Perang Dayak Desa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
k ~cat
(30 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 6: Baris 6:
|date=[[1944]]-Juni [[1945]]{{sfn|Heidhues|2003|p=206}}{{br}}Sampai [[1948]]{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}}
|date=[[1944]]-Juni [[1945]]{{sfn|Heidhues|2003|p=206}}{{br}}Sampai [[1948]]{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}}
|place=[[Sanggau]], [[Kalimantan Barat]]
|place=[[Sanggau]], [[Kalimantan Barat]]
|result=Kemenangan Suku [[Dayak Desa]]
|result=Kemenangan [[Suku Dayak Desa]]
|casus belli=Sekalipun berhasil melawan Jepang, perang ini berlanjut melawan [[Kolonial Belanda|Belanda]]{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}}
|casus belli=Sekalipun berhasil melawan Jepang, perang ini berlanjut melawan [[Kolonial Belanda|Belanda]]{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}}
|combatant1=[[Berkas:Merchant flag of Japan (1870).svg|15px]] [[Kekaisaran Jepang]]
|combatant1=[[Berkas:Merchant flag of Japan (1870).svg|15px]] [[Kekaisaran Jepang]]
Baris 17: Baris 17:
|casualties2=tidak diketahui
|casualties2=tidak diketahui
}}
}}
'''Perang Dayak Desa''' adalah perang antara [[Suku Dayak Desa]] dan pasukan [[Kekaisaran Jepang]] pada masa [[pendudukan Jepang di Kalimantan Barat]]. Perang yang berlangsung tahun 1944 hingga 1945 di [[Kabupaten Sanggau|Sanggau, Kalimantan Barat]] ini dilatarbelakangi oleh perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa.
'''Perang Dayak Desa''' adalah sebuah perang kelanjutan dari Perang Majang Desa yang terjadi pada zaman Belanda dan pertengahan zaman Jepang, yakni pada [[1944]]-Juni [[1945]] yang dilatarbelakangi perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap [[Suku Dayak Desa]]. Pada awal [[pendudukan Jepang di Kalimantan Barat]], dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan. Karena ''romusha'' yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini. Pada tanggal [[13 Mei]] [[1945]], anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), yang mau dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di [[Tayan Hilir, Landak|Tayan Hilir]]. Perkawinan ini dilarang oleh ayahnya, Pang Linggan. Sesudah kejadian ini, maka dilaporkanlah kejadian-kejadian ini kepada Pang Dadan, [[tumenggung]] kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki, namun Osaki tewas tanpa perlawanan. Hal ini menyebabkan pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku [[Dayak]] dari [[Ketapang]], hingga [[Sekadau]] berkumpul berkenaan panggilan dari [[mangkok merah]]. Semenjak [[17 Juli]]-[[31 Agustus]] [[1945]], Meliau dikuasai oleh Jepang.

Pada awal pendudukan Jepang, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan. Akibat [[romusa]] yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja pada perusahaan perkayuan ini. Pada 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki. Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan. Rakyat lalu menyiapkan strategi untuk menyerang Osaki, yang kemudian tewas tanpa perlawanan berarti. Hal ini menyebabkan pertempuran pecah di perusahaan kayu. Suku-suku [[Suku Dayak|Dayak]] dari [[Ketapang]] hingga [[Sekadau]] berkumpul melalui [[mangkuk merah]]. Wilayah [[Meliau, Sanggau|Meliau]] berhasil direbut oleh Suku Dayak pada Juni 1945, meskipun kembali dikuasai Jepang antara 17 Juli dan 31 Agustus 1945, hingga pasukan Jepang menyerah pada [[Blok Sekutu dalam Perang Dunia II|Sekutu]] dan meninggalkan wilayah tersebut.


== Latar belakang ==
== Latar belakang ==
=== Suku Dayak Desa ===
=== Suku Dayak Desa ===
{{main|Suku Dayak Desa}}
Suku Dayak Desa adalah suku Dayak yang hidup di [[Kabupaten Sanggau]], [[Kalimantan Barat]]. Hidup di Kecamatan Toba dan Meliau. Dari sini, ada sekitar 50 kampung yang hidup di sini hingga saat ini. Jumlah mereka ada 11.273 jiwa dan [[Pang Suma]], adalah termasuk tokoh dari Dayak ini.{{sfn|Dayak Desa, Kebudayaan Dayak}}
Suku Dayak Desa adalah suku Dayak yang hidup di [[Kabupaten Sanggau]], [[Kalimantan Barat]], terutama di Kecamatan Toba dan Meliau. Ada sekitar 50 kampung yang hidup di sini hingga zaman modern. Jumlah mereka tercatat 11.273 jiwa.{{sfn|Dayak Desa, Kebudayaan Dayak}}


=== Kalimantan Barat ===
=== Situasi Kalimantan Barat ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Ontvangst bij de sultan van Pontianak West-Borneo TMnr 10001596.jpg|jmpl|ka|250px|Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan undangan (sekitar tahun 1930). Sultan Syarif pada akhirnya dibunuh juga oleh Jepang pada tahun [[1943]]]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Ontvangst bij de sultan van Pontianak West-Borneo TMnr 10001596.jpg|jmpl|ka|250px|Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan undangan (sekitar tahun 1930). Sultan Syarif pada akhirnya dibunuh juga oleh Jepang pada tahun 1943.]]
{{main|pendudukan Jepang di Kalimantan Barat}}
Pada masa [[Kolonial Belanda]], ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh [[Pang Suma]], dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng [[Belanda]] yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}
Pada masa [[Kolonial Belanda]], ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh [[Pang Suma]], dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di [[Kabupaten Sintang|Sintang]] dan [[Kabupaten Sanggau|Sanggau]] selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga Belanda terpaksa meninggalkan benteng tersebut dan bertahan di Pontianak.{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}{{Butuh sumber yang lebih baik}}


Selanjutnya, pada awal [[pendudukan Jepang di Kalimantan Barat]], dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Karena ''romusha'' yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk menebang [[pohon]] dan me[[rakit]]kan kayu dan dihilirkan entah kemana.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Begitu juga di bidang per[[tambang]]an, di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang bekerja disana, terbanyak adalah Orang Dayak.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}}
Pada awal [[pendudukan Jepang di Kalimantan Barat]], dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Akibat [[romusa]] yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja paksa pada perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan orang-orang secara paksa untuk menebang pohon dan merakit kayu, lalu dihilirkan entah ke mana.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}} Begitu juga pada bidang pertambangan. Sekitar 10.000 orang bekerja di lokasi pertambangan dan sekitar 70.000 orang lagi di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, yang terbanyak adalah Orang Dayak.{{sfn|Usman & Din|2009|p=83}}


[[Berkas:SultanPontianak.jpg|jmpl|kiri|200px|Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie (kanan, duduk) bersama Residen [[K.A. James]] (kemungkinan di kiri). Difoto oleh fotografernya [[O. Horst]], Offiser Adiministratif, Kontroler, dan Asisten Residen (foto diambil tahun [[1920]])]]
[[Berkas:SultanPontianak.jpg|jmpl|kiri|200px|Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie (kanan, duduk) bersama Residen [[K.A. James]] (kemungkinan di kiri). Difoto oleh fotografernya [[O. Horst]], Offiser Adiministratif, Kontroler, dan Asisten Residen (foto diambil tahun [[1920]])]]
Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan [[Peristiwa Mandor]], pada tanggal [[23 April]] [[1943]] banyak [[panembahan]] dan [[sultan]]-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap. Adapun, [[Sultan Pontianak]] dan [[Panembahan Mempawah]] saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}} Sultan Pontianak mati dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya.{{sfn|Heidhues|2003|p=207}}
Akibat [[Peristiwa Mandor]], banyak [[panembahan]] dan sultan-sultan di Kalimantan Barat yang ditangkap. [[Sultan Pontianak]] dan [[Panembahan Mempawah]] sempat dilepaskan, tetapi sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Hal ini membuat warga Dayak membenci Jepang.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=27}} Sultan Pontianak meninggal dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati, dipenggal kepalanya.{{sfn|Heidhues|2003|p=207}}


Pada tanggal [[13 Mei]] [[1945]], anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), yang mau dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki{{sfn|Usman & Din|2009|p=86}} dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di [[Tayan Hilir, Landak|Tayan Hilir]]. Perkawinan ini dilarang oleh ayahnya, Pang Linggan.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}} Pada saat itu, mereka sedang [[romusha|kerja paksa]], mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung kepala Pang Linggan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=86}} Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih baik membunuh duluan.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}} Rakyat yang tak tahan oleh diinjak-injak dan ditindas Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan [[Pang Suma]] dan [[Pang Linggan]].{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}}
Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh Osaki, orang Jepang yang menjadi mandor dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di [[Tayan Hilir, Landak|Tayan Hilir]].{{sfn|Usman & Din|2009|p=86}} Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}} Pada saat itu, orang-orang sedang menjalani [[romusha|kerja paksa]], mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam akan memancung kepala Pang Linggan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=86}} Daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, para pekerja berpendapat lebih baik membunuh duluan.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}} Rakyat yang tak tahan ditindas Jepang, bangkit melawan Jepang dengan pimpinan [[Pang Suma]] dan [[Pang Linggan]].{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}}


Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa berawal dari [[Peristiwa Suak Garong]]. Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan [[kayu]] SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.{{sfn|Usman & Din|2009|p=84}} Adapun pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh untuk menjadi mata-mata [[buruh]]-buruh kasar.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=84-85}}
Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, Perang Dayak Desa berawal dari [[Peristiwa Suak Garong]]. Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan [[kayu]] SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.{{sfn|Usman & Din|2009|p=84}} Pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Para mandor ini diperalat dan diperintahkan untuk memata-matai buruh-buruh kasar.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=84-85}}


Buruh-buruh kasar itu dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia digelari ''Tuan Pentong'' oleh warga sekitar.{{sfn|Usman & Din|2009|p=85}} Yamamoto tahu, sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Namun, yang ada di kampung itu adalah Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia pukuli Pang Rontoi namun beruntung Pang Rontoi membalasnya.{{sfn|Usman & Din|2009|p=85}}
Buruh-buruh kasar dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja akibat kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang bernama Yamamoto. Ia digelari ''Tuan Pentong'' oleh warga sekitar.{{sfn|Usman & Din|2009|p=85}} Yamamoto mengetahui hal ini sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Yamamoto bertemu Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia memukuli Pang Rontoi, tetapi Pang Rontoi membalasnya.{{sfn|Usman & Din|2009|p=85}}

== Kejadian awal ==
Sesudah kejadian ini, maka dilaporkanlah kejadian-kejadian ini kepada Pang Dadan, [[tumenggung]] kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}}{{sfn|Usman & Din|2009|p=85}} Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, namun Osaki meninggal tanpa perlawanan.{{sfn|Usman & Din|2009|p=86}} Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat [[notong]].{{sfn|Usman & Din|2009|p=87}}

Pihak Jepang kaget. Mereka mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu [[teknik]] dan [[teknologi]] persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=29}}


== Perlawanan rakyat Dayak ==
== Perlawanan rakyat Dayak ==
=== Pra-kemerdekaan ===
=== Prakemerdekaan ===
Beberapa kejadian ini dilaporkan kepada Pang Dadan, [[tumenggung]] kampung tersebut. Rakyat menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat untuk menyerang Osaki.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=28}}{{sfn|Usman|Din|2009|p=85}} Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, tetapi Osaki meninggal tanpa perlawanan.{{sfn|Usman|Din|2009|p=86}} Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat [[notong]].{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}} Pihak Jepang tidak mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=29}}
Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku [[Dayak]] dari [[Ketapang]], hingga [[Sekadau]] berkumpul berkenaan panggilan dari [[mangkok merah]]. Beredarnya mangkok merah ini sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang.{{sfn|Usman & Din|2009|p=87}} Ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan per[[ladang]]an [[durian]] Pampang Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh yang perlu ditumpas.{{sfn|Usman & Din|2009|p=87}}


Pertempuran pecah di perusahaan kayu, [[Suku Dayak|suku-suku Dayak]] dari [[Ketapang]] hingga [[Sekadau]] berkumpul melalui panggilan dari peredaran [[mangkuk merah]]. Beredarnya mangkuk merah dijadikan sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang.{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}} Keyakinan rakyat ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat.{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}}
Peristiwa 2 pembunuhan ini tersebar ke [[Pontianak]], khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke [[Meliau]]. Di saat yang bersamaan pula, barulah mereka bermufakat khawatir akan diserang Jepang.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=28}} Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Usman & Din|2009|p=87}} Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan [[Mangkok Merah]] sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu [[Nitinan]] segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.{{sfn|Usman & Din|2009|p=87}}


Dua peristiwa pembunuhan ini tersebar ke [[Pontianak]]. Tidak ingin perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke [[Meliau, Sanggau|Meliau]]. Pada saat yang bersamaan pula, suku Dayak bermufakat khawatir akan diserang Jepang.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=28}} Ekspedisi Jepang dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}} Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan mangkok merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja perusahaan kayu [[Nitinan]] segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.{{sfn|Usman|Din|2009|p=87}}
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=87-88}} Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampai [[ekspedisi]] ini di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh [[Pang Suma]], Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.{{sfn|Ahok, Ismail & Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}} Terbunuhnya Nagatani terjadi pada saat dia melakukan ekspedisi ke [[hulu]] [[Sungai Kapuas]]. Terbunuhnya Nagatani membuat pejabat militer [[Jepang]] terheran, karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, ternayat tidaklah mampu melawan serangan [[senjata tradisional]] orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh [[Pang Suma]].{{sfn|Aju & Isman|2013|p=42}}


Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau, ia menelusuri Sungai Embuan menuju [[Tanjak Mulung]]. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.{{sfn|Usman|Din|2009|pp=87-88}} Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampainya ekspedisi Jepang di [[Umbuan Kunyil]], mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.{{sfn|Ahok|Ismail|Tjitrodarjono|1992|p=29}}{{sfn|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}{{Butuh sumber yang lebih baik}} Nagatani terbunuh pada saat dia melakukan ekspedisi ke [[hulu]] [[Sungai Kapuas]]. Terbunuhnya Nagatani tidak diduga oleh pejabat militer Jepang karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, tetapi tidak mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.{{sfn|Aju|Isman|2013|p=42}}
Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan [[peluru]] ke arah Pang Suma. Maka, dalam kesempatan yang terjepit ini, Pang Suma dan Djampi menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Selanjutnya, pada [[24 Juni]] [[1945]], Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada [[30 Juni]] [[1945]]. Waktu bersamaaan dengan [[Agustinus Timbang|A. Timbang]] bersama dengan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.{{sfn|Usman & Din|2009|p=88}}


Meskipun demikian, anak buah Nagatani sempat menembakkan peluru ke arah Pang Suma, yang bersama dengan Djampi, menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau. Wilayah ini berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Bersama dengan [[Agustinus Timbang]] dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.{{sfn|Usman|Din|2009|p=88}}
Pada tanggal [[17 Juli]] [[1945]], Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.{{efn|Kelima panglima adat di bawah Pang Suma adalah Libau, Jap, Tapang, Sulang, dan Burung {{harv|Usman & Din|2009|p=88}}.}} Di Pemura dan Temura, pecahlah pertempuran; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.{{sfn|Usman & Din|2009|p=88}}


Pada 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pun tak terelakkan dan pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.{{efn|Kelima panglima adat di bawah Pang Suma adalah Libau, Jap, Tapang, Sulang, dan Burung {{harv|Usman|Din|2009|p=88}}.}} Di Pemura dan Temura, pertempuran pecah; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.{{sfn|Usman|Din|2009|p=88}}
Sementara itu, Panglima Kilat berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=88-89}} Setelah 3 orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak [[17 Juli]] [[1945]]-[[31 Agustus]] [[1945]], Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.{{sfn|Usman & Din|2009|p=89}}


Sementara itu, Panglima Kilat berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang.{{sfn|Usman|Din|2009|pp=88-89}} Setelah tiga orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17 Juli hingga 31 Agustus 1945, Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.{{sfn|Usman|Din|2009|p=89}}
=== Sewaktu & seusai kemerdekaan ===
Meski sebetulnya [[Indonesia]] sudah merdeka semenjak [[17 Agustus]] [[1945]], berita kemerdekaan belum sampai ke pelosok-pelosok [[Kalimantan Barat]]. Maka dalam usaha mengusir penjajah, [[M. Th. Djaman]] guru di Nyandang, dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut di antaranya [[YAM Linggi]], melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.{{sfn|Usman & Din|2009|p=89}}


=== Sewaktu dan seusai kemerdekaan ===
Adapun Angkatan Perang Majang (APMD) Desa kembali diaktifkan, didirikan pada [[13 Mei]] [[1944]] dan dipimpin oleh [[Pang Dadan]]. Di kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Cina.{{efn|Mereka itu adalah Temanggung Bagok, Pang Perada, Mohammad Natsir, Naga, Tan Sin Anh, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Pang Suma, Pang Linggan, Agustinus Timbang, Gompang dan Pang Lapeng {{harv|Usman & Din|2009|p=89}}.}} Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil, wilayah ini berhasil dikuasai. Namun, pimpinan APMD kecewa karena pewaris kekuasaan [[Kerajaan Sanggau]], [[Gusti Ali Akbar]] menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi [[Jepang]].{{sfn|Usman & Din|2009|p=89}}
Meski sebetulnya Indonesia [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|sudah merdeka]] semenjak 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan Barat. Dalam usaha mengusir penjajah, [[Mozez Thadeus Djaman]], seorang guru di Nyandang dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut, di antaranya [[Y.A.M. Linggi]], melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.{{sfn|Usman & Din|2009|p=89}}


Angkatan Perang Majang Desa (APMD) kembali diaktifkan. Organisasi ini didirikan pada 13 Mei 1944 dan dipimpin oleh [[Pang Dadan]]. Pada kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Tiongkok.{{efn|Mereka itu adalah Temanggung Bagok, Pang Perada, Mohammad Natsir, Naga, Tan Sin Anh, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Pang Suma, Pang Linggan, Agustinus Timbang, Gompang dan Pang Lapeng {{harv|Usman & Din|2009|p=89}}.}} Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil dan wilayah ini dapat dikuasai. Namun, pimpinan APMD kecewa karena pewaris kekuasaan [[Kerajaan Sanggau]], [[Gusti Ali Akbar]] menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi Jepang.{{sfn|Usman & Din|2009|p=89}}
Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=89-90}} Meski Jepang menyerah kepada [[Sekutu]], perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki [[Kota Pontianak]] utnuk memerangi Belanda.{{sfn|Usman & Din|2009|p=90}}

Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban.{{sfn|Usman & Din|2009|pp=89-90}} Meski Jepang menyerah kepada [[Blok Sekutu dalam Perang Dunia II|Sekutu]], perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki [[Kota Pontianak]] utnuk memerangi Belanda.{{sfn|Usman & Din|2009|p=90}}


== Warisan sejarah ==
== Warisan sejarah ==
Pada Juni [[1980]], Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, [[Untung Sridadi]] bersama gubernur Kalbar [[Soedjiman]] melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah [[Katana|samurai]] milik Takeo Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari [[Kedutaan Besar Jepang di Indonesia]] di [[Jakarta]] untuk dibawa pulang ke [[Tokyo]], [[Jepang]].{{sfn|Usman & Din|2009|p=90}}
Pada Juni 1980, Pelaksana Khusus [[Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban]] Daerah (Laksus Pangkopkamtibda) Kalimantan Barat [[Untung Sridadi]] bersama Gubernur Kalimantan Barat [[Soedjiman]] melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi dan Agustinus Timbang berupa lima tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah [[katana]] milik Takeo Nagatani. Barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang yang diwakili K. Tasima, wakil keluarga Nagatani, serta Yoshida dari [[Kedutaan Besar Jepang di Indonesia]] di [[Jakarta]] untuk dibawa pulang ke [[Tokyo]], [[Jepang]].{{sfn|Usman & Din|2009|p=90}}


== Catatan bawah ==
== Catatan ==
{{notelist}}
{{notelist}}


Baris 80: Baris 81:
| publisher = Kebudayaan Dayak
| publisher = Kebudayaan Dayak
| url = http://kebudayaan-dayak.org/berita-dayak-desa.html
| url = http://kebudayaan-dayak.org/berita-dayak-desa.html
| archiveurl = http://www.webcitation.org/6axwIayTt
| archiveurl = https://www.webcitation.org/6axwIayTt?url=http://kebudayaan-dayak.org/berita-dayak-desa.html
| archivedate = 22 Agustus 2015
| archivedate = 2015-08-22
| accessdate = 22 Agustus 2015
| accessdate = 22 Agustus 2015
| ref = {{sfnRef|Dayak Desa, Kebudayaan Dayak}}
| ref = {{sfnRef|Dayak Desa, Kebudayaan Dayak}}
| dead-url = yes
}}
}}
* {{cite web
* {{cite web
Baris 89: Baris 91:
| title = Filososfi Perang Dayak 4
| title = Filososfi Perang Dayak 4
| publisher = Kompasiana
| publisher = Kompasiana
| url = http://sejarah.kompasiana.com/2012/05/24/filosofi-perang-dayak-4/
| url = https://www.kompasiana.com/suryakelana/551092a0813311af36bc68da/filosofi-perang-dayak-4
| ref = {{sfnRef|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}
| ref = {{sfnRef|Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak}}
| accessdate = 18 November 2012
| accessdate = 18 November 2012
Baris 99: Baris 101:
|last2=Ismail
|last2=Ismail
|first3=Wijoso
|first3=Wijoso
|last3=Tjitrodarmono
|last3=Tjitrodarjono
|title=Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Barat
|title=Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Barat
|year=1992
|year=1992
|publisher=Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat
|publisher=Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat
|location=[[Pontianak]]
|location=Pontianak
|oclc=17778029
|oclc=17778029
|ref=harv
|ref=harv
}}
}}
* {{cite book
* {{cite book
|first1=Aju
|last1=Aju
|first2=Isman, Zainudin
|first2=Zainudin
|last2=Isman
|title=Kalimantan Barat:Lintasan Sejarah & Pembangunan
|title=Kalimantan Barat: Lintasan Sejarah & Pembangunan
|publisher=LPS-AIR
|publisher=LPS-AIR
|year=2013
|year=2013
|location=Pontianak
|location=Pontianak
|isbn=976-602-18483-1-9
<!-- ISBN-13 diawali oleh 978 atau 979 bukan 976 |isbn=976-602-18483-1-9 -->
|ref=harv
|ref=harv
}}
}}
Baris 131: Baris 134:
}}
}}
* {{cite book
* {{cite book
|first=Mary F.
|first=Mary F. Somers
|last=Somers Heidhues
|last=Heidhues
|chapter=War and Indonesian Independence
|chapter=War and Indonesian Independence
|trans_chapter=Perang dan Kemerdekaan Indonesia
|trans_chapter=Perang dan Kemerdekaan Indonesia
Baris 140: Baris 143:
|year=2003
|year=2003
|publisher=SEAP Publications
|publisher=SEAP Publications
|location=
|location=Ithaca
|isbn=0-87727-733-8
|isbn=0-87727-733-8
|ref=harv
|ref=harv
Baris 148: Baris 151:
{{AP}}
{{AP}}


[[Kategori:Konflik dalam tahun 1944]]
[[Kategori:Konflik dalam tahun 1945]]
[[Kategori:Pendudukan Jepang di Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]

Revisi per 6 Januari 2022 01.04

Perang Dayak Desa
Bagian dari Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat
Tanggal1944-Juni 1945[1]
Sampai 1948[2]
LokasiSanggau, Kalimantan Barat
Hasil Kemenangan Suku Dayak Desa
Pihak terlibat
Kekaisaran Jepang Suku Dayak Desa
Tokoh dan pemimpin
Letnan Nagatani Pang Suma
Pang Rati
Pang Iyo
Djampi (tokoh Dayak Iban)
Kekuatan
tidak diketahui tidak diketahui
Korban
tidak diketahui tidak diketahui

Perang Dayak Desa adalah perang antara Suku Dayak Desa dan pasukan Kekaisaran Jepang pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Perang yang berlangsung tahun 1944 hingga 1945 di Sanggau, Kalimantan Barat ini dilatarbelakangi oleh perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa.

Pada awal pendudukan Jepang, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan. Akibat romusa yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja pada perusahaan perkayuan ini. Pada 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki. Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan. Rakyat lalu menyiapkan strategi untuk menyerang Osaki, yang kemudian tewas tanpa perlawanan berarti. Hal ini menyebabkan pertempuran pecah di perusahaan kayu. Suku-suku Dayak dari Ketapang hingga Sekadau berkumpul melalui mangkuk merah. Wilayah Meliau berhasil direbut oleh Suku Dayak pada Juni 1945, meskipun kembali dikuasai Jepang antara 17 Juli dan 31 Agustus 1945, hingga pasukan Jepang menyerah pada Sekutu dan meninggalkan wilayah tersebut.

Latar belakang

Suku Dayak Desa

Suku Dayak Desa adalah suku Dayak yang hidup di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terutama di Kecamatan Toba dan Meliau. Ada sekitar 50 kampung yang hidup di sini hingga zaman modern. Jumlah mereka tercatat 11.273 jiwa.[3]

Situasi Kalimantan Barat

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan undangan (sekitar tahun 1930). Sultan Syarif pada akhirnya dibunuh juga oleh Jepang pada tahun 1943.

Pada masa Kolonial Belanda, ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh Pang Suma, dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga Belanda terpaksa meninggalkan benteng tersebut dan bertahan di Pontianak.[4][butuh sumber yang lebih baik]

Pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.[5] Akibat romusa yang diterapkan oleh Jepang, banyak penduduk yang meninggal karena bekerja paksa pada perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan orang-orang secara paksa untuk menebang pohon dan merakit kayu, lalu dihilirkan entah ke mana.[5] Begitu juga pada bidang pertambangan. Sekitar 10.000 orang bekerja di lokasi pertambangan dan sekitar 70.000 orang lagi di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, yang terbanyak adalah Orang Dayak.[5]

Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie (kanan, duduk) bersama Residen K.A. James (kemungkinan di kiri). Difoto oleh fotografernya O. Horst, Offiser Adiministratif, Kontroler, dan Asisten Residen (foto diambil tahun 1920)

Akibat Peristiwa Mandor, banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat yang ditangkap. Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah sempat dilepaskan, tetapi sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Hal ini membuat warga Dayak membenci Jepang.[2] Sultan Pontianak meninggal dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati, dipenggal kepalanya.[6]

Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dikawini oleh Osaki, orang Jepang yang menjadi mandor dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir.[7] Perkawinan ini tidak disetujui oleh Pang Linggan.[8] Pada saat itu, orang-orang sedang menjalani kerja paksa, mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam akan memancung kepala Pang Linggan.[7] Daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, para pekerja berpendapat lebih baik membunuh duluan.[8] Rakyat yang tak tahan ditindas Jepang, bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma dan Pang Linggan.[8]

Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, Perang Dayak Desa berawal dari Peristiwa Suak Garong. Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.[9] Pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Para mandor ini diperalat dan diperintahkan untuk memata-matai buruh-buruh kasar.[10]

Buruh-buruh kasar dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja akibat kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang bernama Yamamoto. Ia digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar.[11] Yamamoto mengetahui hal ini sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Yamamoto bertemu Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia memukuli Pang Rontoi, tetapi Pang Rontoi membalasnya.[11]

Perlawanan rakyat Dayak

Prakemerdekaan

Beberapa kejadian ini dilaporkan kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut. Rakyat menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat untuk menyerang Osaki.[12][13] Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, tetapi Osaki meninggal tanpa perlawanan.[14] Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat notong.[15] Pihak Jepang tidak mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.[16]

Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku Dayak dari Ketapang hingga Sekadau berkumpul melalui panggilan dari peredaran mangkuk merah. Beredarnya mangkuk merah dijadikan sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang.[15] Keyakinan rakyat ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat.[15]

Dua peristiwa pembunuhan ini tersebar ke Pontianak. Tidak ingin perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Pada saat yang bersamaan pula, suku Dayak bermufakat khawatir akan diserang Jepang.[12] Ekspedisi Jepang dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.[16][15] Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan mangkok merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.[15]

Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau, ia menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.[17] Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampainya ekspedisi Jepang di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.[16][4][butuh sumber yang lebih baik] Nagatani terbunuh pada saat dia melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kapuas. Terbunuhnya Nagatani tidak diduga oleh pejabat militer Jepang karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, tetapi tidak mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.[18]

Meskipun demikian, anak buah Nagatani sempat menembakkan peluru ke arah Pang Suma, yang bersama dengan Djampi, menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau. Wilayah ini berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Bersama dengan Agustinus Timbang dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.[19]

Pada 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pun tak terelakkan dan pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.[a] Di Pemura dan Temura, pertempuran pecah; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.[19]

Sementara itu, Panglima Kilat berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang.[20] Setelah tiga orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17 Juli hingga 31 Agustus 1945, Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.[21]

Sewaktu dan seusai kemerdekaan

Meski sebetulnya Indonesia sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan Barat. Dalam usaha mengusir penjajah, Mozez Thadeus Djaman, seorang guru di Nyandang dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut, di antaranya Y.A.M. Linggi, melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.[22]

Angkatan Perang Majang Desa (APMD) kembali diaktifkan. Organisasi ini didirikan pada 13 Mei 1944 dan dipimpin oleh Pang Dadan. Pada kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Tiongkok.[b] Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil dan wilayah ini dapat dikuasai. Namun, pimpinan APMD kecewa karena pewaris kekuasaan Kerajaan Sanggau, Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi Jepang.[22]

Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban.[23] Meski Jepang menyerah kepada Sekutu, perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki Kota Pontianak utnuk memerangi Belanda.[24]

Warisan sejarah

Pada Juni 1980, Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Laksus Pangkopkamtibda) Kalimantan Barat Untung Sridadi bersama Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi dan Agustinus Timbang berupa lima tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah katana milik Takeo Nagatani. Barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang yang diwakili K. Tasima, wakil keluarga Nagatani, serta Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo, Jepang.[24]

Catatan

  1. ^ Kelima panglima adat di bawah Pang Suma adalah Libau, Jap, Tapang, Sulang, dan Burung (Usman & Din 2009, hlm. 88).
  2. ^ Mereka itu adalah Temanggung Bagok, Pang Perada, Mohammad Natsir, Naga, Tan Sin Anh, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Pang Suma, Pang Linggan, Agustinus Timbang, Gompang dan Pang Lapeng (Usman & Din 2009, hlm. 89).

Referensi

  1. ^ Heidhues 2003, hlm. 206.
  2. ^ a b Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 27.
  3. ^ Dayak Desa, Kebudayaan Dayak.
  4. ^ a b Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak.
  5. ^ a b c Usman & Din 2009, hlm. 83.
  6. ^ Heidhues 2003, hlm. 207.
  7. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 86.
  8. ^ a b c Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 28.
  9. ^ Usman & Din 2009, hlm. 84.
  10. ^ Usman & Din 2009, hlm. 84-85.
  11. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 85.
  12. ^ a b Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 28.
  13. ^ Usman & Din 2009, hlm. 85.
  14. ^ Usman & Din 2009, hlm. 86.
  15. ^ a b c d e Usman & Din 2009, hlm. 87.
  16. ^ a b c Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 29.
  17. ^ Usman & Din 2009, hlm. 87-88.
  18. ^ Aju & Isman 2013, hlm. 42.
  19. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 88.
  20. ^ Usman & Din 2009, hlm. 88-89.
  21. ^ Usman & Din 2009, hlm. 89.
  22. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 89.
  23. ^ Usman & Din 2009, hlm. 89-90.
  24. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 90.

Daftar pustaka

  • "Dayak Desa". Kebudayaan Dayak. 5 Desember 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-08-22. Diakses tanggal 22 Agustus 2015. 
  • "Filososfi Perang Dayak 4". Kompasiana. 24 May 2012. Diakses tanggal 18 November 2012. 
  • Ahok, Pasifikus; Ismail, Slamet; Tjitrodarjono, Wijoso (1992). Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Kalimantan Barat. Pontianak: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat. OCLC 17778029. 
  • Aju; Isman, Zainudin (2013). Kalimantan Barat: Lintasan Sejarah & Pembangunan. Pontianak: LPS-AIR. 
  • Usman, Syafaruddin; Din, Isnawita (2009). Peristiwa Mandor Berdarah. Yogyakarta: Media Pressindo. ISBN 979-788-109-1. 
  • Heidhues, Mary F. Somers (2003). "War and Indonesian Independence". Golddiggers, Farmers, and Traders in the "Chinese Districts" of West Kalimantan, Indonesia. Ithaca: SEAP Publications. ISBN 0-87727-733-8.