Njanji Soenji
Pengarang | Amir Hamzah |
---|---|
Negara | Hindia Belanda |
Bahasa | Melayu |
Genre | Koleksi puisi |
Penerbit | Poedjangga Baroe |
Tanggal terbit | November 1937 |
Jenis media | Cetak (sampul lunak) |
Halaman | 31 (edisi ketiga) |
Njanji Soenji (EYD: Nyanyi Sunyi) adalah koleksi puisi Amir Hamzah tahun 1937. Koleksi ini terdiri dari 24 puisi berjudul dan bait-bait prosa lirik dan ditulis kira-kira setelah ia dipaksa menikahi putri Sultan Langkat. Puisi-puisinya terkenal sulit dibaca dan bentuknya lebih bebas daripada syair tradisional Melayu. Analisis terhadap koleksi ini berfokus pada tema Tuhan dan hubungan-Nya dengan umat manusia serta aspek kemanusiaan itu sendiri. H.B. Jassin memandangnya sebagai upaya untuk memaparkan masalah-masalah duniawi yang dihadapi Amir.
Latar belakang
Amir Hamzah (1911–46) adalah penulis Melayu didikan Belanda keturunan bangsawan dan Muslim yang taat. Ia sangat menggemari sastra Melayu tradisional dan menyukai teks-teks bersejarah seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Amir juga sering membaca karya sastra Arab, Persia, dan Hindu.[1] Karena itu, ia menguasai banyak sekali kosakata.[2]
Penyair Laurens Koster Bohang memperkirakan "Padamu Jua" ditulis antara 1933 dan 1937,[3] sementara pakar sastra Indonesia dari Belanda A. Teeuw memberi perkiraan tahun 1936 dan 1937.[4] Waktu itu adalah masa paling emosional bagi Hamzah yang dipaksa menikahi putri Sultan Langkat; Sultan Langkat telah mendanai studinya di Jawa. Pada saat yang sama Hamzah kabarnya jatuh cinta dengan teman sekelasnya dari suku Jawa dan terpaksa meninggalkannya.[5]
Isi
Njanji Sunji terdiri dari 24 puisi berjudul dan satu kuatrain tanpa judul.[6] Pakar sastra Indonesia H.B. Jassin menyebut delapan karyanya sebagai prosa lirik dan sisanya puisi.[7] Tak satupun karya di Nyanyi Sunyi yang diberi tanggal (sebagaimana karya-karya Amir lainnya).[8] Di penghujung buku tercantum sebuah kuplet bertuliskan "Sunting sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih",[9] yang penerjemah dan penyair Amerika Burton Raffel terjemahkan menjadi "A flower floating in a loose knot of hair / Gave birth to my sorrowful poems".[10]
Puisi-puisi yang masuk dalam koleksi ini adalah:[6]
Puisi tak berjudul
- Kuatrain tak berjudul ("Sunyi Itu Duka")
Puisi berjudul
- "Padamu Jua"
- "Barangkali"
- "Hanya Satu"
- "Permainanmu"
- "Tetapi Aku"
- "Karena Kasihmu"
- "Sebab Dikau"
- "Doa"
- "Hanyut Aku"
- "Taman Dunia"
- "Terbuka Bunga"
- "Mengawan"
- "Panji Dihadapanku"
- "Memuji Dikau"
- "Kurnia"
- "Doa Poyangku"
- "Turun Kembali"
- "Batu Belah"
- "Di dalam Kelam"
- "Ibuku Dehulu"
- "Insyaf"
- "Subuh"
- "Hari Menuai"
- "Astana Rela"
Bentuk
Tidak seperti kebanyakan karya pertama Amir, puisi-puisi di Nyanyi Sunyi umumnya tidak mengikuti format empat baris empat kata pantun dan syair.[11] Teeuw mencatat bahwa beberapa puisi seperti "Batu Belah" menggunakan format Eropa tradisional seperti balada.[12] Puisi lainnya cenderung bebas dan lebih mengarah ke prosa.[13]
Diksi Amir sangat bergantung pada istilah Melayu lama yang jarang digunakan waktu itu. Ia juga banyak meminjam kata dari bahasa daerah Indonesia, termasuk bahasa Jawa dan Sunda.[14] Pilihan katanya didorong oleh perlunya ritme dan metrum, serta simbolisme yang terkait dengan kata-kata tertentu.[15] Pada akhirnya, Amir menjadi lebih bebas berbahasa daripada penyair-penyair tradisional.[16] Kritikus Indonesia Bakri Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "permainan kata yang indah".[a][13]
Penerjemah John M. Echols menulis bahwa puisinya "sulit ditafsirkan bahkan oleh orang Indonesia sendiri",[2] sedangkan penyair Chairil Anwar menyebut karya-karya Amir Hamzah "puisi samar" yang tidak dapat dipahami masyarakat jika belum paham sejarah Islam dan Melayu.[17] Pakar sastra Indonesia Muhammad Balfas berpendapat bahwa karya Hamzah memiliki banyak alusio terhadap teks-teks keagamaan Islam dan Kristen.[16]
Anwar beropini bahwa Amir, melalui Nyanyi Sunyi, memperkenalkan gaya baru ke bahasa Indonesia dengan kalimatnya yang "padat tegas, tajam, dan singkat". Dalam artikel tahun 1945, ia menulis bahwa "sebelum Amir (Hamzah), seseorang akan menganggap puisi lama sebagai kekuatan yang menghancurkan, namun ia membawa cahaya terang ke bahasa baru ini".[17]
Tema
Agama dan Tuhan selalu muncul di koleksi puisi ini. Hal ini terbukti di puisi pertamanya, "Padamu Jua".[16] Amir sering memakai kata "Tuhan". Tidak seperti puisi-puisi pertamanya yang memakai kata "Dewa", Tuhan di sini adalah Tuhan yang dipahami dalam agama-agama Abrahamik seperti Islam yang dianutnya.[5] Amir memperlihatkan dirinya dipengaruhi Sufisme.[18] Menurut Teeuw, kadang-kadang Amir memperlakukan Tuhan seperti seorang kekasih dengan menggunakan kata "engkau" untuk menyebut Tuhan.[19] Akan tetapi, Amir mengakui bahwa ia tidak akan bisa bersatu dengan Tuhan.[19] Jassin menulis bahwa Amir tampaknya sadar akan kecilnya dirinya di hadapan Tuhan yang bertingkah seperti boneka Tuhan.[20] Teeuw mencatat bahwa Amir mengakui ia tidak akan ada jika Tuhan juga tidak ada.[19]
Belum lagi Amir menerima posisinya yang rendah dalam hubungannya dengan Tuhan. Jassin menulis bahwa kadang Amir menunjukkan perasaan tidak puas terhadap sedikitnya kuasa diri dan memprotes kemutlakan Tuhan.[21] Teeuw juga melihat perasaan ketidakpuasan di seluruh puisinya. Ia menulis bahwa Amir tampaknya memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang "hanya mempermain-mainkan manusia yang dibiarkannya tertunggu-tunggu dan terhapus".[b][12] Teeuw menulis lagi bahwa Amir mempertanyakan nasib dan kepentingan dirinya untuk berpisah dari kekasihnya.[22]
Selain tema Tuhan dan agama, Amir juga menunjukkan kesadaran akan sifat manusiawinya dengan mengakui insting dan nafsunya.[23] Jassin menulis bahwa "nyanyian Amir adalah nyanyian jiwa manusia",[c] menunjukkan kesedihan dan kebahagiaan yang tidak mengenal kelas atau tingkatan.[23] Teeuw melihat adanya rasa ketidakpercayaan, perasaan bahwa – setelah kehilangan cintanya – tidak ada lagi alasan bagi Amir untuk kehilangan cinta selanjutnya.[12] Kritikus Indonesia Zuber Usman justru membicarakan tema kehilangan cinta jika dikaitkan dengan agama. Ia menulis bahwa setelah meninggalkan kekasih Jawanya, Amir semakin dekat dengan Tuhan.[24]
Jassin mencatat bahwa Amir memakai kata "sunyi" sebagai cara untuk menyampaikan masalah-masalah duniawinya dengan waktu, identitas diri, Tuhan, dan cinta. Menurut Jassin, di akhir koleksi puisi ini cinta fisik beralih menjadi cinta spiritual dan jawaban atas permasalahannya berasal dari hal supernatural.[5] Pada akhirnya, Jassin menyimpulkan bahwa jiwa Amir belum mencapai kedewasaan. Ia menganggap puisi terakhir di koleksi ini, "Astana Rela", bertujuan melarikan diri untuk sementara.[25] Jassin menemukan bahwa tema agama juga berarti pelarian dari kesedihan duniawi Amir,[26] sebuah pendapat yang juga diiyakan oleh Usman.[24]
Penerbitan
Nyanyi Sunyi pertama diterbitkan di Poedjangga Baroe edisi November 1937, majalah sastra yang ikut didirikan Amir.[7] Koleksi puisi ini kelak diterbitkan kembali sebagai buku terpisah. Buku ini dicetak untuk ketiga kalinya pada tahun 1949.[27]
Tahun 1941, Amir menerbitkan koleksi puisi lain berjudul Buah Rindu yang terdiri dari karya-karya pertamanya. Jassin mencatat bahwa karya di Nyanyi Sunyi tampak lebih berkembang dan dewasa ketimbang koleksi puisi terbarunya.[25] Teeuw menulis bahwa koleksi terbarunya lebih condong ke cinta romantis alih-alih cinta religius seperti Nyanyi Sunyi.[28]
Referensi
Catatan penjelas
Catatan kaki
- ^ Jakarta City Government, Amir Hamzah.
- ^ a b Echols 1956, hlm. 14.
- ^ Jassin 1962, hlm. 8.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 126.
- ^ a b c Jassin 1962, hlm. 13.
- ^ a b Hamzah 1949, hlm. 5–30.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 212.
- ^ Jassin 1962, hlm. 9.
- ^ Hamzah 1949, hlm. 31.
- ^ Raffel 1968, hlm. 15.
- ^ Jassin 1962, hlm. 12.
- ^ a b c Teeuw 1955, hlm. 117.
- ^ a b Siregar 1964, hlm. 116.
- ^ Rosidi 1976, hlm. 45.
- ^ Rosidi 1976, hlm. 46.
- ^ a b c Balfas 1976, hlm. 64.
- ^ a b Raffel 1970, hlm. 175.
- ^ Jassin 1962, hlm. 30.
- ^ a b c Teeuw 1955, hlm. 116.
- ^ Jassin 1962, hlm. 26.
- ^ Jassin 1962, hlm. 29.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 140.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 32.
- ^ a b Usman 1959, hlm. 231–50.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 14.
- ^ Jassin 1962, hlm. 31.
- ^ Hamzah 1949, hlm. 1.
- ^ Teeuw 1955, hlm. 115.
Kutipan
- "Amir Hamzah". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 December 2011.
- Balfas, Muhammad (1976). "Modern Indonesian Literature in Brief". Dalam L. F., Brakel. Handbuch der Orientalistik. 1. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2. Diakses tanggal 13 August 2011.
- Echols, John (1956). Indonesian Writing in Translation. Ithaca: Cornell University Press. OCLC 4844111.
- Hamzah, Amir (1949). Njanji Sunji (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Rakjat. OCLC 65112881.
- Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 7138547.
- Raffel, Burton (1968) [1967]. Development of Modern Indonesian Poetry (edisi ke-2nd). Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-024-4.
- Raffel, Burton (1970). Complete Prose and Poetry of Chairil Anwar. Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-061-9.
- Rosidi, Ajip (1976). Ikhstisar Sejarah Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Bandung: Binacipta. OCLC 609510126.
- Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
- Teeuw, A. (1955). Pokok dan Tokoh (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Pembangunan. OCLC 428077105.
- Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.
- Usman, Zuber (1959). Kesusasteraan Baru Indonesia dari Abdullah Bin Albdalkadir Munshi sampai kepada Chairil Anwar (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Mas. OCLC 19655561.
Bacaan lanjutan
- Umar Junus (1968). Nyanyi Sunyi (Amir Hamzah): Ulasan dan Kajian (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru. OCLC 63260744.