Lompat ke isi

Pemerkosaan terhadap laki-laki

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pemerkosaan pria)

Pemerkosaan terhadap pria merupakan salah satu bentuk pemerkosaan atau peristiwa kekerasan seksual dengan korbannya adalah laki-laki (pria) masih anak-anak. Pemerkosaan didefinisikan sebagai kejahatan yang dilakukan semata-mata terhadap perempuan. Pemerkosaan ini meliputi pemerkosaan secara spesifik atau kekerasan seksual dalam pengertian umum. Penelitian dari Inggris menampilkan hampir 3% pria dewasa mengaku pernah mengalami pengalaman seksual yang non-konsensual (tidak dikehendaki) dan lebih dari 5% pria mengalami kejahatan seksual yang dialami semasa kanak-kanak[1][2].

Pandangan umum terhadap pemerkosaan pria

[sunting | sunting sumber]

Meskipun beberapa kasus besar pemerkosaan terhadap pria telah diekspos ke media, secara luas pemerkosaan masih dianggap sebagai kejahatan terhadap wanita.[3] Menurut Dr Maeve Eogan, direktur medis Unit Kejahatan Seksual (Sexual Assault Treatment Unit atau SATU) di Rumah Sakit Rotunda, dan Deirdra Richardson, pemeriksa forensik pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap pria sangat jarang dibicarakan. Secara internasional, pemerkosaan dan kejahatan seksual terhadap pria adalah hal yang tabu. Pemerkosaan terhadap pria memiliki 'konotasi negatif terhadap tingkah laku heteroseksual dan homoseksual'.[4]

Davies (2002) menunjukkan bahwa reaksi komunitas dan penyedia layanan (korban pemerkosaan) terhadap pria korban kejahatan seksual sering kali dipengaruhi orientasi seksual korban dan jenis kelamin pelaku kejahatan. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa pria korban pelecehan seksual (baik dewasa maupun anak-anak) sangat tidak berkeinginan untuk melaporkan kejahatan yang mereka alami dibandingkan wanita yang menjadi korban. Bukan tidak jarang, terutama pada korban yang tidak mengalami luka-luka fisik yang serius, bagi pria korban kejahatan seksual untuk menyangkal kejadian yang mereka alami. Atau saat menjalani perawatan medis atau kesehatan mental, korban mungkin tidak mengakui bahwa mereka telah mengalami pemerkosaan, dan mengaburkan cerita saat mereka diminta untuk menjelaskan bagaimana mereka bisa mengalami luka-luka tersebut serta pada saat mereka mendaftarkan diri untuk menjalani perawatan.[5]

Pada masyarakat yang menyanjung-nyanjung maskulinitas, sulit bagi seorang pria, baik straight atau gay, untuk melaporkan telah mengalami pemerkosaan. Ajay Sathyan, sekorang konselor, berkata bahwa pria korban tidak memiliki panggung untuk berbicara, bahkan keluarga mereka tidak ingin kejadian tersebut memperoleh publisitas. Hubungan seksual pria terhadap pria, bahkan pemerkosaan, diasosiasikan dengan homoseksualitas.[6]

Penelitian dan statistik

[sunting | sunting sumber]

Penelitian terhadap kejahatan seksual/ pemerkosaan terhadap pria tidak muncul hingga kurang dari 30 tahun yang lalu (dan kebanyakan literatur awal memfokuskan pada anak-anak daripada pria dewasa). Meskipun beberapa penelitian terhadap fasilitas penyembuhan tindak kejahatan seksual telah ada sebelum tahun 1980, pada awal 1980an barulah muncul penelitian yang menspesialisasikan pada konsekuensi pemerkosaan terhadap pria dalam masyarakat. Kebanyakan literatur kejahatan seksual/ pemerkosaan yang tersedia memfokuskan diri pada korban/ korban selamat wanita.[5]

Pemerkosaan pria oleh pria

[sunting | sunting sumber]

Dalam sejarah, pemerkosaan pria oleh pria dijadikan rahasia karena adanya stima terhadap pria yang diperkosa oleh pria lainnya. Menurut psikolog Dr. Sarah Crome, lebih sedikit dari 1 berbanding 10 dari pria yang diperkosa oleh pria lain yang melaporkan pemerkosaan yang mereka alami. Sebagai kelompok, pria korban pemerkosaan melaporkan kurangnya layanan dan dukungan terhadap mereka, dan sistem hukum yang tersedia sering kali tidak mencangkup jenis kejahatan yang mereka alami.[7]

Beberapa penelitian mengusulkan bahwa pemerkosaan terhadap tawanan pria oleh pria, sebagaimana tawanan wanita terhadap wanita, merupakan jenis umum pemerkosaan yang tidak akan dilaporkan meskipun terjadi lebih sering dibandingkan pemerkosaan yang terjadi di masyarakat umum.[note 1][note 2][note 3] Pemerkosaan pria terhadap pria lain telah didokumentasikan sebagai sebuah senjata teror dalam peperangan (lihat pula Pemerkosaan perang).[8] Dalam kasus Perang saudara Suriah (2011-sekarang), tawanan pria mengalami pelecehan seksual seperti dipaksa untuk duduk di atas sebuah botol kaca yang lehernya pecah, kelaminnya digantungi seember air yang berat, atau dipaksa untuk menonton pemerkosaan yang dialami tawanan lainnya oleh sipir penjara.[9]

Pemerkosaan pria oleh wanita

[sunting | sunting sumber]

Sebuah penelitian oleh CDC menemukan bahwa 1 dari 21 pria (4,8%) melaporkan bahwa mereka pernah dipaksa untuk menggauli orang lain (yang biasanya adalah wanita); pernah menjadi korban usaha pemaksaan untuk menggauli orang lain; atau pernah dipaksa menjalani seks oral.[3]

Pria korban kekerasan seksual oleh wanita[10] biasanya menghadapi standar ganda secara sosial, politik, dan hukum.[11] Beberapa kasus di Amerika Serikat memperoleh perhatian yang meningkat dan mencetuskan kesadaran dalam masyarakat. Terkadang disebut sebagai kasus "pemaksaan untuk menggauli", pria korban pemerkosaan dibuat terlibat dalam suatu hubungan seksual yang tidak ia harapkan dengan seorang wanita. Seringkali korban pria tersebut berada dibawah pengaruh obat-obatan atau alkohol atau diancam jiwanya. Kasus Cierra Ross[12] yang melecehkan seorang pria dari Chicago secara seksual menjadi judul utama berita secara nasional dan Ross dipidana dengan dakwaan telah melakukan tindakan kriminal berat, yaitu kejahatan seksual dan perampokan bersenjata dengan jaminan sebesar 75.000 dolar Amerika. Kasus-kasus seperti ini biasanya digambarkan sebagai "tidak biasa" atau "tidak lumrah". Pada kasus seorang wanita menjadi korban kejahatan seksual, si pria kriminal akan menghadapi hukuman hingga seumur hidup di penjara, sementara hukuman untuk wanita pemerkosa jauh lebih ringan. Kasus James Landrith adalah kasus yang serupa.[13]

Beberapa kasus pemerkosaan dibawah umur oleh wanita terhadap pria yang dipublikasikan secara luas di Amerika Serikat termasuk di antaranya adalah kasus pemerkosaan guru terhadap muridnya. Hukum federal menegaskan bahwa usia dewasa di Amerika Serikat secara nasional adalah 18 tahun, tetapi pada negara bagian lain mungkin ditetapkan antara 16-18 tahun. Menurut hukum federal, segala hubungan seksual antara orang dewasa dengan yang masih dibawah usia kedewasaan dipandang sebagai kejahatan seksual. (See Mary Kay Letourneau dan Debra Lafave.)

Mitos dan fakta

[sunting | sunting sumber]

Dua mitos yang menyatakan bahwa pria tidak mungkin diperkosa oleh wanita adalah: Pria selalu menginginkan hubungan seksual, sehingga wanita tidak perlu memaksa pria untuk melakukan hal tersebut, dan pria pasti bergairah jika mengalami ereksi.[14] Selain dua mitos di atas, masih ada beberapa mitos lain yang berkaitan dengan pemerkosaan terhadap pria.

Pria tidak mudah diserang

[sunting | sunting sumber]

Ditanamkan melalui sosialisasi gender maskulin, terdapat mitos yang menyatakan bahwa pria, bahkan anak=anak, tidak seharusnya menjadi korban atau bahkan rentan. Pria yang masih anak-anak, bahkan diusia yang masih muda, diajarkan bahwa mereka tidak jantan bila menangis dan bahwa pria seharusnya mampu untuk melindungi diri mereka sendiri.[15][16]

Pada kenyataannya, anak-anak tetaplah anak-anak -lebih lemah dan lebih rentan dibandingkan orang yang melakukan tindak kejahatan kepada mereka- mereka tidak benar-benar dapat melawan, karena orang yang menjahati mereka bertubuh lebih besar, lebih kuat, dan lebih berpengalaman. Kekuatan pelaku kejahatan tersebut diperoleh dari otoritas, menggunakan sumber daya yang mereka miliki seperti uang atau sogokan lainnya, atau mengeluarkan ancaman -segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjadikan anak-anak sebagai objek seksual.[16]

Pria selalu menginginkan seks

[sunting | sunting sumber]

Orang-orang cenderung meyakini bahwa gairah seksual atau orgasme menunjukkan bahwa pria korban bersedia atau menikmati pemerkosaan tersebut. Pada sebuah artikel dalam the Journal of Clinical Forensic Medicine, Roy J. Levin dan Willy Van Berlo menemukan bahwa bahkan saat pria tidak mengharapkan suatu hubungan seksual, sedikit stimulasi pada alat kelamin atau meningkatnya stres dapat membuatnya ereksi "meskipun tidak ada stimulasi seksual yang spesifik yang dilakukan."[17]

Menyerupai respon erektil pada wanita, respon ereksi pada pria tidak dapat dikendalikan,[18][19] yang berarti bahwa seorang pria tidak perlu menjadi terangsang agar penisnya dapat menjadi tegang dan ditempatkan pada vagina seorang wanita; yang dibutuhkan hanyalah stimulasi (rangsangan) secara mekanis. Terangsang dan rangsangan adalah dua hal yang berbeda. Rangsangan adalah sebuah respon fisik terhadap sumber rangsangan. Pria dapat mengalami rangsangan secara fisik tanpa menjadi terangsang sehingga terjadinya ereksi. Pria dapat ketakutan atau terintimidasi untuk menjadi ereksi, terutama jika orang yang membuatnya terancam itu lebih tua atau lebih berkuasa.[14]

Pada kenyataannya, pria dapat merespon rangsangan fisik (mengalami ereksi) bahkan dalam situasi seksual yang traumatik atau menyakitkan. Stimulasi fisik (dan visual atau pendengaran) dipastikan terjadi dalam sebuah situasi seksual. Anak-anak yang mengalami ereksi pada saat mengalami hubungan seksual bukan berarti mereka menginginkan hal tersebut terjadi atau bahkan mengerti apa yang sedang mereka alami pada saat itu.[16]

Pria lebih tidak mengalami trauma

[sunting | sunting sumber]

Dipercaya bahwa pria lebih tidak mengalami trauma setelah mengalami tindakan buruk dibandingkan wanita.[note 4] Meski beberapa penelitian menemukan bahwa pria lebih menerima efek negatif, penelitian lain menunjukkan bahwa efek jangka panjang yang muncul cukup menimbulkan penderitaan pada wanita maupun pria. Pria mungkin mengalami lebih banyak penderitaan akibat penolakan masyarakat atau ketidakinginan mereka untuk menerima bahwa mereka telah menjadi korban.[16] Dr Eogan dan Nona Richardson menyebutkan bahwa sementara pria dan wanita mengalami depresi yang sama akibat pemerkosaan, perasaan marah yang amat kuat cenderung lebih umum dirasakan oleh pria.[4] Frazier (1993)[20] mempelajari 74 pria dan 1.280 wanita korban perkosaan; ia menemukan bahwa pria yang menjadi korban lebih mengalami depresi dan tidak terkontrol segera setelah pemerkosaan selesai terjadi dibandingkan pada korban wanita.

Penasihat pemulihan trauma, Stephanie Baird, berkata bahwa pria yang mengalami kejadian seksual saat masih anak-anak biasanya mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa "Aku perkasa, aku ditiduri oleh ...". Bairds menjelaskan bahwa mereka melakukan hal tersebut agar mereka merasa seakan-akan mereka memiliki kekuatan dan sebagainya.[17] Carpenter (2009, mengutip Mezey, 1987)[21] menemukan bahwa "strategi pria untuk mengatasi masalah, yang ditengarai dengan penolakan dan kontrol, membuat mereka lebih rentan terhadap masalah kejiwaan di kemudian hari serta mengurangi keinginan untuk mencari pertolongan.”

Orientasi seksual

[sunting | sunting sumber]

Menurut Henry Leak, ketua organisasi Survivors, pemerkosaan terhadap pria tidak hanya terbatas pada komunitas homoseksual dan, sebagaimana pemerkosaan terhadap wanita, lebih berhubungan dengan kekuatan dibandingkan seksualitas.[22] Orientasi seksual adalah sebuah masalah kompleks dan tidak ada satu jawaban atau teori yang menjelaskan mengapa seseorang mengidentifikasikan dirinya sebagai homoseksual, heteroseksual, atau biseksual.[16]

Pria korban secara umum takut bahwa diri mereka tidak akan dipercaya atau bahwa masyarakat akan berpikir bahwa memang dirinya yang menginginkan perkosaan tersebut terjadi, bahwa ia pastilah seorang gay, atau lemah, tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Banyak anak-anak yang mengalami kejahatan seksual oleh pria dewasa memiliki kepercayaan yang salah bahwa ada sesuatu pada diri mereka yang menarik perhatian pria, dan dengan demikian mungkin artinya mereka adalah homoseksual atau bertingkah laku seperti wanita. Para ahli di bidang seksualitas manusia tidak percaya bahwa pengalaman seksual yang prematur akan berpengaruh besar terhadap orientasi seksual di akhir masa pubertas atau di usia dewasa. Meskipun memang benar bahwa sebagian besar pelaku kejahatan seksual memiliki sejarah kekerasan seksual dalam hidup mereka, tetapi tidak benar bahwa sebagian besar korban akan menjadi pelaku kejahatan seksual. Selain itu, sebagian besar korban tidak menjadi pelaku kejahatan seksual saat mereka dewasa.[16]

Pria korban pemerkosaan seharusnya beruntung

[sunting | sunting sumber]

Nicole Pietsch, koordinator Ontario Coalition of Rape Crisis Centres, menyinggung mengenai mitos bahwa kekerasan seksual adalah impian pria jika pelakunya adalah wanita. Dalam kasus ini, orang-orang akan berkata bahwa dirinya (si korban) beruntung; Pietsch berkata bahwa hal seperti itu akan menjadi hal yang positif jika tidak diucapkan.[23]

Efek fisik

[sunting | sunting sumber]

Kejahatan seksual mengakibatkan trauma emosional, dan sering kali fisik, yang parah.[24] Di antarakorban perkosaan diatas usia 18 tahun, 31,5% wanita dan 16,1% pria, berkata mereka mengalami luka-luka di luar pemerkosaan itu sendiri pada saat pemerkosaan terakhir yang mereka alami.[25]

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa kejahatan seksual pada pria terjadi lebih keras dan menghasilkan luka-luka biasa lebih banyak, dan biasanya juga melibatkan penggunaan senjata (seperti pistol tangan dan pisau) jika pelakunya adalah orang asing. Luka-luka juga mungkin berasal dari pengikatan pada saat terjadinya kejahatan. Sakit kepala karena tegang, sakit maag, mual, radang usus besar, baret di tenggorokan, mata lebam, dan tulang patah adalah luka-luka fisik lain yang sering disebutkan. Pada sebuah penelitian di Kanada, Stermac dan colleagues (2004) menemukan bahwa 45% pria korban perkosaan di wilayah perkotaan yang menghubungi bagian kejahatan seksual suatu rumah sakit mengalami beberapa jenis luka-luka fisik (misalnya 25% mengalami luka pada jaringan lunak, 20% mengalami luka baret).[4][5][22][26]

Data yang diperoleh dari pria korban perkosaan pada ruang gawat darurat rumah sakit melaporkan bahwa pria yang mengalami kejahatan seksual lebih mungkin mengalami luka-luka di luar luka-luka pada organ kelamin dibandingkan pada wanita. Namun, juga disimpulkan bahwa pria yang mengalami kekerasan seksual sepertinya tidak mencari bantuan medis, kecuali jika mereka luka-luka fisik yang signifikan. Hodge and Canter (1998) melaporkan kasus-kasus yang dilaporkan dalam masyarakat bahwa pria gay yang menjadi korban kejahatan seksual lebih sering mengalami luka-luka serius dibandingkan pria heteroseksual yang menjadi korban. Juga terdapat bukti pada literatur mengenai transimisi penyakit menular seksual sebagai akibat pemerkosaan pada pria. Namun, kejadian tersebut tidak sering terjadi dan melibatkan hanya sebagian kecil pria yang mengalami kejahatan seksual.[5]

Efek psikologis

[sunting | sunting sumber]

Melaporkan terjadinya pemerkosaan atau serangan seksual adalah sulit bagi wanita maupun pria. Mitos mengenai anak-anak pria yang mengalami pelecehan seksual akan menjadi pelaku dikemudian hari sangatlah berbahaya karena dapat menciptakan stigma mengerikan pada si anak, bahwa ia ditakdirkan akan menjadi seorang pelaku. Mereka kemungkinan bisa diperlakukan sebagai orang yang berpotensi menjadi pelaku pelecehan seksual dibandingkan sebagai korban yang membutuhkan pertolongan.[16] Elizabeth Donovan, seorang psikoterapis, menegaskan bahwa pria memiliki beban tambahan dalam menghadapi masyarakat yang sama sekali tidak percaya bahwa pemerkosaan dapat terjadi pada pria.[17]

Semenjak banyak penelitian menemukan bahwa masyarakat cenderung menyalahkan korban perkosaan yang menyebabkan terjadinya perkosaan, sebuah penelitian yang disebut Perbedaan Jenis Kelamin dalam Hal Menyalahkan Pria Korban Pemerkosaan pada Journal of Interpersonal Violence memfokuskan pada siapakah yang disalahkan pada kasus-kasus pemerkosaan. Pada kasus-kasus pemerkosaan dengan wanita sebagai korban, proporsi responden pria yang menyalahkan korban lebih tinggi dibandingkan responden wanita. Untuk menampilkan apakah responden pria atau wanita yang lebih cenderung menyalahkan korban pemerkosaan, penelitian ini menggunakan sebuah kisah mengenai seorang pria yang diperkosa untuk mengetahui apakah kesalahan dilimpahkan pada korban atau pelaku. Setelah menyelesaikan eksperimen, para peneliti menemukan bahwa secara statistik responden pria lebih signifikan menyalahkan korban, bahkan jika korban pemerkosaannya adalah pria.[27] Penelitian ini mengimplikasikan bahwa bahkan pada kasus pria yang menjadi korban pelecehan seksual, mayoritas populasi yang tidak memiliki hubungan menganggap pria korban bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan.

Efek jangka panjang

[sunting | sunting sumber]

Pria yang mengalami kekerasan seksual memiliki risiko mengalami masalah kesehatan mental yang lebih besar dibandingkan yang tidak pernah mengalami, termasuk:[28]

  1. Gejala gangguang stres paska-trauma dan depresi.
  2. Penyalahgunakan penggunaan alkohol dan obat.
  3. Keinginan dan upaya bunuh diri.
  4. Masalah dalam hubungan yang intim.
  5. Prestasi kurang di sekolah dan tempat kerja.

Dibawah ini adalah daftar permasalahan yang biasanya dihadapi pria yang menjadi subyek kekerasan seksual dan berhubungan dengan ekspetasi jenis kelamin mengenai apa yang seorang pria 'harus lakukan atau menjadi'. Anak-anak yang mengalami pelecehan atau kejahatan seksual dapat mengalami:[29]

  1. Tekanan untuk membuktikan kepriaannya secara fisik (menjadi lebih besar, lebih kuat dan lebih tega, melakukan kebiasaan yang berbahaya atau kasar) dan seksual (memiliki sejumlah pasangan seksual wanita, selalu tampil 'siap untuk berhubungan' dan memiliki kontrol seksual).
  2. Bingung terhadap jenis kelamin dan identitas seksual.
  3. Merasa tidak memadai sebagai seorang pria.
  4. Merasa kehilangan kekuatan, kontrol, dan kepercayaan diri dalam hubungannya dengan kepriaan.
  5. Masalah terhadap kedekatan dan keintiman.
  6. Masalah seksual.[note 5]
  7. Takut bahwa pelecehan seksual telah menyebabkan atau akan membuatnya menjadi 'homoseksual' atau 'gay'.
  8. Homofobia –takut atau tidak toleran terhadap segala bentuk homoseksualitas.

Kemungkinan bunuh diri

[sunting | sunting sumber]

Korban pemerkosaan 4,1 kali lebih mungkin daripada korban-korban non-kriminal untuk berpikir mengenai bunuh diri dan 13 kali lebih mungkin untuk melakukan usaha bunuh diri.[30] Tingkat bunuh diri di antara pria yang menjadi korban adalah 15 hingga 14 kali lebih tinggi dibandingkan pria bukan korban.[31] Penelitian oleh McDonald dan Tijerino[26] menemukan bahwa beberapa partisipan mengungkapkan bahwa mereka merasa sangat buruk sehingga melakukan kebiasaan-kebiasaan yang menyakiti diri mereka sendiri, termasuk usaha bunuh diri, dan/atau berpikir untuk bunuh diri.

Pria memiliki tingkat keberhasilan bunuh diri jauh lebih tinggi daripada wanita.[32] Satu penjelasan yang umum digunakan terletak pada konstruksi sosial maskulinitas memimpin dan femininitas. Pada sebuah studi literatur mengenai jenis kelamin dan bunuh diri, tingkat bunuh diri pada pria dihubungkan dengan peran masing-masing gender secara tradisional. Jenis kelamin pria cenderung dititikberatkan dengan level kekuatan yang lebih besar, independen, dan melakukan kebiasaan berisiko.[33] Keteguhan pada peran berdasarkan jenis kelamin ini membuat pria enggan untuk mencari bantuan saat merasa ingin bunuh diri dan depresi.[34]

Terapi penyembuhan

[sunting | sunting sumber]

Para ahli berkata bahwa korban kejahatan seksual manapun membutuhkan penyembuhan emosional dan psikologikal yang ekstensif setelah terjadinya insinden, tetapi pria korban lebih memiliki masa-masa sulit untuk bisa mengutarakan apa yang telah terjadi. "Pria memiliki tambahan beban dalam menghadapi masyarakat yang tidak percaya bahwa pemerkosaan bisa terjadi pada mereka ... sama sekali," kata Elizabeth Donovan, seorang psikoterapis.[17]

Prevalensi

[sunting | sunting sumber]

Amerika Serikat

[sunting | sunting sumber]

Menurut penelitian tahun 2010 oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, hampir 1 dari 5 wanita dan 1 dari 71 pria di Amerika Serikat pernah diperkosa. Jumlah yang sebenarnya sepertinya lebih tinggi, sebab kejadian kekerasan seksual sangat banyak yang tidak dilaporkan di Amerika Serikat, terutama jika korbannya pria.[17]

Jika data kekerasan seksual di penjara diikutsertakan, di Amerika Serikat lebih banyak pria yang diperkosa dibandingkan wanita. Departemen Keadilan menemukan pada tahun 2008 sekitar 216.000 tawanan mengalami kekerasan seksual saat menjalani hukuman. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa terdapat 4,5% tawanan berusia 16 dan 17 tahun dimasukkan penjara dewasa dan 4,7% dari mereka melaporkan bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan seksual.[35]

Konselor penyembuhan trauma, Stephanie Baird menyebutkan mengenai "guru atau pengasuh-complex" yang menjadi motif populer di Amerika modern. Oleh karena kultur ini, akan lebih sulit bagi pria bahkan untuk mengenali bahwa suatu perlakuan yang dialaminya termasuk melecehkan atau tanpa kesadaran. Ia menambahkan bahwa kesadaran (kedewasaan) memiliki arti "matang berdasarkan usia, pikiran, tubuh sehat untuk membuat keputusan mengenai apakah ia bersedia untuk menjalin keintiman seksual dengan orang lain." Baird menegaskan bahwa anak-anak masih tidak memiliki kesadaran.[17]

Sekitar 78.000 orang di Inggris adalah korban pemerkosaan atau korban usaha pemerkosaan setiap tahunnya, dan sekitar 9.000 orang diperkirakan adalah pria, demikian menurut statistika pemerintah Inggris baru-baru ini (2014). Namun kejahatan seksual memiliki tingkat pelaporan yang rendah, dan penelitian menduga bahwa hal tersebut terutama terjadi bila korbannya pria. Tahun 2011-2012, hanya 1.250 kejadian pemerkosaan pria yang dilaporkan ke polisi. Pada Februari 2014, menteri keadilan memberikan dana sebesar £500,000 eksklusif untuk menyediakan konseling dan mendukung pria yang terkena dampak kekerasan seksual.[36]

Tahun 1978 di Inggris, Joyce McKinney dihukum penjara selama 12 bulan karena memaksa seorang pria yang dirantai untuk berhubungan seksual dengannya. Tuntutan terhadap kasus pemerkosaan pria oleh pria pertama kali sukses dilakukan di Inggris baru setelah tahun 1995.

Menurut penelitian gabungan Universitas Hong Kong dan UBS Optimus Foundation, persentase anak-anak pria yang menderita kejahatan seksual adalah 2,7% lebih tinggi daripada anak-anak wanita. Sebuah penelitian dari hasil pengamatan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit provinsi Guangdong pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 2 hingga 3 persen anak-anak pria telah diperkosa, sementara persentase untuk anak-anak wanita adalah 1%. Kejahatan seksual terhadap anak-anak pria membuat penduduk China menyadari bahwa kejahatan seperti itu tidak dapat ditoleransi dan harus dihukum berat oleh hukum.[37]

Tahun 2012, Taiwan menghitung 12.066 korban yang melaporkan tindak kekerasan seksual, termasuk di antaranya 1.335 orang pria. Menteri Dalam Negeri menunjukkan bahwa 7.608 orang belum dewasa menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual, di antaranya adalah 1.063 anak pria. Menteri Pendidikan Taiwan telah meluncurkan sebuah video yang dibuat untuk mencegah tindak kekerasan seksual pada pria oleh pria agar tidak semakin meluas. Para netizens (pengguna internet) di Taiwan menganggap film pendek tersebut sebagai lelucon.[38] Menurut Sekretaris-Jenderal Akademi Nasional tentang Penelitian Pendidikan, Kuo Kung-pin, video tersebut telah mencapai tujuan pembuatannya -yaitu menjadi topik pembicaraan di antara para remaja. Video tersebut akan menajdi pengingat bahwa pria bisa diperkosa juga.[39]

Di India, pemerkosaan terhadap pria terjadi terlalu sering untuk dapat digolongkan sebagai kejadian tidak normal atau aneh.[40] Pandangan tersebut dibantah oleh beberapa aktivis feminis India seperti Flavia Agnes yang menegaskan, "Aku melawan proposal untuk membuat hukum mengenai pemerkosaan menjadi netral terhadap jenis kelamin. Kami telah melawannya saat pemerintah membuat hukum pemerkosaan anak-anak menjadi netral terhadap jenis kelamin. Setelah gelombang feminisme pada tahun 1980an, banyak negara Barat membuat hukum pemerkosaan mereka menjadi netral terhadap gender. Tetapi, mereka telah menyadari bahwa hukum tersebut lebih melukai wanita daripada pria. Terdapat suatu bentuk fisik dalam mendefinisikan pemerkosaan, yaitu penggunaan kekuatan dan korbannya menerima stigma yang dilekatkan padanya. Jika dibuat netral terhadap gender, hukum pemerkosaan tidak akan memiliki fungsi pencegahan dan akan membuat para hakim di pengadilan semakin kesulitan. Seorang pengacara Delhi bernama Vrinda Grover berkata bahwa tidak mungkin bagi wanita untuk memperkosa pria, dan pria pun tidak sepertinya akan mengalami kekerasan seksual serius sebagaimana wanita, jika melihat kebrutalan dan intensitas kekerasan seksual terhadap wanita.[41]

Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Pemberitaan mengenai pemerkosaan terhadap pria di Indonesia masih menyiratkan rasa keheranan dan/atau lelucon.[note 6] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setiap tahunnya ada sekitar 400 anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh keluarga maupun orang dewasa lainnya. Menurut Sekretaris Jenderal KPAI, Erlinda, "mayoritas anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut dari kaum pria, karena anak laki-laki rentan menjadi korban pelaku pelecehan seksual karena mudah terbujuk oleh si pelaku yang merupakan paedopolia".[42]

Kasus-kasus pemerkosaan terhadap pria yang biasanya muncul di media biasanya dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak atau remaja pria. Pada tahun 1996, seorang gelandangan yang dijuluki Robot Gedek telah menyodomi dan membunuh delapan anak pria berusia 11-15 tahun.[43] Tahun 2010, Baekuni (dikenal sebagai Babeh) dihukum mati karena telah menyodomi 14 anak pria berusia dibawah 12 tahun dan memutilasi empat di antaranya.[44] Emayartini (2013) menjadi wanita Indonesia pertama yang dipenjara karena telah mencabuli enam remaja pria.[45] Ia hampir lolos dari hukum karena dianggap memiliki gangguan kejiwaan.[46] Tidak seperti pria pemerkosa, ia dipidana Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hukum internasional

[sunting | sunting sumber]

Amerika Serikat

[sunting | sunting sumber]

Tahun 2012, Uniform Crime Report FBI membuat langkah besar untuk mendefinisikan ulang pemerkosaan sebagai: "Penetrasi, tidak peduli seberapa sedikitnya, terhadap vagina atau anus dengan bagian tubuh manapun atau benda, atau penetrasi oral menggunakan organ kelamin orang lain, tanpa persetujuan korban." Definis sebelumnya -"pengetahuan jasmani seorang wanita, dengan paksaan dan di luar keinginannya"- tidak pernah diubah semenjak tahun 1927, dan kelompok yang peduli terhadap kasus kekerasan seksual berkata definisi tersebut telah mengucilkan korban yang tidak masuk ke dalam definisi.[17] Definisi yang lama hanya berfokus di penetrasi pada vagina, tetapi definisi yang baru mencakup penetrasi anal dan oral. Definisi lama tidak melingkupi pemaksaan penetrasi oral atau anal, pemerkosaan wanita dengan benda lain atau pemerkosaan pada pria.[47]

Definisi yang baru ini membuat pria korban perkosaan lebih berani untuk mencari bantuan yang mereka butuhkan, termasuk pelecehan seksual yang dulunya tidak tercangkup oleh definisi pemerkosaan. Dasar penggantian definisi tersebut berada pada statistik yang dibuat institusi-institusi pemerintahan seperti Departemen Keadilan Amerika Serikat dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Penelitian yang dilakukan CDC menemukan bahwa 1 dari 71 pria pernah atau hampir diperkosa (dengan memasukkan penetrasi oral dan anal dalam definisinya), tetapi tidak termasuk pria yang dipenjara.[3] Hukum yang netral terhadap gender telah memerangi persepsi bahwa pemerkosaan jarang terjadi pada pria,[48] dan hukum-hukum yang lain telah menghilangkan semua istilah "pemerkosaan".[note 7]

Pemerkosaan terhadap pria tidak tergolong dalam tindakan kriminal dalam Perundang-undangan Inggris; pelaku dicatat melakukan persetubuhan yang tidak diinginkan antar dua pria. Henry Leak, ketua organisasi Survivors, menunjukkan perbedaan hukumannya -terpidana pemerkosaan dapat dipenjara seumur hidup, sementara persetubuhan antar dua pria hanya memiliki hukuman maksimum 10 tahun.[22]

Hukum Kriminal China yang sekarang menyebutkan pemerkosaan sebagai hubungan seksual dengan wanita tanpa persetujuan. Hukum tersebut hanya mengakui dan melindungi hak otonomi seksual wanita, tetapi tidak termasuk pada pria.[37] Tahun 2011, seorang satpam di Beijing menjadi terpidana pertama China yang melakukan pelecehan seksual terhadap pria. Ia didakwa melakukan kekerasan yang disengaja dan dihukum penjara satu tahun serta membayar 20,000 yuan sebagai kompensasi, bukan didakwa telah melakukan pemerkosaan. Seorang pengacara berkata bahwa dakwaan pemerkosaan akan membuat pelakunya dihukum setidaknya selama tiga tahun dipenjara[49][50]

Peraturan perlindungan anak baru-baru ini meningkatkan hukuman untuk kejahatan seksual terhadap anak gadis dibawah umur di China, tetapi tidak memberikan perlindungan yang sama kepada anak pria. Sekarang, penganiayaan pada kedua jenis kelamin diperlakukan sama, tetapi tidak ada hukuman untuk "pemerkosaan" agar dapat melingkupi kejahatan seksual yang lebih serius pada anak pria, sebagaimana pada anak wanita. Pelaku kejahatan seksual pada anak pria hanya dapat didakwa dengan pidana pelecehan seksual terhadap anak yang hukumannya maksimal hanya lima tahun. Pada September 2013, 27 NGO bersama-sama memberikan anjuran hukum pada Kongres Komite Tetap Guangzhou Municipal People, agar hukum memberikan perlindungan yang sama pada anak pria berusia dibawah 18 tahun dalam kasus kekerasan seksual.[37]

Pasal 377 Undang-undang Pidana India merupakan satu-satunya ayat yang mengkriminalkan segala bentuk kekerasan dalam hubungan badan.[51] Pemerkosaan pria oleh pria juga tergolong dalam bagian ini. Bagian ini menyebutkan hukuman bagi siapapun yang dengan rela berhubungan badan secara tidak alami dengan pria, wanita, atau binatang manapun.[40] Bagian ini juga meliputi tindakan sodomi secara sukarela maupun dipaksa dengan hukuman minimal 10 tahun penjara hingga seumur hidup. Delhi HC yang memimpin pengadilan antara Naz Foundation melawan Pemerintah NCT dan Ors menyatakan bahwa ketentuan pasal 377 akan tetap mengatur hubungan seksual yang tidak melibatkan alat kelamin wanita. Bagian ini dapat digunakan untuk menghukum pelaku sodomi, pedofil, dan zoofil.[51]

Pasal 355 Undang-undang Pidana India tidak menyebutkan pria sebagai korban pemerkosaan. Tahun 2012, pemerintah India bermaksud untuk memperluas definisi pemerkosaan sebagai kejahatan seksual terhadap wanita yang ditengarai adanya penetrasi yang dipaksakan. Definisi pemerkosaan diperluas dan mencangkup pria sebagai korban kejahatan seksual. Namun, hal tersebut dikritik akan lebih melukai kepentingan pemerkosaan.[51][52]

Dalam Peraturan Hukum Kriminal (Amendemen) tahun 2013, kejahatan pemerkosaan dan kekerasan seksual diubah menjadi netral terhadap gender. Isitlah "pemerkosaan" dihilangkan seluruhnya dan diganti oleh "kekerasan seksual". Namun, kelompok-kelompok wanita mengajukan keberatan sehingga pemerintah memutuskan untuk mengembalikan istilah pemerkosaan dalam undang-undang kriminal yang menegaskan bahwa hanya pria yang bisa didakwa telah melakukan kekerasan pada wanita. Juga diputuskan untuk menurunkan usia kedewasaan seksual dari 18 tahun menjadi 16 tahun. Wanita tidak lagi bisa memperkosa atau melakukan kekerasan seksual pada pria.[40][53]

Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pria tidak bisa menjadi korban pemerkosaan, karena jika pria secara fisik bisa melakukan hubungan seksual, hal itu menandakan bahwa tubuhnya dapat merasakan rangsangan yang direspon oleh kelaminnya.[54] Pada Pasal 285, pemerkosaan didefinisikan sebagai kekerasan seksual terhadap wanita dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Sementara itu, pasal 289 tidak menetapkan korban perbuatan cabul sebagai pria atau wanita, sementara hukumannya maksimal 9 tahun penjara.[55] Komentar R. Soesilo mengenai Pasal 285 KUHP, menyatakan bahwa pembuat aturan tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh. Hal ini bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu.[56]

Singapura

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Undang-undang Pidana Singapura, pemerkosaan terhadap pria tidak dikenali. Pengertian "pemerkosaan" dimasukkan dalam Pasal S375(1) sebagai: saat seorang pria menyetubuhi vagina wanita dengan penisnya tanpa persetujuan si wanita. Penetrasi dengan anggota tubuh yang lain tidak didefinisikan sebagai pemerkosaan, tetapi sebagai penetrasi seksual yang melanggar hukum (Undang-undang Pidana pasal S376(1)). Baik pemerkosaan maupun tindakan seksual yang melanggar hukum memiliki hukuman yang sama, yaitu penjara hingga 20 tahun ditambah denda (Undang-undang Pidana pasal S375(2) dan S376(4)).[57]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Human Rights Watch No Escape: Male Rape In U.S. Prisons. Part VII. Anomaly or Epidemic: The Incidence of Prisoner-on-Prisoner Rape.; mengestimasikan sekitar 100.000-140.000 kasus pemerkosaan kasar terhadap pria oleh pria lain terjadi dalam penjara Amerika Serikat setiap tahunnya; bandingkan dengan FBI statistics yang mengestimasikan 90.000 kasus pemerkosaan kasar pria terhadap wanita terjadi setiap tahunnya.
  2. ^ Robert W. Dumond, "Ignominious Victims: Effective Treatment of Male Sexual Assault in Prison," August 15, 1995, p. 2; menyebutkan bahwa "bukti menunjukkan hal tersebut [kejahatan seksual pria terhadap pria dalam penjara] mungkin adalah masalah yang mengejutkan"). Dikutip dalam Mariner, Joanne; (Organization), Human Rights Watch (2001-04-17). No escape: male rape in U.S. prisons. Human Rights Watch. hlm. 370. ISBN 978-1-56432-258-6. Diakses tanggal 7 June 2010. 
  3. ^ Struckman-Johnson, Cindy; Struckman-Johnson, David (2006). "A Comparison of Sexual Coercion Experiences Reported by Men and Women in Prison". Journal of Interpersonal Violence. 21 (12): 1591–1615. doi:10.1177/0886260506294240. ISSN 0886-2605. PMID 17065656. ; melaporkan bahwa "Lebih besar persentase pria (70%) dibandingkan wanita (29%) yang melaporkan bahwa insiden yang mereka alami berlanjut pada hubungan seksual secara oral, vaginal, atau anal. Lebih banyak pria (54%) daripada wanita (28%) yang melaporkan suatu insiden yang dapat diklasifikasikan sebagai pemerkosaan."
  4. ^ Flavia Agnes, seorang pengacara di Mumbai, menyatakan: "Konsekuensi pemerkosaan terhadap wanita sangatlah luas. Ia harus menghadapi stigma sosial, mindset sosial. Saat menetapkan pernikahan, tidak ada seorangpun yang akan bertanya apakah ia masih perjaka." (The Times of India. Jul 20, 2012. Activists oppose making rape gender-neutral.)
  5. ^ William H. Masters (1986) menemukan bahwa pria yang pernah diperkosa oleh wanita menghadapi disfungsi dan gangguan seksual serta tidak mampu merespon secara fisik pasangan wanitanya, bahkan hingga dua tahun setelah diserang. Mereka kehilangan "martabat dan rasa kepercayaan diri terhadap maskulinitas mereka." ("Sexual dysfunction as an aftermath of sexual assault of men by women", Journal of Sex & Marital Therapy 12, no. 1: 35-45. Dikutip dari Jai Vipra. July 2013. CCS working Paper #286, A Case for Gender-Neutral Rape Laws in India.
  6. ^ Bandingkan dengan judul berita berikut: "Pria Ini Tak Berdaya Diperkosa Lima Wanita"[1], "Waduh! Perkosa Seorang Pria, Wanita 39 Tahun Diadili"[2], "Wah..Wanita Cantik Ini Telah Memperkosa 10 Pria"[3], dan "Gila Pengusaha Diperkosa Lima Wanita Sampai Tewas"[4].
  7. ^ Misalnya Michigan Statutes untuk penjahat level pertama, bagian 520b, "(1) Seseorang dianggap bersalah melakukan tindakan kriminal seksual pada level pertama jika ia (pria atau wanita) melakukan penetrasi seksual terhadap orang lain."

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Coxell A, King M, Mezey G, Gordon D (1999). "Lifetime Prevalence, characteristics, and associated problems of non-consensual sex in men". BMJ. 318 (7187): 846–50. PMC 27803alt=Dapat diakses gratis. PMID 10092264. 
  2. ^ https://www.nytimes.com/2012/01/24/health/as-victims-men-struggle-for-rape-awareness.html
  3. ^ a b c Rabin, Roni Caryn (23 January 2012). "Men Struggle for Rape Awareness". The New York Times. Diakses tanggal 30 November 2013. 
  4. ^ a b c Deborah Condon. April 4th 2014. Irish Health. Male rape 'still a taboo subject' Diarsipkan 2018-03-08 di Wayback Machine.. Komentar Dr Maeve Eogan dan Deirdra Richardson dalam Modern Medicine, the Irish Journal of Clinical Medicine.
  5. ^ a b c d Richard Tewksbury. Departement of Justice Administration, University of Louisville. Effects on Sexual Assaults on Men: Physical, Mental and Sexual Consequences. International Journal of Men's Health, Vol 6, No 1, Spring 2007.
  6. ^ Priya M Menon. February 16, 2013. The Times of India, Lacking support, male rape victims stay silent.
  7. ^ "Male rape victims left to suffer in silence". abc.net.au. February 9, 2001. Diakses tanggal 2007-05-30. 
  8. ^ Storr, Will (17 July 2011). "The rape of men : Society : The Observer". The Observer. London: Guardian.co.uk. Diakses tanggal 17 July 2011. Kejahatan seksual adalah salah satu dari senjata peperangan yang paling mengerikan, sebuah alat teror yang digunakan terhadap wanita. Tetapi sejumlah besar pria juga menjadi korban. 
  9. ^ Amnesty International. 2012. 'I Wanted to Die': Syria's torture survivors speak out Diarsipkan 2013-03-10 di Wayback Machine.. London: Amnesty International Publications.
  10. ^ Barbara Krahé (2003). "Men's Reports of Nonconsensual Sexual Interactions with Women: Prevalence and Impact". Archives of Sexual Behavior. 32 (5): 165. doi:10.1023/A:1022456626538. 
  11. ^ Myriam S. Denov (2004). Perspectives on female sex offending: a culture of denial. Ashgate Publishing, Ltd. ISBN 978-0-7546-3565-9. Diakses tanggal 1 October 2011. 
  12. ^ [5][pranala nonaktif]
  13. ^ "Against his will: The reality of male rape". CNN.com. 2013-10-10. Diakses tanggal 2014-01-11. 
  14. ^ a b "When Women Sexually Abuse Men: The Hidden Side of Rape, Stalking, Harassment ... - Philip W. Cook, Tammy J. Hodo - Google Books". Books.google.com. Diakses tanggal 2014-01-11. 
  15. ^ Hidden Hurt. 2011. Male Victims of Domestic Violence.
  16. ^ a b c d e f g Male Survivor.Male Sexual Victimization Myths & Facts Diarsipkan 2016-03-23 di Wayback Machine..
  17. ^ a b c d e f g Sarah LeTrent. October 10, 2013. CNN, Against his will: Female-on-male rape.
  18. ^ Philip M. Sarrel (1982). "Sexual molestation of men by women". Archives of Sexual Behavior. 11 (2): 82–88. doi:10.1007/BF01541979. PMID 7125884. 
  19. ^ "Male Rape". The National Center for Victims of Crime. 1997. Diakses tanggal 2006-03-12. 
  20. ^ Frazier, Patricia A. 1993. A comparative study of male and female rape victims seen at a hospital -based rape crisis program. Journal of Interpersonal Violence 8, no. 1: 64-76. Cited from Jai Vipra. July 2013. CCS working Paper #286, A Case for Gender-Neutral Rape Laws in India.
  21. ^ Carpenter, Simon. 2009. The Psychological Effects of Male Rape. Counselling Directory. Cited from Jai Vipra. July 2013. CCS working Paper #286, A Case for Gender-Neutral Rape Laws in India.
  22. ^ a b c Kathy Marks. 15 October 1992. The Independent, Man abducted from train and raped.
  23. ^ Christine Salek. April 8, 2013. 19-Year-Old Toronto Man Sexually Assaulted By 4 Women, Police Say.
  24. ^ Male Survivor. Survivors Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine..
  25. ^ National Institute of Justice. 2006. Extent, Nature, and Consequences of Rape Victimization: Findings From the National Violence Against Women Survey.
  26. ^ a b S. McDonald and A. Tijerino (Research and Statistics Division-Department of Justice Canada. 2013. MALE SURVIVORS OF SEXUAL ABUSE AND ASSAULT: THEIR EXPERIENCES.
  27. ^ Whatley, Mark A. and Ronald E. Riggio. (1993). Gender Differences in Attributions of Blame for Male Rape Victims. Journal of Interpersonal Violence, 8(4), 502-511. doi:10.1177/088626093008004005)
  28. ^ 1in6.org. The 1 in 6 Statistic Diarsipkan 2017-03-24 di Wayback Machine..
  29. ^ Living Well. Dealing with the effects.
  30. ^ Health Consequences of Sexual Abuse. 9(7) The Harvard Mental Health Letter (Jan. 1993).
  31. ^ Holmes, W. C., M.D., MSCE, and G.B. Slap, M.S., Sexual Abuse of Boys. 280(1) Journal of the American Medical Association (1998): 1855-1862, mengutip berbagai penelitian.
  32. ^ Canetto, Silvia. "The Gender Paradox in Suicide". Suicide and Life Threatening Behavior. 28 (1): 5. doi:10.1111/j.1943-278X.1998.tb00622.x. 
  33. ^ Payne, Sarah; et al. "The social construction of gender and its influence on suicide: a review of the literature". Journal of Men's Health. 5 (1): 23–35. doi:10.1016/j.jomh.2007.11.002. 
  34. ^ Möller-Leimkühler, Anne Maria. "The gender gap in suicide and premature death or: why are men so vulnerable?". European Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience. 253 (1): 1–8. 
  35. ^ Daily Mail. 8 October 2013. More men are raped in the US than women, figures on prison assaults reveal.
  36. ^ Theo Merz. 24 February 2014. The Telegraph, Men and boys get raped too.
  37. ^ a b c Xie Caifeng, staf pengadilan distrik Shunyi, Beijing. 5 November 2013. Global Times, Reality of male rape needs legal recognition.
  38. ^ Lin Chih-cheng. 17 July 2013. Want China Times, Sex assault education video becomes pop culture in Taiwan Diarsipkan 2014-04-23 di Wayback Machine..
  39. ^ Brian Canave. July 31, 2013. The New Asian Media, TAIWAN: Yes, Young Man, You Could Be a Rape Victim, Too.
  40. ^ a b c Jai Vipra. July 2013. CCS working Paper #286, A Case for Gender-Neutral Rape Laws in India.
  41. ^ TNN. Jul 20, 2012. The Times of India, Activists oppose making rape gender-neutral.
  42. ^ Suara Pembaruan. 4 Mei 2014. KPAI: 400 Anak Per Tahun Jadi Korban Kekerasan Seksual Diarsipkan 2014-05-08 di Wayback Machine..
  43. ^ Museum Polri Online. Kasus Sodomi Robot Gedek Diarsipkan 2013-05-15 di Wayback Machine.. (Indonesia)
  44. ^ Republika Online. 23 December 2010. Ngga Nyesel Sodomi Bocah, Babe Dihukum Mati. (Indonesia)
  45. ^ Harian Rakyat Bengkulu. 4 December 2013. Tangis Bu RT di Pelukan Anak Diarsipkan 2014-04-16 di Wayback Machine.. (Indonesia)
  46. ^ JPNN.com. 4 Desember 2013. Dianggap Gila, Hakim Kasus Ibu RT Cabul Beda Pendapat Diarsipkan 2014-04-16 di Wayback Machine.. (Indonesia)
  47. ^ Savage, Charlie (2012-01-06). "U.S. to Expand Its Definition of Rape in Statistics". The New York Times. Diakses tanggal 2014-02-10. 
  48. ^ Rape – Overview; Act and Mental State, Wayne R. LaFave Professor of Law, University of Illinois, "Substantive Criminal Law" 752-756 (3d ed. 2000)
  49. ^ UPI. January 5, 2011. Male rape case may be China's first.
  50. ^ Rediff News. January 5, 2011. Man rapes man in China; escapes conviction.
  51. ^ Mahendra Kumar Singh & Vishwa Mohan. July 19, 2012. The Times of India, Government looks to make rape laws gender-neutral.
  52. ^ Nagendar Sharma. March 05, 2013. Hindustan Times, Only men can be booked for rape Diarsipkan 2014-04-09 di Wayback Machine..
  53. ^ Koesnadi. 1992. "Seksualitas dan Alat Kontrasepsi". Surabaya: Usaha Nasional. (Indonesia)
  54. ^ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Diarsipkan 2013-12-05 di Wayback Machine.. (Indonesia)
  55. ^ R. Soesilo. 1996. "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal". Bogor: Politea.
  56. ^ AWARE, Association of Women for Action and Research. Rape & Sexual Assault.