Liem Seeng Tee

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Liem Seeng Tee
Informasi pribadi
Lahir1893
Anxi, Fujian, Dinasti Qing
Meninggal1956
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Suami/istriSiem Tjiang Nio
AnakAdi Sampoerna (Liem Swie Hwa)
Aga Sampoerna (Liem Swie Ling)
Sinta Dewi Sampoerna (Liem Sien Nio)
Liem Hwee Nio
Soenarni Sampoerna (Liem Kwang Nio)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Liem Seeng Tee (EBI: Lim Sing Te; lahir di Fujian, Tiongkok, 1893 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 1956) adalah pendiri PT. HM Sampoerna, sebuah perusahaan rokok besar di Indonesia. Dia adalah generasi pertama dari keluarga Sampoerna; ayah dari Aga Sampoerna dan Sinta Dewi Sampoerna (istri dari Wisman Ali, pendiri Wismilak Group), serta kakek dari Putera Sampoerna.

Riwayat Hidup dan PT. HM. Sampoerna[sunting | sunting sumber]

Liem Seeng Tee adalah seorang imigran dari sebuah keluarga miskin di provinsi Fujian di Tiongkok. Dia datang ke Indonesia pada tahun 1898 bersama kakak perempuan dan ayahnya. Tak lama setelah tiba di Indonesia, ayahnya meninggal.

Sebelum ayahnya meninggal, Liem Seeng Tee dititipkan disebuah keluarga Tionghoa di Bojonegoro. Di keluarga Tionghoa tersebut Liem Seeng Tee menerima pelajaran-pelajaran tentang keuangan. Hingga umur sebelas (11) tahun Seeng Tee diasuh di keluarga tersebut. Setelah itu, Liem Seeng Tee hidup mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan makanan kecil di dalam gerbong kereta jurusan Surabaya - Jakarta dengan cara melompat masuk pada malam buta. Liem Seeng Tee pernah berjualan makanan kecil selama 18 bulan penuh tanpa istirahat sekalipun. Di situ dia belajar meracik tembakau yang kemudian dijualnya di stasiun kereta api.

Tidak lama setelah menikah dengan Siem Tjiang Nio tahun 1912, Liem Seeng Tee mendapatkan pekerjaan sebagai peracik dan pelinting rokok di sebuah pabrik rokok di Lamongan. Dari situ Seeng Tee memperlihatkan kemampuan alaminya dalam meracik dan melinting rokok. Namun tidak lama kemudian, Seeng Tee berhenti dari pekerjaannya itu dan menyewa sebuah warung kecil di Jln. Tjantian di Surabaya Lama. Di warung tersebut Seeng Tee bersama istrinya berjualan bahan makanan kecil, sedangkan Liem Seeng Tee berusaha berjualan rokok racikannya sendiri. Usaha ini sempat maju ketika jalan raya di depan rumah dilebarkan, sehingga jalanan menjadi ramai dan pelanggan meningkat. Tetapi perkembangan pertama ini langsung dihantam oleh pukulan pertama, gubug tempat tinggal keluarga muda ini terbakar.

Tak lama kemudian ternyata datang kesempatan kedua, sebuah perusahaan tembakau bangkrut, dan Liem Seeng Tee ditawari untuk membeli unit usaha itu dengan harga murah, tetapi harus dilunasi dalam waktu kurang dari 24 jam. Liem Seeng Tee merasa beruntung sekali, karena kesempatan yang tak mungkin muncul lagi itu berhasil diraihnya, karena diam-diam istrinya menabung pada salah satu tiang bambu rumahnya. Di unit usaha inilah Liem Seeng Tee berkesempatan memamerkan keahliannya sebagai peracik tembakau yang sangat andal. Di sini suami istri yang kemudian dikaruniai dua putra dan tiga putri ini melayani pesanan rokok dengan aneka citarasa, menggunakan mesin pelinting sederhana.

Tampaknya pasangan ini tidak puas dengan keadaan tersebut, dan bertekad untuk mengembangkan usaha itu menjadi lebih besar lagi. Langkah pertamanya adalah membentuk badan hukum dengan nama Handel Maatschappij Liem Seeng Tee (1913), yang di kemudian hari diubahnya menjadi Handel Maatschappij Sampoerna (dan setelah Perang Dunia II, berubah lagi menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna / HM. Sampoerna). Perusahaan ini memproduksi rokok dengan aneka macam merek dagang seperti Dji Sam Soe, “123″, “720″, “678″, dan “Djangan Lawan”. Semua merek itu ditujukan untuk beragam segmen pasar, tetapi andalannya adalah Dji Sam Soe yang membidik segmen pasar premium, dengan logo dan kemasan yang dipertahankan hingga sekarang.

Menjelang pendudukan Jepang, perusahaan ini sudah memiliki 1300 orang karyawan yang bekerja dua sif, dengan produksi lebih dari tiga juta batang rokok per minggu. Pabriknya semakin besar, dan pasarnya semakin kukuh, khususnya untuk daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun pada tahun 1942 Jepang mendarat di Surabaya, dan dalam waktu kurang dari enam jam, Seeng Tee ditangkap dan dibawa ke Jawa Barat untuk menjalani kerja paksa, sementara keluarganya lari dalam persembunyian. Tak diketahui ke mana larinya harta milik keluarga dan perusahaan. Tetapi yang pasti, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, harta Liem Seeng Tee yang masih tersisa tak lebih dari keluarganya sendiri dan merek dagang “Dji Sam Soe”.

Liem Seeng Tee kembali memulai usahanya, dan kembali mengusung merek “Dji Sam Soe” ke pasar. Perlahan tapi pasti usahanya kembali berkembang, kapasitas produksinya semakin baik, dan pasar mulai kembali berhasil dikuasainya. Tetapi hambatan kembali muncul, kali ini dari iklim politik berupa suburnya perkembangan ideologi komunisme, yang berhasil memutuskan hubungan kekeluargaan yang selama ini berhasil dirintisnya dengan para karyawannya. Sedemikian dahsyat penyusupan komunisme di dalam pabriknya, sehingga Liem Seeng Tee tak bisa mengunjungi pabriknya untuk menyapa para karyawannya, hingga ajal menjemputnya. Liem Seeng Tee meninggal pada tahun 1956.

HM Sampoerna sepeninggal Liem Seeng Tee[sunting | sunting sumber]

HM Sampoerna mengalami kesulitan besar sepeninggal Liem Seeng Tee, ketika usaha itu dikelola oleh dua putri Liem Seeng Tee (Sien dan Hwee) dan menantunya, yakni suami kedua putrinya tersebut. Kesulitan besar itu muncul karena datangnya investor asing yang masuk ke Indonesia membangun industri rokok putih dengan teknologi linting mesin. Sementara itu dua putra Seeng Tee, Liem Swie Hwa dan Liem Swie Ling, tidak tertarik meneruskan usaha HM Sampoerna. Swie Hwa, si sulung, lebih suka membuka usaha tembakau, sedangkan adiknya, Liem Swie Ling, membuka pabrik rokok di Denpasar dengan merek Panamas, yang produksinya ternyata ikut menggerogoti pasar HM Sampoerna di Jawa Timur.

Khawatir akan nasib HM Sampoerna, Swie Hwa akhirnya menyurati adiknya, dan memintanya untuk mengambil alih perusahaan itu, karena dia merasa usahanya sendiri tidak bisa dilepaskannya begitu saja. Gayung pun bersambut, Liem Swie Ling menyanggupi permintaan itu, bahkan akhirnya juga memindahkan Panamas ke Malang, tak jauh dari HM Sampoerna. Liem Swie Ling, yang kemudian selalu memperkenalkan diri sebagai Aga Sampoerna, kemudian dengan kekuatan penuh mencoba menghidupkan kembali HM Sampoerna sesuai dengan semangat besar ayahnya. Itulah yang merupakan awal kebangkitan baru HM Sampoerna

Di tangan Aga Sampoerna perusahaan itu semakin berkibar. Di awal tahun 70an, seiring dengan masuknya Putera Sampoerna, putera Liem Swie Ling / Aga Sampoerna, ke jajaran manajemen, perusahaan terus berkembang pesat. Jumlah karyawan sudah mencapai 1200 orang, dengan produksi 1,3 juta batang rokok per hari. Tahun 1979 pabrik milik HM Sampoerna sempat kembali terbakar habis, tetapi dalam waktu 24 hari Dji Sam Soe sudah berhasil kembali mendatangi konsumennya. Aga Sampoerna meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 1995, meninggalkan perusahaan yang terus semakin maju pesat.

Ide untuk menjadi perusahaan publik adalah ide Putera Sampoerna yang awalnya tidak secara bulat diterima oleh keluarganya. Tetapi dengan penuh kesabaran Putera Sampoerna berhasil meyakinkan mereka, bahwa go public akan mengantar perusahaan itu ke tataran global, dan nilai absolut saham milik keluarga pasti akan meningkat setelah itu, satu keyakinan yang ternyata benar di kemudian hari. Kini perusahaan yang bermula dari unit usaha rumahan itu sudah berada di tangan generasi keempat, di bawah kepemimpinan Michael Joseph Sampoerna, dan telah menjadi salah satu perusahaan publik papan atas.

Maret 2005 merupakan masa penting dalam perjalanan bisnis Putera Sampoerna dan keluarganya, di mana Putera memutuskan untuk menjual menjual seluruh saham keluarga Sampoerna di PT HM Sampoerna Tbk (40%) ke Philip Morris International.

Sumber[sunting | sunting sumber]