Kerajaan Nepo
Kerajaan Nepo atau Kerajaan Mallusetasi adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di desa Nepo, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. Berdasarkan naskah lontara, Kerajaan Nepo berada di bagian pesisir barat dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Awalnya, kerajaan Nepo merupakan kerajaan mandiri yang terdiri dari sejumlah wanua-wanua yang bersatu dalam satu kerajaan. Seiring perkembangannya, kerajaan Nepo dipengaruhi oleh Kerajaan Bone, Kerajaan Suppa', Kerajaan Soppeng Riaja, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Gowa, dan Kerajaan Luwu. Raja pertama dari Kerajaan Nepo bernama Labongngo yang merupakan putra bangsawan dari kerajaan Suppa'. Kerajaan Nepo memiliki pengaruh yang lebih kecil di wilayah Mallusetasi bila dibandingkan dengan Ajatappareng.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sejarah awal
[sunting | sunting sumber]Kerajaan Nepo mulai berkembang pada sekitar abad ke-16, bersamaan ketika itu Raja Gowa, I Mario Gau Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) mulai melakukan perluasan kekuasaan di Sulawesi Selatan. Kerajaan Nepo dirintis pertama kali oleh seorang tokoh yang bernama Baso Tungke. Baso Tungke merupakan putra dari Pajung Luwu, To Palaguna. Sementara To Palaguna sendiri merupakan suami dari Datu Tanete, Patteke Tana Daeng Tennisanga. Jadi bisa dikatakan bahwa leluhur yang menurunkan raja-raja di Kerajaan Nepo merupakan keturunan dari bangsawan Luwu dan Tanete.
Baso Tungke selanjutnya menyerahkan kepemimpinannya kepada anak-anaknya yang bergelar Puang Pitue. Pada masa ini wilayah Nepo dipimpin oleh tujuh orang. Puang Pitue kemudian masing-masing memiliki beberapa keturunan atau anak lagi, anak-anak keturunannya ini berjumlah empat puluh orang. Tidak diketahui pasti bagaimana nasib akhir dari seluruh Puang Pitue, mereka tidak memiliki makam karena oleh masyarakat dianggap menghilang tanpa jejak atau moksa.
Keempat puluh orang keturunan Puang Pitue ini kemudian dikenal dengan gelar Arung Patappuloe (Raja Empat Puluh) yang selanjutnya menjadi raja di Kerajaan Nepo.[2] Keempat puluh raja ini masih memiliki hubungan kekeluargaan hingga hubungan kekerabatan.[3]
Masa pemerintahan Arung La Bongngo
[sunting | sunting sumber]La Bongngo adalah putra dari Datu Suppa yang bernama Teddung Lompoe, sementara ibunya bernama Arung Cempa dari Sawitto, La Bongngo sering dianggap sebagai raja yang bodoh. Setelah diangkat menjadi raja di Nepo, La Bongngo yang masih bujang dinikahkan dengan putri Arung Mareppang. Selama perkawinannya, mereka tidak memiliki keturunan, sehingga sampai La Bongngo meninggal, tidak ada keturunan langsungnya yang menggantikannya menjadi raja di Nepo.[3][4]
Di masa pemerintahan Arung La Bongngo, dibentuk struktur kerajaan yang akan menjalankan pemerintahan, di antaranya La Bongngo Membentuk Jabatan Dewan Adat Kerajaan Nepo, ditunjuk pula satu orang untuk menjabat sebagai Sulewatang, dua orang sebagai Pabbicara, serta seorang lagi sebagai Matowa. Sulewatang bertugas sebagai perwakilan raja dan mendidik para anak arung Nepo. Pabbicara adalah pejabat yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah perkara hukum. Sedangkan Matowa adalah orang yang mengatur pejabat-pejabat istana kerajaan.[3][5]
Masa pemerintahan Arung Andi I Simatana
[sunting | sunting sumber]Arung Andi I Simatana atau Petta Tellu Latte merupakan putri dari I Messang, ia menjadi raja di Nepo menggantikan kedudukan raja sebelumnya yang dijabat oleh ibunya. Pada masa pemerintahan Andi Simatana, kedaulatan kerajaan Nepo mulai menurun, sebab pada masa pemerintahannya ini, Belanda telah mengokohkan kedudukannya di Sulawesi Selatan dan berhasil menudukkan kerajaa-kerajaan di Sulawesi, termasuk menancapkan kekuasaannya di Kerajaan Nepo. dengan demikian, status Kerajaan Nepo yang awalnya berdaulat penuh, berubah total menjadi kerajaan yang berada di bawah kontrol pemerintah Hindia Belanda.
Karena hal ini mulailah muncul perlawanan rakyat Nepo terhadap kekuasaan Belanda yang sewenang-wenang. Pada masa pemerintahan Andi Simatana ini juga status kerajaan Nepo diturunkan dan digabung bersama beberapa kerajaan di sekitarnya menjadi satu kerajaan gabungan atau konfederasi yang dikenal dengan kerajaan atau Konfederasi Mallusetasi.
Masa pemerintahan Arung Andi La Calo
[sunting | sunting sumber]Andi La Calo merupakan arung Mallusetasi yang terakhir berkuasa, ia merupakan anak dari La Sadapotto Addatuang Sidenreng dan ibunya I Baeda Arung Rappeng Addatuang Sawitto.[6] Andi La Calo adalah suami dari I Makung, Arung Mallusetasi yang memerintah sebelumnya. La Calo menjadi raja di Mallusetasi menggantikan istrinya yang meninggal pada tahun 1932. Pada masa pemerintahannya, pengaruh penjajahan Jepang mulai masuk di Sulawesi Selatan, termasuk pula di Kerajaan Mallusetasi. Di masa pemerintahan Arung La Calo juga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan Mallusetasi dilebur kedalam Republik Indonesia dengan status sebagai wilayah swapraja.
Penghapusan Kerajaan Nepo
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan peraturan Undang-undang No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, menetapkan wilayah Swapraja Mallusetasi, Tanete, Barru, dan Soppeng Riaja menjadi satu daerah tingkat II Barru yang terdir dari lima kecamatan, diantaranya Kecamatan Mallusetasi, Kecamatan Soppeng Riaja, Kecamatan Barru, serta Swapraja Tanete dipecah menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Tanete Rilau.
Dengan terbentuknya Kabupatena Barru, maka berakhir lah masa pemerintahan dari Andi La Calo pada tahun 1960. Penghapusan Swapraja Mallusetasi dan dilebur menjadi Kabupaten Barru mengakhiri masa yang cukup panjang dari perjalanan sejarah Kerajaan Nepo.[7]
Daftar penguasa Nepo
[sunting | sunting sumber]- Baso Tungke
- Puang Pitue
- Arung Patappuloe
- Arung La Bongo
- Arung I Timang Ratu
- Arung La Makkaraka
- Arung La Passampoi
- Arung La Pabbiseang
- Arung La Ippung
- Arung La Solong
- Arung Laica
- Arung I Messang
- Arung I Simatanah
- Arung Singkeruka
- Arung I Makung
- Arung La Calo[3]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Duli, dkk. (2013). Monumen Islam di Sulawesi Selatan (PDF). Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. hlm. 129. ISBN 978-602-8405-50-8.
- ^ Makmur (November 2017). "Transformasi Sosial-Politik Masa Awal Kerajaan Nepo: Kajian Berdasarkan Sumber Naskah Lontara dan Data Arkeologi". Jurnal Walennae. 15 (2): 118.
- ^ a b c d Asba, Rasyid. 2010. Kerajaan Nepo, Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional Bugis di Kabupaten Barru. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- ^ Nilawati. 2015. Kerajaan Nepo Pada Masa Perintahan La Bongo Abad XVI. Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
- ^ Zaenong, Andi Muhammad Anwar. Juni 2018. "Berkiprah dengan Kelembagan Politik Tradisional di Kabupaten Barru Sulawesi-Selatan (Studi Sejarah dan Antropologi Politik)." Al-Ulum. Vol. 18, No. 1.
- ^ Latif, Abdul. Juni 2014. "Perkawinan Politik Dan Pewarisan Kekuasaandi Ajatappareng, Sulawesi Selatan." Walasuji. Vol. 5, No. 1.
- ^ Rasyid, Darwas. 1990. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah TK. II Kabupaten Barru. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.