Presiden Amerika Serikat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Presiden Amerika Serikat
bahasa Inggris: President of the United States
Petahana
Joe Biden

sejak 20 Januari 2021
Pemerintah Federal Amerika Serikat
Kantor Staf Kepresidenan Amerikat Serikat
GelarMister President
(tidak resmi)[1][2]
The Honorable
(resmi)[3]
His Excellency[4][5]
(diplomatik, di luar AS)
JenisKepala Negara dan Kepala Pemerintahan
AnggotaKabinet

Dewan Kebijakan Domestik
Dewan Ekonomi Nasional

Dewan Keamanan Nasional
KediamanGedung Putih
Washington, D.C.
Ditunjuk oleh1. Dewan Elektoral,
2. Suksesi dari Wakil Presiden
Masa jabatan4 tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali
DibentukKonstitusi Amerika Serikat
4 Maret 1789
Pejabat pertamaGeorge Washington
WakilWakil Presiden
Gaji$400,000
Situs webwww.whitehouse.gov
Amerika Serikat

Artikel ini adalah bagian dari seri:
Politik dan Ketatanegaraan
Amerika Serikat



Negara lain · Atlas
 Portal Pemerintah Amerika Serikat

Presiden Amerika Serikat (bahasa Inggris: President of the United States, disingkat POTUS) adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara Amerika Serikat. Seorang Presiden Amerika Serikat hanya boleh menjabat selama masa bakti yang masing-masing mempunyai lama sepanjang seharian. Pada mulanya, pelantikan diadakan setiap empat tahun pada tanggal 4 Maret dan diberhentikan saat itu juga.

Kekuasaan Presiden meningkat secara substansial[6] sejak dibentuk pada tahun 1789. Presiden memainkan peran yang kuat dalam kehidupan berpolitik di Amerika Serikat sejak abad ke 20 dengan meluasnya peran Presiden sejak era Franklin D. Roosevelt. Di zaman sekarang ini jabatan presiden juga dilihat sebagai figur paling berkuasa karena dipandang sebagai pemimpin negara superpower global yang tersisa[7][8][9][10]. Sebagai pemimpin negara dengan angka GDP terbesar, presiden memiliki kekuasaan dalam negeri dan luar negeri yang signifikan.

Bab II Konstitusi membentuk cabang eksekutif dari pemerintahan federal dan menempatkan kekuasaan eksekutif pada presiden. Kekuasaan yang diberikan berupa pelaksanaan hukum tingkat federal dan tanggung jawab untuk mengangkat menteri, kepala badan, duta besar dan pejabat-pejabat yang mengurusi hukum dan regulasi. Berdasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi, presiden juga dapat melakukan perjanjian dengan negara lain dan perjanjian tersebut diratifikasi oleh Kongres. Selain itu jabatan presiden di era modern ini bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri AS dan bidang militer AS, terlebih AS merupakan negara dengan anggaran militer paling besar dan mempunyai gudang senjata nuklir terbesar kedua di dunia.

Presiden juga memainkan perang penting dalam bidang legislatif tingkat federal dan pembuatan kebijakan dalam negeri. Sebagai bagian dari sistem checks and balances dalam Bab I Pasal 7 Konstitusi memberikan presiden kewenangan untuk menandatangani atau mem-veto undang-undang. Karena Presiden AS dimasa modern ini juga dipandang sebagai pemimpin partai politik, banyak pembuatan kebijakan negara yang secara signifikan dibentuk dari hasil kampanye pemilunya dengan presiden mengambil peran aktif dalam mengenalkan kebijakan prioritas mereka kehadapan para anggota Kongres yang sering bergantung secara elektoral pada presiden[11]. Dalam beberapa dekade terakhir, presiden juga telah meningkatkan penggunaan perintah eksekutif, peraturan agensi, dan penunjukan yudisial untuk membentuk kebijakan domestik.

Setelah ratifikasi Amendemen Ke-22 pada Konstitusi Amerika Serikat mengubah masa bakti Presiden dan Wakil Presiden sehingga dimulai pada tengah hari tanggal 20 Januari, dimulai dengan masa bakti kedua Franklin Roosevelt pada tahun 1937 sampai sekarang.

Saat ini Joe Biden merupakan Presiden Amerika Serikat ke 46 dan mulai menjabat sejak tanggal 20 Januari 2021

Latar Belakang

Sejarah Pembentukan

Pada tahun 1776, 13 koloni yang tergabung dalam Kongres Kontinental ke-2, menyatakan kemerdekaan politik dari Inggris pada saat berlangsung Revolusi Amerika[12]. Negara baru yang akan dibentuk ini, terdiri dari koloni-koloni tersebut yang independen satu sama lain sebagai sebuah bangsa dan negara,[13] mengakui diperlukannya koordinasi yang erat dalam upaya mereka melawan Inggris,[14] berkeinginan jauh untuk menghindari apa pun yang menyerupai monarki.

Menyadari akan perlunya koordinasi yang dekat sebagai upaya untuk melawan Inggris[15], Kongres Kontinental memulai pembuatan konstitusi yang bersifat mengikat bersama negara-negara bagian tersebut. Banyak terjadi perdebatan panjang selama pembahasannya, termasuk masalah bagaimana rakyat diwakili dalam negara, tata cara pelaksanaan pemilihan umum dan bagaimana metode pemberian kekuasaan kepada pemerintah pusat[16]. Kongres akhirnya menyelesaikan pembuatan konsttitusi Konfederasi untuk membentuk sebuah negara perserikatan antara semua negara bagian pada bulan November 1777 dan mengirimkan draf konstitusi kepada setiap negara bagian untuk dirafitikasi[12].

Dibawah Konstitusi tersebut yang berlaku efektif sejak 1 Maret 1781, Kongres Konfederasi adalah otoritas politik pusat tanpa diberikan kewenagan dalam bidang legislatif. Kongres Kontinental dapat membuat resolusi, keputusan dan regulasi tetapi tidak dapat membuat undang-undang serta tidak dapat mengenakan pajak apa pun atau memberlakukan peraturan komersial lokal kepada warganya. Perancangan institusi ini terefleksi dari bagaimana para warga Amerika percaya bahwa sistem kerajaan dan sistem perwakilan Inggris seharusnya berfungsi dengan mendapatkan hormat dari para negara persemakmuran yang ada di Inggris. Negara-negara bagian berada di luar monarki mana pun dan menetapkan beberapa hak prerogatif kerajaan sebelumnya (misalnya, berperang, menerima duta besar, dll.) kepada Kongres; hak prerogatif yang tersisa diajukan ke dalam pemerintah negara bagian mereka masing-masing. Para anggota Kongres memilih seorang presiden Amerika Serikat di Majelis Kongres untuk memimpin pembahasannya sebagai moderator diskusi netral. Tidak berhubungan dengan dan sangat berbeda dari jabatan presiden Amerika Serikat saat ini, jabatan presiden pada masa itu adalah posisi seremonial sebagian besar tanpa banyak pengaruh[17].

Pada tahun 1783, Perjanjian Paris dibuat untuk menjamin kemerdekaan dari setiap bekas negara koloni. Dengan perdamaian di tangan mereka, masing-masing negara bagian beralih ke urusan internal mereka sendiri. Di tahun 1786 Amerika mengetahui bahwa batas negara mereka telah dikepung dan terjadi krisis ekonomi karena negara-negara tetangga mengagitasi persaingan perdagangan satu sama lain. Mereka menyaksikan mata uang keras mereka mengalir ke pasar luar negeri untuk membayar impor, perdagangan Mediterania mereka dimangsa oleh bajak laut Afrika Utara, dan utang Perang Revolusi yang dibiayai asing yang belum dibayar dan bunga yang bertambah ditambah lagi dengan bayang-bayang akan terjadinya kerusuhan sipil dan politik.

Setelah resolusi yang mengatur penyelesaian perselisihan dagang dan perikanan antara Negara Bagian Virginia dan Maryland yang ditandatangani pada Konferensi Mount Vernon tahun 1785. Virginia memanggil semua negara bagian untuk ikut dalam konferensi perdagangan yang dilaksanakan pada bulan September 1786 di Annapolis, Maryland. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyelesaikan antagonisme perdagangan antar negara bagian yang lebih jauh. Konferensi tersebut pada akhirnya gagal akibat sedikit perwakilan negara bagian yang hadir karena adanya kecurigaan antara negara-negara bagian. Akibatnya Alexander Hamilton memimpin para delegasi Maryland untuk mengadakan sebuah Konvensi untuk menawarkan revisi dari Konstitusi Kontinental yang akan diadakan pada musim semi berikutnya di Philadelphia. Prospek dari konvensi ini masih tidak jelas sampai James Madison dan Edmund Randolph berhasil memastikan kehadiran George Washington ke Philadelphia sebagai delegasi untuk Virginia[18].

Ketika Konvensi Konstitusi bersidang pada bulan Mei 1787, 12 delegasi negara hadir (Negara Bagian Rhode Island tidak mengirimkan delegasinya) membawa serta akumulasi pengalaman atas serangkaian pengaturan kelembagaan yang beragam antara cabang legislatif dan eksekutif dari dalam pemerintah negara bagian masing-masing. Sebagian besar negara bagian mempertahankan eksekutif yang lemah tanpa hak veto atau penunjukan, dipilih setiap tahun oleh legislatif untuk satu periode saja, berbagi kekuasaan dengan dewan eksekutif, dan dilawan oleh legislatif yang kuat. New York menawarkan pengecualian terbesar, memiliki gubernur kesatuan yang kuat dengan hak veto dan kekuasaan penunjukan yang dipilih untuk masa jabatan tiga tahun, dan memenuhi syarat untuk pemilihan kembali untuk jumlah masa jabatan yang tidak terbatas sesudahnya. Melalui negosiasi tertutup di Philadelphia, kepresidenan yang dibingkai dalam Konstitusi AS muncul.

Perkembangan

George Washington,Presiden Pertama AS

Sebagai Presiden Amerika Serikat yang pertama, George Washington membentuk banyak aturan yang akan menjadi patokan utama dalam jabatan presiden[19]. Keputusannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah menjabat selama dua periode membantu mengatasi rasa takut akan berubahnya bentuk negara menjadi kerajaan[20], dan menyebabkan timbulnya sebuah preseden masa jabatan presiden dua periode untuk orang yang sama yang berlangsung sampai tahun 1940 dan kemudian diratifikasi dalam amandemen kedua puluh lima. Dengan berakhirnya masa jabatan Washington banyak partai politik didirikan[21], ditandai dengan John Adams mengalahkan Thomas Jefferson pada tahun 1796 yang diakui sebagai pilpres pertama yang sebenarnya[22]. Setelah Jefferson mengalahkan Adams di tahun 1800 dan presiden seterusnya yang berasal dari Virginia James Madison dan James Monroe tetap menjabat selama dua periode yang akhirnya mendominasi politik bangsa selama Era Perasaan Baik sampai putra Adams, John Quincy Adams memenangkan pemilihan pada tahun 1824 setelah Partai Demokrat-Republik terpecah.

Pemilihan Andrew Jackson pada tahun 1828 merupakan sebuah tonggak baru karena Jackson bukan merupakan elit politik dari Virginia dan Massachusetts yang menjabat sebagai presiden setelah 40 tahun Amerika Serikat dibentuk[23]. Demokrasi Jacksonian terlihat menguatkan kepresidenan atas biaya dari Kongres, sambil memperluas partisipasi publik saat negara Amerika Serikat berkembang pesat ke arah bagian barat amerika. Bagaimanapun penerusnya Martin Van Buren menjadi tidak disukai masyarakat setelah kasus Kepanikan Tahun 1837[24] dan kematian dari William Henry Harrison dan kurang harmonisnya hubungan antara Kongres dengan Presiden John Tyler menyebabkan melemahnya jabatan presiden[25]. Termasuk Van Buren, dalam 24 tahun antara 1837 dan 1861, enam masa jabatan presiden akan diisi oleh delapan orang yang berbeda, tanpa ada yang memenangkan pemilihan ulang. Senat memainkan peran penting selama periode ini, dengan Triumvirat Hebat Henry Clay, Daniel Webster, dan John C. Calhoun memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan nasional pada tahun 1830-an dan 1840-an sampai perdebatan tentang perbudakan mulai memisahkan negara pada tahun 1850-an.[26][27].

Abraham Lincoln, yang diyakini para sejarawan sebagai salah satu Presiden Terhebat Amerika Serikat

Kepemimpinan Abraham Lincoln selama Perang Saudara Amerika membuat para sejarawan mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari Presiden Terhebat Bangsa Amerika Serikat[A]. Keadaan Negara yang sedang dalam berperang dan Kongres yang didominasi oleh para politikus dari Partai Republik menjadikan jabatan presiden sangat berkuasa[28][29] dan terpilihnya Lincoln pada tahun 1864 merupakan kejadian terpilihnya pertama kali seorang presiden petahana sejak terakhir kali terjadi pada waktu terpilihnya Jackson di tahun 1832. Setelah Lincoln dibunuh pada tahun 1965, penerusnya Andrew Johnson kehilangan semua dukungan politiknya[30] dan hampir dimakzulkan dari jabatannya[31] dengan Kongres masih berkuasa selama masa kepresidenan Jenderal Perang Saudara Ulysses S. Grant. Setelah akhir dari masa-masa Rekonstruksi, Grover Cleveland menjadi politikus Partai Demokrat pertama yang terpilih sejak Perang Saudara, mencalonkan diri pada tiga pilpres (1884,1888, 1892) dan menang dua kali. Pada tahun 1900 William Mckinley menjadi presiden petahana yang terpilih kembali sejak terakhir kalinya dipegang oleh Grant pada tahun 1872.

Setelah terbunuhnya McKinley, Theodore Roosevelt menjadi figur dominan dalam perpolitikan Amerika Serikat[32]. Para sejarawan percaya Theodore Roosevelt mengubah sistem politik dengan menguatkan jabatan presiden[33], dengan beberapa pencapaian kunci termasuk memecah kepercayaan, konservasionisme, reformasi tenaga kerja, menjadikan karakter pribadi sama pentingnya dengan masalah, dan memilih penggantinya, William Howard Taft. Dekade berikutnya, Woodrow Wilson memimpin negara menuju kemenangan selama Perang Dunia I, meskipun proposal Wilson untuk Liga Bangsa-Bangsa ditolak oleh Senat. Warren Harding, yang disukai oleh rakyat, akan melihat warisannya ternoda oleh skandal, terutama Kubah Teko, dan Herbert Hoover dengan cepat menjadi sangat tidak disukai setelah gagal meringankan Depresi Hebat[34].

Era Kepresidenan Imperial

Franklin Delano Roosevelt, satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih selama 4 Periode masa jabatan

Terpilihnya Franklin D. Roosevelt dalam pilpres tahun 1932 menjadi titik tonggak dengan apa yang dinamakan oleh para sejarawan sebagai Kepresidenan Imperial[35]. Didukung dengan Kongres yang dikuasai oleh mayoritas Partai Demokrat dan dukungan masyarakat untuk melakukan perubahan, kebijakan Kesepakatan Baru yang dibuat Roosevelt semakin menjangkau ranah pemerintahan federal termasuk badan-badan yang ada dibawahnya[36]. Staf Kepresidenan yang sebelumnya hanya berjumlah sedikit pada era Roosevelt ditambah jumlah anggotanya tanpa perlu adanya konfirmasi dari Senat[36]. Terpilihnya Roosevelt untuk masa jabatan periode ketiga dan keempat yang belum pernah terjadi sebelumnya ditambah dengan kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II serta pertumbuhan ekonomi negara yang meningkat pesar menjadi salah satu faktor amerika menjadi tonggak kepemimpinan dunia[36]. Presiden penerusnya, Harry Truman dan Dwight Eisenhower yang menjabat selama dua periode berturut-turut dimasa Perang Dingin menjadikan jabatan presiden sebagai pemimpin dunia bebas, sedangkan terpilihnya John F. Kennedy yang masih muda dan disukai masyarakat dengan mengambil keuntungan dari bangkitnya dunia pertelevisian di tahun 1960-an[37][38]

Setelah kalahnya Lyndon B. Johnson akibat Perang Vietnam dan mundurnya Richard Nixon karena Skandal Watergate, Kongres AS memberlakukan sejumlah agenda reformasi yang bertujuan untuk mempertegas kembali posisi Kongres[39][40]. Agenda Reformasi tersebut termasuk Resolusi Kewenangan Perang dan Undang-undang Kontrol Penahanan dan Anggaran Kongres pada tahun 1974 yang terliihat menguatkan kekuasaan fiskal Kongres[41]. Pada tahun 1976 Presiden Gerald Ford mengakui bahwa "bandul sejarah" telah berayun kepada Kongres yang mungkin bisa menyebabkan terjadinya sebuah erosi yang menganggu kemampuannya untuk memerintah[42]. Ford dan Jimmy Carter akhirnya gagal untuk terpilih kembali menjadi Presiden. Ronald Reagan yang sebelumnya merupakan seorang aktor sebelum terjun ke dunia politik, menggunakan kemampuannya sebagai seorang komunikator untuk membentuk ulang kebijakan Agenda Amerika Serikat yang berbeda jauh dengan konsep kebijakan Kesepakatan Baru yang cenderung mengarah kepada ideologi konservatif[43][44]. Sementara itu Wakil Presidennya George H. W. Bush menjadi wakil presiden pertama yang terpilih menjadi presiden sejak terakhir kali terjadi pada tahun 1836[45].

Dengan berakhirnya Perang Dingin dan Amerika Serikat menjadi global power tunggal[46], Bill Clinton, George W. Bush, and Barack Obama menjadi presiden yang menjabat selama dua masa jabatan berturut-turut. Sementara Kongres dan Bangsa Amerika Serikat menjadi lebih terpolarisasi dalam berpolitik, terlebih pada pemilu sela tahun 1994 partai Republik berhasil mengambil alih mayoritas di DPR untuk pertama kalinya setelah 40 tahun dan bangkitnya filibuster dalam Senat beberapa dekade terakhir ini[47]. Maka dari itu presiden dengan demikian semakin fokus pada perintah eksekutif, peraturan lembaga, dan penunjukan yudisial untuk menerapkan kebijakan-kebijakan utama, dengan mengorbankan undang-undang dan kekuasaan kongres[48]. Pemilihan presiden di abad ke-21 telah mencerminkan polarisasi yang terus berlanjut ini, dengan tidak ada calon presiden kecuali Obama pada tahun 2008 yang memenangkan lebih dari lima persen suara populer dan dua presiden— George W. Bush dan Donald Trump — menang di Dewan Elektoral tetapi kalah dalam suara populer[B]. Clinton dan Trump menghadapi upaya pemakzulan dari Kongres yang dipimpin oleh oposisi, tetapi upaya pemakzulan tersebut tidak memiliki efek jangka panjang pada posisi politik mereka[49][50].

Kritikan-kritikan Akibat Evolusi Jabatan Presiden

Para Pendiri Bangsa mengharapkan Kongres untuk menjadi cabang pemerintah federal yang lebih dominan; mereka tidak mengharapkan bidang eksekutif yang dominan[51]. Bagaimanapun kekuasaan presiden bergant-ganti seiring waktu yang menghasilkan klaim bahwa kepresidenan di era modern telah menjadi terlalu kuat[52][53], tidak terkendali, tidak seimbang[54], dan sifatnya "monarkis"[55]. Pada tahun 2008 Profesor Dana D. Nelson menyatakan keyakinannya bahwa presiden selama tiga puluh tahun sebelumnya bekerja menuju "kontrol presiden yang tidak terbagi atas cabang eksekutif dan badan-badannya"[56]. Ia mengkritik para pendukung teori eksekutif Kesatuan karena memperluas "banyak kekuasaan eksekutif yang tidak dapat dikendalikan—seperti perintah eksekutif, dekrit, memorandum, proklamasi, arahan keamanan nasional, dan pernyataan penandatanganan legislatif—yang telah memungkinkan presiden untuk memberlakukan banyak kebijakan asing dan domestik. kebijakan tanpa perlu bantuan, campur tangan atau persetujuan dari Kongres"[56]. Bill Wilson, anggota dewan American for Limited Government, berpendapat bahwa perluasan kewenangan kepresidenan adalah "ancaman terbesar yang pernah ada terhadap kebebasan individu dan pemerintahan demokratis"[57].

Kewenangan Eksekutif

Presiden merupakan kepala cabang eksekutif pemerintahan federal dan secara hukum telah diikat untuk memperhatikan dan mengawasi bagaimana undang-undang yang telah ada secara implementasi telah dilaksanakan[58]. Cabang eksekutif mempunyai lebih dari empat juta pegawai termasuk para tentara angkatan bersenjata amerika serikat.[59]

Urusan Administratif Dalam Negeri

Presiden bisa membuat aturan-aturan tingkat federal. Para duta besar, menteri-menteri dan pejabat-pejabat federal lainnya semuanya diangkat oleh presiden dengan persetujuan dari Senat. Ketika pada saat akan dilakukan pengangkatan pejabat federal ternyata Senat sedang dalam masa reses, maka presiden akan melakukan "pengangkatan reses"[60]. Pengangkatan reses seorang pejabat bersifat sementara dan akan berakhir pada saat masa sidang Senat yang akan datang.

Kekuasaan presiden untuk memberhentikan para pejabat telah lama menjadi isu kontroversial. Pada umumnya seorang presiden mungkin dapat memberhentikan para pejabatnya atas keinginannya sendiri[61]. Tetapi Kongres dapat membatasi hal tersebut dan membatasi kewenangan presiden dalam memberhentikan para pejabat tinggi maupun pejabat eksekutif rendah tertentu melalui undang-undang[62].

Untuk mengatur pertumbuhan biro federal, presiden secara bertahap akan mengelilingi dirinya dengan berbagai lapisan staf yang ada dalam Kantor Staf Kepresidenan Amerika Serikat.

Presiden juga memiliki kewenangan untuk mengatur proses berjalannya pemerintahan federal dengan mengeluarkan berbagai proklamasi presiden dan perintah eksekutif. Ketika presiden secara sah menjalankan salah satu tanggung jawab presiden yang diberikan secara konstitusional, ruang lingkup kewenangan ini bersifat luas[63]. Meski begitu, arahan ini tunduk pada tinjauan yudisial oleh pengadilan federal AS, yang dapat menemukan bahwa mereka tidak konstitusional. Selain itu, Kongres dapat membatalkan perintah eksekutif melalui undang-undang (misalnya, Undang-Undang Tinjauan Kongres).

Urusan Luar Negeri

Presiden John F. Kennedy bersama para Duta Besar di tahun 1961

Bab II Pasal 3 Ayat 4 Konstitusi menyatakan bahwa presiden menerima duta-duta besar negara sahabat. Hal ini dikenal dengan nama Klause Resepsi telah diinterpretasikan sebagai sebuah makna tersirat bahwa presiden memiliki kekuasaan yang luas atas masalah kebijakan luar negeri[64] Konstitusi juga memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat para duta besar dan mengajukan atau bernegosiasi untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain. Perjanjian tersebut, setelah menerima saran dan persetujuan dari Senat AS (dengan suara mayoritas dua pertiga), menjadi mengikat dengan kekuatan hukum federal.

Urusan luar negeri selalu menjadi elemen penting dalam tanggung jawab presiden terlebih dengan adanya kemajuan teknologi sejak adopsi Konstitusi telah meningkatkan kekuasaan presiden. Di mana sebelumnya para duta besar diberi kekuasaan yang signifikan untuk bernegosiasi secara independen atas nama Amerika Serikat, presiden sekarang secara rutin bertemu langsung dengan para pemimpin negara asing.

Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata

Abraham Lincoln, sukses mempertahankan Amerika Serikat dalam Perang Saudara

Kewenangan eksekutif yang paling penting adalah sebagai Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Kewenangan mendeklarasikan perang secara konstitusi berada pada Kongres, tetapi presiden memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur dan menempatkan para tentaranya. Tingkat kewenangan yang tepat bahwa Konstitusi memberikan kekuasaan tertinggi kepada presiden sebagai pemimpin tertinggi telah menjadi subjek perdebatan sepanjang sejarah dengan Kongres beberapa kali memberikan presiden kewenangan yang besar atas hal tersebut, dan banyak terjadi upaya untuk membatasi kewenangan tersebut[65].

Dalam Era Modern sesuai dengan Resolusi Kewenangan Perang, Kongres harus mengesahkan penempatan tentara yang jangka waktunya lebih dari 60 hari, meskipun proses itu bergantung pada mekanisme pemicu yang belum pernah digunakan, menjadikannya tidak efektif[66] Sebagai tambahan Kongres akan mengecek penggunaan kewenangan militer presiden melalui kontrol atas pengeluaran belanja militer dan regulasi-regulasi yang berkaitan dengan itu. Dalam sejarah Amerika Serikat, Kebanyakan Presiden AS yang memulai proses perang[67][68], tetapi banyak kritikan yang bahwa telah terjadi beberapa konflik di mana presiden tidak mendapatkan deklarasi resmi, termasuk ketika Theodore Roosevelt memindahkan tentara ke Panama pada tahun 1903[67], Perang Korea[67], Perang Vietnam[67], invasi ke Grenada pada tahun 1983[69] dan Panama pada tahun 1989[70].

Jumlah detail tentara yang dipegang presiden pada waktu perang bervariasi[71]. George Washington Presiden AS pertama membentuk subordinasi militer yang mapan di bawah otoritas sipil. Pada tahun 1794 Washington menggunakan kewenangannya untuk mengumpul 12.000 milisi untuk memadamkan Pemberontakan Whiskey. Sejarawan mencatat bahwa pada masa itu pertama kalinya seorang presiden memimpin pasukan langsung dalam perang, meskipun James Madison pernah mengambil alih unit artileri dalam mempertahankan Ibukota Washington D.C. pada perang tahun 1812[72]. Abraham Lincoln juga terlibat dalam seluruh strategi dan pelaksanaan sehari-hari selama Perang Sipil Amerika (Sejarawan memberikan pujian atas insting strategi dan kemampuan Lincoln dalam memilih perwira perang seperti Ulysses S. Grant[73]). Komando operasional Angkatan Bersenjata saat ini didelegasikan kepada Departemen Pertahanan dan biasanya dilaksanakan melalui menteri pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan dan Komando Tempur membantu operasi sebagaimana digariskan dalam Rencana Komando Terpadu (UCP) yang disetujui presiden[74][75][76].

Kewenangan Yuridis dan Hak-hak Khusus

President Barack Obama with his Supreme Court appointee Justice Sotomayor, 2009

Presiden berwenang dalam mencalonkan para hakim federal, termasuk para anggota dari Pengadilan Banding Amerika Serikat dan para hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat. Para calon hakim yang dicalonkan oleh presiden harus mendapat persetujuan dari Senat sebelum dilantik. Dalam upaya untuk mengamankan persetujuan Senat mungkin bisa menjadi rintangan bagi presiden yang berharap untuk mengarahkan peradilan federal ke arah sikap ideologis tertentu. Saat mencalonkan hakim-hakim Pengadilan Distrik Amerika Serikat, presiden biasanya menghormati tradisi lama kesopanan senator. Presiden juga dapat memberikan pengampunan dan penangguhan hukuman. Presiden Gerald Ford memberikan pengampunan kepada mantan Presiden Richard Nixon sebulan setelah ia menjabat. Presiden biasanya memberikan pengampunan dihari-hari terakhir mereka menjabat, seperti ketika Presiden Bill Clinton memberikan pengampunan kepada Patty Hearst pada hari terakhir ia menjabat; namun biasanya pengampunan disaat akhir-akhir masa jabatan tersebut bisa menimbulkan kontroversi[77][78][79].

Dua doktrin yang mengkhawatirkan kekuasaan eksekutif telah berkembang yang membuat presiden menjalankan kekuasaan eksekutifnya dengan sebuah derajat otonomi. Doktrin yang pertama yaitu hak-hak khusus eksekutif yang mengizinkan presiden menahan untuk mengungkapkan setiap komunikasi yang dibuat langsung oleh presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya dibidang eksekutif. George Washington dianggap presiden yang pertama menggunakan hak-hak khusus ini saat Kongres meminta untuk melihat catatan Ketua Mahkamah Agung John Jay dari negosiasi perjanjian dengan Inggris Raya yang tidak diketahui publik. Meskipun hal itu tidak diatur dalam Konstitusi atau undang-undang lainnya, tindakan Washington tersebut akhirnya menciptakan preseden untuk hak khusus tersebut. Ketika Presiden Nixon mencoba menggunakan hak khusus eksekutif sebagai sebuah alasan untuk tidak menyerahkan bukti yang berkaitan dengan skandal Watergate kepada Kongres, Mahkamah Agung membuat sebuah perintah bahwa penggunaan hak khusus itu tidak dapat dipakai dalam sebuah kasus dimana presiden petahana menggunakannya untuk mengelak dari proses hukum. Saat Presiden Bill Clinton menggunakan hak khusus ini saat sedang hebohnya skandal Lewinsky, Mahkamah Agung juga membuat sebuah perintah bahwa penggunaan hak khusus ini juga tidak dapat dipakai dalam gugatan perdata. Kejadian-kejadian diatas menjadi preseden legal bahwa hak-hak khusus eksekutif merupakan hak yang sah, meskipun sejauh mana hak istimewa tersebut belum didefinisikan dengan jelas. Selain itu, pengadilan federal telah mengizinkan hak istimewa ini untuk memancar keluar dan melindungi pejabat-pejabat eksekutif lainnya, tetapi melemahkan perlindungan itu untuk komunikasi cabang eksekutif yang tidak melibatkan presiden[80].

Doktrin yang kedua yaitu hak-hak khusus rahasia negara mengizinkan presiden dan para pejabat eksekutif untuk menahan rilisnya sebuah dokumen atau informasi dalam proses hukum yang dianggap dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini terjadi saat Thomas Jefferson menolak untuk merilis dokumen militer dalam proses persidangan atas dugaan pengkhianatan oleh Aaron Burr, ketika Mahkamah Agung menolak kasus yang dibawa oleh mantan mata-mata Union. Hal inilah yang menjadi preseden hak khusus rahasia negara. Meskipun demikian hak khusus ini belum resmi diakui oleh Mahkamah Agung AS sampai saat di mana itu dianggap sebagai hak pembuktian hukum umum[81]. Sebelum Serangan 11 September, penggunaan hak khusus ini sarang jarang terjadi. Sejak tahun 2001 pemerintah menegaskan penggunaan hak khusus ini dalam banyak kasus tahap awal litigasi, sehingga dalam beberapa kasus menyebabkan pembatalan gugatan sebelum mencapai manfaat dari klaim, seperti dalam keputusan Sirkuit Kesembilan pada kasus Mohamed v. Jeppesen Dataplan, Inc[82][83] . Kritikus mengklaim penggunaan hak khusus ini, telah menjadi alat untuk pemerintah untuk menutupi tindakan ilegal atau memalukan pemerintah.[84][85]

Kewenangan Legislatif

Bab I Pasal I Konstitusi menetapkan segala urusan yang terkait dengan pembuatan undang-undang dan legislasi lainnya berada dibawah kewenangan Kongres. Sedangkan dalam Bab I Pasal 6 Ayat 2 mengatur tentang bagaimana mencegah presiden dan para pejabat-pejabat eksekutif lainnya (menteri-menteri dan kepala-kepala badan) pada saat yang bersamaan menjadi anggota Kongres. Namun demikian kepresidenan di era modern ini memberikan kekuasaan yang signifikan atas undang-undang, baik karena ketentuan konstitusional dan perkembangan sejarah dari waktu ke waktu.

Menandatangani dan Memveto RUU

Presiden Lyndon B. Johnson menandatangani UU Hak Sipil 1964 sambil disaksikan oleh Martin Luther King Jr.

Kewenangan legislasi presiden diturunkan dari Klausa Presentment yang memberikan presiden kewenangan untuk memveto RUU yang telah diloloskan oleh Kongres. Namun Kongres juga dapat membatalkan keputusan presiden yang memveto RUU tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan setidak-tidaknya dari dukungan suara dua per tiga anggota Kongres yang biasanya sangat sulit dicapai kecuali untuk legislasi bipartisan yang didukung secara luas. Para perancang konstitusi khawatir jika Kongres akan meningkatkan kewenangannya dan mencoba menghidupkan "tirani mayoritas" sehingga memberikan hak veto kepada presiden dipandang sebagai pemeriksaan penting terhadap kekuasaan legislatif. George Washington percaya bahwa hak memveto ini hanya dapat digunakan dalam kasus dimana RUU tersebut bersifat inkonstitusionil, dimasa sekarang hak memveto ini sering dipakai jika presiden merasa jika RUU yang diloloskan itu bertentangan dengan kebijakan-kebijakannya. Hak memveto – atau ancaman veto – telah berkembang untuk menjadikan kepresidenan modern sebagai bagian pusat dari proses legislatif Amerika.

Lebih khusus, dibawah Klausa Presentment pada saat RUU telah diloloskan oleh Kongres maka presiden dapat :

  1. Menandatangani RUU tersebut dalam jangka waktu 10 hari (hari minggu tidak dihitung) dan RUU tersebut menjadi UU.
  2. Memveto RUU dalam jangka waktu 10 hari dan mengembalikan RUU tersebut kepada Kongres dan menyatakan keberatan— RUU itu tidak menjadi undang-undang, kecuali jika kedua majelis Kongres memberikan suara setidaknya dua pertiga anggota Kongres untuk membatalkan veto presiden tersebut.
  3. Tidak mengambil tindakan terhadap RUU dalam jangka waktu di atas—RUU menjadi undang-undang, seolah-olah presiden telah menandatanganinya, kecuali Kongres ditunda pada saat itu, dalam hal ini RUU tersebut tidak menjadi undang-undang.

Mengatur Agenda

Presiden Joe Biden menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam sesi Sidang Bersama Kongres pada tanggal 1 Maret 2022. Dibelakang Biden adalah Wakil Presiden Kamala Harris (sebagai Presiden Senat) dan Ketua DPR Nancy Pelosi

Dalam sejarah amerika, para calon presiden menyampaikan janjinya untuk sebuah agenda legislatif. Secara resmi dalam Bab II Pasal 3 Ayat 2 menyatakan bahwa presiden merekomendasikan tindakan dan kebijakan yang ia akan lakukan kepada Kongres. Hal ini dilakukan dengan cara yaitu Presiden menyampaikan pidato kenegaraannya yang dikenal dengan istilah State of the Union yang biasanya akan menjadi tolok ukur kebijakan legislatif presiden dalam tahun yang sama dan tolok ukur itu didapat dengan melakukan komunikasi resmi maupun tidak resmi bersama Kongres.

Presiden juga bisa terlibat dalam pembuatan legislasi dengan merekomendasikan, meminta atau bahkan bersikeras dengan Kongres berkaitan dengan RUU yang ia rasa diperlukan. Sebagai tambahan Presiden dapat mencoba untuk membentuk legislasi selama proses legislasi melalui pengaruhnya terhadap para anggota Kongres[86]. Presiden memiliki kewenangan ini karena Konstitusi tidak mengatur secara jelas siapa yang dapat menulis RUU, tetapi kekuasaan itu terbatas karena hanya anggota Kongres yang dapat memulai proses legislasi rancangan undang-undang[87].

Presiden maupun para pejabat pemerintah lainnya dapat membuat draf legislasi dan kemudian meminta para senator atau anggota DPR untuk dapat mengenalkan draf legislasi tersebut kepada Kongres. Selain itu presiden juga dapat meminta Kongres untuk dapat mengubah isi RUU yang diusulkan dengan mengancam akan memveto RUU tersebut jika perubahan yang diminta presiden tidak diindahkan[88].

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Nearly all scholars rank Lincoln among the nation's top three presidents, with many placing him first. See Historical rankings of presidents of the United States for a collection of survey results.
  2. ^ See List of United States presidential elections by popular vote margin.

Referensi

  1. ^ "How To Address The President; He Is Not Your Excellency Or Your Honor, But Mr. President". The New York Times. 1891-08-02. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-26. Diakses tanggal 2013-06-05. 
  3. ^ "Models of Address and Salutation". Ita.doc.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal 2010-09-04. 
  4. ^ The White House Office of the Press Secretary (September 2, 2010). "Remarks by President Obama, President Mubarak, His Majesty King Abdullah, Prime Minister Netanyahu and President Abbas Before Working Dinner". WhiteHouse.gov. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  5. ^ "Exchange of Letters". Permanent Observer Mission of Palestine to the United Nations. 1978. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  6. ^ Ford, Henry Jones (1908). "The Influence of State Politics in Expanding Federal Power". Proceedings of the American Political Science Association. 5: 53–63. doi:10.2307/3038511. JSTOR 3038511. 
  7. ^ Von Drehle, David (February 2, 2017). "Is Steve Bannon the Second Most Powerful Man in the World?". Time. 
  8. ^ "Who should be the world's most powerful person?". The Guardian. London. January 3, 2008. 
  9. ^ Meacham, Jon (December 20, 2008). "Meacham: The History of Power". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  10. ^ Zakaria, Fareed (December 20, 2008). "The Newsweek 50: Barack Obama". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  11. ^ Pfiffner, J. P. (1988). "The President's Legislative Agenda". Annals of the American Academy of Political and Social Science. 499: 22–35. doi:10.1177/0002716288499001002. 
  12. ^ a b Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 978-0-87289-336-8. 
  13. ^ Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 0-87289-336-7. 
  14. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 0-393-96056-0. 
  15. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 978-0-393-96056-3. 
  16. ^ "Articles of Confederation, 1777–1781". Washington, D.C.: Office of the Historian, Bureau of Public Affairs, United States Department of State. Diakses tanggal January 20, 2019. [pranala nonaktif]
  17. ^ Ellis, Richard J. (1999). Founding the American Presidency. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield. hlm. 1. ISBN 0-8476-9499-2. 
  18. ^ Beeman, Richard (2009). Plain, Honest Men: The Making of the American ConstitutionPerlu mendaftar (gratis). New York: Random House. ISBN 978-0-8129-7684-7. 
  19. ^ Steven, Knott (October 4, 2016). "George Washington: Life in Brief". Miller Center (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal February 5, 2018. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  20. ^ Spalding, Matthew (February 5, 2007). "The Man Who Would Not Be King". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  21. ^ Feeling, John (February 15, 2016). "How the Rivalry Between Thomas Jefferson and Alexander Hamilton Changed History". Time. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  22. ^ NCC staff (November 4, 2019). "On This Day: The first bitter, contested presidential election takes place". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  23. ^ Walsh, Kenneth (August 20, 2008). "The Most Consequential Elections in History: Andrew Jackson and the Election of 1828". U.S. News & World Report. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  24. ^ Bomboy, Scott (December 5, 2017). "Martin Van Buren's legacy: Expert politician, mediocre president". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  25. ^ Freehling, William (October 4, 2016). "John Tyler: Impact and Legacy". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  26. ^ Heidler, David; Heidler, Jeanne. "The Great Triumvirate". Essential Civil War Curriculum. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  27. ^ Winters, Michael Sean (August 4, 2017). "'Do not trust in princes': the limits of politics". National Catholic Reporter. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  28. ^ Weber, Jennifer (March 25, 2013). "Was Lincoln a Tyrant?". New York Times Opinionator. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  29. ^ Williams, Frank (April 1, 2011). "Lincoln's War Powers: Part Constitution, Part Trust". American Bar Association. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  30. ^ Varon, Elizabeth (October 4, 2016). "Andrew Johnson: Campaigns and Elections". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  31. ^ NCC Staff (May 16, 2020). "The man whose impeachment vote saved Andrew Johnson". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  32. ^ Boissoneault, Lorraine (April 17, 2017). "The Debate Over Executive Orders Began With Teddy Roosevelt's Mad Passion for Conservation". Smithsonian Magazine (website). Diakses tanggal September 14, 2020. 
  33. ^ Posner, Eric (April 22, 2011). "The inevitability of the imperial presidency". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  34. ^ Smith, Richard Norton; Walch, Timothy (Summer 2004). "The Ordeal of Herbert Hoover". Prologue Magazine. National Archives. 36 (2). 
  35. ^ Schlesinger, Arthur M. (Arthur Meier) (1973). The imperial Presidency. Internet Archive. Boston, Houghton Mifflin. ISBN 978-0-395-17713-6. 
  36. ^ a b c Yoo, John (2018-02-14). "Franklin Roosevelt and Presidential Power" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 
  37. ^ Magazine, Smithsonian; Eschner, Kat. "A Year Before His Presidential Debate, JFK Foresaw How TV Would Change Politics". Smithsonian Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  38. ^ "See How JFK Created a Presidency for the Television Age". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  39. ^ Wallach, Philip (April 26, 2018). "When Congress won the American people's respect: Watergate". LegBranch.org. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  40. ^ Berger, Sam; Tausanovitch, Alex (July 30, 2018). "Lessons From Watergate". Center for American Progress. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  41. ^ Glass, Andrew (July 12, 2017). "Budget and Impoundment Control Act becomes law, July 12, 1974". Politico. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  42. ^ Shabecoff, Philip (March 28, 1976). "Presidency Is Found Weaker Under Ford". The New York Times. Diakses tanggal September 9, 2020. 
  43. ^ Edwards, Lee (February 5, 2018). "What Made Reagan a Truly Great Communicator". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  44. ^ Brands, H. W. "What Reagan Learned from FDR". History News Network. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  45. ^ Schmuhl, Robert (April 26, 1992). "Bush Enjoyed the Martin Van Buren Comparisons in '88; He Won't". Chicago Tribune. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  46. ^ Sorensen, Theodore (Fall 1992). "America's First Post-Cold War President". Foreign Affairs. 71 (4): 13–30. doi:10.2307/20045307. JSTOR 20045307. 
  47. ^ Barber, Michael; McCarty, Nolan (2013), Causes and Consequences of Polarization, American Political Science Association Task Force on Negotiating Agreement in Politics report, at 19–20, 37–38.
  48. ^ Rudalevige, Andrew (April 1, 2014). "The Letter of the Law: Administrative Discretion and Obama's Domestic Unilateralism". The Forum. 12 (1): 29–59. doi:10.1515/for-2014-0023. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  49. ^ DeSilver, Drew (October 3, 2019). "Clinton's impeachment barely dented his public support, and it turned off many Americans". Pew Research Center. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  50. ^ Olsen, Henry (January 6, 2020). "Trump's approval rating has already recovered from its impeachment slump". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  51. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. the founding fathers had "scant affection for strong executives" like England's king, and ... Bush White House's claims are rooted in ideas "about the 'divine' right of kings" ... and that certainly did not find their way into our founding documents, the 1776 Declaration of Independence and the Constitution of 1787. 
  52. ^ Sirota, David (August 22, 2008). "The Conquest of Presidentialism". HuffPost. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  53. ^ Schimke, David (September–October 2008). "Presidential Power to the People—Author Dana D. Nelson on why democracy demands that the next President be taken down a notch". Utne Reader. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  54. ^ Linker, Ross (September 27, 2007). "Critical of Presidency, Prof. Ginsberg and Crenson unite". The Johns-Hopkins Newsletter. Diakses tanggal November 9, 2017. Presidents slowly but surely gain more and more power with both the public at large and other political institutions doing nothing to prevent it. 
  55. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. Unchecked and Unbalanced: Presidential Power in a Time of Terror By Frederick A. O. Schwarz Jr. and Aziz Z. Huq (authors) 
  56. ^ a b Nelson, Dana D. (October 11, 2008). "Opinion—The 'unitary executive' question—What do McCain and Obama think of the concept?". Los Angeles Times. Diakses tanggal September 21, 2009. 
  57. ^ Shane, Scott (September 25, 2009). "A Critic Finds Obama Policies a Perfect Target". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. There is the small, minority-owned firm with deep ties to President Obama's Chicago backers, made eligible by the Federal Reserve to handle potentially lucrative credit deals. "I want to know how these firms are picked and who picked them," Mr. Wilson, the group's president, tells his eager researchers. 
  58. ^ "Article II, Section 3, U.S. Constitution". Legal Information Institute. 2012. Diakses tanggal August 7, 2012. 
  59. ^ "Executive Branch". whitehouse.gov. April 2015. Diakses tanggal January 24, 2020 – via National Archives. 
  60. ^ NLRB v. Noel Canning, 572 U.S. __ (2014).
  61. ^ Shurtleff v. United States, 189 U.S. 311 (1903); Myers v. United States, 272 U.S. 52 (1926).
  62. ^ Humphrey's Executor v. United States, 295 U.S. 602 (1935) and Morrison v. Olson, 487 U.S. 654 (1988), respectively.
  63. ^ Gaziano, Todd (February 21, 2001). "Executive Summary: The Use and Abuse of Executive Orders and Other Presidential Directives". Washington, D.C.: The Heritage Foundation. Diakses tanggal January 23, 2018. 
  64. ^ United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936), characterized the President as the "sole organ of the nation in its external relations," an interpretation criticized by Louis Fisher of the Library of Congress.
  65. ^ Ramsey, Michael; Vladeck, Stephen. "Common Interpretation: Commander in Chief Clause". National Constitution Center Educational Resources (some internal navigation required). National Constitution Center. Diakses tanggal May 23, 2017. 
  66. ^ Christopher, James A.; Baker, III (July 8, 2008). "The National War Powers Commission Report". The Miller Center of Public Affairs at the University of Virginia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal November 26, 2010. Diakses tanggal December 15, 2010. No clear mechanism or requirement exists today for the president and Congress to consult. The War Powers Resolution of 1973 contains only vague consultation requirements. Instead, it relies on reporting requirements that, if triggered, begin the clock running for Congress to approve the particular armed conflict. By the terms of the 1973 Resolution, however, Congress need not act to disapprove the conflict; the cessation of all hostilities is required in 60 to 90 days merely if Congress fails to act. Many have criticized this aspect of the Resolution as unwise and unconstitutional, and no president in the past 35 years has filed a report "pursuant" to these triggering provisions. 
  67. ^ a b c d "The Law: The President's War Powers". Time. June 1, 1970. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 7, 2008. Diakses tanggal September 28, 2009. 
  68. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. Presidents have sent forces abroad more than 100 times; Congress has declared war only five times: the War of 1812, the Mexican War, the Spanish–American War, World War I and World War II. 
  69. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. President Reagan told Congress of the invasion of Grenada two hours after he had ordered the landing. He told Congressional leaders of the bombing of Libya while the aircraft were on their way. 
  70. ^ Gordon, Michael R. (December 20, 1990). "U.S. troops move in Panama in effort to seize Noriega; gunfire is heard in capital". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. It was not clear whether the White House consulted with Congressional leaders about the military action, or notified them in advance. Thomas S. Foley, the Speaker of the House, said on Tuesday night that he had not been alerted by the Administration. 
  71. ^ Andrew J. Polsky, Elusive Victories: The American Presidency at War (Oxford University Press, 2012) online review
  72. ^ "George Washington and the Evolution of the American Commander in Chief". The Colonial Williamsburg Foundation. 
  73. ^ James M. McPherson, Tried by War: Abraham Lincoln As Commander in Chief (2009)
  74. ^ "DOD Releases Unified Command Plan 2011". United States Department of Defense. April 8, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 13, 2011. Diakses tanggal February 25, 2013. 
  75. ^ 10 U.S.C. § 164
  76. ^ Joint Chiefs of Staff. About the Joint Chiefs of Staff. Retrieved February 25, 2013.
  77. ^ Johnston, David (December 24, 1992). "Bush Pardons Six in Iran Affair, Aborting a Weinberger Trial; Prosecutor Assails 'Cover-Up'". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. The prosecutor charged that Mr. Weinberger's efforts to hide his notes may have 'forestalled impeachment proceedings against President Reagan' and formed part of a pattern of 'deception and obstruction'. ... In light of President Bush's own misconduct, we are gravely concerned about his decision to pardon others who lied to Congress and obstructed official investigations. 
  78. ^ Eisler, Peter (March 7, 2008). "Clinton-papers release blocked". USA Today. Diakses tanggal November 8, 2009. Former president Clinton issued 140 pardons on his last day in office, including several to controversial figures, such as commodities trader Rich, then a fugitive on tax evasion charges. Rich's ex-wife, Denise, contributed $2,000 in 1999 to Hillary Clinton's Senate campaign; $5,000 to a related political action committee; and $450,000 to a fund set up to build the Clinton library. 
  79. ^ Johnston, David (December 24, 1992). "Bush Pardons Six in Iran Affair, Aborting a Weinberger Trial; Prosecutor Assails 'Cover-Up'". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. But not since President Gerald R. Ford granted clemency to former President Richard M. Nixon for possible crimes in Watergate has a Presidential pardon so pointedly raised the issue of whether the president was trying to shield officials for political purposes. 
  80. ^ Millhiser, Ian (June 1, 2010). "Executive Privilege 101". Center for American Progress. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 9, 2010. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  81. ^ Frost, Amanda; Florence, Justin (2009). "Reforming the State Secrets Privilege". American Constitution Society. Diakses tanggal November 9, 2017. 
  82. ^ Finn, Peter (September 9, 2010). "Suit dismissed against firm in CIA rendition case". The Washington Post. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  83. ^ Savage, Charlie (September 8, 2010). "Court Dismisses a Case Asserting Torture by C.I.A." The New York Times. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  84. ^ Glenn Greenwald (February 10, 2009). "The 180-degree reversal of Obama's State Secrets position". Salon. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  85. ^ "Background on the State Secrets Privilege". American Civil Liberties Union. January 31, 2007. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  86. ^ Pfiffner, James. "Essays on Article II: Recommendations Clause". The Heritage Guide to the Constitution. Heritage Foundation. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  87. ^ "Our Government: The Legislative Branch". www.whitehouse.gov. Washington, D.C.: The White House. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  88. ^ Heitshusen, Valerie (November 15, 2018). "Introduction to the Legislative Process in the U.S. Congress" (PDF). R42843 · Version 14 · updated. Washington, D.C.: Congressional Research Service. Diakses tanggal April 14, 2019. 

Pranala luar