Peristiwa Memali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Memali
Bagian dari Sejarah Malaysia
Tanggal19 November 1985
LokasiMemali, Siong, Baling,
Kedah, Malaysia

5°48′57″N 100°53′40″E / 5.815754°N 100.894549°E / 5.815754; 100.894549Koordinat: 5°48′57″N 100°53′40″E / 5.815754°N 100.894549°E / 5.815754; 100.894549
Hasil

Kemenangan Pemerintah Malaysia

  • Ibrahim Mahmud tewas.
  • Penangkapan massal pengikut Ibrahim.
  • Hubungan Pekembar dan PAS memburuk hingga 2019.
Pihak terlibat

Pemerintah Malaysia

Partai Islam Se-Malaysia
Tokoh dan pemimpin
Mahathir Mohamad
Musa Hitam
Mohammed Hanif Omar
Ibrahim Mahmud 
Kekuatan
200 polisi 400 pengikut
Penduduk desa bersenjata dengan jumlah tidak diketahui
Korban
4 terbunuh 14 terbunuh
159 ditangkap[1]
Peristiwa Memali di Malaysia
Peristiwa Memali
Lokasi di Malaysia
Peristiwa Memali di Semenanjung Malaysia
Peristiwa Memali
Peristiwa Memali (Semenanjung Malaysia)

Peristiwa Memali atau Operasi Angkara dan Operasi Hapus adalah peristiwa besar yang terjadi di Memali, Siong, Baling, Kedah, pada 19 November 1985.

Tim yang terdiri dari 200 polisi mengepung rumah di Memali atas perintah Wakil Perdana Menteri Musa Hitam. Rumah-rumah tersebut ditempati oleh sekte Islam yang beranggotakan 400 orang yang dipimpin oleh Ibrahim Mahmud alias Ibrahim Libya. Pengepungan tersebut mengakibatkan kematian 14 warga desa dan 4 polisi.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Memali[sunting | sunting sumber]

Memali adalah kampung yang terletak di Siong, Baling, Kedah. Menurut Sensus Penduduk dan Perumahan Malaysia 1980, terdapat 31 kampung di Siong yang berpenduduk sebanyak 11.117 orang, terdiri dari 10.699 orang Melayu, 399 orang Tionghoa, 58 orang India, dan 11 orang berbangsa lain. Mata pencaharian utama penduduk setempat adalah menoreh getah, bertani, mencari kayu gaharu atau cendana, dan buruh. Terdapat sebuah sekolah menengah, empat sekolah dasar, dan tujuh masjid di Siong.[2]

Ibrahim Mahmud[sunting | sunting sumber]

Ibrahim Mahmud, dikenal juga dengan Ibrahim Libya, Man Libya, atau Ustaz Man, lahir pada 1 Juli 1942 di Charok Puteh, Siong, Baling, Kedah. Ia menuntut pendidikan dasarnya di Sekolah Melayu Weng, Siong, lalu menimba ilmu agamanya di Pondok Kampung Charok Puteh dan Pusat Pengajian Tinggi Islam, Nilam Puri, Kota Bharu, Kelantan. Ia kemudian menuntut ilmu ke luar negeri yaitu Maktab Jamiliah di Madras (kini Chennai), Tamil Nadu, India, kemudian disambung di Darul Ulum, Deoband, Saharanpur, Uttar Pradesh. Setelah itu, ia melanjutkan menuntut ilmu ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan Ma'had Da'wah, Tripoli, Libya. Ia kembali ke Malaysia pada tahun 1974 dan bekerja sebagai pendakwah yang dibiayai Pemerintah Libya dan ditempatkan di Bagian Agama Kantor Perdana Menteri. Ia meninggalkan pekerjaannya pada 16 Januari 1976 dan kembali ke kampung halamannya untuk mengajar di Madrasah Ittifaqiah Islamiah.[3]

Selain mengajar, Ibrahim juga terjun dalam dunia politik lewat Partai Islam Se-Malaysia (PAS). Menjelang pemilihan umum pada 1978, kegiatan politiknya menyebabkan ia tidak lagi mengajar. Di PAS, ia pernah menjabat sebagai Ketua Pemuda PAS Baling, Anggota Komite PAS Baling, Anggota Komite Dewan Pemuda PAS Kedah, dan Komite Penerangan PAS Kedah. Ia sempat bertanding di daerah pemilihan Dewan Undangan Negeri Kedah Bayu pada 1978 dan 1982, tetapi tidak pernah sekalipun menang.[4]

Setelah kalah dalam pemilihan umum tahun 1978, Ibrahim mendirikan Madrasah Islahiah Diniah di Memali. Madrasah itu memiliki dua lantai yang terdiri dari lantai bawah yang diperuntukkan bagi Sekolah Arab dan Taman Asuhan Kanak-kanak Islam dan lantai atas yang diperuntukkan bagi surau dan tempat pengajian orang dewasa. Markas PAS Cabang Memali juga terletak di lantai atas. Ibrahim Mahmud bersama pemimpin PAS lainnya sering diundang untuk memberikan ceramah-ceramah politik di madrasah tersebut. Keterlibatan Ibrahim dalam kegiatan PAS di Memali menyebabkan tindakan takfiri dan penafsiran konsep "jihad" dan "syahid" menurut pemahaman kelompoknya menjadi semakin marak.[4] Tangan kanan Ibrahim, Muhamad Yusof bin Husin, dalam pemaparannya terhadap kepolisian, menyatakan bahwa keterlibatan Ibrahim menyebabkan anggota-anggota PAS menganggap kafir anggota-anggota Organisasi Nasional Melayu Bersatu (Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu, Pekembar) dan anggota kepolisian. Semangat menentang pemerintah dan kepolisian semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu ketika Ibrahim mendapat pujian dari pemimpin-pemimpin PAS.[5][6] Dalam sebuah ceramah pada bulan September 1985, tangan kanan Ibrahim lainnya, Ahmad Hassan memberikan peringatan kepada siapa saja yang tidak menyertai ceramah ini akan dijauhi masyarakat ketika kenduri, menderita penyakit, dan kematian. Walaupun masyarakat Memali sendiri kurang senang dengan peringatan itu, Ibrahim tetap mendukung sikap dan pendirian Ahmad. Sekretaris PAS Cabang Charok Puteh Sulaiman bin Mahmod menyebut perangai Ibrahim sewaktu menjadi guru sangat garang. Banyak anggota PAS dan orang-orang lain tidak terlalu menyetujui sikap Ibrahim, tetapi terpaksa menuruti perintah Ibrahim karena takut diasingkan.[7]

Pada saat itu, tokoh-tokoh PAS lantang menanamkan apa yang mereka sebut sebagai jihad dan syahid di kalangan anggota dan pendukung partai mereka. Seruan para tokoh PAS terkandung dalam Amanat Hadi Awang yang disampaikan di Banggol, Peradong, Kuala Terengganu, Terengganu pada 7 April 1981, yaitu:[8]

Peristiwa[sunting | sunting sumber]

Mohamad Sabu (kini anggota Partai Amanah Negara) ditangkap pada 10 Juli 1984 karena sejumlah tindakannya yang meniru Ibrahim.

Karena pengaruh Ibrahim yang kuat sehingga diikuti beberapa tokoh PAS, kepolisian mencoba membendung pengaruhnya lewat menangkap sejumlah tokoh berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri 1960 pada 10 Juli 1984, yaitu Anggota daerah pemilihan Dewan Undangan Negeri Terengganu Jeram Abu Bakar @ Zaid bin Chik, Sekretaris Dewan Pemuda PAS Pusat Mohamad Sabu, dan Anggota Komite Dewan Pemuda PAS Pusat Buniyamin bin Yaacob.[9]

Pada 2 September 1984, polisi yang sudah siap menahan Ibrahim berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri 1960 mengepung rumahnya di Memali, tetapi dihalangi oleh sekitar 100 pengikut Ibrahim yang keluar secara tiba-tiba dari setiap penjuru rumah dengan bersenjatakan bambu runcing dan meneriakkan takbir. Pada saat yang sama, Ibrahim yang berada di rumahnya enggan keluar ketika diminta polisi menyerahkan diri. Mempertimbangkan keamanan masyarakat dan mencegah kekacauan serta kemungkinan pertumpahan darah, kepolisian memutuskan menangguhkan penahanan Ibrahim bagi sementara waktu. Penangguhan penahanan itu justru disalahartikan dan dianggap sebagai kelemahan oleh Ibrahim dan para pengikutnya. Anggota kepolisian yang bertugas di sana sering kali dihina, direndahkan, dan ditantang oleh pengikut-pengikut Ibrahim. Ibrahim kemudian melarikan diri dan bersembunyi di Lanai, Baling dan Kerawi, Tupai, Sik selama kurang lebih satu setengah bulan.[9]

Dalam persembunyiannya, pengikut-pengikutnya berusaha untuk membawanya kembali ke Memali dan untuk memastikan Ibrahim tidak ditangkap, sebuah sistem pengawalan di rumahnya telah dirancang.[9] Selain daripada itu, Mohd. Wazi bin Che Ngah, Yusof dan seorang lagi yang sudah diidentifikasi kepolisian merancang untuk membawa keluar seorang anggota PAS yang ditahan di Tempat Tahanan Perlindungan Kamunting, Taiping, Perak dan juga membawa dua anggota PAS yang ditahan berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri 1960 ke rumah Ibrahim. Setelah dibawa ke rumah Ibrahim, sebuah acara ceramah akan diadakan di rumah Ibrahim dengan tujuan menjebak polisi supaya mengambil tindakan kepada mereka. Mereka yakin dengan adanya tindakan dari polisi itu, maka satu pertempuran dapat diletuskan di antara kepolisian dengan anggota-anggota PAS. Agar tujuan mereka tercapai, Ibrahim dan pengikut-pengikutnya telah berusaha meminta dukungan dan bantuan dari pemimpin-pemimpin PAS tertentu supaya kekacauan diletuskan juga di tempat-tempat lain seandainya perlawanan terhadap kepolisian terjadi di Memali. Wazi, Yusof, dan seorang lagi yang sudah diidentifikasi kepolisian ditugaskan pergi ke Perak, Negeri Sembilan, Melaka, Pahang, Terengganu, dan Kelantan untuk mendapatkan dukungan. Mereka berhasil mendapat dukungan dari beberapa tokoh PAS, termasuk jaminan mereka dan orang-orang mereka akan melakukan hal yang sama jika suatu kejadian terjadi di Baling.[10] Ketika Ibrahim kembali dari persembunyiannya, ia terus mengobarkan apa yang disebutnya sebagai jihad dan syahid.[11]

Pendukung-pendukung Ibrahim mulai mengatur pengawalan di sekeliling rumahnya, yang dikendalikan oleh suatu kumpulan beranggotakan 20 orang bersenjata yang mereka sebut Kumpulan Mujahidin atau Kumpulan Jihad. Kumpulan ini didirikan pada Maret 1985 dan diketuai oleh Yusof.[12] Walau begitu, kepolisian tetap berusaha menangkap Ibrahim, termasuk meminta Ibrahim menyerahkan diri. Pada 8 September 1984, kepolisian telah menghubungi kawan akrab Ibrahim di Pondok Lanai, Baling untuk memintanya membujuk Ibrahim menyerahkan diri, tetapi nasihatnya tidak digubris Ibrahim. Kepolisian telah meminta kerja sama dengan Ismail pada 23 September 1984, Mahmood bin Hanafi pada 2 Oktober 1984, seorang tokoh terpenting PAS Kedah pada 8 Juni 1985, tetapi semua upaya tersebut gagal. Upaya tersebut diulangi lagi pada 10 November 1985 lewat kenalan lama Ibrahim, tetapi ia dihalang-halangi memasuki rumah Ibrahim oleh oleh pengawal rumah itu.[13] Ayah Ibrahim, Mahmud bin Hanafi, juga telah menasihati anaknya untuk menyerahkan diri.[14]

Pada 20 Oktober 1985, Ibrahim menghadiri sebuah ceramah yang diselenggarakan PAS Cabang Memali dan diikuti sekitar 2 ribu orang di Madrasah Islahiah Diniah. Ketika berangkat menghadiri ceramah, Ibrahim diarak anggota pengawal bersenjata sambil meneriakkan takbir. Pada saat yang sama, kepolisian menahan sebuah van yang membawa dua senjata di Weng, Baling. Kepolisian merampas senjata itu, tetapi mengizinkan pengemudi membawa kendaraannya. Mobil patroli yang bergerak menuju Memali ditahan dan diadang sekitar 200 orang bersenjata tajam di dekat rumah Ibrahim. Mereka memaksa kepolisian menyerahkan dua senjata yang dirampas, disertai ancaman penyerangan terhadap kepolisian. Semasa itu, 10 polisi yang mengawal lalu lintas ditawan oleh sekitar 20 orang bersenjata tajam. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, kepolisian berkomunikasi dengan mereka dan menyerahkan semua senjata kepada mereka. Selepas kejadian itu, pengawalan rumah Ibrahim semakin diperketat.[15]

Kumpulan Mujahidin bukan hanya menantang dan menghalangi kepolisian menjalankan tugas mereka, tetapi juga bercita-cita menggulingkan pemerintahan dengan kekerasan. Rencana penggulingan kekuasaan telah ada sejak awal April 1985. Dua pertemuan kelompok pengawal telah diadakan di rumah Ibrahim untuk membahas pendirian sebuah komite bernama Gerakan Revolusi Islam, beranggotakan delapan orang yang diketuai Ibrahim sendiri serta Yusof dan Ahmad menjadi wakilnya.[16] Pada bulan Juni 1985, Ibrahim telah mengadakan sebuah diskusi yang rumit di rumahnya bersama Wazi dan seseorang yang sudah diidentifikasi kepolisian. Dalam diskusi itu, Ibrahim meminta pendapat mengenai cara-cara untuk mempercepat pergantian kekuasaan. Ibrahim menyarankan pengadaan "kelompok terlatih" sebanyak 20 orang di setiap daerah untuk melakukan serangan serentak ke kantor polisi. Kelompok seperti itu juga diwujudkan dalam angkatan tentara untuk memudahkan penawanan pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata. Untuk menentukan keefektifan "kelompok terlatih", mantan tentara perlu direkrut untuk memberikan latihan. Wazi diminta melaksanakan saran itu, walau ia sendiri merasa tugas itu sangat sulit.[17] Pengikut Ibrahim melengkapi diri dengan senjata tajam, termasuk pedang karena dianggap sebagai simbol "jihad". Pedang dan parang dibeli dengan tunai maupun mengangsur di rumah Ibrahim. Senjata seperti katapel, bambu runcing, jamung, busur silang, anak panah, bom molotov, dan bom ikan dibuat sendiri di rumah Ibrahim dengan pengawasan pengikut-pengikut yang dipercayainya, manakala senapan didapatkan dari anggota-anggota Ikatan Relawan Rakyat Malaysia. Mereka juga memperkuat diri dengan penangkal dan jampi-jampi lewat lidi, pasir, korek api, dan batang sirih, serta meminum air keran yang telah dibacakan jampi-jampi.[18]

Pengikut-pengikut Ibrahim sempat mendengar kabar yang menyebutkan kepolisian akan menangkap Ibrahim pada 5 November 1985, ketika pada malam itu banyak pendukung menghadiri ceramah di Kuala Katil, Kedah. Mereka memperkirakan kepolisian akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menangkap Ibrahim. Sekitar 100 orang menjaga ceramah itu dengan ketat. Beberapa pertemuan telah diadakan untuk membahas tindakan yang perlu diambil seandainya kepolisian menangkap Ibrahim. Tindakan tersebut terdiri dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, jika serangan polisi dapat dipatahkan, maka direncanakan adanya serangan kepolisian menyentuh hingga Baling sehingga mengepung kantor polisi berikut polisi di sana, menangkap wakil rakyat dan orang-orang penting Pekembar sebagai tebusan dan ditempatkan di Balai Polisi Baling, menuntut perdana menteri menyerahkan kekuasaan kepada angkatan tentara dan semua tahanan PAS dibebaskan dari kamp tahanan, serta meneruskan serangan hingga Wisma Negeri di Alor Setar dan menawan menteri besar berikut anggota Exco Kedah lain serta mendirikan pemerintahan Islam. Kemungkinan kedua, jika serbuan polisi tidak dapat dipatahkan, maka direncanakan akan melarikan diri dan bersembunyi di Gunung Bayu, Baling untuk bertapa mencari kekuatan batin supaya serangan balas dapat diambil, latihan serangan balas akan diadakan seandainya banyak orang melarikan diri ke Gunung Bayu, sebagian orang yang melarikan diri diminta menghubungi orang-orang tertentu untuk menyusun strategi baru menjatuhkan pemerintahan, menyerang anggota Pekembar setempat berikut pemimpin-pemimpin Pekembar terutama anggota Komite Keamanan dan Kemajuan Kampung, serta menyerang balai polisi dan Unit Kawalan Kawasan Tanjung Puri atau Balai Polisi Baling untuk mendapatkan senjata-senjata bila memiliki kemampuan.[19]

Pada malam 18 November 1985, Yusof memanggil pengikut Ibrahim yang sedang mengawal untuk mengarahkan mereka mengikuti ketua masing-masing. Sekitar 200 pengikut Ibrahim yang mengawal di beberapa tempat seperti yang sudah diputuskan. Yusof sendiri menguasai sebuah unit kawalan yang terdiri dari 27 anggota bersenjatakan bom molotov, bom ikan, pedang, jamung, senjata tajam lain, dll. Pengawalan padal malam itu berlangsung hingga jam 07.00 keesokan harinya, dengan hanya 50 orang di antaranya yang berjaga-jaga. Setengah jam setelah itu, tiba-tiba banyak orang memberi tahu kedatangan polisi. Bersamaan dengan itu, beduk di Madrasah Islahiah Diniah dipukul dan lonceng di rumah Ibrahim dibunyikan. Kepolisian yang sudah melakukan penyelidikan kemudian melancarkan tindakan pada 08.30 untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dari kerumunan orang yang berkumpul dan biasanya mengawal rumah Ibrahim. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menangkap Ibrahim dan dua orang lain berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri, tiga orang telah dikeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mereka, serta 32 pengikutnya yang dicurigai terlibat dalam berbagai kejahatan yang sedang berlindung di rumah Ibrahim; saat itu sekitar 250 orang berlindung di rumah itu setelah mendengar bunyi-bunyian dari beduk dan lonceng. 576 polisi yang tergabung dalam tiga kelompok telah dilibatkan dalam tindakan ini. Kumpulan pertama beranggotakan 348 polisi ditugaskan mengepung dari luar sementara dua kumpulan terakhir beranggotakan 228 polisi bergerak dari arah Pekan Baling dan dari arah Kampung Tanjung Pari untuk menghampiri rumah Ibrahim. Pasukan pertama dihalangi oleh wanita dan anak-anak bersenjatakan bambu runcing dan pedang. Pada saat yang sama polisi-polisi yang bergerak dari arak Kampung Tanjung Pari turun dari kendaraan mereka sampai 100 meter dari rumah Ibrahim. Mereka bergerak ke rumah Ibrahim dengan gas air mata untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan ketika penangkapan. Ketika polisi bergerak kira-kira 50 meter dari rumah Ibrahim, mereka diserang oleh pengikut Ibrahim dengan katapel, pedang, parang, dan bambu runcing, yang dibalas dengan semprotan gas air mata dari polisi untuk mencegah serangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, sejumlah polisi ditembak dari sebelah kiri jalan hingga tewas. Polisi yang tewas di antaranya seorang inspektur dan sersan yang tewas saat itu juga serta seorang konstabel yang tewas tak lama kemudian.[20]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Mahathir Mohamad menyebut peristiwa ini sebagai akibat sikap berlebihan kelompok yang berkaitan dan memiliki kaitan politik.[21]

Tanggapan[sunting | sunting sumber]

Mahathir menyebut PAS tidak pernah berterima kasih atas pengorbanan pasukan pengamanan, menyebut PAS menganggap semua anggota yang menyerang kepolisian sebagai pahlawan.[22]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Looi Sue-Chern (5 April 2014). "Memali families still seek answers, want closure after 30 years". Malay Insider. Diakses tanggal 9 April 2016. 
  2. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 1−2.
  3. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 2.
  4. ^ a b Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 3.
  5. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 3−4.
  6. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 7.
  7. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 4.
  8. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 5.
  9. ^ a b c Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 8.
  10. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 9.
  11. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 9−10.
  12. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 10.
  13. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 10−11.
  14. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 11.
  15. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 12−13.
  16. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 13−14.
  17. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 14−15.
  18. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 15−17.
  19. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 17−18.
  20. ^ Pemerintah Malaysia 1986, hlm. 18−20.
  21. ^ Ibrahim 1985.
  22. ^ Latif 1990.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]