Kemiskinan di Jepang
Di Jepang, kemiskinan relatif didefinisikan sebagai keadaan dengan pendapatan rumah tangga berada pada atau di bawah setengah dari pendapatan rumah tangga rata-rata.[1] Menurut angka OECD, rata-rata pendapatan bersih rumah tangga yang dapat dibelanjakan untuk Jepang adalah US$23.458, lebih tinggi dari rata-rata negara anggota OECD sebesar US$22.387.[2] Tidak seperti beberapa negara modern lain, Jepang tidak memiliki garis kemiskinan resmi, sehingga sulit untuk mendapatkan angka yang akurat mengenai mereka yang berada dalam kondisi miskin dan menderita. Diperkirakan pada tahun 2006, dengan menggunakan Survei Status Ketenagakerjaan, bahwa 8,2% dari karyawan agak cukup untuk dianggap sebagai pekerja miskin. Pada Oktober 2009, Kementerian Tenaga Kerja Jepang merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa hampir satu dari enam orang Jepang, yang berarti 22 juta orang, hidup dalam kemiskinan.
Kementerian kesejahteraan Jepang mengajukan permintaan pada anggaran nasional tahun 2012 untuk membuat indeks kemiskinan baru. Permintaan ini diajukan agar indeks baru tersebut dapat memasukkan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kemiskinan, seperti kesehatan, pangan, sandang dan kondisi hidup. Pada tahun 2013, pemerintah Jepang mencatat tingkat kemiskinan relatif sebesar 16%. Angka tersebut merupakan rekor tertinggi. Studi lain menunjukkan bahwa 1 dari 3 wanita Jepang berusia 20-64 tahun dan hidup sendiri dalam kemiskinan. Jepang memiliki beberapa tingkat tertinggi dalam kemiskinan anak di negara maju, menurut laporan UNICEF. Hal ini membuat Jepang menduduki peringkat 34 dari 41 negara industri. Menurut statistik Kementerian Kesehatan Jepang, per Mei 2017, 16% anak-anak Jepang hidup di bawah garis kemiskinan.
Laporan dan temuan
[sunting | sunting sumber]Tidak seperti di negara-negara lain, hanya beberapa indikator kemiskinan yang terlihat oleh masyarakat meskipun faktanya sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan.[3]
Laporan domestik
[sunting | sunting sumber]2009
[sunting | sunting sumber]Pada Oktober 2009, Kementerian Tenaga Kerja Jepang merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa hampir satu dari enam orang Jepang, yang berarti 22 juta orang, hidup dalam kemiskinan, pada tahun 2007. Laporan ini disambut dengan perasaan terkejut dan heran di antara orang-orang Jepang.[4]
2013
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2013, pemerintah Jepang mencatat tingkat kemiskinan relatif sebesar 16% yang didefinisikan sebagai sebagian dari populasi hidup dengan pendapatan kurang dari setengah pendapatan rata-rata nasional. Angka ini merupakan rekor tertinggi.[5]
Demografi
[sunting | sunting sumber]Studi lain menunjukkan bahwa 1 dari 3 wanita Jepang berusia 20-64 tahun dan hidup sendiri dalam kemiskinan.[6]
Laporan internasional
[sunting | sunting sumber]Beberapa organisasi internasional telah melakukan survei dan studi di Jepang untuk memperkirakan tingkat kemiskinan.
Temuan OECD
[sunting | sunting sumber]OECD melaporkan pada Juli 2006 bahwa Jepang mengalami tingkat kemiskinan relatif yang tinggi. Laporan OECD lain menyatakan bahwa Jepang berada di posisi terburuk kedua dalam kemiskinan di antara negara-negara anggota OECD, pada pertengahan tahun 2000-an.[1] OECD, pada April 2011, menempatkan Jepang pada posisi ke-29 dari 34 negara anggota, dalam daftar persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Dengan 15,7 persen orang dalam kemiskinan, Jepang berada di atas rata-rata persentase dari 11 negara anggota OECD. Negara-negara di atas Jepang (15,7%) memiliki sumber daya lebih sedikit dan kurang berkembang dibandingkan Jepang, seperti Republik Slovakia (6,5%), Slovenia (7,2%), dan Polandia (10,1%). Tingkat kemiskinan meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan sebesar 1,3% di Jepang, sejak tahun 1985. Rata-rata peningkatan tingkat kemiskinan sebesar 1,0% per tahun untuk semua negara anggota OECD lain.[3][7] Laporan OECD menempatkan Jepang tepat di bawah AS, yang memiliki ukuran kemiskinan sebesar 17,3%, statistik menunjukkan bahwa AS telah mengurangi kemiskinan, dengan penurunan sebesar 0,7% sejak tahun 1985.[7]
Pekerja miskin Jepang
[sunting | sunting sumber]Tidak seperti beberapa negara modern lain, Jepang tidak memiliki garis kemiskinan resmi, sehingga sulit untuk mendapatkan angka yang akurat tentang mereka yang berada dalam kondisi miskin dan menderita. Sebaliknya, Jepang mengukur kemiskinan berdasarkan "standar hidup minimum" yang dihitung menggunakan pendapatan rata-rata, indeks OECD, dan faktor lain yang berbeda di tiap prefektur. Namun, diperkirakan bahwa pada tahun 2006, ketika diukur secara individual dengan menggunakan Survei Status Pekerjaan, bahwa 8,2% dari karyawan tetap agak cukup untuk dianggap sebagai pekerja miskin. Beberapa faktor yang ditemukan terkait dengan pekerja miskin termasuk rumah tangga tunggal, kekurangan Sistem Bantuan Publik, pekerjaan yang tidak stabil dan upah minimum yang tidak mencukupi untuk memenuhi standar hidup minimum. Pekerja tidak tetap cenderung menjadi anggota pekerja miskin dan seringkali merupakan hasil dari restrukturisasi perusahaan Jepang. Para pekerja ini juga cenderung menjadi tunawisma, dan tinggal di daerah yang umumnya jauh dari mata publik dengan "desa" tunawisma yang terkenal seperti Hakenmura, desa tunawisma yang dibandingkan oleh cendekiawan Toru Shinoda dengan Hooverville di Amerika Serikat. Anggota komunitas ini cenderung menjadi pekerja harian, yang pada dasarnya adalah pekerja tidak tetap.[8][9][10]
Kasus kelaparan Saitama
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 20 Februari 2012, kematian akibat kelaparan sebuah keluarga yang beranggotakan tiga orang dilaporkan di Saitama - sepasang lansia dan seorang putra yang berusia 39 tahun. Keluarga tidak mampu membayar sewa, dan listrik telah terputus.[7] Tidak mampu membayar pemanas, hipotermia juga diduga menjadi penyebab kematian mereka.[3]
Kemiskinan anak
[sunting | sunting sumber]Berkenaan dengan anak-anak miskin di Jepang, diperkirakan bahwa 3,5 juta anak-anak Jepang – atau satu dari enam anak yang berusia sampai 17 tahun – termasuk dalam rumah tangga yang mengalami kemiskinan relatif, yang didefinisikan oleh OECD sebagai mereka yang berpenghasilan pada atau di bawah setengah dari pendapatan nasional rata-rata yang dapat dibelanjakan.[11] Namun, menurut statistik Kementerian Kesehatan Jepang, pada Mei 2017, 16 persen anak-anak Jepang hidup di bawah garis kemiskinan.[12] Jepang memiliki beberapa tingkat tertinggi dalam kemiskinan anak di negara maju, menurut laporan Unicef yang dirilis pada April 2016 yang menempatkan Jepang pada peringkat ke-34 dari 41 negara industri.[11] Jepang juga memiliki tingkat kemiskinan anak yang tinggi.[11] Diperkirakan hanya 200.000 dari 3,5 juta anak miskin yang menerima tunjangan anak.[11]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Rising poverty in Japan, Japan Times.
- ^ Income, OECD Report.
- ^ a b c Poverty in Japan: Shadowy figures | The Economist
- ^ Japan Tries to Face Up to Growing Poverty Problem
- ^ Struggling, The Economist, 4 April 2015.
- ^ Poverty a growing problem for women, Japan Times.
- ^ a b c Poverty in Japan – The Global Intelligence
- ^ Yuki Sekine (2008). "The Rise of Poverty in Japan: The Emergence of the Working Poor" (PDF). The Japan Institute for Labour Policy and Training. Diakses tanggal 22 November 2016.
- ^ Julia Obinger (2009). "Working on the Margins: Japan's Precariat and Working Poor". Electronic Journal of Contemporary Japanese Studies. Diakses tanggal 25 November 2016.
- ^ Toru Shinoda (2009). "Which Side Are You On?: Hakenmura and the Working Poor as a Tipping Point in Japanese Labor Politics" (PDF). The Asian-Pacific Journal. Diakses tanggal 25 November 2016.
- ^ a b c d "Japan's rising child poverty exposes true cost of two decades of economic decline" The Guardian
- ^ "In Japan, single mothers struggle with poverty and a ‘culture of shame’" The Washington Post