Lompat ke isi

Japanisasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Japanisasi, Penjepangan atau Japanifikasi adalah proses budaya Jepang dalam mendominasi, berasimilasi, atau mempengaruhi budaya lain. Menurut The American Heritage Dictionary of the English Language, "To japanize" berarti "membuat atau menjadi Jepang dalam bentuk, idiom, gaya, atau karakter".[1]

"Japanisasi" juga merupakan istilah ekonomi yang digunakan untuk menggambarkan situasi ketika ekonomi suatu negara jatuh ke dalam periode pertumbuhan stagnan dan deflasi harga yang berkelanjutan, mengacu pada masalah yang melanda ekonomi Jepang sejak awal 1990-an.[2][3][4]

Periode kekaisaran

[sunting | sunting sumber]
Japanisasi
Nama Tionghoa
Hanzi tradisional: 皇民化運動
Hanzi sederhana: 皇民化运动
Makna harfiah: gerakan untuk menjadikan seseorang menjadi rakyat kaisar
nama alternatif
Hanzi tradisional: 日本化運動
Hanzi sederhana: 日本化运动
Makna literal: gerakan untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih Jepang
Nama Jepang
Kanji: 皇民化政策
皇民化運動 (alt.)
Kana: こうみんかせいさく
こうみんかうんどう (alt.)
Nama Korea
Hangul: 황민화정책
황민화운동 (alt.)
Hanja: 皇民化政策
皇民化運動 (alt.)

Selama periode pra-kekaisaran (pra-1868), diplomasi damai diterapkan, yaitu Jepang tidak banyak berkembang di wilayah di luar pulau-pulaunya sendiri.

Dalam konteks Perang Dunia II, Japanisasi memiliki makna negatif karena penaklukan militer dan pengenalan paksa budaya Jepang di wilayah yang ditaklukkan.

Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, Jepang mulai mengikuti cara imperialisme dan ekspansionisme barat. Pada tahun 1879, Jepang secara resmi menguasai Kerajaan Ryūkyū, yang merupakan kerajaan anak sungai dari Dinasti Qing dan Kekaisaran Jepang.

Meskipun rumpun bahasa Ryukyu termasuk dalam keluarga bahasa Jepang, bahasa Jepang tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa asli Ryukyu. Pemerintah Jepang menganggap rumpun bahasa Ryukyu sebagai dialek, dan mulai mempromosikan program "standardisasi" bahasa. Di sekolah, bahasa Jepang "standar" digalakkan, dan potret Kaisar dan Permaisuri Jepang diperkenalkan. Banyak perwira tinggi militer Jepang melakukan pemeriksaan di sekolah-sekolah Okinawa untuk memastikan bahwa Japanisasi berjalan dengan baik dalam sistem pendidikan. Langkah ini pada awalnya tidak memenuhi harapan, sebagian karena banyak anak-anak setempat yang membantu pekerjaan keluarga mereka sehingga menghambat kehadiran mereka di sekolah, dan sebagian karena orang-orang dari kelas terkemuka Okinawa lama menerima pendidikan yang lebih bergaya Tiongkok dan tidak tertarik untuk belajar Jepang "standar". Untuk mempromosikan asimilasi, pemerintah Jepang juga melarang beberapa kebiasaan lokal.[5]

Awalnya masyarakat setempat menolak tindakan asimilasi ini. Tetapi setelah Tiongkok dikalahkan dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama pada tahun 1895, orang-orang kehilangan kepercayaan terhadap Tiongkok, dan perlawanan terhadap Japanisasi melemah, meskipun tidak hilang. Pria dan wanita mulai mengadopsi lebih banyak nama bergaya Jepang.[5]

Taiwan diserahkan ke Kekaisaran Jepang pada tahun 1895 sebagai akibat dari Perang Tiongkok-Jepang Pertama. Pada awalnya, Taiwan diperintah seperti sebuah koloni. Pada tahun 1936, setelah kedatangan gubernur jenderal ke-17, Seizō Kobayashi, terjadi perubahan dalam pemerintahan Jepang di Taiwan.

Kobayashi adalah gubernur jenderal non-sipil pertama sejak 1919. Ia mengusulkan tiga prinsip pemerintahan baru: Gerakan Kōminka (皇民化運動), industrialisasi, dan menjadikan Taiwan sebagai basis untuk ekspansi ke selatan.[6]

"Kōminka" secara harfiah berarti "menjadikan seseorang menjadi rakyat kaisar". Program ini memiliki tiga komponen. Pertama, "gerakan bahasa nasional" (国語運動 kokugo undō) mempromosikan bahasa Jepang dengan mengajarkan bahasa Jepang daripada Bahasa Hokkien Taiwan di pers. Kedua, "program perubahan nama" (改姓名 kaiseimei) mengganti nama Tionghoa Taiwan dengan nama Jepang. Terakhir, "sistem sukarelawan" (志願兵制度 shiganhei seidō) merekrut rakyat Taiwan menjadi Tentara Kekaisaran Jepang dan mendorong mereka untuk mati demi melayani kaisar.[7]

Koran Korea Chosun Ilbo 1940.1.1

Selama Perang Dunia II di Korea penggunaan bahasa Korea tertulis dalam pendidikan dan publikasi dilarang oleh Kekaisaran Jepang. Penggunaan bahasa Korea dilarang di sekolah-sekolah setelah tahun 1937 sebagai bagian dari program naisen-ittai.

Periode modern

[sunting | sunting sumber]

Di zaman modern, banyak negara dan wilayah di Asia Timur, khususnya Korea Selatan dan Taiwan, menyerap dan memasukkan budaya populer Jepang seperti musik dan video selama bertahun-tahun setelah pertumbuhan Jepang selama tahun 1980-an dan 1990-an. Banyak film Jepang, terutama drama, yang populer di Taiwan, Korea Selatan dan Tiongkok di kalangan generasi muda setelah film tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Produk elektronik dan makanan Jepang ditemukan di seluruh Asia Timur.

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]