Lompat ke isi

Efek media massa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Efek Media Massa)

Efek media massa adalah suatu kesan yang timbul pada pikiran khalayak akibat adanya suatu proses penyampaian pesan melalui media atau alat-alat komunikasi mekanis seperti: surat kabar, radio, televisi dan sebagainya. Menurut Straubhaar et. al. (2011) adalah suatu perubahan pada pengetahuan, sikap, emosi, atau tingkah laku setiap individu atau seseorang yang mengkonsumsi media tersebut sebagai hasil dari paparan media massa yang dilakukan secara terus-menerus.[1]

Terminologi

[sunting | sunting sumber]

Pengertian efek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah akibat; pengaruh: kesan yang timbul pada pikiran penonton, pendengar, pembaca, dan sebagainya (sensasi sesudah mendengar atau melihat sesuatu). Pengertian media massa adalah alat yang digunakan di dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dan dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti: surat kabar, radio, televisi dan film.[2]

Karakteristik media massa

[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa karakteristik media massa yaitu sebagai berikut:[2]

  1. Bersifat melembaga: pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang. Mulai dari pengumpulan, pengelolaan hingga pada penyajian informasi itu sendiri.
  2. Bersifat satu arah: komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antar pengirim pesan atau informasi dengan penerima pesan atau informasi. Apabila terjadi reaksi ataupun umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
  3. Meluas dan serempak: dapat mengatasi rintangan jarak dan juga waktu. Media massa memiliki kecepatan dalam proses penyampaian suatu pesan atau informasi kepada khalayaknya. Bergerak secara luas dan simultan, yaitu pesan atau informasi yang disampaikan dapat diterima oleh banyak orang pada saat yang bersamaan.
  4. Menggunakan peralatan teknis atau mekanis, yaitu seperti: surat kabar, televisi, radio, dan lain-lain.
  5. Bersifat terbuka: pesan dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun suku bangsa.

Karakteristik media komunikasi yang bersifat massa adalah yang diterima oleh mata dan telinga; umpan balik tidak langsung; kode tertulis dan lisan; arus pesan biasanya satu arah; liputan banyak dan tanpa batas; efek media massa biasanya rendah pada sikap namun tinggi pada kognitif; kecepatan penyampaian pesan atau informasi sangat cepat dan luas; khalayaknya adalah massa yang tak terbatas; muatan pesan sangat banyak; media yang digunakan seperti televisi, radio, film, surat kabar.

Teori-teori efek media

[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa alternatif Teori yang biasa digunakan untuk menjelaskan mengenai efek-efek atau dampak dari media, yaitu sebagai berikut:[1]

Teori Jarum Suntik (Teori Model Peluru)

[sunting | sunting sumber]

Media massa digambarkan sebagai sesuatu yang sangat kuat karena, memiliki kemampuan di dalam yang dapat menggoyahkan pikiran khalayak, dengan dampak seperti menyerupai peluru yang melesat cepat atau seperti sebuah suntikan dari jarum suntik. Teori ini mengemukakan bahwa pesan yang disampaikan melalui media massa seolah seperti jarum yang disuntikkan kepada khalayaknya, sehingga mampu mengubah pikiran, pandangan, maupun perilaku khalayaknya secara langsung, yang mendapatkan pesan dari media tersebut.

Model Aliran Bertahap

[sunting | sunting sumber]

Hampir kebanyakan orang menerima informasi dan terpengaruh dari media secondhand, yaitu melalui pengaruh personal dari pemimpin opini. Model komunikasi ini juga disebut sebagai model komunikasi two-step flow, karena pesan komunikasi terjadi melalui dua langkah. Teori ini berpendapat bahwa efek media tidak dirasakan secara langsung oleh khalayaknya.

Proses Selektif

[sunting | sunting sumber]

Melalui model ini, khalayak menerima suatu pesan atau informasi dengan proses yang selektif yaitu mereka memilih pesan atau informasi yang sesuai dengan apa yang mereka yakini atau percaya.

Selektivitas Pesan

[sunting | sunting sumber]

Ada tiga macam selektivitas pesan yang dapat terjadi pada setiap penerima, yaitu sebagai berikut:[2]

  • Selective perception: penerima memberi arti pada pesan atau informasi yang diterimanya menurut persepsi mereka masing-masing. Persepsi adalah suatu proses ketika seseorang menyadari bahwa ada objek yang menyentuh salah satu panca inderanya (mata atau telinga). Persepsi juga terbentuk karena, adanya rangsangan yang diorganisir lalu diberi interpretasi berdasarkan pengalaman, budaya, serta tingkat pengetahuannya.
  • Selective exposure: orang cenderung memilih informasi atau pesan berdasarkan pada liputan yang disukainya. Pilihan terhadap informasi atau pesan dapat berdasarkan ideologi, agama, suku dan juga pekerjaan.
  • Selective retention: pemilihan informasi atau pesan yang memberikan kesan tersendiri secara pribadi kepada khalayaknya (penerima).

Teori Pembelajaran Sosial

[sunting | sunting sumber]

Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di televisi melalui suatu proses yang dikenal dengan pembelajaran melalui observasi atau peninjauan langsung.

Pemaparan suatu berita atau informasi yang dilakukan secara terus-menerus akan memupuk pandangan khalayak (penerima) terhadap realitas yang terjadi di dunia. Misalnya seperti; berita kriminal yang sering ditonton oleh anak kecil akan menimbulkan ketakutan terhadap pribadi anak tersebut, ketimbang anak yang suka menonton film yang sesuai di usianya seperti film kartun.

Teori Priming

[sunting | sunting sumber]

Teori ini berpendapat bahwa gambaran yang ada pada media dapat menstimulasi pandangan yang berhubungan dengan apa yang ada di benak khalayaknya.

Teori Agenda Setting

[sunting | sunting sumber]

Agenda setting adalah suatu proses di mana seorang publik figur atau acara penting dapat membantu di dalam pembentukan isi dari media tersebut.

Teori Catharsis

[sunting | sunting sumber]

Teori ini berpendapat bahwa media yang menampilkan seks dan kekerasan memiliki dampak positif misalnya dengan membiarkan orang yang anti-sosial hidup bebas di dalam imajinasi mereka yang ada pada dunia nyata.

Teori Kritis

[sunting | sunting sumber]

Teori kritis dari dampak atau efek media lebih fokus pada efek perilaku setiap individu dan selebihnya pada dampak atau efek terhadap budaya dalam skala yang besar.

Media dan Perilaku Anti-Sosial

[sunting | sunting sumber]

Perilaku anti-sosial ini bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam perilaku sosial yang ada di dalam masyarakat. Termasuk perilaku tidak taat hukum, seperti pembunuhan, benci terhadap tindak kriminalitas, pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, dan sama halnya dengan perilaku yang terjadi pada kebanyakkan anggota masyarakat yang menemukan objek meskipun hal tersebut ilegal, contohnya seperti mabuk-mabukan dan hubungan seksual.[1]

Tindak Kekerasan

[sunting | sunting sumber]

Efek dari kekerasan yang ditampilkan pada televisi telah lebih banyak menarik perhatian para peneliti untuk dikaji lebih lanjut daripada berbagai macam tipe yang lainnya dari dampak media. Efek-efek yang terjadi pada anak-anak menjadi perhatian khusus, karena anak-anak yang masih muda mempunyai masalah di dalam membedakan antara dunia yang nyata dan dunia dalam lingkup yang lebih kecil. Misalnya saja: Bagi pemikiran anak-anak, apabila Scooby-Doo dipukul di bagian kepalanya dan ia cepat pulih maka, akan sama berlaku apabila dilakukan pada adik kecilnya. Pada media seperti televisi, komputer, dan video games, anak-anak menaruh banyak perhatiannya pada waktu bermain dengan layar, kebanyakan hal tersebut dibawah pengawasan orang tua, sehingga potensi yang ada adalah untuk kerusakan di dalam mempengaruhi pikiran anak muda.[1]

Dapat dikatakan bahwa misalnya seperti: seksisme, rasisme dan juga segala macam bentuk tindakan yang tidak didasari dengan sikap toleransi dapat saja dipromosikan di dalam media itu sendiri. Penggambaran media yang seperti itu akan mendorong stereotip, yaitu membuat generalisasi mengenai sekelompok orang dengan berdasarkan informasi yang terbatas.Stereotip ini sangatlah berbahaya ketika mereka berkembang menjadi rasionalisasi untuk memperlakukan orang lain secara tidak adil. Stereotip negatif dapat di internalisasi oleh anggota dari kelompok-kelompok di mana mereka berada, dengan merusak diri mereka sendiri. Media sangat efektif dalam menciptakan stereotip, karena terkadang mereka adalah satu-satunya sumber informasi yang kita miliki tentang kelompok lain dan karena mereka sering menyajikan pandangan ataupun gambaran yang menyimpang dari kelompok-kelompok tersebut.[1]

Perilaku Seksual

[sunting | sunting sumber]

Efek dari maraknya perilaku seksual yang ada di televisi, baik yang terdapat di dalam film, iklan ataupun perilaku publik figur-nya telah banyak menarik perhatian untuk dijadikan studi eksperimental. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketika seorang laki-laki yang terus diekspos tentang pornografi yang ada di media massa, maka mereka akan sangat mungkin untuk mengekspresikan sikap negatifnya terhadap perempuan, misalnya untuk berpikir bahwa praktik seksual yang relatif jarang tersebar luas dan lebih toleran dengan pelaku pemerkosaan yang dalam suatu hipotesis kasus-kasus di pengadilan. Di dalam suatu eksperimen yang menguji dampak gabungan antara pornografi dan tindak kekerasan, subjek laki-laki lebih memungkinkan di dalam melakukannya daripada subjek perempuan yang terus-menerus terpapar pornografi dari media massa.[1]

Penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obatan Terlarang

[sunting | sunting sumber]

Satu generasi yang lalu ada kekhawatiran mengenai suatu film yang ditayangkan seperti Easy Rider menggambarkan suatu adegan narkotika dan obat-obatan terlarang dan memberikan kontribusi atas penggunaan obat-obatan ilegal di antara kalangan para mahasiswa. Media pada umumnya tunduk pada masalah ini, jika hanya karena film yang menyajikan narkotika dan obat-obatan terlarang tidak sama menguntungkannya dengan film yang menampilkan tindak kekerasan dan seks, dan karena distributor obat-obatan terlarang tidak dapat membeli iklan untuk produk mereka. Namun, untuk penyalahgunaan obat-obatan yang legal adalah cerita yang lain. Iklan rokok telah lama dihilangkan dari televisi oleh hukum yang berlaku. Iklan tidak lagi dapat menyajikan bahwa merokok adalah suatu hal yang membahagiakan, atau orang-orang glamor yang menghisap rokok. Peringatan dari ahli bedah mengenai bahaya merokok harus ditampilkan dan tentu saja tidak ada citra yang dirancang untuk menarik perhatian anak-anak. Iklan minuman keras sudah lama dihindari di televisi, meskipun saat ini sudah banyak perubahan, tetapi iklan bir dan anggur adalah salah satu sumber pendapatan utama bagi televisi, dan juga untuk iklan obat yang harus disertai dengan resep dokter telah mulai dapat banyak bermunculan di televisi. Para pengiklan mengklaim bahwa iklan tersebut tidak meningkatkan tingkat konsumsi alkohol dan rokok secara keseluruhan dan hanya mempengaruhi sebagian pangsa pasar yang menikmati merek tersebut. Namun, studi terbaru tentang tembakau (Slater et al., 2007) dan alkohol (Smith & Foxcroft., 2009) menggunakan indikasi di kalangan pemuda menunjukkan bahwa paparan iklan pada media massa yang dilakukan terus menerus akan sangat berperan penting untuk mereka memulai mengkonsumsi minuman alkohol dan rokok.[1]

Media Komunikasi dan Perilaku Pro-Sosial

[sunting | sunting sumber]

Perilaku pro-sosial adalah kebalikan dari perilaku anti-sosial. Hal tersebut termasuk dalam perilaku-perilaku dan sifat-sifat yang positif yang ingin kita dorong agar anak-anak dan masyarakat kita mengikutinya, yaitu seperti: kerjasama, saling berbagi, saling mencintai, toleransi, saling menghormati, gizi yang seimbang, penggunaan alat kontrasepsi, kesehatan untuk diri sendiri, mengemudi yang aman, meningkatkan kemampuan membaca, dan lain-lain.[1]

Kampanye Informasi

[sunting | sunting sumber]

Kampanye informasi menggunakan teknik hubungan masyarakat (humas) dan periklanan untuk “menjual” orang pada perilaku pro-sosial. Mereka berusaha untuk mencapai suatu perubahan tertentu yang terjadi pada khalayak mereka, misalnya saja seperti meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan dan juga masalah sosial, serta dapat mengubah sikap dan perilaku yang terkait. Mereka biasanya mengadopsi gaya informal dan menghibur untuk menarik penonton (khalayak). Mungkin manifestasi tentang kampanye informasi yang paling akrab adalah iklan layanan masyarakat yang ada di televisi pada larut atau tengah malam. Kampanye informasi ini memiliki beberapa catatan keberhasilannya. Studi eksperimental menunjukkan bahwa beberapa kampanye informasi yang dilakukan mempengaruhi kesadaran, sikap, dan perilaku khalayak mereka. Kampanye informasi dapat dikatakan berhasil apabila memiliki tujuan yang jelas dan dapat dengan tajam menentukan sasaran khalayak dan apabila mereka menemukan cara yang relevan untuk mengatasi ketidakpedulian (Rice & Atkins, 2000).[1]

Pendidikan Informal

[sunting | sunting sumber]

Tanpa “pendengar” dari siswa yang berada di dalam ruang kelas, upaya pendidikan informal harus memiliki arti seni dan dikombinasikan dengan unsur pendidikan dan unsur hiburan. Contoh yang paling dikenal adalah Sesame Street. Sejak awal tahun 1969, Sesame Street telah terbukti menjadi sarana paling populer dan efektif untuk mempersiapkan anak bersekolah (Fisch & Truglio, 2001).[1]

Pendidikan Formal

[sunting | sunting sumber]

Penyampaian kursus melalui media merupakan suatu hal formal yang lebih dikenal dengan sebutan pendidikan jarak jauh. Tren terbaru di dalam pendidikan jarak jauh adalah menaruh kursus pada web dunia, universitas virtual. Secara keseluruhan, kursus melalui web setidaknya efektif daripada instruksi yang didapatkan siswa di ruangan kelas dan mungkin lebih efektif (Means et al., 2009).[1]

Dampak dari Periklanan

[sunting | sunting sumber]

Apabila media telah banyak memiliki kesuksesan di dalam mempengaruhi perilaku individu, mengapa begitu banyak periklanan? Jawabannya adalah bahwa pengiklan bahagia untuk mencapai dampak yang diterima lebih terbatas, setidaknya ketika menggunakan media massa konvensional. Sebagian besar pengiklan mengambil perilaku konsumtif kita sebagai sebuah pemberian bagi mereka. Mereka hanya berusaha untuk memperkuat kesadaran akan merek produk yang biasa kita gunakan, sehingga kita akan berpikir tentang produk mereka ketika kita sedang berada di toko, serta mempertahankan loyalitas merek produk yang kita gunakan agar suatu saat kita akan kembali untuk membelinya. Namun, alat penelitian tentang pasar konvensional memberikan wawasan yang terbatas di dalam keberhasilan kampanye iklan di media massa berdasarkan karakteristik demografi penonton (khalayak) serta media dan juga produk-produk yang mereka konsumsi (Stewart & Pavlou, 2008).[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki
  1. ^ a b c d e f g h i j k l Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
  2. ^ a b c Cangara, Hafied., (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi, Cetakan Keenam, Januari 2005. PT. Raja Grafindo Persada-Jakarta.
Daftar pustaka
  • Fisch, S., & Truglio, R. T. (2001). G" is for growing. Thirty years of research on children and Sesame Street, LEA, New.
  • Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
  • Rice, R. E., & Atkin, C. K. (2012). Public communication campaigns. Sage.
  • Stewart, D. W., & Pavlou, P. A. (2002). From consumer response to active consumer: Measuring the effectiveness of interactive media. Journal of the Academy of Marketing Science, 30(4), 376-396.
  • Pavlou, P. A., & Stewart, D. W. (2000). Measuring the effects and effectiveness of interactive advertising: A research agenda. Journal of Interactive Advertising, 1(1), 61-77.
  • Means, B., Toyama, Y., Murphy, R., Bakia, M., & Jones, K. (2009). Evaluation of Evidence-Based Practices in Online Learning: A Meta-Analysis and Review of Online Learning Studies. US Department of Education.
  • Cangara, Hafied., (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi, Cetakan Keenam, Januari 2005. PT. Raja Grafindo Persada-Jakarta.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]