Lompat ke isi

Orang Tionghoa di Lasem

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kelenteng di Lasem.

Orang Tionghoa di Lasem adalah sekelompok masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Munculnya kelompok tersebut tidak terlepas dari sejarah perdagangan orang Tionghoa di Indonesia yang menjadikan pesisir utara Jawa (termasuk Lasem) sebagai pintu awal masuknya. Dalam perkembangannya, kepentingan Tionghoa tidak hanya menyoal perdagangan, mereka juga meleburkan diri dengan kelompok pribumi: menikah dengan pribumi bahkan mencampurkan kebudayaan mereka.[1] Hal itu yang menyebabkan beberapa peniliti merasa kesulitan untuk melacak jejak budaya kelompok Orang Tionghoa pertama yang singgah di Lasem. Berbeda dengan Tionghoa Jawa yang sangat beragam, mencakup orang Tionghoa di berbagai wilayah di Jawa, Orang Tionghoa di Lasem secara spesifik membahas tentang dinamika dan perkembangan yang dialami oleh kelompok Tionghoa di wilayah Lasem.

Terbentuknya komunitas Tionghoa di Lasem tidak terlepas dari lokasi strategis Lasem yang berada di pesisir utara Laut Jawa. Di wilayah tersebut kemudian banyak bermunculan kapal-kapal dagang dari berbagai negara yang singgah. Lama kelamaan, Lasem berkembang menjadi kota pusat perdagangan pada masa kolonial Belanda. Wilayah strategis Lasem dalam hal perdagangan itu juga mengundang orang Tionghoa untuk datang untuk misi berdagang. Mereka datang dengan menggunakan perauh-perahu jung dari arah tenggara dataran Tiongkok. Pelabuhan-pelabuhan besar di sepanjang pesisir Laut Jawa tersebut juga banyak menghadap ke Laut Tiongkok Selatan. Hal itu juga mendukung orang Tionghoa untuk menetap di kota-kota pelabuhan tersebut.[1]

Perekonomian mereka di Indonesia justru menjadi semakin maju ketimbang ketika berada di Tiongkok yang sarat dengan kekangan dari kerajaan. Dalam mengembangkan perekonomiannya, orang Tionghoa memegang teguh nilai-nilai seperti ketekunan, berhemat, mengandalkan diri sendiri, semangat dalam berusaha dan keterampilan, ditambah dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah ditemukan dan dikendalikan.

Dalam perkembangannya, eksistensi orang Tionghoa juga harus berhadapan dengan keberadaan pemerintah kolonial Belanda. Semakin kuatnya eksistensi kolonial Belanda tidak serta merta membuat eksistensi orang Tionghoa di Lasem menyurut. Orang Tionghoa bahkan diberikan peranan atau posisi khusus untuk mengelola perekonomian sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan serta finansial yang menyeluruh; membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar hingga ke pasar-pasar desa. Keberadaan orang Tionghoa di Lasem dalam perkembangannya tidak hanya dalam rangka berdagang. Mereka membaur dengan unsur dan budaya lokal sehingga beberapa peneliti kesulitan untuk mengenali jejak-jejak budaya Tionghoa generasi pertama yang muncul di Lasem. Mereka juga tidak hanya menjadi kelompok yang identik dengan perdagangan, mereka juga mempunyai minat menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan Jawa atau pachter (pengusaha tanah) pemerintah Belanda.[2]

Perubahan Pemukiman Tionghoa di Lasem

[sunting | sunting sumber]

Keturunan Tionghoa yang bermigrasi ke Lasem tidak hanya berasal dari satu golongan, mereka terdiri dari berbagai macam golongan. Tempat tinggal para golongan tersebut di negeri asalnya (Tiongkok) juga tidak saling berdekatan. Sebagai misal, orang Tionghoa yang mendiami pemukiman Tionghoa di Lasem berasal dari daerah Fukien Selatan yang merupakan imigran terbesar di negara-negara Asia pada abad ke-19. Sama halnya dengan orang Tionghoa pada umumnya, mereka juga memiliki kepiawaian dalam berdagang dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Tionghoa lain yang bermukim di Lasem adalah suku bangsa Hokka yang berasal dari Provinsi Guangdong di bagian Tiongkok selatan. Mereka lebih senang merantau ke daerah selatan dari tempat tinggal aslinya. Sementara itu, suku Tie Ciu dan Kwang Fu yang berasal dari pantai utara Tiongkok atau tepatnya pedalaman Swatow di bagian timur Provinsi Kwantung juga banyak mendiami pemukiman di Lasem.[3]

Dalam perkembangannya, pertumbuhan penduduk Tionghoa di Lasem menjadi semakin banyak jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di pantai utara Jawa, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Terlbih lagi ketika terjadi huru-hara pembantaian etnis Tionghoa di berbagai wilayah, Lasem menjadi pelarian banyak di antara mereka. Perasaan sebangsa dan senasib tentu menjadi pemicu tingginya orang Tionghoa yang bermigrasi ke Lasem dalam momentum itu. Namun demikian, berkaitan dengan pembrontakan yang pernah terjadi antara penduduk Lasem melawan VOC, pemerintah Belanda selalu menaruh kecurigaan kepada kota ini. Lasem dianggap seperti api dalam sekam yang perlu diawasi dan dikontrol. Akhirnya, Lasem yang semula adalah ibu kota kabupaten, diubah statusnya menjadi kecamatan. Kabupaten Lasem kemudian dipindahkan ke Rembang. Hal itu membuat pertumbuhan Lasem makin hari makin ditekan untuk tidak bisa berkembang. Perekonomian orang Tionghoa di Lasem pun semakin mengalami ketidakpastian. Begitu pula dengan wilayah pemukiman mereka, jika dibandingkan dengan kota-kota di Pantai Utara Jawa lainnya seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, pemukiman mereka terhitung sangat tidak berkembang.[3]

Akulturasi Budaya Tionghoa

[sunting | sunting sumber]

Dalam perkembangannya, orang Tionghoa ternyata lebih banyak membaur dengan kebudayaan lokal Indonesia ketimbang dengan masyarakat Eropa, dalam hal ini adalah Belanda. Namun demikian, orang Tionghoa juga tidak melunturkan budaya asli mereka. Terjadinya percampuran antara orang Jawa dengan orang Tionghoa melalui proses yang tidak sebentar. Interaksi mereka telah terbangun dalam waktu yang lama, terutama dalam hal transaksi jual-beli. Menurut orang Jawa, orang Tionghoa dikenal sebagai pedang yang ulet dan terampil, sehingga mereka banyak berguru dan meniru cara berjualan orang Tionghoa. Begitu pun bagi orang Tionghoa, mereka yang sudah memiliki lebih dari tiga generasi di Lasem menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat istiadat yang ada di sana. Membaurnya orang Tionghoa dengan budaya setempat turut memengaruhi beberapa aspek kesenian Jawa, salah satunya adalah bati. Pengaruh tersebut tercermin dalam warna dan ragam hias dari batik yang ada di Lasem, bahkan sampai ke Cirebon (disambiguasi) dan Pekalongan. Beberapa orang Tionghoa bahkan juga ada yang menjadi ahli seni serta pelindung kesenian Jawa sekaligus menjadi penulis Jawa.[4]

Bercampurnya atau akulturasi kebudayaan orang Jawa dengan orang Tionghoa di Lasem juga tercermin dalam bentuk atau praktik kebudayaan orang Tionghoa di Lasem yang diterima baik oleh orang Jawa. Keberadaan kelenteng-kelenteng yang merupakan tempat peribadatan orang Tionghoa masih berdiri kokoh hingga saat ini. Nuansa yang menyelimuti kelenteng tersebut sangat khas dengan budaya Tionghoa dan berada di antara kebudayaan masyarakat Jawa. Ketika hari besar orang Tionghoa tiba pun, mereka akan merayakannya dengan sukacita. Mereka menampilkan beberapa atraksi seperti barongsai, liang liong, wayang potchi, dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Kegiatan tersebut juga menjadi tontonan warga lokal serta warga di sekitar Lasem. Hal itu cukup memperlihatkan bahwa keberadaan orang Tionghoa di Lasem amat diterima baik oleh masyarakat setempat. Hubungan yang saling silih asih antar kedua kelompok tercermin dalam praktik-praktik kebudayaan dan keagmaan.[5]

Batik Tulis di Lasem

[sunting | sunting sumber]

Batik Tulis di Lasem memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang, terlebih apabila dikaitkan dengan keberadaan orang Tionghoa di Lasem. Dalam sejarahnya, Lasem dikenal sebagai kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ketika itu, Lasem dipimpin oleh seorang Raja bernama Bhre Lasem I atau Rajasaduhitendudewi atau Dewi Indu (1350-1375). Keberadaan batik sendiri sudah dikenal sebagai pakaian para bangsawan Kerajaan Majapahit. Motif dan corak yang ada di Lasem juga disamakan dengan motif dan corak yang dikenakan oleh bangsawan Majapahit, mengingat pakaian batik mereka banyak diambil dari Kerajaan Majapahit. Motif kain batik tersebut diduga juga sama dengan motif batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung yang berwarna soga serta biru. Kesimpulan ini berangkat dari keberadaan motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya.[6]

Dalam perkembangannya, pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), Kadipaten Lasem kedatangan seorang nakhoda kapal dari Armada Laut laksamana Chengho bernama Bi Nan Un dari negeri Champa (Vietnam). Kapal dari Champa tersebut tepatnya berlabuh ke Pantai Regol yang saat ini bernama Pantai Binangun. Rombongan orang Champa yang beragama Budha itu dikenal piawai di bidang kesenian, termasuk membatik, menari, membuat perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan lain sebagainya. Lambat laun, Bi Nan Un dkenal ahli membatik dan menari. Ia kemudian menikah dengan Adipati Badranala dan memiliki dua anak, yaitu Wirabajra dan Santibadra. Kitab “Serat Badrasanti” jelas memaparkan data tentang sejarah batik Lasem di mana Puteri Na Li Ni dari Champa (Vietnam) dianggap sebagai perintis pembatikan di Lasem. Namun demikian, sebagaimana penduduk Jawa di Lasem, penduduk Tionghoa juga mengalami keterbelakangan ekonomi Sekali pun mereka dikenal sangat piawai dalam berdagang, ketertindasan yang dialami Indonesia akibat penjajahan Belanda tidak serta merta membuat perekonomian mereka membaik. Pada dasarnya, mereka mengalami kondisi yang sama sebagaimana penduduk Jawa pada masa itu.[2]

Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang penjual arak (ciu) pada tahun 1700-an di Lasem. Perantau tersebut juga berasal dari negeri Tiongkok yang tiba bertepatan dengan masa penjajahan Belanda berlangsung. Sang pendatang sangat terkejud ketika menyaksikan penduduk Tiongkok di Lasem mengalami penderitaan dan kesulitan ekonomi. Dengan rasa iba, ia akhirnya bertekad untuk menetap di Lasem dan membantu meningkatkan derajat perekonomian orang Tionghoa di sana. Ia kemudian memberikan pengetahuan kepada orang Tionghoa tentang cara membuat batik tulis. Mula-mula, ia yang mendirikan usaha batik tulis dengan memperkerjakan orang Tionghoa sebagai pekerjanya. Hal itu ia lakukan sembari mengajarkan kepada mereka keterampilan dalam membuat batik tulis. Lambat laun, orang Tionghoa berpikir untuk tidak selamanya menjadi pekerja atau buruh batik tulis. Mereka bertekad untuk memiliki usaha batik tulis sendiri. Dalam perkembangannya, usaha batik tulis tersebut rupanya lebih dari mampu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Bahkan, industry batik tulis di Lasem menjadi berkembang lebih cepat berkat sentuhan tangan dingin orang Tionghoa. Mereka pun dikenal sebagai pengusaha batik tulis yang mahir di Lasem.

Berkaitan dengan motif dan stylenya, batik tulis Lasem juga sedikit banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Tionghoa, Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), serta pengaruh selera Pantai Utara Jawa. Beberapa contoh motif batik yang disebarluaskan oleh orang Tionghoa adalah motif naga (atau liong dari bahasa Tionghoa long) dan motif swastika (banji), motif awan ‘Tionghoa’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Motif-motif tersebut kini dikenal baik oleh pengrajin maupun pecinta batik Jawa, bahkan menjadi sebuah kelaziman dan dikenal paling masyhur. Pengaruh budaya Tionghoa juga tercermin dalam motif berbentuk burung-burung Phoenix yang merupakan kekhasan dari budaya Tionghoa. Sementara pengaruh gaya batik Jawa Tengah tercermin dalam pusat seni batik yang selalu memiliki nilai filosofi.[7]

Seiring berjalannya waktu, batik tulis Lasem kini menghadapi ancaman kepunahan. Berbagai permasalahan muncul yang mengarah pada ancaman kepunahan batik Lasem. Permasalahan mendasar yang dihadapi oleh industri batik tersebut adalah rendahnya minat generasi muda untuk melanjutkan usaha batik maupun menjadi pengrajin. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor formal, baik di sekitar Kabupaten Rembang maupun di luar Kabupaten Rembang. Hal itu menyebabkan terjadinya dua masalah kritis dalam industri batik tulis di Lasem, berkurangnya aktor yang menekuni usaha batik tulis dan berkurangnya penghasilan bagi para penduduk di Lasem.[6]

Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, batik tulis di Lasem memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian warga lokal, termasuk penduduk Jawa yang tinggal di sana. Para juragan batik dari Tiongkok itu pada abad ke-13 banyak memberikan kesempatan belajar membatik, menilai produksi yang baik, merencanakan dan menentukan sasaran penjualan, serta merencanakan target-target pada masa depan dalam jangka waktu yang lama. Penduduk lokal banyak dipekerjakan dan mereka diperkenankan untuk mengerjakan pekerjaan membatiknya di rumah mereka masing-masing. Tidak cukup sampai di situ, juragan batik asal Tiongkok bahkan juga banyak banyak membantu perekonomian pnduduk sekitar dengan memberikan pinjaman atau hutang dalam jumlah kecil kepada para pekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.[7]

Interaksi Tionghoa-Pribumi

[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana yang telah dijabarkan di muka, interaksi antara orang Tionghoa dengan pribumi terjalin dalam kurun waktu yang lama dan meliputi berbagai aspek kehidupan. Interaksi keduanya sekalipun mengalami pasang surut, juga tetap menunjukan hubungan yang harmonis, penuh toleransi, dan senantiasa berjalan baik, terutama sejak abad 14 hingga abad 16 pasca gelombang migrasi Tionghoa yang datang ke tanah Jawa. Interaksi yang baik antar-keduanya tercermin dalam beberapa hal. Pertama adalah terkait perlawanan orang Tionghoa dan penduduk lokal Lasem dalam melawan kolonial Belanda. Kala itu, wilayah Lasem masih belum termasuk dalam wilayah kekuasaan Belanda. Belanda melakukan penyerangan ke wilayah itu dengan dibantu oleh Amangkurat II sebagai boneka pemerintah Belanda di Mataram. Peperangan yang terjadi sangat berlarut-larut hingga menewaskan Raden Mas Qingit yang merupakan putra pertama dari penguasa Lasem kala itu. Kemudian, rakyat Lasem yang terdiri dari kaum santri bersama orang Tionghoa di sana ikut melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda. Pemberontakan yang melibatkan orang Tionghoa itu ternyata tidak hanya terjadi di Lasem, melainkan juga terjadi di wilayah lain seperti di Batavia, Ngawi, Kartasura, dan wilayah-wilayah lain di Jawa Tengah.[4]

Dari Batavia, terjadi pembantaian terhadap orang Tionghoa yang dilakukan oleh Belanda hingga membuat kurang lebih 1.000 orang Tionghoa di Batavia melarikan diri ke Lasem. Pada tahun 1741, pengungsian orang Tionghoa dari kota-kota lain ke Lasem juga terjadi menyusul pembantaian yang sama. Di Lasem, mereka diterma dengan baik oleh Tumenggung Oei Ing Kiat. Mereka bahkan juga diperkenankan untuk membangun perkampungan baru di tepi Sungai Kamandung (Karangturi), Pereng, dan Soditan. Orang Tionghoa yang mengungsi ke Lasem dari Batavia umumnya bekerja sebagai pedagang, pegawai pelabuhan, dan buruh kasar. Berpindahnya mereka ke Lasem dengan demikian menjadikan pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa dimasuki oleh tenaga kasar yang banyak. Mereka juga ada yang menjadi buruh tanu dan tambak milik penduduk setempat. Kehidupan orang Tionghoa dan pribumi yang harmonis itu tidak berlangsung lama. VOC membuat perjanjian dengan mataram yang menjadikan kekuatan mereka justru semakin kuat. VOC memiliki hak untuk membuka kantor dagang di Rembang dan Jepara serta berhak untuk mengangkat maupun memecat pejabat-pejabat kerajaan dna juga para adipati di pantai utara.[5]

Melihat hal itu, penguasa Lasem kala itu merasa bahwa kekuatan politik Vereenigde Oostindische Compagnie itu akan menjadi ancaman nyata bagi Lasem. Ia pun merencanakan sebuah perlawanan bersama Tan Ke Wie dan Raden Panji Margono bersama dengan rakyat Lasem lainnya. Pertempuran itu berlangsung di perairan sekitar Jepara dan tidak memakan banyak waktu. Dalam waktu yang relative singkat, pasukan VOC berhasil memukul mundur pasukan Dampoawang Lasem. Kapal-kapal mereka hancur berkeping-keping setelah diterjang meriam panas yang dilemparkan oleh VOC. Sang pemimpin perlawanan, Tan Ke Wie, pun gugur dalam pertempuran itu. Setelahnya, Tumenggung Oei Ing Kiat menuliskan nama-nama pasukan yang gugur dalam sebuah prasasti yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Tionghoa. Sejak saat itu, kekuasaan VOC di Kadipaten Lasem menjadi semakin kuat. Namun demikian, meskipun perlawanan rakyat Lasem banyak menuai kekalahan dan Belanda selalu memenangkan pertarungan, perlawanan tersebut telah memperlihatkan hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dengan orang Tionghoa. Peristiwa pemberontakan itu juga menjadi simbol kepahlawanan dan persatuan orang Jawa dengan Tionghoa.[8]

Kedua, hubungan yang harmonis antara orang Tionghoa dengan Lasem juga tercermin dalam hubungan yang saling membutuhkan. Di akhir pemerintahan Orde Baru, terjadi pembantaian etnis Tionghoa di di beberapa kota besar. Di Lasem justru terjadi hal yang berkebalikan, para elit yang ada justru saling bernegosiasi untuk mengamankan kota dari isu kekerasan. Mereka berupaya untuk meredam agar kekerasan serupa tidak terjadi di Lasem. Mereka melihat ancaman-ancaman itu sebagaimana yang pernah mereka alami pada masa kolonial Belanda; bersama dengan kaum santri, petani, nelayan, dan warga Tionghoa mereka melawan penjajah. Jadi, ketika warga Tionghoa akan diancam dengan berbagai macam tindak kekerasan, memori-memori perjuangan itu tumbuh kembali.[8]

Dalam bidang ekonomi juga terjadi hal demikian. Bidang ekonomi menengah tengah sampai atas dikuasai oleh warga keturunan Tionghoa. Pertokoan di sepanjang jalan utama Lasem adalah bukti nyata bahwa orang Tionghoa banyak mengambil peran dominan. Hal itu terlihat jelas sebelum masa orde baru berakhir. Setelah masa orde baru selesai, orang Tionghoa banyak memidahkan bisnisnya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di Lasem mulai mengembangkan bisnisnya di berbagai macam sektor, terutama pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Dalam perkembangannya, saat ini orang-orang Jawa justru lebih banyak mendominasi roda perekonomian di Lasem, terutama di sekitar masjid Lasem, dan mengambil alihnya dari tangan orang Tionghoa. Toko-toko pakaian dan rumah tangga yang berdiri di sekitar Taman Lasem hampir seluruhnya dikuasai oleh warga Jawa Lasem. Bahkan, hampir seluruh mall kecil di Lasem juga dimiliki oleh orang Jawa Lasem.[5]

Dalam bidang kebudayaan dan praktik keagamaan pun terjadi hal serupa. Ketika keturunan Tionghoa akan menggelar ritual budaya seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, maupun acara kirap budaya perayaan Mak Co di Klenteng, mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada para kiayi di Lasem yang dinilai sebagai tokoh masyarakat. Komunikasi kultural tersebut bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketertiban selama kegiatan mereka berlangsung.[1] Meskipun beberapa kiayi ada yang tidak sepakat, kegiatan mereka terbukti mampu berjalan dengan lancar. Karnaval yang mereka gelar juga bahkan melintasi Masjid Jami’ Lasem dan jalan-jalan di sekitar pesantren. Warga sekitar pun menyambut baik perayaan tersebut sebagai hiburan dan tontonan yang menyenangkan.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150219_lasem_toleransi
  2. ^ a b Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Tionghoa di Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995)
  3. ^ a b c Atabik, Ahmad. 2016. Percampuran Budaya Jawa China: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem. Sabda, Volume 11, Tahun 2016
  4. ^ a b http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/11/08/16/lq0gci-ingin-melihat-asimilasi-sukses-tionghoapribumi-datanglah-ke-lasem
  5. ^ a b c M. Abi Kurniawan, ” Aktivitas Ekonomi Tionghoa di Lasem Tahun 1945-1950”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2011.
  6. ^ a b Anonim. "Batik Lasem". Suara Baru. INTI. Edis 19, Januari - Februari 2008.
  7. ^ a b Rindita Anggarini Santosa, “Perkembangan Usaha Perbatikan di Kalangan Etnis Tionghoa di Lasem Tahun 1960-1998”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2009.
  8. ^ a b Groeneveldt, W. P. Nusantara dalam Catatan Tionghoa.(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).