Kabupaten Sanggau: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
k ←Suntingan 103.10.67.76 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Hamba rasulullah
Baris 75: Baris 75:
== Sejarah ==
== Sejarah ==
Suku Melayu adalah suku asli Kabupaten Sanggau yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Sanggau. Kerajaan ini sudah berdiri sejak tahun 1380. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja dan bertempat tinggal di istana/keraton, dan kalangan kerajaan yang bertahta sekarang merupakan keluarga Gusti.
Suku Melayu adalah suku asli Kabupaten Sanggau yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Sanggau. Kerajaan ini sudah berdiri sejak tahun 1380. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja dan bertempat tinggal di istana/keraton, dan kalangan kerajaan yang bertahta sekarang merupakan keluarga Gusti.

SEJARAH KERAJAAN SANGGAU

1. Sejarah
Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dari kota pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri satu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan "Sanggau" sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh ditepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni sungai sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat Karya J.U Lontan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga (J.U. Lontaan, 1975:70). Namun ada juga pendapat yang meyakinini bahwa nama "Sanggau" diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga (Primasolo dalam www.kr.co.id).
a. Masa Awal Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dnegan orang-orang dari Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Ditengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang berimigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, Rombongan Patih Bardat dan Patih Bangii memutuskan untuk meneruskan perjalanannya, menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan Rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja sekadau (www.pontianakonline.com).
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya disebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah tinggal di Labai Lawai dalam perjalan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut. (www.harianberkat.com).
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerjaaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 april 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu maka pada tanggal 26 juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau yaitu Melayu, Dayak dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat in (www.borneotribun.com).
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalnkan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi emnuju ke daerah Semboja dan Segarong (Lontan, 1975:171).
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan sanggau tersendat. Kelajutan Riwayat Kerajaan sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Buruk Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten (Lontaan, 1975:172). Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang (Syahzaman & Hasanudin, 2003:32).
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah itu berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita (Lontan, 1975:172)
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pengeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng (A. Roffi Faturrahman, et.al., tt:97).

Istana Beringin Kesultanan Sanggau

b. Eksistensi Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. BAbang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaludin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, Dara Hijau (Lontaan, 1975:173)
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamarudin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamarudin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerjasama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehat kesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut (Faturrahman, et.al., tt:98).
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menerita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapatkan julukan Abang Sebilang Hari (Lontaan, 1975:174).
Pasca wafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pengeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan "Gentar Alam" kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak (Faturrahman, et.al., tt:98).
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan ekspansi untuk memperluas wilayahnya (Hasanuddin. 2000:17). Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdaganggan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulai milik Kerajaan Sanggau (Ansar Rahman, 2000:81).
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak (Lontaan, 1975:174).
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali I Surya Negara (1812-1823 M) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami' Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan berseri dengan judul "Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa", disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basillius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon Sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut hingga kini belum dapat dilacak dan ditemukan (Lontaan, 1975:175).
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Penembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.
Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh Hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta sebagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Keusltanan Sanggau dengan Belanda.
Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W.van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara Meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali II Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915 (Faturrahman, et.al., tt:98). Pemangku tahta Kesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Ade Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Ade Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 stelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, Kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintahan militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagi pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagi penggantinnya (Lontaan, 1975:177). Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga sanggau diubah menjadi daerah swapraja. dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius, dama Pontianak Pos, 3 Oktober 20024). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepada Daerah Swantara Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darusalam, Pangeran Rati Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin (www.equator-new.com).

Istana Kuta Kesultanan Sanggau
2. Silsilah
Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat" dan tulisan bertajuk Kesultanan Sanggau" Karya A. Roffi Faturrahman, et.al. (tt) yang terhimpun dalam buku Istana-istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut :
• Dara Nante (1310 M)
• Dakkudak
• Dayang Mas Ratna (1485-1528 M)
• Dayang Puasa atau Nyai sura (1528-1569 M).
• Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
• Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658) M).
• Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
• Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
• Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
• Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
• Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara ( 1762-1785 M).
• Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812 M).
• Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
• Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
• Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1828-1860).
• Panembahan Thahir II (1860-1876).
• Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
• Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1908-1915).
• Pangeran Gusti Mohammad said Paku Negara ( 1915-1921).
• Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
• Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
• Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
• Penembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
• Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945)
• Pangeran ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009)
Silsilah Kesultanan Sanggau Hingga Tahun 1945
3. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan hukum-hukum adat setempat. Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya. Ketidakmampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.
Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai diampu orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah. dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan dayang Mas Ratna. Pengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh suami yang bernama Abang Awal (Faturrahman, et.al., tt:97).
Sejak masa kepemimpinan dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan pemerintahannya, biasanya Raja atai Sultan Sanggau dibantu oleh penasehat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahakan, sejumlah orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau, beberapa di antaranya adalah Panemabahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para pemegang jabatan Ade pada umunya adalah saudara kandung dari pemimpin Kesultanan Sanggau yang tengah berkuasa.
Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dari Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumangeara (1658-1690 M). selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.
Sisitem pemerintahan Keusltanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pemngeruhnya di Kesultanan Sanggau, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Igama (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004). Pembentukan Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.
Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang berlaku Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau. tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain :nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengankatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin) masjid (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 oktober 2004).
Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan Kesultanan dimana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915(, sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).Orang-orang yang menolak oengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengakatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Rapublik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan, 1975:177). Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun selamanya, akhirnya pada tanggal 26 juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Aman Surya Negara dinobatkan sebagai sultan Sanggau (www.equator-news.com).
Penobatan Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara

4. Wilayah Kekuasaan
Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya. Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam. Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai sekayam. Pemerintahan Kerajaan/kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658-1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau (Lontaan, 1975:173).
Menurut laporan Basillius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 september 2004 yang terangkai dalam tulisan berseri dengan judul "Melihat Perkembangan sanggau dari Masa ke Masa", disebutkan bahwa Sultan Ayub Paku Negra (1823-1828) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 september 2004). Sementara Lontaan (1975) menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang teah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi (Lontaan, 1975:175).
Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah talkukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangakai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah darah lainnya (Basillius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak ditengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan denagn Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.


== Iklim ==
== Iklim ==

Revisi per 28 Oktober 2013 13.38

Daerah tingkat II
Peta
Kabupaten Sanggau (Indonesia)
Koordinat: 0°06′N 110°36′E / 0.1°N 110.6°E / 0.1; 110.6
Negara Indonesia
ProvinsiKalimantan Barat
Tanggal berdiri-
Dasar hukum-
Hari jadi-
Ibu kotaSanggau
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 15
  • Kelurahan: 6
Pemerintahan
 • BupatiIr. H. Setiman H. Sudin
Luas
 • Total12.857,70 km2 (496,440 sq mi)
Populasi
 ((2005))
 • Total372.448
 • Kepadatan29/km2 (80/sq mi)
Demografi
 • AgamaIslam, Katolik, Protestan, Buddha, Kong Hu Cu dan Hindu
 • BahasaBahasa Indonesia, Melayu, Dayak dan dialek Tionghoa
Zona waktuUTC+07:00 (WIB)
Kode pos
785xx
Kode BPS
6105
Kode area telepon+62 564 dan +62 563
Kode Kemendagri61.03
APBD-
DAURp. 674.049.502.000.-
Semboyan daerahSanggau Permai
Flora resmi-
Fauna resmi-
Situs webhttp://www.sanggau.go.id/


Kabupaten Sanggau adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara provinsi Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.857,70 km² dengan kepadatan 29 jiwa per km². Dilihat dari letak geografisnya kabupaten sanggau terletak di antara 1° 10" Lintang Utara dan 0° 35" Lintang Selatan serta di antara 109° 45", 111° 11" Bujur Timur. Daerah ini merupakan tempat kelahiran Gubernur Kalimantan Barat saat ini, Cornelis M.H.

Sejarah

Kontrak 1756, Sultan Tamjidullah I dari Banjarmasin dengan VOC-Belanda mendaftarkan Sanggau dalam wilayah pengaruh Kesultanan Banjarmasin.[1] Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam wester-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[2]

Geografis

Batas wilayah

Kabupaten Sanggau memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Utara Serian, Sarawak, Malaysia Timur
Timur Kabupaten Sintang dan Peniti, Kabupaten Sekadau
Selatan Kabupaten Ketapang
Barat Jelimpo, Kabupaten Landak

Suku bangsa

Kantor bupati Sanggau.

Suku bangsa yang ada di daerah ini adalah:

Selain suku-suku setempat terdapat pula suku-suku lain yang merupakan pendatang, seperti:

Sejarah

Suku Melayu adalah suku asli Kabupaten Sanggau yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Sanggau. Kerajaan ini sudah berdiri sejak tahun 1380. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja dan bertempat tinggal di istana/keraton, dan kalangan kerajaan yang bertahta sekarang merupakan keluarga Gusti.

Iklim

Kabupaten Sanggau beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan tertinggi mencapai 196 mm terjadi pada bulan Januari dan terendah mencapai 54 mm terjadi pada bulan Juli.

Pada umumnya Kabupaten Sanggau merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan rawa-rawa yang dialiri oleh beberapa sungai seperti Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam.

Adapun jenis tanah yang terdapat di kabupaten Sanggau adalah jenis podsolik yang hampir merata di seluruh kecamatan.

Tofografi

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sanggau adalah jenis tanah podsolid merah kuning batuan dan padat yg hampir seluruh Kecamatan dengan luas mencapai sekitar 576,910 ha.

Geologi

Formasi geologi antara lainj adalah Formasi kwartir, Kapur, Trias, Pistosen, Instruksif dan Plutonik Basa menengah, Intruksif Plutonik Asam, Seksi Hablur Intruksif dan Plutonik Lapisan Batu dan Permo Karbon.

Pariwisata

Pancur Aji

Pancur Aji merupakan salah satu objek wisata alam yang terdapat di Kabupaten Sanggau, Wisata ini terletak di kota Sanggau dengan jarak kurang lebih 4 km dari kota Sanggau. Lokasi ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Konon ceritanya lokasi ini merupakan persembunyian Bujang Melaka membentengi diri dari kejaran musuh. Kawasan ini nantinya akan dikembangkan atau ditata menjadi kawasan yang memiliki kesesuaian dan integritas antara satu dengan lainnya.

Rencana pengembangan kawasaan wisata Pancur Aji akan di kembamgkan antara lain : resort, villa, cottege dan fasilitas perlengkapan,sarana dan prasarananya, kebun binatang, aktrasi wisata air ( kolam pemancingan, kolam renang bagi anak, perahu dayung bagi anak-anak ), wisata minat khusus (camping ground, outbond) dan pentas hiburan, taman bunga,warung rakyat dan warung kuliner, pendopo, wisata aktraksi kereta api mini.

Arung jeram

Arung Jeram merupakan salah satu olahraga yang bernilai rekreasi ( sport tourism) yang banyak menarik minat orang untuk mengikutinya. Arung jeram juga dianggap sebagai wisata petualangan yang menantang sekaligus atraktif dan memberikan pengalaman yang cukup mendalam bagi yang pernah mengikutinya. Kabupaten Sanggau memiliki lokasi arum jeram yang terletak Entikong di Kecamatan antara suruh tembawang ke kota Entikong Kecamatan Entikong, kurang lebih 115 Km dari kota Sanggau.

Arung jeram suruh tembawang memiliki 20 riam ( kesulitan ) yang terjal dengan waktu tempuh dari Entikong ke Suruh Tembawang 5 sampai 12 jam tergantung kondisi air, serta memiliki tikungan sungai yang sempit. Arung jeram suruh tembawang merupakan peluang bagi investasi untuk mengembangkan olahraga arung jeram ini.

Sipatn Lotup (air panas)

Objek wisata sumber air panas ini terletak di kampung Peruntan, Desa Sape, Kecamatan Jangkang yang dapat dikunjungi melalui jalan darat dari Kecamatan Kembayan menuju Jangkang atau dari kota Sanggau melalui Kecamatan Mukok selanjutnya menuju lokasi air panas tersebut dengan jarak tempuh kurang lebih 70 km dari kota Sanggau.

Sumber air panas ini oleh penduduk setempat dinamakan Sipatn Lotup yang artinya air mendidih. Keunikan sumber air panas Sipatn Lotup ini berasal dari mata air yang di panaskan oleh panas bumi (geothermal) dengan temperatur 52-55 derajat Celsius, Air panas Sipant Lotup termasuk andalan wisata kabupaten Sanggau, namun belum banyak yang mengetahui potensi wisata ini, sehingga belum banyak yang mengunjungi sumber air panas yang unik ini. Kedepannya sumber air panas ini dapat dikembangkan atau ditata sehingga memiliki kesesuain dan intergrasi antara satu dengan lainnya berupa tempat pemandian air panas, sarana dan prasarana lainnya, tempat parkir tempat penggantian pakaian, warung rakyat, pendopo, dan taman bermain.

Gunung Tiong Kandang

Gunung Tiong Kandang merupakan salah satu objek wisata alam dan sebagai kawasan hutan lindung yang terjaga dengan baik oleh masyarakat setempat yang terdapat di Kabupaten Sanggau. Wisata gunung Tiong Kandang ini terletak di Dusun Mangkit dan Dusun Mak Ijing dengan jarak 83 km dari kota Sanggau, dapat ditempuh dengan kenderaan roda dua atau roda empat melalui Dusun Mangkit dengan jarak 2.502 meter sampai di pedagi, atau melalui Dusun Mak Ijing dengan jarak 2.855 meter sampai ke pedagi di tengah-tengah gunung Tiong Kandang, sebuah batu dengan ketinggian 160 cm berbentuk pintu masuk oleh masyarakat menuju puncak gunung, sedangkan kiri kanan batu terdapat jurang yang sangat dalam.

Objek wisata gunung Tiong Kandang terdapat lokasi air terjun yaitu air terjun Kajang memiliki tiga tingkatan yang terletak disebelah utara Dusun mangkit dan air terjun Nosok dengan ketinggian 6 meter terletak di sebelah selatan Dusun mangkit,dan terdapat batu berbentuk kulintang serta batu pengasih di puncak gunung Tiong Kandang.

Dengan menjaga keseimbangan antara pola pengembangan dan karakteristik ekologi atau lingkungan alam dan budaya yang dimiliki, dengan menekankan pada upaya mengembangkan perekonomian lokal untuk meningkatkan kesejahteraan setempat,berupa home stay, sarana dan prasarana, camping ground, taman safari, penjelajahan, penelitian, dan outbond. Gunung tiong kandang pada bulan Agustus 2008 pernah di kunjungi oleh delegasi Dinas kehutanan Kanada dan Amerika Serikat.

Ekonomi

Ekonomi Sanggau ditopang oleh dua komoditas utama,yakni karet dan sawit.

Transportasi

Sebagian besar transportasi di Kabupaten Sanggau masih mengandalkan transportasi sungai seperti sampan, speedboat dan lain-lain. Daerah ini juga masih mengandalkan transportasi umum seperti bus, angkutan dalam kota dan lain-lain.

Penduduk

Jumlah penduduk

Jumlah penduduk di Kabupaten Sanggau pada tahun 2010 tercatat sebanyak 407.989 jiwa terdiri atas 211.304 Laki-laki dan 196.685 Perempuan (BPS 2010) dengan laju Pertumbuhan sebesar 1,63 Persen per tahun. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Kapuas dengan jumlah penduduk sebanyak 78.702 jiwa sedangkan jumlah penduduk yang terkecil terdapat di Kecamatan Noyan dengan jumlah penduduk sebanyak 9.872 jiwa.

Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk Kabupaten Sanggau rata-rata 32 jiwa per km2, dengan jumlah kepadatan penduduk terbesar adalah Kecamatan Kapuas yakni 57 jiwa per kilometer persegi dan paling jarang penduduknya adalah kecamatan Toba sebesar 11 jiwa per kilometer persegi. Masalah pokok dalam bidang kependudukan antara lain adalah jumlah penduduk yang besar, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran penduduk yang belum merata, komposisi penduduk yang tidak seimbang serta arus urbanisasi dari desa ke kota. Untuk mengetahui secara jelas mengenai jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Sanggau pada tahun 2009 dapat dilihat pada link Kabupaten Sanggau terkait.

Pendidikan

Pemekaran Daerah

Kabupaten Sekayam Raya

Kecamatan yang mungkin bergabung ke dalam kabupaten ini meliputi :

Ibukota kabupaten ini adalah Entikong.

Kabupaten Tayan


Referensi

  1. ^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië". 23 (1-2): 218. 
  2. ^ (Belanda) Staatsblad van Nederlandisch Indië, s.n., 1849

Pranala Luar