang juga tetap tidak boleh melanggar hak-hak asasi orang lain. “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges every one: and reason, which is that law, teaches all mankind, who will but consult it, that being all equal and independent, no one ought to harm another in his life, health, liberty, or possessions."[6]

Menurut gagasan John Locke, hak asasi manusia dimiliki secara alamiah, dan negara hadir untuk menjamin dan menjaga bahwa hak asasi disandang oleh masing-masing orang tanpa perlu merasa cemas bahwa hak asasinya dilanggar dan dicabut karena negara telah mengaturnya secara konstitusional di dalam undang-undang. Pemikiran John Locke yang menjadi orang pertama sebagai peletak dasar unsur negara hukum demikian kemudian menjadikan dirinya sebagai Bapak Hak Asasi Manusia. John Locke bahkan mengemukakan bahwa negara wajib memberikan jaminan terwujudnya kebebasan dan terlaksananya hak asasi manusia ditegakkan. Pemikiran tersebut merupakan dasar terlahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776.

Mengenai pembentukan negara yang hadir sebagai penjamin terlaksananya hak asasi manusia, John Locke mengemukakan teori kekuasaan yang meliputi kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan pelaksana undang-undang, dan kekuasaan federatif. Namun, John Locke menggarisbawahi pemisahan ketiga kekuasaan tersebut agar tidak terjadi kesewenangan negara terhadap rakyat.

J. J. Rousseau[sunting | sunting sumber]

Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa menurut kodratnya, manusia pada hakikatnya itu baik, akan tetapi yang merusak manusia adalah peradaban.[7] Rousseau yang lahir di Genewa pada tahun 1712 mengungkapkan pemikiran mengenai hak kodrati adalah bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrat untuk masing-masing individu, namun justru memberikan karunia kepada warga negara suatu kedaulatan yang tidak bisa dicabut sebagai satu kesatuan. Hak yang berasal dari hukum kodrati diturunkan sebagai kolektivitas dan hadir sebagai kehendak umum rakyat.[8]

Sebagai filsuf, Rousseau hanya mengenal satu pactum di dalam teorinya. Pactum unions merupakan suatu perjanjian antarindividu guna membentuk negara. Dalam mewujudkan cita negara hukum, Rousseau merumuskan bahwa hukum negara dibentuk dan dirumuskan dari rakyat yang bersama-sama mengambil keputusan melalui kesepakatan secara menyeluruh berdasarkan suara paling banyak. Hal ini dituangkan Rousseau dalam karya ilmiahnya yang berjudul Du Contract Social pada terbitan tahun 1762. “Jika manusia tidak dapat menciptakan kekuatan baru bagi kepentingan sendiri, tetapi hanya menghimpun serta mengatur kesemuanya seperti yang berlaku sekarang, maka satu-satunya jalan untuk mempertahankan dirinya ialah membentuk kesatuan kekuatan dengan cara menghimpun dirinya dalam satu badan, yang dapat digerakkan untuk bertindak bersama-sama agar mampu mengatasi segala masalah. Persatuan ini harus dihasilkan oleh kesepakatan orang banyak.[9]

Montesquieu[sunting | sunting sumber]

Buah karya pemikiran yang dilahirkan oleh Montesquieu banyak dipengaruhi oleh gagasan John Locke. Hal ini termasuk gagasan yang paling dikenal dari dirinya berupa pemikiran mengenai fungsi negara hukum. Menguatkan pemikiran John Locke, Montesquieu menekankan bahwa fungsi negara hukum harus dipisahkan dari tiga kekuasaan lembaga negara, baik mengenai tugas lembaga (functie), maupun alat perlengkapan (organ) atau orang yang melakukannya. Ketiga lembaga itu tidak diperbolehkan untuk saling campur tangan ataupun saling mempengaruhi antara yang satu dengan lembaga yang lainnya. Pemikiran Montesquieu mengenai tiga kekuasaan lembaga negara tersebut dikenal sebagai Trias Politica, yang mencakup:

  1. Kekuasaan dan kewenangan oleh badan pembuat dan pembentuk undang-undang yang menyusun dan merumuskan undang-undang (legislatif)
  2. Kekuasaan dan kewenangan oleh badan yang mengadili pelanggaran undang-undang serta menjatuhkan hukuman untuk kejahatan serta yang memberikan putusan jika terjadi perselisihan maupun konflik di antara masyarakat (yudikatif atau kehakiman)
  3. Kekuasaan dan kewenangan badan pelaksana undang-undang yang menyelenggarakan dan melaksanakan undang-undang, memutuskan maklumat perang, melakukan tindakan di bidang politik luar negeri dan perdamaian dengan negara lain, menjaga keamanan dan tata tertib, meredam dan menghentikan pemberontakan, dan yang lainnya (eksekutif).

Baik John Locke maupun J. J. Rousseau, bahkan Montesquieu yang kemudian mengembangkan teori Locke mengenai Trias Politica, mengemukakan bahwa ragam hak yang mereka maksud meliputi.[10]

  1. Kemerdekaan dan kebebasan atas diri sendiri
  2. Kebebasan untuk menganut dan memeluk agama serta beraktivitas sesuai yang diajarkan oleh agamanya tersebut
  3. Kemerdekaan bagi warga negara untuk berkumpul dan berserikat
  4. Hak Write of Habeas Corpus yang dapat dimaknai sebagai pernyataan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang
  5. Hak kemerdekaan untuk berpikir dan menyuarakan pikiran, serta pers

Paham Marxisme[sunting | sunting sumber]

Karl Marx

Teori dan ideologi Marxisme ini dipelopori oleh sang filsuf besar, Karl Marx. Di dalam Kamus Webster, Marxisme sejatinya adalah paham, kebijakan, dan prinsip politik, ekonomi, serta sosial yang dicetuskan, dikembangkan, dan dipertahankan oleh Karl Marx. Contohnya, teori dan praktik sosialisme yang meliputi teori nilai buruh, materialisme dialektis, perjuangan kelas, pertentangan antargolongan atau antarkelas, dan kediktatoran kaum proletar hingga ada perkembangan yang terjadi pada kelas-kelas di masyarakat tersebut, dengan akhirnya akan muncul masyarakat tanpa kelas. “The political, economic, and social principles and policies advocated by Marx; esp.: a theory and practice of socialism including the labor theory of value, dialectical materialism, the class struggle, and dictatorship of the proletariat until the establishment of a classless society."[11] Sementara di Ensiklopedia yang dibesut oleh Webster, Marxisme disebut sebagai inti dari doktrin yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friederich Engels yang membangun fondasi sosialisme dan komunisme.[12]

Karl Marx[sunting | sunting sumber]

Fondasi ideologi yang diajarkan Marx terletak pada keberpihakan terhadap golongan yang termarginalkan, khususnya kaum buruh. Gagasan yang dimiliki oleh Marx sesungguhnya bermanfaat tidak saja bagi kaum buruh, namun juga kaum miskin serta setiap pihak yang membela kaum buruh ataupun kaum miskin lainnya. Hingga bisa dikatakan bahwa ideologi Marx adalah senjata moral kaum buruh, kaum papa, dan segala bangsa yang keberadaannya tertindas di sepenjuru bumi. Marx secara moral membersitkan gagasan kepada kaum buruh, kaum miskin, serta kaum terjajah mengenai keadaan mereka dan menyokong mereka untuk mengubah keadaan, kemudian melakukan revolusi demi adanya perubahan sistem sosial. Pun perbedaan paham Marxisme dari filsuf sosialisme lainnya terdapat pada gagasan Marx yang menitikberatkan kepada perjuangan berupa revolusi secara besar-besaran di masyarakat demi membebaskan rakyat jelata dari jerat kemiskinan sehingga kerajaan dunia tanpa penderitaan pun dapat dibangun. Gagasan Marx sungguh-sungguh tidak hanya berhenti sampai di benak saja sebagai teori oleh mereka yang mengikuti pemikirannya, tetapi benar-benar diimplementasikan sebagaimana ide Marx untuk melakukan perombakan terhadap susunan tata kemasyarakatan. Sebab, jika suatu teori tidak teruji oleh praktik, teori tersebut tentu tidak ada nilainya. Revolusi besar-besaran dalam suatu tatanan masyarakat secara keseluruhan yang dipaparkan dalam gagasan Marx kemudian benar-benar memberikan ilham sampai akhirnya membuka jalan terjadinya Revolusi Oktober di Rusia dan Revolusi Kebudayaan yang dimobilisasi oleh Mao Zedong di Tiongkok. Para pelaku sosialisme lain sebelum Marx pada umumnya berpihak kepada kaum papa dan memberikan ilham gerakan sosialisme, namun bertindak sekadar di lingkup yang lebih kecil dibandingkan cita-cita Marx. Sebagaimana yang dilakukan oleh Robert Owen yang membela hak-hak kaum buruh, terutama di kalangan karyawannya sendiri dengan cara memperpendek jam kerja serta menaikkan upah, bahkan menyekolahkan anak-anak dari para buruhnya dengan seluruh biayanya ditanggung oleh perusahaan. Tindakan nyata Owen sebagai sosialis tidak berhenti hanya di situ, karena kemudian Owen mendirikan toko perusahaan yang menyediakan kebutuhan para buruh yang bekerja kepadanya. Toko perusahaan ini merupakan rintisan sistem koperasi yang menjadi cikal bakal koperasi modern hingga Owen dikenal sebagai Bapak Koperasi. Sementara pada satu sisi, Marx sempat bersinggungan dengan ajaran Hegel—hal ini terjadi sewaktu Marx belajar di Berlin—terutama di sisi paham dialektikanya, dan karenanya, di satu titik maupun lainnya, Marxisme terpengaruh oleh Hegel yang mengajarkan integralisme. Marx dengan demikian, menawarkan teori berbeda mengenai hak asasi manusia di dalam Marxisme, di mana Marxisme hanya mengakui hak secara kolektif, bukan hak asasi manusia secara individu.[13]

Ditinjau dari sisi ilmiah, Marx memandang bahwa hukum kodrati termasuk idealistis dan berlawanan dengan sejarah. Dengan demikian, Marxisme menolak adanya teori hak alami. Marx tidak membiarkan hak asasi manusia sebagai argumen untuk memberikan batasan hak warga negara dengan memandang mereka sekadar sebagai alat yang semata patuh terhadap jaminan hak yang tidak politis. Mengenai hak asasi, Marx juga sebatas menyatakan bahwa hak asasi manusia sekadar bahwa negara tidak mendiskriminasi manusia dalam pilihan agamanya sebagaimana negara tidak memiliki hak untuk melakukan diskriminasi terhadap Yahudi, ataupun Kristen yang tidak ada hak untuk mengajukan tuntutan atas Ateisme sebagai syarat warga negara. Marx nyata-nyata menolak konsep hak yang tidak dapat dicabut, namun Marx yang membela kaum akar rumput, melegalkan adanya aturan untuk pembatasan hari kerja bagi para pekerja. Hukum di dalam Marxisme menata bahwa harus ada aturan jelas kapan berakhirnya waktu seorang pekerja menjual dirinya sendiri, dan kapan waktu untuknya sendiri dimulai. Dalam praktik politiknya, Marx meyakini bahwa beberapa hak terkait hak manusia merupakan prasyarat yang dibutuhkan demi kemajuan menuju sosialisme. Bahkan demi mencapai titik di mana makna praktis proyek komunis mengena dan tepat guna, Marx sungguh-sungguh memperjuangkan agar hak memilih yang universal, hak untuk berkumpul dan berserikat dengan damai, juga hak dalam kebebasan pers dan hak edukasi publik tanpa sensor oleh negara menjadi hak-hak yang harus diperoleh.

Marx berpendapat bahwa hak adalah produk borjuis dan produk masyarakat kapitalis, sementara untuk mewujudkan potensi sejatinya, seseorang seharusnya kembali ke kodratnya sebagai makhluk yang sosialis. Oleh karenanya, hak individu secara perseorangan tidak diakui di dalam konsep Marxisme, yang ada di dalam tatanan Marxisme hanyalah hak kolektif yang disalurkan ke repository of all rights, serta menjadi kepemilikan negara. Masyarakat Marxisme tidak diperkenalkan adanya hak individu, sebab, yang diakui oleh masyarakat dan negara yang mengatur tatanan masyarakatnya hanyalah hak sosial. Secara khusus, mengenai hak asasi manusia, Marx tidak menolak adanya hak terkait kebebasan berserikat, kebebasan pers, dan kebebasan politik sebab, Marx justru selalu menganggap bahwa hak-hak tersebut merupakan tuntutan pertama yang diperlukan untuk sebuah gerakan revolusioner. Dalam masyarakat Marxisme itu sendiri, kodrat manusia pada hakikatnya dapat dipenuhi jika seluruh masyarakat menjadi makhluk sosial yang diiringi dengan semua alat produksi merupakan kepemilikan bersama pada saat pertikaian antarkelas tidak lagi terjadi. Sehingga, kelas-kelas di dalam masyarakat harus ditiadakan dan seutuhnya menjadi masyarakat komunis. Hak di dalam Marxisme dianggap transendental, sehingga bertolak belakang dengan hak pada liberalisme yang bersifat kekal. Hak di dalam masyarakat komunis tercapai apabila sudah tidak ada kelas-kelas lagi, tidak ada pemilikan pribadi atas sumber alam serta tidak ada pemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan hasil produksinya. Semua sudah menjadi milik bersama seluruh masyarakat.[14]

Dasar pemikiran Marx mengenai hak asasi yang hanya diakui bila hak-hak tersebut berupa hak kolektif terletak pada pemikiran Marx bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia sendiri pada dasarnya adalah manusia konkret, yakni orang-orang yang hidup pada zaman tertentu serta hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu. Keberadaan dan kondisi manusia ditentukan oleh keadaan masyarakat di mana dirinya hidup. Dengan demikian, manusia disebut sebagai makhluk sosial, sebab, dirinya hanya dapat hidup serta bisa bekerja di dalam suatu tatanan masyarakat yang ditemuinya ketika dirinya dilahirkan, dibesarkan, serta bertumbuh kembang. Manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lainnya di dalam tata masyarakat tersebut, harus terdapat suatu keseluruhan, di mana unsur-unsur yang membentuknya tidak berdiri sendiri serta tidaklah mungkin dapat terlepas satu sama lain. Setiap manusia yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut harus mampu bekerja dan berproduksi bersama-sama dan terhubung satu sama lain secara dialektik.. Hasil kerja manusia pada hakikatnya untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dan itu berarti bahwa hasil kerja tersebut diakui oleh orang lain dan artinya ia manusia berguna. Oleh karenanya, dapat dimaknai bahwa manusia sudah semestinya merasa puas dan senang dalam bekerja. Kemudian pada akhirnya, pekerjaan tersebut menjadi jembatan emas antarmanusia yang di dalam prosesnya, manusia dapat merealisasikan diri serta dapat bekerja bersama manusia lain sehingga menciptakan sejarah antarmanusia. Hal ini berbeda apabila manusia bekerja semata terpaksa untuk kebutuhan dan kepentingan orang lain. bukan karena kemauannya sendiri, apalagi bila tindakan dalam segala pekerjaan tersebut sekadar atas perintah orang lain serta hasilnya menjadi milik orang lain, maka manusia tidak merasa senang dan tidak puas, bahkan terasing dari pekerjaan dan hasil kerjanya tanpa bisa menikmati dengan baik. Lebih-lebih bila manusia bekerja harus bersaing dengan manusia lainnya. Sehingga tidak terhindarkan adanya pemikiran bahwa manusia sekadar menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia lain, lebih lagi bila manusia sekadar diperalat uang yang menjadi target ambisinya dalam bekerja.[15] Dengan kata lain, di dalam Marxisme, manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan selalu beraktivitas agar produktif sehingga terlibat dalam proses produksi. Seluruh perasaan dan pikiran masyarakat sudah tercurah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan hasilnya untuk kepentingan bersama. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan mendapatkan bagian hasil sesuai dengan kebutuhannya.[16] Hubungan kemasyarakatan yang terjalin saat bekerja dan berproduksi bersama mengantarkan manusia pada ditorehkannya sejarah. Keterkaitan masyarakat dengan sejarah dan filsafat tersebut yang kemudian disebut sebagai materialisme dialektis dalam Marxisme. Sebab itulah, hak yang diketahui dalam masyarakat Marxisme adalah hak kolektif, alih-alih perseorangan. Pun di dalam pandangan Marxisme, hak asasi manusia terkait keadilan dan kemerdekaan. Keadilan dan kemerdekaan bisa dicapai ketika pengisapan manusia oleh manusia lainnya tidak ada lagi. Pada saat keadilan dan kemerdekaan tersebut terjadi, maka teori yang dikemukakan Lenin bahwa Marxisme merupakan sistem yang komplet, menyeluruh, dan harmonis. Sebab, bagi Lenin, Marxisme memberikan jawaban untuk semua bidang kehidupan atas masalah-masalah yang dilontarkan oleh para pemikir terkemuka. Marxisme bukan semata ajaran politik, rancangan pemerintahan, masalah ekonomi, ataupun sekadar ide yang berhenti di pikiran saja tanpa diterapkan secara nyata di kehidupan. Bahkan Marxisme bukan sekadar teori belaka, melainkan juga dipraktikkan, sebagaimana yang terjadi pada Revolusi Rusia 1917.[17]

Paham Integralisme[sunting | sunting sumber]

Pada hakikatnya, pandangan integralisme mengemukakan hubungan di antara warga negara dengan penguasa negara, agar dapat membentuk satu kesatuan utuh dan bulat secara menyeluruh. Hubungan tersebut pada konteksnya didukung oleh ikatan kekeluargaan dan kebersamaan, yang menjadi salah satu inti dari integralisme yang berkembang di Indonesia sebagai negara kesatuan. Integralisme sendiri merupakan filsafat yang memiliki integralitas sebagai konsep sentral di mana seluruh bagian yang ada, menyatu berdasar pada struktur tertentu yang organis hingga menjadi terpadu. Struktur tertentu tersebut dapat meliputi segala sumber, energi, materi, nilai, juga informasi. Di dalam pandangan paham integralisme, hak asasi manusia dianggap berasal dari paham individualisme yang berlawanan dengan paham kolektivitas yang merujuk kepada paham sosialis. Paham integralisme melandasi negara dan masyarakat yang menyatu sehingga seluruh hak warga negara secara otomatis diperhatikan oleh negara. Menurut paham integralisme, dengan demikian, negara tidak mungkin akan menindas warga negaranya sendiri. Spinoza, Müller, dan Hegel mempelopori teori integralisme yang mendunia hingga bahkan paham integralisme yang berusaha diterapkan oleh Soepomo di Indonesia pun diambil dari pemikiran para filsuf tersebut. Secara global, ketiga pemikir filsafat yang diikuti oleh Soepomo tersebut berpendapat bahwa integralistik terjadi dengan adanya hubungan erat antarmasyarakat, sementara negara tidak berpihak terhadap salah satu golongan yang dianggap lebih kuat saja.[18]

Hegel[sunting | sunting sumber]

Titik tolak filsafat yang diajarkan oleh Hegel terletak pada “roh.” Dalam ajaran Hegel, roh merupakan awal mula proses perkembangan segala sesuatunya, serta didaulat sebagai satu-satunya kenyataan. Sehingga, pada akhirnya, segala sesuatu yang ada bisa disebut sebagai wujud penampilan roh. Bahwa roh adalah realitas. Hegel mencapai pemikirannya yang demikian setelah mengadaptasi model berpikir dialektika Socrates untuk menyampaikan pendapatnya melalui dialog demi mencari dan mendapatkan kebenaran yang hakiki. Socrates pernah mengemukakan bahwa untuk mencari dan memperoleh kebenaran, harus dilakukan melalui dialog, baik itu dalam perdebatan ataupun diskusi yang kemudian disebut dengan dialektika. Sementara, proses dialektika terjadi ketika proses pertentangan dihilangkan. Padahal, pertentangan itu bisa saja berada di dalam pikiran ataupun di dalam realitas. Bisa dikatakan bahwa metode dialektika berfungsi untuk memahami dialektika roh yang merupakan kenyataan. Dengan demikian, menurut pemikiran Hegel, berpikir dialektik itu sendiri merupakan cara roh berkembang secara dialektik. Di sinilah letak perbedaan antara dialektika roh menurut Hegel dengan dialektika material menurut Karl Marx. Di dalam pandangan Hegel, semua realitas atau kenyataan ini adalah “roh” dengan segala bentuk penampilannya, sementara menurut Marx, semua ini merupakan kenyataan material. Sebab Marx meyakini bahwa yang nyata adalah yang berwujud.[19] Sebagai filsuf, Hegel mengemukakan bahwa negara merupakan realitas roh atau kesadaran yang menjawab pertentangan yang timbul di masyarakat. Pertentangan yang muncul di masyarakat tidak mungkin bisa ditengahi dan diselesaikan tanpa adanya negara, sehingga menjadi tanggung jawab dan tugas negara untuk menyelesaikan pertentangan di masyarakat hingga terwujudnya perdamaian. Menurut pandangan Hegel, negara adalah perwujudan roh, sehingga negara wajib ditaati oleh setiap warga negara. Hak asasi manusia di dalam ajaran Hegel dengan demikian, menjadi hak warga negara yang diatur oleh negara. Negara hadir untuk mengelola dan mengatur segala sesuatu yang terkait hak asasi setiap warga negara yang bersatu menjadi satu kesatuan secara holistik. Negara yang dibentuk dari susunan kesatuan antarmanusia di dalam suatu masyarakat tertentu, bertanggung jawab untuk menjamin hak asasi manusia diberlakukan dengan tertib. Lebih lanjut dalam ideologi ajaran Hegel, hak asasi manusia secara holistik diatur oleh negara dan dilindungi keberlangsungannya. Seluruh warga negara berpadu menjadi satu kesatuan utuh berupa tatanan sosial dengan kebebasan yang diatur oleh negara, termasuk hak asasi. Sebuah tatanan sosial dalam masyarakat yang bebas meliputi sistem kebebasan seperti misalnya sistem hak, baik itu hak-hak asasi negatif dan hak partisipasi, maupun hak-hak kolektif dan institusi. Di dalam sistem kebebasan itu, tuntutan-tuntutan privat, moral, serta etis individu difasilitasi dan dilindungi. Hak-hak privat diberi perlindungan di dalam sistem pasar dan sistem hukum privat, sementara hak-hak moral di dalam toleransi terhadap berlakunya kebebasan keyakinan dan tuntutan etis, dilindungi implementasinya lewat partisipasi di dalam negara dengan orientasi kesejahteraan umum, berdaulat, serta mampu memajukan budaya politik, seni, dan ilmiah. Kemampuan untuk bersikap mandiri atau independen dan melawan kepentingan-kepentingan privat merupakan realisasi kebebasan negara sebagai roh realitas yang di atas segalanya, nyata-nyata melampaui hak-hak individual dan individu-individu tersebut harus mematuhi roh realitas itu.

Integralisme Soepomo[sunting | sunting sumber]

Indonesia pada khususnya, mengenal paham Integralisme Soepomo yang konsepnya disampaikan melalui pidato-pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo pada tahun 1941 sebagai seorang profesor dan 31 Mei 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI sebagai salah seorang anggota perumus undang-undang dasar negara Indonesia yang ditunjuk oleh Jepang. Sebagai landasan rumusan undang-undang dasar negara Indonesia, Soepomo menawarkan tiga teori kepada sidang yang meliputi sosialisme Marx, liberalisme, dan secara spesifik menyebut integralisme sebagai konsep paling tepat untuk Indonesia bila suatu saat kelak merdeka. Pada hakikatnya, Soepomo menyampaikan gagasan integralismenya karena tidak menerima paham sosialisme sebagai teori kelas (teori golongan) yang dipelopori Marx—serta disepakati oleh Friedrich Engels dan Vladimir Lenin—maupun paham liberalisme sebagai teori perseorangan yang berkembang luas di negara-negara Eropa dan Amerika. Secara spesifik, Soepomo menilai bahwa sosialisme menurut ajaran Marx yang berlandaskan pertikaian antarkelas tidaklah sejalan dengan watak bangsa Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia secara menyeluruh menghindari perselisihan bahkan sebaliknya, ikhlas untuk saling menolong dan gemar bergotong royong. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Marxisme yang menonjolkan pertentangan di mana ada golongan atau kelas yang lebih kuat hadir untuk menindas golongan (kelas) lainnya yang lebih lemah, dengan menjadikan negara sebagai alatnya. Di samping itu, Soepomo juga mengemukakan pandangannya bahwa liberalisme ajaran John Locke, J. J. Rousseau, Thomas Hobbes, Herbert Spencer, dan Harold Joseph Laski—yang terakhir kemudian berubah haluan menganut Marxisme—yang menyebar di Benua Eropa dan Amerika terlalu individualis untuk masyarakat Indonesia yang karakternya penuh dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaan, juga mudah berbaur dan beradaptasi, sehingga jauh berbeda dari watak masyarakat Eropa. Individualisme menurut Soepomo, pada khususnya, bertentangan dengan kultur yang telah mendarah daging di akar rumput yang begitu erat semangat kekeluargaannya, dari struktur masyarakat paling kecil di Indonesia hingga yang cakupannya luas. Di satu sisi, Soepomo merumuskan pemikirannya mengenai Negara Integralistik dari paham integralisme yang diilhami dari ajaran Adam Müller, Baruch de Spinoza, dan Hegel.

Paham negara integralisme Indonesia yang dirumuskan Soepomo masih linear dengan teori integralisme oleh para pemikir integralisme lain. Pembeda paham integralisme yang dikenal dunia dari paham integralisme yang digagas Soepomo berakar dari sifat bangsa Indonesia yang sesuai semboyan bhinneka tunggal ika dengan keanekaragaman budaya dan karakter suku bangsa yang majemuk dan plural, meskipun segala perbedaan tersebut bukan dijadikan pertentangan, tapi sebaliknya, justru dipersatukan dalam satu kesatuan utuh, bulat, dan holistik yang integral menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemikiran mengenai negara integralisme yang dicetuskan Soepomo merupakan penggabungan dari paham individualisme dengan sosialisme yang diselaraskan dengan karakter masyarakat Indonesia di mana watak kekeluargaan, gotong royong, bahu-membahu, dan saling membantu sudah mendarah daging. Bisa dikatakan bahwa menurut rumusan Soepomo, negara hadir tidak dengan tujuan untuk menjamin kepentingan masing-masing individu. Negara juga hadir bukan hanya untuk golongan tertentu saja dan negara tidak berpihak kepada suatu golongan, melainkan negara ada untuk memberikan jaminan atas kepentingan keseluruhan masyarakat seutuhnya melebur ke dalam satu kesatuan yang integral. Negara integralistik mengakui bahwa kepentingan umum berada di atas kepentingan individu ataupun golongan, serta sejalan dan selaras dengan kultur Indonesia. Dalam artikel "Teori Integralistik Menurut Soepomo" yang ditulis Vanya Karunia Mulia Putri dengan Nibras Nada Nailufar sebagai editornya, dijabarkan bahwa teori integralisme Soepomo memiliki enam faktor penting, mencakup:[20]

  1. Negara tersusun dari satu kesatuan masyarakat beserta seluruh golongan.
  2. Setiap anggota masyarakat secara menyeluruh bersatu menjadi satu kesatuan secara integral dan organis.
  3. Mengutamakan kepentingan masyarakat yang telah bersatu padu menjadi satu kesatuan utuh.
  4. Negara tidak berpihak kepada salah satu individu atau golongan tertentu. Negara meletakkan kepentingan masyarakat di tas kepentingan pribadinya sendiri. Negara harus meletakkan keselamatan dan kehidupan bangsa sebagai satu kesatuan utuh di atas lainnya.
  5. Negara bersatu dengan rakyat demi membentuk satu kesatuan utuh.
  6. Negara berada di posisi lebih atas daripada semua golongan, di bidang apapun itu.

Filsafat Hak Asasi Manusia di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Para pendiri bangsa di dalam merumuskan konsep negara menjelang kemerdekaan, pada hakikatnya mengembangkan, mengkontemplasikan, dan merundingkan segala pemikiran para filsuf terdahulu, terutama dari negara-negara Barat. Konsep negara yang kemudian tertuang di dalam UUD 1945 berisi pemikiran para ahli ideologi, sehingga tiap-tiap warga negara Indonesia terlindungi hak-haknya dan dapat menyandang hak-haknya tersebut berkat pemikiran para bapak pendiri bangsa yang menuangkannya berdasarkan filsafat hak asasi manusia di dunia. Baik Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, maupun Soepomo, hadir dengan pemikirannya masing-masing yang berakar dari ideologi para filsuf mengenai hak-hak asasi manusia secara global. Salah satunya yang diperjuangkan oleh Soepomo di mana dalam paham integralisme yang dicetuskannya terdapat pada poin bahwa masing-masing Warga Negara Indonesia ataupun semua golongan dijamin untuk tidak tertindas oleh pihak lain, serta mendapatkan jaminan perlindungan bilamana seseorang atau golongan ditindas oleh pihak lain, baik antarindividu/antargolongan maupun intragolongan dalam hubungan yang berpola horizontal.

Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia termaktub di dalam UUD 1945 Republik Indonesia sesuai konsep negara yang dirumuskan para founding fathers Soekarno, Hatta, Yamin, dan Soepomo serta kemudian dikembangkan hingga sekarang demi menyesuaikan kondisi kemajuan zaman mutakhir yang berbeda dibandingkan dengan dahulu. Hak asasi manusia di Indonesia tercantum di UUD 1945 setelah mendapatkan perubahan, seperti yang tertuang khususnya pada:[21]

  • pasal 27 ayat (1) hak yang berkenaan kedudukan di bidang hukum dan pemerintahan.
  • pasal 27 ayat (2) hak yang berkenaan pekerjaan dan penghidupan.
  • pasal 28A hak untuk hidup.
  • Pasal 28B ayat (1) hak untuk berkeluarga.
  • pasal 28B ayat (2) hak anak untuk hidup tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi.
  • pasal 28C ayat (1) hak yang berkenaan mendapatkan pendidikan serta mengembangkan diri.
  • pasal 28C ayat (2) hak yang berkenaan memajukan diri dan berjuang atas haknya demi bangsa dan negara.
  • pasal 28D ayat (1) hak yang berkenaan persamaan dalam perlakuan di bidang hukum.
  • pasal 28D ayat (3) hak yang berkenaan kesempatan di dalam pemerintahan.
  • pasal 28D ayat (4) hak yang berkenaan status warga negara.
  • pasal 28E (1) hak yang berkenaan agama, pendidikan, kewarganegaraan, dan tempat tinggal.
  • pasal 28E ayat (2) hak yang berkenaan kebebasan meyakini kepercayaan.
  • pasal 28E ayat (3) hak yang berkenaan berserikat, berkumpul, serta menyuarakan opini.
  • pasal 28F hak yang berkenaan komunikasi, lingkungan sosial, dan informasi.
  • pasal 28G ayat (1) hak yang berkenaan rasa aman dan perlindungan tanpa diancam hingga ketakutan.
  • pasal 28G ayat (2) hak untuk tidak disiksa atau tidak direndahkan, serta hak suaka politik.
  • pasal 28H ayat (1) hak yang berkenaan hidup sejahtera dan mendapat layanan kesehatan.
  • pasal 28H ayat (2) hak untuk mendapat kesamaan kesempatan dan manfaat demi keadilan.
  • pasal 28H ayat (3) hak yang berkenaan jaminan sosial.
  • pasal 28H ayat (4) hak yang berkenaan hak milik pribadi.
  • pasal 28I ayat (1) hak yang berkenaan kemerdekaan pikiran, juga hati nurani.
  • pasal 28I ayat (2) hak yang berkenaan untuk tidak didiskriminasi.
  • pasal 28I ayat (3) hak yang berkenaan penghormatan atas identitas budaya dan masyarakat tradisional.
  • pasal 28I ayat (4) berkenaan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak warga negara.
  • pasal 28I ayat (5) berkenaan jaminan, aturan, dan undang-undang untuk menegakkan dan melindungi pelaksanaan hak asasi manusia.
  • pasal 28J ayat (1) berkenaan kewajiban saling menghormati hak asasi orang lain.
  • pasal 28J ayat (2) berkenaan pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi orang lain.
  • pasal 29 ayat (2) hak yang berkenaan agama dan ibadat.
  • pasal 30 ayat (1) hak yang berkenaan usaha mempertahankan dan mengamankan negara, beserta kewajibannya.
  • pasal 31 ayat (1) hak yang berkenaan pendidikan.

Pada hakikatnya, konsep hak asasi manusia diterima oleh masyarakat Indonesia karena sejalan dengan konsep ideologi Pancasila. Meskipun pada awalnya, para perumus konsep negara memiliki perbedaan pendapat mengenai konsep hak asasi manusia. Menurut Phalita Gatra,[22] Soekarno dan Soepomo menyampaikan pemikiran mengenai hak asasi manusia berakar dari paham individualisme yang bertentangan dengan paham yang akan menjadi prinsip negara sehingga sepakat untuk tidak memasukkan konsep hak asasi manusia ke dalam konsep negara yang tengah mereka bangun. Di satu sisi, Soepomo sekadar beragumentasi untuk menggunakan kata “kebebasan atau kemerdekaan” alih-alih kata “hak,” karena konsep hak yang individualistis serta lekat dengan paham individualisme tidak sejalan dengan paham integralisme yang dipegangnya secara prinsip. Sementara Hatta dan Mohammad Yamin sama-sama beropini bahwa hak asasi manusia perlu dimasukkan ke dalam UUD 1945. Hatta mengemukakan bahwa itu perlu dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Hatta bersikeras untuk memasukkan—pada khususnya—hak berserikat, bersuara, dan menyatakan pendapat ke dalam konsep negara, kemudian seiring pelaksanaannya, warga negara dijamin mendapatkan hak-haknya tersebut sebagai unsur penting demi melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara. Yamin menekankan bahwa hak asasi manusia harus dapat diakui oleh UUD 1945 sebagai perlindungan kepada kemerdekaan warga negara. Tiap-tiap warga negara harus dijamin kemerdekaannya di dalam menyandang hak asasi yang telah melekat pada dirinya semenjak masih di dalam kandungan sehingga tidak mendapatkan diskriminasi, perisakan, ataupun penindasan dari pihak lain.

Hak asasi manusia di Indonesia berakar dari pemikiran para pendiri bangsa yang melandaskan prinsipnya berdasar ideologi yang dicetuskan dan dikembangkan para filsuf terdahulu. Meskipun demikian, para pendiri bangsa tidak serta merta mengintisarikan pemikiran para ahli filsafat Barat dan menerapkannya mentah-mentah ke dalam konsep negara dengan masyarakat majemuk dan plural tetapi mampu berpadu menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat di Indonesia. Bahkan meskipun paham integralisme di Barat merupakan paham yang paling mendekati konsep negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa, masih ada beberapa faktor dalam pandangan integralisme Barat yang tidak memungkinkan untuk dijadikan fondasi dalam bernegara dan bermasyarakat oleh bangsa Indonesia. Paham integralisme di Barat yang mengimplementasikan absolutisme negara dalam memantau dan mengintervensi hak asasi warga negaranya jelas dimentahkan di Indonesia oleh ideologi Pancasila yang demokratis sesuai pada sila ke-4. Di sisi lain, ideologi integralisme yang menjunjung tinggi kedudukan negara di atas segalanya sehingga bahkan penerapan hak asasi manusia bisa saja dinegasikan kapan pun dan pada situasi apa pun sesuai kehendak negara, tidak dapat diterapkan di Indonesia yang justru memprioritaskan hak asasi tiap-tiap warga negara serta untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan negara sebagai pengawas, pelindung, dan pemberi jaminan. Integralisme di Barat juga bertolak dari kedaulatan negara di mana negara memiliki kekuasaan mutlak yang tidak dapat diganggu gugat, sementara di Indonesia, warga negara memegang kedaulatan tertinggi. Kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan tertinggi yang kemudian diwakilkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di Indonesia, negara hadir justru untuk mengawasi, memantau, melindungi, memberi jaminan, dan menegakkan implementasi hak asasi manusia agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku sehingga masing-masing warga negara tidak saling mengalami pertentangan pada saat menerapkan hak asasinya masing-masing. Namun demikian, bilamana perselisihan maupun konflik terjadi di antara masyarakat pada saat berlangsungnya pelaksanaan hak asasi, maka negara wajib hadir untuk menengahi dan menuntaskan, serta memberikan solusi.

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Beitz 2019, tanpa halaman.
  2. ^ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
  3. ^ a b c Woolf 1979, hlm. 656.
  4. ^ a b c Woolf 1979, hlm. 581.
  5. ^ Davidson 1994, hlm. 36.
  6. ^ Introduction to Philosophy.
  7. ^ Scholten 1949, hlm. 83.
  8. ^ Davidson 1994, hlm. 37.
  9. ^ Rousseau 1986, hlm. 15.
  10. ^ Naning 1983, hlm. 15.
  11. ^ Woolf 1979, hlm. 699.
  12. ^ Landau 1996, hlm. 442.
  13. ^ Darsono 2007, hlm. 14-15.
  14. ^ Darsono 2007, hlm. 112.
  15. ^ Darsono 2007, hlm. 26-27.
  16. ^ Darsono 2007, hlm. 112-113.
  17. ^ Njoto 2003, hlm. 2-3.
  18. ^ Sugiarto 2018, hlm. 62-64.
  19. ^ Darsono 2007, hlm. 20-21.
  20. ^ Putri 2021, tanpa halaman.
  21. ^ "Undang-Undang Dasar 1945 & Amandemennya" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-07. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  22. ^ Gatra 2019, tanpa halaman.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku[sunting | sunting sumber]

Jurnal[sunting | sunting sumber]

Sumber Daring[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]