Lompat ke isi

Diskriminasi warna kulit

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kolorisme)

Diskriminasi warna kulit atau juga disebut sebagai colorism dapat didefinisikan sebagai sistem yang memberikan hak istimewa kepada orang yang berkulit lebih terang di atas orang yang berkulit lebih gelap dalam suatu komunitas. Diskriminasi warna kulit secara definitif berbeda dengan rasisme. Namun, keduanya saling berhubungan karena diskriminasi warna kulit merupakan produk dari rasisme. Ras umumnya mengacu pada kategori orang yang dibagi berdasarkan tipe fisik, penampilan, keturunan, dan karakteristik nyata atau stereotipe yang ditentukan oleh ideologi rasial Eropa di abad kedelapan belas dan kesembilan belas. ideologi ini menempatkan orang kulit putih di puncak hierarki sosial dan orang kulit hitam dan orang bukan kulit putih lainnya di bawah. Sementara itu, warna kulit umumnya mengacu pada gradasi karakteristik fisik (diurutkan dari terang ke gelap atau putih ke hitam) yang, di dunia Barat, juga didasarkan pada gagasan ras dan hierarki warna.[1] Dengan demikian, keduanya berkelindan satu sama lain, sebab tidak akan ada diskriminasi warna kulit apabila tidak ada rasisme.

Perbudakan Afrika

Diskriminasi warna kulit bertumpu pada pengistimewaan warna ras putih (whiteness) dalam hal fenotipe, estetika, dan budaya. Namun, pengalaman diskriminasi warna kulit dari satu ras dengan ras lain berbeda-beda.[2][3] Sejarah panjang stratifikasi warna kulit pada dasarnya berakar pada kolonisasi dan perbudakan oleh orang Eropa. Orang kulit putih menciptakan hierarki rasial untuk membenarkan perlakuan tidak manusiawi mereka terhadap orang kulit berwarna yang mereka jajah. Inilah awal mula ideologi supremasi kulit putih, yakni ideologi yang menganggap ras kulit putih sebagai superior. Hal ini ditandai dengan pemberian hak istimewa terhadap kulit putih dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan representasi media.[4] Ideologi yang menyebabkan adanya diskriminasi warna kulit ini dalam praktiknya tidak hanya beroperasi pada ras kulit putih atau ras yang lebih terang. Namun, ideologi ini juga beroperasi di dalam komunitas kulit berwarna yang mendapat diskriminasi.[5][6]

Sejarah diskriminasi warna kulit

[sunting | sunting sumber]
Empat pemimpin Perang Salib

Karena diskriminasi warna kulit adalah produk dari rasisme, asal-usulnya dapat ditelusuri kembali dalam sejarah awal rasisme. Baik rasisme dan diskriminasi warna kulit berakar pada kolonialisme awal yang dilakukan oleh orang Eropa. Kolonialisme dimulai dengan Perang Salib pada 1095 ketika orang-orang Kristen dibujuk oleh Paus untuk membela diri melawan Muslim. Selama periode ini, penguasa Eropa merasa sangat terancam oleh musuh asing mereka. Dengan pesan Gereja Katolik mendesak mereka untuk mengambil bagian dalam pembunuhan dan penjarahan umat Islam, Gereja, raja-raja, dan orang-orang menjadi bersatu dalam misi mereka untuk merebut kembali kejayaan dan kekuasaan Eropa. Perang Salib memperkuat perasaan superioritas orang Eropa atas ras lain dan karena mereka menggunakan agama untuk membenarkan tindakan, mereka merasa melakukan hal yang dibenarkan oleh Tuhan.[7]

Klaim supremasi ras dan agama ini terus digunakan untuk membenarkan penjajahan Amerika pada abad ke-15 dan genosida penduduk asli Amerika. Dengan penaklukan lebih lanjut ke benua Afrika, Perdagangan Budak Atlantik dimulai. Tanah, sumber daya, dan orang-orang Afrika dieksploitasi oleh orang Eropa. Rasisme memicu Perdagangan Budak Atlantik dan kolonisasi Afrika. Orang kulit hitam dianggap terkait dengan kejahatan dan dipandang nilainya kurang manusia. Misalnya, penjajah menggunakan teks agama untuk membenarkan kebencian mereka terhadap orang kulit hitam. Koloni Kristen akan mengutip pengasingan Kain dan dengan sengaja salah menafsirkan kutukan yang diberikan kepada siapa pun yang menyakitinya sebagai kutukan yang hanya diberikan pada keturunan kulit hitamnya.[6] Selama berabad-abad, kolonisasi meluas ke luar Amerika dan Afrika hingga mencakup negara-negara Asia dan Amerika Latin. Di semua tempat ini dan lebih banyak lagi di seluruh dunia, orang Eropa tanpa henti menggunakan rasisme dan superioritas yang mereka klaim sendiri untuk melakukan kejahatan mereka.[3]

Setelah kolonisasi Amerika dan Afrika, warna kulit berkembang dari rasisme melalui praktik perbudakan. Perbudakan dilakukan secara sistemik, dirancang untuk menciptakan perpecahan tidak hanya antara orang kulit hitam dan kulit putih, tetapi antara orang kulit hitam yang berkulit lebih gelap dan orang kulit hitam yang lebih terang. Willis Lynch, seorang pemilik budak Inggris dari Hindia Barat, menulis bahwa cara paling efektif untuk memisahkan orang kulit hitam adalah dengan “menggunakan budak kulit gelap vs budak kulit terang dan budak kulit terang vs budak kulit gelap.” Mengikuti ajaran Lynch, pemilik budak di Amerika memisahkan budak berkulit terang dari budak berkulit gelap. Budak yang ditugaskan pekerjaan rumah tangga sering kali merupakan anak-anak birasial dari pemilik budak dan budak. Jadi mereka adalah ras campuran dan berkulit terang. Sebaliknya, budak yang berkulit gelap dibatasi untuk bekerja di ladang, dianiaya, dan disiksa tanpa henti. Praktik perbudakan sistemik ini membantu mewujudkan warna kulit dalam komunitas Afrika-Amerika.[6] Selanjutnya, diskriminasi warna kulit pun menjadi strategi yang efektif dalam menjajah dan membagi orang-orang di benua dan negara lain di seluruh dunia.[3]

Namun, di beberapa tempat, kondisi ini diskriminasi kulit putih tidak disebabkan oleh kolonisasi Eropa. Para cendekiawan yang berfokus meneliti diskriminasi warna kulit di Timur Tengah lebih sering menunjuk pada serangkaian kekuatan berbeda yang berputar di sekitar status kelas dan perbudakan Arab.[1] Dalam sosiologi, sebagian besar penelitian empiris tentang diskriminasi warna kulit telah berkembang sebagai konsep yang terpisah dari rasisme. Meskipun penelitian tersebut telah menetapkan standar yang sangat baik untuk analisis empiris, gagasan ini tidak bisa digunakan begitu saja secara global. Gagasan diskriminasi warna kulit dan rasisme bergantung pada sejarah dan pemahaman linguistik mengenai ras dan warna kulit.[1] Di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mungkin akan mudah membedakan ras dan warna kulit. Namun, di beberapa tempat yang tidak menggunakan bahasa Inggris, hal ini cukup sulit dilakukan.[8][9][10] Selain itu, dalam konteks hubungan sosial dan kekuasaan di Barat, warna kulit dan ras merupakan konsep yang sangat erat hubungannya, tetapi hubungan di antara keduanya sangat berbeda di tempat lain. Sebagai contoh, di Amerika Latin sering menyamakan antara ras dan warna kulit. Kondisi ini menyebabkan adanya persamaan secara konseptual antara rasisme dan diskriminasi warna kulit.[11]

Amerika Serikat

[sunting | sunting sumber]
Gambar ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap masyarakat kulit berwarna di Amerika Serikat

Sejarah diskriminasi warna kulit di Amerika Serikat telah terjadi sepanjang sejarah, Banyak cendekiawan melacak bahwa telah ada perlakuan istimewa terhadap orang-orang dengan kulit terang (bukan kulit putih) pada masa perbudakan di Amerika Serikat.[12] Orang kulit hitam berkulit lebih terang diistimewakan oleh orang kulit putih dan dianggap lebih menarik secara estetis dan secara intelektual lebih unggul daripada orang kulit hitam berkulit gelap. Kulit hitam berkulit lebih terang, yang disebut sebagai Mulatto dianggap kurang Afrika dan lebih Eropa sehingga dianggap lebih unggul daripada orang kulit hitam lainnya. Pemikiran tersebut memberikan keuntungan bagi orang kulit hitam yang berkulit lebih terang dalam memperoleh pendidikan, properti, dan bahkan kebebasan mereka. Orang kulit hitam berkulit terang lebih cenderung menjadi pekerja terampil, profesional, dan bahkan memiliki pertanian sendiri. Keuntungan-keuntungan ini, terutama kekayaan mereka yang jauh lebih besar dibandingkan dengan semua orang kulit hitam lainnya dan status mereka yang lebih tinggi, diturunkan secara selektif dari generasi ke generasi, karena banyak orang kulit hitam berkulit terang mempraktikkan homogami, yakni pernikahan yang dilakukan oleh sesama mulatto.[13][14] Orang kulit hitam yang berkulit terang ini biasanya adalah keturunan perempuan kulit hitam yang pernah menjalani hubungan seksual dengan pemiliknya, yakni kulit putih.[15]

Bahkan gereja bukanlah zona netral. Banyak gereja Afrika-Amerika beroperasi dalam "sistem kasta warna", baik selama dan setelah perbudakan, dengan denominasi tertentu yang hanya mengizinkan orang kulit hitam dari kulit paling cantik untuk beribadah di sana. Misalnya, beberapa gereja menggunakan tes kantong kertas cokelat untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat untuk masuk. Mereka yang berkulit lebih gelap dari kantong kertas cokelat ditolak masuk. Beberapa gereja bahkan mengecat pintu mereka dengan warna cokelat muda dan siapa pun yang lebih gelap dari pintu itu diperintahkan untuk beribadah di tempat lain.[16] Di lingkup pergaulan pun demikian, mereka yang memiliki kulit hitam lebih gelap menjadi tersisihkan dan dianggap tidak menarik.[15] Berkaitan dengan gender, banyak literatur menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih gelap harus menghadapi hukuman yang lebih keras daripada pria kulit hitam. Hal ini dberkaitan dengan pentingnya estetika dan kecantikan yang luar biasa bagi peluang hidup wanita. Oleh karena itu, warna kulit merupakan prediktor signifikan pencapaian pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan keluarga di antara wanita kulit hitam saja.[12] Warna kulit terang, khususnya, sangat terkait dengan gagasan kecantikan yang benar-benar rasial dan terjalin erat dengan standar estetika Eropa. Kecantikan, yang dikonseptualisasikan sebagai bentuk modal,[2] dapat memberikan keuntungan yang cukup besar bagi perempuan dalam hidup mereka, mulai dari mendapatkan pekerjaan, upah di tempat kerja, dan perlakuan mereka dalam sistem peradilan pidana. Tidak hanya itu, perempuan kulit hitam berkulit lebih terang cenderung menikah dengan pasangan berstatus lebih tinggi daripada semua wanita kulit hitam lainnya.[17]

Amerika Latin

[sunting | sunting sumber]

Negara-negara Amerika Latin memiliki sejarah yang sama dengan Amerika Serikat tentang kolonisasi, perbudakan, dan rasisme Eropa. Sejumlah besar literatur melacak perkembangan hierarki berdasarkan ras dan warna kulit di seluruh Amerika Latin.[18] Penjajah Spanyol dan Portugis mengadopsi hierarki ras/warna kulit yang menempatkan penduduk asli dan kulit hitam di bagian bawah dan penjajah Eropa di atas. Tidak adanya undang-undang klasifikasi rasial dan campuran ras yang tersebar luas di antara populasi kulit putih, pribumi, dan kulit hitam mengakibatkan batas-batas ras yang kabur dan populasi kulit putih yang relatif kecil di sebagian besar Amerika Latin.[1] Sebagai hasil dari ide-ide ilmiah tentang superioritas kulit putih yang menjadi terkenal pada akhir abad kesembilan belas, banyak negara Amerika Latin berusaha untuk "memutihkan" populasi mereka melalui imigrasi Eropa. Namun, dengan menurunnya rasisme ilmiah, elit progresif Amerika Latin di tempat-tempat seperti Brasil dan Meksiko menggunakan campuran ras mereka (mestizaje) sebagai cara untuk membedakan diri mereka dari Amerika Serikat dan masyarakat rasis lainnya dan menyatakan bahwa mereka bersatu dan tidak mementingkan warna.

Namun, perbedaan warna kulit yang lebar di antara populasi mestizo dan gagasan hierarki rasial yang terus-menerus menghasilkan hierarki status dengan mestizo berkulit terang di bagian atas dan mestizo yang lebih gelap di bagian bawah.[19] Namun, tidak seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Amerika Latin rasialisasi sebagian besar bergantung pada penampilan fenotipik dan corak warna kulit. Meskipun ideologi nasional Amerika Latin menolak rasisme, literatur empiris yang berkembang pesat menunjukkan bahwa individu yang lebih gelap telah mengalami kerugian terus-menerus di seluruh wilayah terkait dengan pendidikan, pendapatan, kesehatan, kemampuan menikah, dan diskriminasi.[18]

Timur Tengah dan Afrika Selatan

[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan diskriminasi warna kulit di Amerika Serikat dan Amerika Latin, diskriminasi warna kulit di Timur Tengah dan Afrika Selatan tidak disebabkan oleh kolonialisasi kulit putih. Namun, diskriminasi warna kulit di sana dihubungkan dengan orang-orang Mesir Kuno, Yunani, dan Romawi. Ketiga kelompok ini pada dasarnya telah menyadari adanya perbedaan warna kulit. Di antara orang Yunani dan Romawi, teori iklim tentang perbedaan manusia, yang dikembangkan oleh Hippocrates dan Herodotus dan disempurnakan oleh Aristoteles, menjelaskan variasi warna kulit sebagai akibat dari lingkungan fisik. Pandangan ini tidak mengarah pada hierarki warna dari kulit yang paling terang ke kulit paling gelap, tetapi untuk mengunggulkan warna kulit Yunani dan kemudian Romawi, sebagai yang lebih unggul dari yang lainnya. Namun, bahkan dengan gagasan ini, kewarganegaraan, bukan warna kulit, menentukan status dan nilai seseorang.[20]

Kemudian, perdagangan Arab di Afrika kulit hitam yang diperbudak memengaruhi penyebaran preferensi warna kulit di seluruh Samudera Hindia dan Afrika Utara.[20] Sebelum awal kehadiran Eropa, Ibnu Sina, seorang filsuf Islam terkemuka, telah mengadopsi versi teori iklim Yunani. Di samping itu, perdagangan budak Arab telah menyebarkan gagasan tentang warna kulit gelap yang dianggap rendah dan primitif. Selama berabad-abad, para penulis Arab terkemuka menganut teori iklim atau lingkungan yang berpendapat bahwa geografi menghasilkan perbedaan peradaban sehingga menghasilkan inferioritas ekstrem. Fitur Arab, termasuk kulit yang lebih cerah, dikaitkan dengan status, hak istimewa, dan superioritas budaya.[20] Kemudian, kolonisasi Eropa di Afrika Timur dan Timur Tengah mencangkokkan rasisme Barat ke dalam kesadaran warna masyarakat Arab. Dua hal ini pun bersatu, tetapi kadarnya bervariasi di setiap tempat.[21] Sebagian besar Timur Tengah juga dijajah atau memiliki kontak dengan Eropa. Hal ini mengarah pada sejarah yang akrab dengan rezim supremasi kulit putih sehingga membentuk pemahaman tentang ras dan warna kulit.[22]

Banyak literatur terkini tentang masyarakat Asia menyoroti peran klasisme dan estetika dalam pembentukan preferensi warna awal, sebelum kontak Barat, yang sering didasarkan pada status dan paparan sinar matahari. Orang-orang dalam pekerjaan berstatus rendah bekerja di bawah sinar matahari, sedangkan orang-orang berstatus tinggi cenderung bekerja di dalam ruangan. Selain itu, untuk wanita khususnya, kulit yang terang telah dikaitkan tidak hanya dengan kelas rekreasi, tetapi juga dengan feminitas, kecantikan, dan kemurnian.[23]

Konstruksi budaya untuk mengagungkan kulit putih telah ada di sepanjang sejarah Tiongkok, meskipun signifikansinya diperebutkan dalam berbagai periode waktu. Di Tiongkok kuno, kulit putih menunjukkan status elit seseorang. Karena petani dan buruh menghabiskan waktu berjam-jam untuk bekerja di luar ruangan, mereka mengalami paparan sinar matahari yang lama, menghasilkan warna kulit yang lebih gelap. Kaum elit, di sisi lain, tidak menghadapi kebutuhan seperti itu untuk kerja kasar dan tetap tinggal di dalam rumah. Akibatnya, individu di kelas sosial atas memiliki kulit berwarna cerah.[24] Warna kulit dengan demikian menjadi penanda kelas, dengan kulit pucat mendominasi puncak hierarki. Sama seperti pakaian dan perhiasan yang dapat membedakan status ekonomi individu, warna kulit juga menjadi aspek penting dari identitas seseorang.[25]

Selain itu, penekanan pada kulit yang cerah dapat ditemukan dalam peribahasa dan tulisan kuno. Dalam literatur Tiongkok kuno, wanita yang menarik sering digambarkan dengan menyamakan kulit mereka dengan kulit "salju", "es", atau "batu giok". Analogi ini menunjukkan "kualitas transparansi, kehalusan, kehalusan, dan keputihan".[24] Selain itu, peribahasa Tiongkok kuno juga menegaskan kembali konsep putih sebagai kesempurnaan. Misalnya, peribahasa populer mengklaim bahwa ”kulit putih dapat menyembunyikan beberapa kekurangan”. Hubungan sastra antara kecantikan dan kulit putih ini menunjukkan bahwa warna kulit seseorang telah memainkan peran penting secara historis dalam masyarakat Tiongkok. Selain itu, seringnya penggunaan analogi ini dalam literatur kuno mempromosikan gagasan bahwa kulit putih adalah estetika fisik yang ideal.[25]

Namun, karena gagasan seputar kecantikan bervariasi sepanjang sejarah, keinginan budaya akan kulit putih tidak selalu menjadi fokus masyarakat Tiongkok. Menanggapi Insiden Mukden dan invasi Jepang berikutnya ke Tiongkok pada tahun 1931, pemerintah Nasionalis berusaha untuk memperkuat fisik warga untuk mempertahankan diri dari serangan asing lebih lanjut. Di bawah panji kewajiban sipil dan patriotisme, pemerintah memberlakukan serangkaian tindakan untuk mengejar fisik yang lebih atletis bagi perempuan, yang dianggap sebagai jenis kelamin yang lebih lemah. Pada bulan Juni 1936, pemerintah melarang pakaian modis dan rambut yang dikeriting. Para pelanggar diinstruksikan untuk kembali ke rumah dan mengganti pakaian mereka. Mereka yang melawan sering kali didenda dan dipenjara.[26] Sebagai penegakan pemerintah dari tubuh atletik terjadi, budaya populer juga mempromosikan estetika untuk perempuan. Di majalah wanita Shanghai Linglong, penulis mengutuk penggunaan riasan dengan menganggapnya "menipu dan sementara". Penulis juga menegaskan bahwa pemeliharaan fisik yang kuat lebih layak karena dapat bertahan hingga tua. Selain penolakan terhadap produk kosmetik, elemen kualifikasi dari fisik yang bugar juga termasuk "warna kulit yang sehat dan gerak tubuh yang lincah" yang dicapai melalui latihan yang keras. Warna kulit yang sehat, di era tubuh atletis ini, dicapai melalui olahraga di luar ruangan daripada produk kosmetik sementara.[26] Paparan di luar ruangan berarti penggelapan kulit seseorang. Oleh karena itu, orang dapat berasumsi bahwa definisi "warna kulit yang sehat" di era ini ditentukan oleh kulit sawo matang. Hasil dari, perhiasan diri dan penekanan pada mempertahankan kulit pucat ditinggalkan demi olahraga tubuh atletik untuk tujuan patriotisme dan nasionalisme. Regulasi kulit perempuan dengan demikian terkait erat dengan motif politik yang diciptakan oleh pemerintah yang didominasi laki-laki. Bentuk kontrol biopolitik ini kemudian meningkat pada saat pergolakan budaya, politik, dan ekonomi di bawah rezim Mao.[25]

Pada tahun 1980-an, sikap sosial terhadap penggunaan produk kosmetik mulai mengalami perubahan yang cepat. Penutupan rezim Maois memungkinkan pemerintahan Deng Xiaoping untuk melaksanakan berbagai reformasi sosial ekonomi, yang menyebabkan munculnya wacana-wacana baru tentang isu-isu perempuan. Secara khusus, modifikasi tubuh fisik seseorang tidak lagi dianggap sebagai “ekspresi gaya hidup borjuis”, melainkan sebagai “indikasi perkembangan produksi sosialis yang berkembang pesat”. Bahkan otoritas seperti Tan Fuyun, ketua Federasi Wanita Shanghai, secara terbuka memuji kekuatan kosmetik dan mencatat bahwa dia dan delegasinya sering kali dianggap lebih tinggi ketika dihiasi dengan riasan ringan. Dengan demikian, pemerintah secara bertahap menerima modifikasi diri perempuan, karena kosmetik menjadi tanda efisiensi dan menonjolkan keunggulan Komunis Tiongkok. Terlebih lagi, penolakan akhir terhadap perhiasan diri ini menunjukkan bahwa kecantikan memang bisa hidup berdampingan dengan ide-ide komunisme di negara sosialis.[27]

Dalam konteks kontemporer, kecantikan wanita melekat pada estetika Barat dan Kaukasia.[25] Dipengaruhi oleh standar kecantikan hegemonik Barat, nilai estetika wanita di Tiongkok telah kembali ke preferensi kuno untuk kulit cerah. Beberapa orang berpendapat bahwa pengaruh global dari hegemoni kulit putih dapat menjadi masalah karena ia berfungsi tidak hanya untuk memperkuat hak istimewa penduduk Kaukasia tetapi juga untuk memanipulasi ras luar untuk bertarung satu sama lain dan untuk bersaing satu sama lain. Perspektif Eurosentris ini ada karena keinginan penduduk non-kulit putih untuk secara fisik meniru mereka yang berkuasa.[28]

Di Jepang, kata benda iro menunjukkan 'warna kulit' ketika kata itu digunakan untuk orang. Misalnya, 'Kobayashi-san wa iro ga shiroi' yang berarti 'Tuan Kobayashi adalah pria berkulit pucat'. Namun, bukan berarti 'Tuan Kobayashi adalah seorang bule'. Satu-satunya kata yang menunjukkan kulit terang seseorang adalah shiro (warna putih), sedangkan kata yang menunjukkan kulit gelap adalah kuro (hitam). Warna kulit orang Jepang dikenal dan diekspresikan sebagai dikotomi 'putih' dan 'hitam'. Dikotomi warna kulit ini biasanya diekspresikan dengan mengacu pada banyak dikotomi lainnya.[29] Secara umum, kulit putih memiliki implikasi yang positif. Biasanya, kulit putih termasuk dalam pujian. Sementara itu, warna kulit hitam dianggap penghinaan. Ketika ada orang yang mengatakan "kulit Anda hitam" itu berarti ia sedang menghina.[30] Topik warna kulit cukup sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Bukan warna rambut, atau warna mata, tetapi warna kulit yang menjadi salah satu perhatian utama orang ketika mereka berbicara tentang penampilan di Jepang. Baik laki-laki maupun perempuan bersikeras bahwa kulit putih idealnya hanya untuk wanita dan kulit gelap adalah ideal pria. Namun dalam banyak kesempatan, kulit gelap pria Jepang, dan juga wanita Jepang, dianggap negatif, dibandingkan dengan kulit putih yang 'ideal'.[29]

Berkenaan dengan India, ada perdebatan ilmiah yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara warna kulit dan sistem kasta. Ada yang berpendapat bahwa warna kulit berimplikasi pada dewa-dewa Hindu kuno dan teks-teks yang merumuskan hierarki kasta dan hegemoni Brahmana.[31] Dalam epos Ramayana versi India pun digambarkan adanya dikotomi antara hitam dan putih. Putih atau warna yang lebih terang dianggap sesuatu yang cantik dan ideal.[32] Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa sistem kasta pada awalnya tidak terfokus pada kategorisasi berdasarkan warna kulit. Sebaliknya, setiap kelas memiliki warna terkait yang tidak sekadar gradasi pada kontinum linier putih-ke-hitam. Hal ini disebabkan, individu berkulit gelap juga anggota kasta yang lebih tinggi dan beberapa dewa digambarkan dengan kulit gelap. Meskipun asal usulnya mungkin terpisah, seiring waktu sistem kasta dan warna kulit menjadi terkait saat kulit terang tumbuh untuk mengembangkan konotasi kasta dan kelas.[20]

Sistem kasta di India

Di India, penerimaan dalam masyarakat tidak hanya bergantung pada warna kulit meskipun itu merupakan bagian integral dari keinginan setiap orang. Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan tingkat penerimaan mereka terhadap warna kulit tertentu di India. Seorang wanita atau pria kasta atas lebih dapat diterima secara sosial daripada rekan kasta yang lebih rendah. Namun, dalam kasus yang sama, pria dan wanita dengan kulit lebih terang hampir selalu lebih disukai daripada mereka yang berkulit lebih gelap. Pria dengan warna kulit lebih gelap, tetapi status keuangan lebih tinggi, dapat mengalahkan stigma yang melekat pada kulit gelap dan mungkin mendapatkan wanita berkulit terang sebagai pasangan.[33] Di seluruh India, orang dapat menemukan individu dengan berbagai tingkat warna kulit di setiap kelompok kasta yang berbeda dari kasta Dalit hingga Brahmana. Namun, preferensi warna kulit dipengaruhi oleh lokasi tempat tinggal daripada kasta tertentu karena suhu dan kondisi geografis India yang sangat bervariasi.[34] Sebagian besar penduduk di Jammu, Kashmir, dan negara bagian utara lainnya akan memiliki warna kulit yang lebih cerah terlepas dari kelas atau kasta mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di India Selatan.

Di negara bagian seperti Haryana, Rajasthan, Uttar Pradesh, dan Madhya Pradesh, banyak pria dan wanita kasta bawah memiliki warna yang sama dengan kasta atas dan sebaliknya. Beberapa akademisi tertentu telah mencatat bahwa kasta rendah Sudra dan Dalit adalah orang-orang berkulit paling gelap di Anak Benua India.[35] Di India sampai saat ini, orang-orang yang mencari nafkah dengan melakukan pekerjaan fisik dianggap lebih rendah. Iklim India sangat panas di sebagian besar bagian tengah dan selatan. Mereka yang bekerja di bawah terik matahari memiliki kulit yang lebih gelap daripada mereka yang tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Hal ini membuat kulit mereka menjadi gelap. Kemiskinan di antara mayoritas penduduk India tidak memungkinkan mereka untuk menjaga kulit dan pola makan mereka. Proses ini dari generasi ke generasi membuat kulit lebih gelap. Oleh karena itu, warna kulit juga dipandang terkait dengan status keuangan dan sosial seseorang. Ini secara otomatis memasukkan 'faktor kasta' ke dalamnya karena Sudra memiliki kulit lebih gelap daripada kasta atas.[33]

Selama periode kolonial, penjajah Spanyol memberlakukan sistem kasta warna yang mirip dengan sistem di Amerika Latin kepada penduduk asli Filipina. Kemudian, langkah ini diikuti oleh kolonisasi Amerika yang dipengaruhi Jim Crow.[36] Setelah berakhirnya Perang Spanyol-Amerika Serikat pada tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat, mengakhiri pemerintahan Spanyol yang berlangsung hampir empat ratus tahun. Meskipun Filipina telah lolos dari kekuasaan satu kekuatan kolonial, Filipina sebenarnya jatuh ke tangan yang lain. Terlepas dari keinginan kaum revolusioner Filipina untuk kemerdekaan, Amerika Serikat merasakan kewajiban moral untuk memerintah rakyat Filipina setelah Perang Spanyol-Amerika untuk mencegah pelanggaran hukum di antara orang Filipina, yang mereka anggap tidak layak untuk memerintah. Ketidakpuasan rakyat Filipina terhadap aturan Amerika Serikat terwujud dalam perang Filipina-Amerika.[37]

Meskipun Amerika Serikat secara resmi meninggalkan negara itu untuk memerintah dirinya sendiri, AS tetap memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang cukup besar, yang mengakibatkan munculnya partai yang tidak populer dan kasar). Meragukan kemampuan Filipina untuk mengatur dirinya sendiri, Amerika Serikat meremehkan rakyat Filipina dengan hanya mengizinkan kemerdekaan sebagian.[38] Selain itu, tentara Amerika Serikat memperlakukan warga sipil Filipina dengan permusuhan rasial, yang disorot dengan pengesahan undang-undang seperti Brigandage Act dan Reconcentration Act, yang mengkriminalisasi orang Filipina yang menentang 'pembangunan' AS sebagai bandit, teroris dan pemberontak.[37] Terlepas dari eksploitasi rakyat Filipina ini, AS terus memandang dirinya sebagai penguasa altruistik. Pendapat ini menciptakan fenomena “American Exceptionalism”, atau persepsi yang diidealkan tentang peran Amerika Serikat di dunia.[39] Pemerintah AS melihat pendudukannya di Filipina sebagai misi yang benar, terlepas dari efek negatif yang ditimbulkannya terhadap penduduk asli Filipina.

Karena sifat pemerintahan kolonial Amerika Serikat dan penerimaan American Exceptionalism, beberapa dilema psikologis negatif berdampak pada kehidupan orang Filipina dan orang Amerika Filipina. Pemerintah Filipina merasa inferior terhadap budaya asli mereka. Subordinasi yang dipaksakan sendiri ini dapat dengan mudah diamati, karena sisa-sisa kolonialisme masih ada di masyarakat umum Filipina. Misalnya, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pilihan di sekolah, pemerintahan, bisnis, dan badan kerja lainnya. Kekristenan, agama yang dibawa ke Filipina oleh penakluk kolonial, tetap menjadi agama resmi Filipina. Kolonialisme terutama memanifestasikan dirinya bahwa orang Filipina juga memiliki preferensi yang luar biasa untuk kulit terang dan menggunakan produk pemutih kulit untuk mendapatkan "kulit kolonial". Ini menyiratkan bahwa banyak orang Filipina menganggap budaya dan penampilan mereka sendiri lebih rendah daripada rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika.[37]

Singapura

[sunting | sunting sumber]

Sejak 1990-an, telah diamati bahwa beberapa wanita Singapura cenderung secara eksklusif berkencan dan menikah dengan pria kulit putih.[40] Hal ini disebabkan persepsi bahwa pria kulit putih adalah asing, menarik, halus secara sosial, dan cerdas. Dengan kata lain, wanita Singapura mungkin melakukan diskriminasi demi pria kulit putih karena stereotip positif yang diasosiasikan dengan orang kulit putih. Fenomena ini disebut sebagai sindrom Pinkerton, yakni kecenderungan orang Asia untuk berprasangka dan mendiskriminasi demi orang kulit putih. Istilah yang digunakan untuk memperolok wanita demikian adalah "Gadis Pesta Sarong". Namun, tampaknya preferensi untuk orang kulit putih tidak terbatas pada ketertarikan antarpribadi. Ada istilah dialek Hokkien yang berbunyi "Ang Mor Tua Kee" yang diterjermahkan secara harfiah sebagai "Tembakan Besar Barat". Istilah ini digunakan untuk menggambarkan persepsi ketika seorang kulit putih menerima perlakuan istimewa di dalam berbagi situasi. Sindrom Pinkerton mungkin disebabkan oleh dua faktor: mentalitas kolonial dan warna kulit.[41] Singapura adalah koloni Inggris dari tahun 1819 hingga 1942 sebelum memperoleh kemerdekaan pada tahun 1965. Sejarah panjang penjajahan bisa saja menghasilkan mentalitas kolonial dan warna kulit. Akibatnya, sindrom Pinkerton lazim di kalangan orang Singapura.

Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Banyak dokumen di Indonesia yang menunjukkan adanya hasrat untuk memiliki kulit putih. Hasrat ini bahkan sudah ada dalam berbagai epos Nusantara. Sebut saja epos Ramayana. Dalam epos yang diadaptasi pada akhir abad ke-9 dari sumber aslinya di India, perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan yang paling dominan pada masa itu. Sama seperti Ramayana versi India, di dalam Ramayana versi Indonesia juga mengagungkan perempuan cantik. Hal ini terlihat dalam penggambaran perempuan cantik yang "berwajah putih bercahaya bak bulan purnama". Pengagungan ini pun terus berlanjut sampai seribu tahun kemudian, tepatnya pada awal abad ke-20. Saat itu, kolonialisme Belanda sudah bercokol di Indonesia. Citra cantik ala Kaukasian pun menjadi kiblat kecantikan yang ada di Indonesia. Iklan-iklan majalah perempuan yang diterbitkan memperlihatkan hal tersebut. Kemudian, ketika Jepang berkuasa, citra ini pun lagi-lagi berpengaruh. Meskipun singkat, pendudukan Jepang berhasil menyebarkan hasrat kecantikan ideal yang disebut kecantikan Asia baru yang juga mengagungkan kulit terang sebagai standar cantik. Kemudian, berlanjut pada zaman pascakolonial, tepatnya ketika Soeharto berkuasa, budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat berhasil memberikan pengaruh tentang cantik ideal yang melestarikan preferensi terhadap kulit terang sebagai standar kecantikan yang ada.[32] Dampaknya, masyarakat yang memiliki warna kulit gelap pun mengalami diskriminasi. Salah satunya dialami oleh mahasiswa Papua pada 2019 lalu. Saat itu, salah satu oknum polisi menyebut sekelompok mahasiswa Papua dengan nama rasis, yakni "monyet". Kondisi ini pun memicu pecahnya kerusuhan di Papua Barat. Setidaknya 43 orang tewas, termasuk setidaknya satu tentara Indonesia, menurut Human Rights Watch. Lebih dari 6.000 tentara dikerahkan untuk meredam kerusuhan.[42]

Korea Selatan

[sunting | sunting sumber]

Sebelum gelombang pekerja migran pada 1990-an, tatanan rasial Korea lebih dekat dengan sistem biner yang terdiri dari orang Korea dan non-Korea. Orang Korea, sejak mendirikan pemerintahan pada tahun 1948, memiliki sedikit paparan budaya asing sampai mereka menjadi tuan rumah Asian Games 1986 dan Olimpiade 1988.[43] Namun, sejak akhir 1980-an, Korea Selatan mengalami periode industrialisasi dan peningkatan tingkat pendapatan yang menyebabkan kekurangan pekerja berketerampilan rendah. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Korea Selatan mulai aktif menerima pekerja asing di bawah Industrial Trainee System pada awal 1990-an.[44] Tenaga kerja asing yang sebagian besar berasal dari negara-negara Asia Tenggara ini bekerja di industri "sulit, kotor, dan berbahaya" di Korea. Mereka dipekerjakan di pabrik, lokasi konstruksi, dan industri jasa. proses ini, proyek rasial terjadi dan tersebar di Korea untuk membentuk kategori ras Korea dan ras "asing".[45]

Sejak tahun 2000-an, pernikahan internasional dan migrasi pernikahan telah meningkat. Hal ini menyebabkan, populasi non-Korea lebih beragam. Dengan lebih banyak wanita muda Korea meninggalkan kota pedesaan untuk pekerjaan bergaji lebih tinggi di kota, pria muda Korea sering ditinggalkan untuk mengurus pertanian keluarga. Hal ini menyebabkan meningkatnya pernikahan internasional antara pria Korea dan wanita asing dari negara-negara seperti Vietnam, Cina, dan Filipina. Peningkatan “perempuan migran pernikahan” dan pernikahan internasional telah mengakibatkan peningkatan keluarga multikultural dan anak-anak ras campuran. Peningkatan populasi migran asing dan ras campuran Korea telah menghasilkan lebih banyak corak warna kulit. Hal ini menyebabkan perubahan pada hierarki rasial, meskipun masih dengan orang Korea sebagai pusatnya. Dengan meningkatnya keragaman orang Korea, lanskap rasial Korea-asing bergeser dari tatanan rasial biner menuju sistem trirasial.[45]

Dalam sistem tri-ras Korea, 'orang Korea', dan hanya orang Korea 'berdarah murni', yang dianggap berada di puncak hierarki. Ini bukan hanya karena penekanan pada garis keturunan darah Korea, tetapi juga karena demografi negara saat ini. Menurut Korea Immigration Service, pada tahun 2017, 95,79% penduduk Korea adalah ras/etnis Korea dengan 4,21% penduduk Korea adalah warga negara asing (termasuk penduduk asing dan imigran tidak berdokumen). Sementara populasi ras campuran Korea tidak termasuk dalam populasi warga negara asing, mereka juga tidak diterima secara sosial dan budaya sebagai orang Korea. Dalam masyarakat Korea, hanya orang Korea 'berdarah murni' dan ras/etnis Korea yang tinggal di luar Korea yang dapat dimasukkan dalam kategori 'Korea'.

Kelompok ras menengah atau 'orang Korea kehormatan' terdiri dari imigran Asia Timur (Cina, Jepang, dll.), Orang Asia Tengah berkulit terang (Uzbekistan, Kazakstan, dll.), Multiras Korea-Asia Timur, Multiras Korea-Putih (yang sekarang disebut sebagai honhyul), dan orang non-Korea yang berkulit lebih terang (termasuk orang Amerika berkulit putih atau berkulit terang, orang Australia, orang Eropa, orang Afrika Selatan, dll.). Sementara populasi imigran Korea beragam, hanya beberapa negara asal yang merupakan bagian besar dari total. Menurut Layanan Imigrasi Korea (2018), ada peningkatan jumlah warga negara asing dari Tiongkok, terhitung 46,2% dari total populasi imigran pada tahun 2017. Perkembangan kategori kehormatan Korea untuk memasukkan orang Asia Timur sebagian besar disebabkan oleh pergeseran demografi imigran ke Korea.[45]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Dixon, Angela R.; Telles, Edward E. (2017-07-31). "Skin Color and Colorism: Global Research, Concepts, and Measurement". Annual Review of Sociology. 43 (1): 405–424. doi:10.1146/annurev-soc-060116-053315. ISSN 0360-0572. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-07. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  2. ^ a b HUNTER, MARGARET L. (2002-04-01). ""If You're Light You're Alright": Light Skin Color as Social Capital for Women of Color". Gender & Society (dalam bahasa Inggris). 16 (2): 175–193. doi:10.1177/08912430222104895. ISSN 0891-2432. 
  3. ^ a b c Rahman, Mahima (2020-12-14). "The Causes, Contributors, and Consequences of Colorism Among Various Cultures". Honors College Theses. 
  4. ^ "Colourism: How skin-tone bias affects racial equality at work". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-09. 
  5. ^ Hunter, Margaret L. (1998-10). "Colorstruck: Skin Color Stratification in the Lives of African American Women". Sociological Inquiry (dalam bahasa Inggris). 68 (4): 517–535. doi:10.1111/j.1475-682X.1998.tb00483.x. ISSN 0038-0245. 
  6. ^ a b c Anekwe, Obiora (2015). "Global Colorism: An Ethical Issue and Challenge in Bioethics". Voices in Bioethics (dalam bahasa Inggris). ISSN 2691-4875. 
  7. ^ Bulhan, Hussein A. (2015-08-21). "Stages of Colonialism in Africa: From Occupation of Land to Occupation of Being". Journal of Social and Political Psychology. 3 (1): 239–256. doi:10.5964/jspp.v3i1.143. ISSN 2195-3325. 
  8. ^ Banton, Michael (2012-07-01). "The colour line and the colour scale in the twentieth century". Ethnic and Racial Studies. 35 (7): 1109–1131. doi:10.1080/01419870.2011.605902. ISSN 0141-9870. 
  9. ^ Glenn, Evelyn (2009-01-23). Shades of Difference: Why Skin Color Matters (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-5998-4. 
  10. ^ Monk, Ellis P., Jr. (2016-08-01). "The Consequences of "Race and Color" in Brazil". Social Problems. 63 (3): 413–430. doi:10.1093/socpro/spw014. ISSN 0037-7791. 
  11. ^ Telles, Edward Eric; America, Project on Ethnicity and Race in Latin (2014). Pigmentocracies: Ethnicity, Race, and Color in Latin America (dalam bahasa Inggris). UNC Press Books. ISBN 978-1-4696-1783-1. 
  12. ^ a b Keith, Verna M.; Herring, Cedric (1991). "Skin Tone and Stratification in the Black Community". American Journal of Sociology. 97 (3): 760–778. ISSN 0002-9602. 
  13. ^ Monk, Ellis P., Jr. (2014-06-01). "Skin Tone Stratification among Black Americans, 2001–2003". Social Forces. 92 (4): 1313–1337. doi:10.1093/sf/sou007. ISSN 0037-7732. 
  14. ^ Bodenhorn, Howard (2006). "Colorism, Complexion Homogamy, and Household Wealth: Some Historical Evidence". The American Economic Review. 96 (2): 256–260. ISSN 0002-8282. 
  15. ^ a b Drake, Saint C.; Drake, St Clair; Cayton, Horace R. (1970). Black Metropolis: A Study of Negro Life in a Northern City (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-16234-8. 
  16. ^ Frazier, E. Franklin (1974). The Negro Church in America (dalam bahasa Inggris). Schocken Books. ISBN 978-0-8052-0387-5. 
  17. ^ Hunter, Margaret L. (2005). Race, Gender, and the Politics of Skin Tone (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-415-94607-0. 
  18. ^ a b Andrews, George Reid (2004-07-15). Afro-Latin America, 1800-2000 (dalam bahasa Inggris). OUP USA. ISBN 978-0-19-515232-6. 
  19. ^ Flores, René; Telles, Edward (2012-06-01). "Social Stratification in Mexico: Disentangling Color, Ethnicity, and Class". American Sociological Review (dalam bahasa Inggris). 77 (3): 486–494. doi:10.1177/0003122412444720. ISSN 0003-1224. PMC 4222073alt=Dapat diakses gratis. PMID 25382861. 
  20. ^ a b c d Jablonski, Nina G. (2012-09-27). Living Color: The Biological and Social Meaning of Skin Color (dalam bahasa Inggris). University of California Press. ISBN 978-0-520-25153-3. 
  21. ^ Barkey, Karen (2008-06-23). Empire of Difference: The Ottomans in Comparative Perspective (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-47288-3. 
  22. ^ Grewal, Zareena A. (2009-02-01). "Marriage in colour: race, religion and spouse selection in four American mosques". Ethnic and Racial Studies. 32 (2): 323–345. doi:10.1080/01419870801961490. ISSN 0141-9870. 
  23. ^ Hall, Ronald E. (2010-03-10). An Historical Analysis of Skin Color Discrimination in America: Victimism Among Victim Group Populations (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-1-4419-5505-0. 
  24. ^ a b Zhang, Meng (2012-12-01). "A Chinese beauty story: how college women in China negotiate beauty, body image, and mass media". Chinese Journal of Communication. 5 (4): 437–454. doi:10.1080/17544750.2012.723387. ISSN 1754-4750. 
  25. ^ a b c d Yeung, Evelyn (2021-07-29). "White and Beautiful: An Examination of Skin Whitening Practices and Female Empowerment in China". On Our Terms (dalam bahasa Inggris). 3 ((2015)). doi:10.7916/D82N51DW. [pranala nonaktif permanen]
  26. ^ a b Gao, Yunxiang (2006). "Nationalist and Feminist Discourses on Jianmei (Robust Beauty) during China's 'National Crisis' in the 1930s". Gender & History (dalam bahasa Inggris). 18 (3): 546–573. doi:10.1111/j.1468-0424.2006.00457.x. ISSN 1468-0424. 
  27. ^ Honig, Emily; Hershatter, Gail (1988). Personal Voices: Chinese Women in the 1980's (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-1416-7. 
  28. ^ Eric P.H. Li, Hyun Jeong Min, Russell W. Belk, and Junko Kimura, Shalini Bahl. "(PDF) Skin lightening and beauty in four Asian cultures". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-29. 
  29. ^ a b Ashikari, Mikiko (2005-03-01). "Cultivating Japanese Whiteness: The 'Whitening' Cosmetics Boom and the Japanese Identity". Journal of Material Culture (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 73–91. doi:10.1177/1359183505050095. ISSN 1359-1835. 
  30. ^ Ashikari, M. (1995) ‘Artificial Light Skin as the Sign of Femininity and of National Identity in Contemporary Japan’, unpublished MA thesis, University of California, Davis
  31. ^ Ayyar, Varsha; Khandare, Lalit (2013). Hall, Ronald E., ed. Mapping Color and Caste Discrimination in Indian Society (dalam bahasa Inggris). Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 71–95. doi:10.1007/978-94-007-4608-4_5. ISBN 978-94-007-4608-4. 
  32. ^ a b Saraswati, L. Ayu (2013-03-31). Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3787-7. 
  33. ^ a b Mishra, Neha (2015-01-01). "India and Colorism: The Finer Nuances". Washington University Global Studies Law Review. 14 (4): 725–750. ISSN 1546-6981. 
  34. ^ LC, Prasanna; S, Bhosale; AS, D’Souza; H, Mamatha; RH, Thomas; KS, Sachin (2013-8). "Facial Indices of North and South Indian Adults: Reliability in Stature Estimation and Sexual Dimorphism". Journal of Clinical and Diagnostic Research : JCDR. 7 (8): 1540–1542. doi:10.7860/JCDR/2013/5497.3204. ISSN 2249-782X. PMC 3782890alt=Dapat diakses gratis. PMID 24086833. 
  35. ^ Russell-Cole, Kathy; Wilson, Midge; Hall, Ronald E. (2013). The Color Complex: The Politics of Skin Color in a New Millennium (dalam bahasa Inggris). Anchor Books. ISBN 978-0-307-74423-4. 
  36. ^ Glenn, Evelyn (2009-01-23). Shades of Difference: Why Skin Color Matters (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-5998-4. 
  37. ^ a b c Singson, Francine (2017-01-01). "Colonialsim's Role in the Success of the Filipino Skin Whitening Industry". Auctus: The Journal of Undergraduate Research and Creative Scholarship. doi:10.25886/JBZG-3742. 
  38. ^ Shaffer, Robert (2012-01-01). ""Partly Disguised Imperialism": American Critical Internationalists and Philippine Independence". Journal of American-East Asian Relations (dalam bahasa Inggris). 19 (3-4): 235–262. doi:10.1163/18765610-01904008. ISSN 1058-3947. 
  39. ^ Pisares, Elizabeth H. (2011-05-01). "The Social-Invisibility Narrative in Filipino-American Feature Films". positions: asia critique. 19 (2): 421–437. doi:10.1215/10679847-1331778. ISSN 1067-9847. 
  40. ^ Koh, Adeline; Balasingamchow, Yu-Mei (2015-06-03). Women and the Politics of Representation in Southeast Asia: Engendering discourse in Singapore and Malaysia (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-317-66292-1. 
  41. ^ Chew, Peter K. H.; Young, Jessica L.; Tan, Gerald P. K. (2019/ed). "Racism and the Pinkerton syndrome in Singapore: effects of race on hiring decisions". Journal of Pacific Rim Psychology (dalam bahasa Inggris). 13. doi:10.1017/prp.2019.9. ISSN 1834-4909. 
  42. ^ "Will Indonesia's 'Papuan Lives Matter' Translate to Support for Independence?". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-31. 
  43. ^ Migration Profile of the Republic of Korea (dalam bahasa Inggris). ISBN 978-89-97118-16-8. 
  44. ^ Roh, Jiehyun (2014). "Korea's Employment Permit System and Wage Development of Foreign Workers". Public Policy and Administration Review. 2 (3). doi:10.15640/ppar.v2n3a3. ISSN 2333-5823. 
  45. ^ a b c Kim, Hyein Amber (2020-04-11). "Understanding "Koreanness": Racial Stratification and Colorism in Korea and Implications for Korean Multicultural Education". International Journal of Multicultural Education (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 76–97. doi:10.18251/ijme.v22i1.1834. ISSN 1934-5267.