Ki Bagus Abdurrahman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah bergelar Pangeran Bodrowongso, atau Panglima Bawah Manggis. Ayahnya, Pangeran Fatahillah / Pangeran Fathullah / Falatehan, adalah Panglima Gabungan Armada Islam ( Demak, Cirebon, Banten ) yang berhasil mengalahkan Portugis pada tahun 1527 di Sunda Kelapa ( Wafat 1570). Ia hijrah ke Palembang bersama rombongan pelarian politik dari Kesultanan Demak yang masih keturunan Demang Lebar Daun. Rombongan yang berjumlah 80 orang ini, kembali ketanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang dan diangkat menjadi raja-raja Palembang. Mereka membangun istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras Palembang Lamo (sekarang komplek Pusri, 1 ilir). Penguasa mula-mula adalah Ki Gede Ing Suro Tuo (1552-1573), kemudian Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590) dan seterusnya sampailah ke masa Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan (1639-1650).

Pada masa Pangeran Sido Ing Kenayan dan isterinya Ratu Sinuhun inilah lahirnya produk hukum adat yang termasyur dengan nama “Undang-Undang Simbur Cahaya” yang tertulis dan berlaku di seluruh wilayah Sumatera Selatan. Pada masa ini, Ki Bagus Abdurrahman selain sebagai ulama, guru agama, juga menjabat sebagai Hulubalang kerajaan bersama dengan sohib kentalnya, Jaladeri.

Seperti ditulis dalam buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib, diceritakan Jaladeri yang hanya memiliki satu istri dan dua anak, diminta istrinya yang bernama Nyi Marta, untuk beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri.

Akhirnya Jaladeri mendapatkan seorang gadis cantik yang dijadikan istri keduanya. Pesta perkawinannya dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya dijadikan pabrik PT Pupuk Sriwijaya.

Usai pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas kecantikan dan keelokan istri kedua Jaladeri.

Tindakan tersebut, menyebabkan Nyi Marta, menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat oleh orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu, termasuk dia curiga raja ingin mengambil madunya (istri kedua).

Dihasutlah Jaladeri. Panglima ini termakan hasutan tersebut. Dia pun mengamuk di istana, dan tewaslah sebagian besar penghuni istana, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya, Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri membunuh kedua anaknya yang masih kecil. Di antara yang selamat, kemudian melapor kepada panglima Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso. Tidak lama kemudian Ki Bagus Abdurrahman bertarung dengan Jaladeri. Tewaslah Jaladeri.

Nah, pada posisi ini, sebetulnya Ki Bagus Abdurrahman memiliki kesempatan menjadi raja Palembang. Sebab selain raja sudah mati, dia pun dianggap sebagai pahlawan. Lalu, mengapa dia tidak mau mengambil posisi sebagai raja Palembang, dan dia justru memberikan kesempatan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, untuk meneruskan pemerintahan di Palembang? Menurut cerita lisan dari keturunan mereka, sikap ini diambil sebagai tindakan agar keturunannya tidak terlibat konflik kekuasaan.

Cerita lisan itu mungkin ada benarnya. Sebab, sampai saat ini di kelompok priyayi ini masih terjadi perdebatan soal derajat yang paling tinggi. Ada yang mengklaim Kemas yang paling tinggi derajatnya dibandingkan Kiagus maupun Masagus, begitupun sebaliknya. Bahkan, keturunan Ki Bagus Abdurrahman yang tidak diberi gelar, atau memang dihilangkan oleh para priyayi yang menjadi sumber sejarah Belanda, disebut sebagai “Palembang Buntung” atau sebagai wong Palembang biasa atau bukan priyayi.

Ada kepercayaan buat sebagian keturunan Ki Bagus Abdurrahman ini, dia menyerahkan kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat harus tetap menjunjung adat istiadat yang ditulis Ratu Sinuhun dalam buku Simbur Cahaya. Sebuah buku yang isinya memadukan ajaran Islam dan kearifan lokal masyarakat Melayu

Panglima Ki Bagus Abdurrahman, Pangeran Sido Ing Kenayan, dan istrinya, Ratu Sinuhun, saat ini dimakamkam di Sabokingking, Palembang.[1]

Zuriat[sunting | sunting sumber]

Dari Ki Bagus Abdurrahman ini kemudian menurunkan zuriat (keturunan) Kiagus-Nyayu dan Kemas-Nyimas asli di Palembang. Karena jasa dan peranannya yang begitu besar, oleh semua pedalem-pedalem turunan raja-raja yang memerintah Palembang telah diwasiatkan tidak boleh bermusuh-musuhan dengan zuriat Ki Bagus Abdurrahman ini, melainkan hendaklah selalu hidup rukun dan damai.

Ki Bagus Abdurrahman mempunyai lima orang putera, masing-masing bernama: Ki Panggung, Ki Matuk, Kiagus Abdul Ghani, Khalifah Gemuk, dan Ki Bodrowongso Muda. Dari keturunan mereka ini, sejak zaman kesultanan, masa kolonial, dan awal kemerdekaan, bertugas sebagai pejabat agama, seperti: Hoofd Penghulu, imam, khatib, kiai, guru agama, serta menjadi Syekh pengamal dan penyiar “Ratib Samman” yang berdomisili di Guguk Pengulon belakang Masjid Agung, di lingkungan Keraton/Benteng Kuto Lamo dan Kuto Besak.[2]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Indonesia) Palembang Sebuah Negeri yang Hilang (Refleksi Hari Jadi Palembang ke-1319) Diarsipkan 2007-03-10 di Wayback Machine.
  2. ^ Perbincangan Sejarah bersama Kemas H. Andi Syarifuddin, S.Ag (Sejarawan Palembang)