Perkebunan karet di Indonesia
Perkebunan karet di Indonesia telah mulai dibuka dan dikelola sejak awal abad ke-20 Masehi. Pengelola awal perkebunan karet di Indonesia adalah Pemerintah Hindia Belanda kemudian diteruskan oleh Pemerintah Indonesia. Pada awal abad ke-20 Masehi, perkebunan karet di Indonesia hanya dilakukan di wilayah Sumatra dan kemudian meluas ke Kalimantan. Sebagian besar pengelolaan perkebunan karet di Indonesia dilakukan oleh rakyat. Luas lahan perkebunan karet di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Namun dalam hal produksi, Indonesia menempati posisi kedua setelah Thailand. Melalui perkebunan karet, Indonesia telah menjadi salah satu pengekspor karet ke mancanegara.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masa Pemerintah Hindia Belanda
[sunting | sunting sumber]Perkebunan karet di wilayah Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1902. Daerah perkebunannya hanya meliputi wilayah Sumatra.[1] Pemerintah Hindia Belanda memusatkan penanaman karet di wilayah Keresidenan Sumatra Timur. Perluasan kawasan perkebunan karet kemudian mulai dilakukan di wilayah Kabupaten Aceh Timur yang berbatasan langsung dengan Keresidenan Sumatra Timur. Alasan pemilihannya adalah berdekatan dengan perkebunan karet yang telah ada dan wilayahnya sangat sedikit dimukimi oleh penduduk. Wilayah Kabupaten Aceh Timur juga dipilih karena kondisi keamanannya yang baik disertai keadaan ekonomi yang juga membaik sejak awal abad ke-20 Masehi.[2]
Pada tahun 1907, Pemerintah Hindia Belanda mengawali pembukaan perkebunan karet di Kota Langsa. Wilayah ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur dengan didirikannua perkebunan karet miliki swasta dari bangsa-bangsa yang berasal dari dunia Barat. Perkebunan karet seluas 210 ribu hektar berhasil dikelola di Aceh pada tahun 1914.[2]
Masa Pemerintah Indonesia
[sunting | sunting sumber]Indonesia mengalami peningkatan yang pesat dalam hal perkebunan karet. Karet dijadikan sebagai bahan baku dalam industri mobil. Perkembangannya pesat seiring dengan pesatnya industri mobil khususnya di Amerika Serikat.[1]
Lahan penanaman
[sunting | sunting sumber]Di dunia, lahan perkebunan karet di Indonesia merupakan yang terluas dibandingkan negara manapun.[3] Sebagian besar lahan perkebunan karet di Indonesia berada di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Pada tahun 2005, luas area perkebunan karet di Indonesia tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha.[4] Kemudian pada tahun 2018. luasnya bertambah menjadi 3,6 juta ha. Lalu pada tahun 2019 meningkat lagi sebesar 0,32% dari tahun 2018.[5]
Pengelolaan
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2005, sekitar 85% luas area perkebunan karet di Indonesia merupakan perkebunan karet milik rakyat. Hanya 7% saja yang dikelola oleh negara. Sementara sisanya sebesar 8% dikelola oleh perusahaan swasta.[4] Pengelolaan perkebunan karet oleh rakyat di Indonesia tetap mendominasi karena di dukun oleh Peraturan Menteri Pertanian Repoublik Indonesia Nomor 41/Permentan/OT.140/5/2007 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat Untuk Keringanan Investasi Pertanian. Isi peraturan ini adalah kebijakan untuk memberikan bantuan teknis bagi investor di industri perkebunan. Pemberian bantuan ini melalui Pusat Penelitian Karet yang terletak di Palembang. Selain itu, Kementerian Pertanian Republik Indonesia juga menyediakan Balai Penelitian yang terletak di Bogor, Salatiga dan Medan.[6] Pada tahun 2018, pengelolaan perkebunan karet oleh rakyat sebesar 84,9%.[5]
Produktivitas
[sunting | sunting sumber]Indonesia memiliki lahan perkebunan karet terluas di dunia, namun menjadi nomor kedua terbesar dalam hal produksi. Produktivitas perkebunan karet di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara Thailand yang menjadi negara produksi karet terbesar di dunia.[3] Pada tahun 2005, total produksi perkebunan karet di Indonesia mencapai 2,2 juta ton.[4] Produksi perkebunan karet di Indonesia meningkat menjadi 3,63 juta ton pada tahun 2018. Namun menurun lagi menjadi 3,54 juta ton pada tahun 2019.[5]
Manfaat bagi perekonomian
[sunting | sunting sumber]Perkebunan karet di Indonesia mencapai luas lahan sebesar 3,6 juta ha pada tahun 2018. Lahan ini telah memberikan pekerjaan bagi 2,5 juta kepala keluarga di Indonesia. Komoditas karet sebagai hasil dari perkebunan karet juga telah mendukung perekonomian Indonesia.[5] Hasil produksi perkebunan karet di Indonesia sekitar 80% diekspor ke mancanegara. Sementara selebihnya diperjualbelikan di dalam negeri.[7]
Nilai ekspor produk perkebunan karet di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1985, nilai ekspornya hanya 1 juta ton. Kemudian meningkat menjadi 2 juta ton pada tahun 2005.[8] Pada paruh pertama tahun 2006, ekspor hasil produksi perkebunan karet di Indonesia senilai US$ 2 miliar.[8] Pada tahun 2019, ekspor karet Indonesia mencapai nilai US$ 3,95 miliar.[5]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Iskandar (2019). "Analisis Produksi Tanaman Karet Di Kabupaten Aceh Tamiang". Jurnal Samudra Ekonomika. 2 (1): 85.
- ^ a b Umar, Mawardi (2009). "Upah Buruh Onderneming Karet di Aceh Timur, 1907-1939" (PDF). Humaniora. 21 (01): 109.
- ^ a b Santoso, Agus (20186928). "Permasalahan Pengembangan Karet di Indonesia Antara Harapan dan Kenyataan". Jurnal Ilmu dan Budaya. 41 (59): 6928.
- ^ a b c Pusat Data dan Informasi (2007). Gambaran Sekilas Industri Karet. Jakarta Selatan: Departemen Perindustrian. hlm. 4.
- ^ a b c d e Syarifa, L. F. dan Tistama, R. (2020). "Analisis Kinerja dan Prospek Komoditas Karet (Ringkasan)" (PDF). Radar: Opini dan Analisis Perkebunan. 1 (2): 2.
- ^ Sahir, Syafrida Hafni (2021). "Prospel Transaksi Komoditas Karet Indonesia Sesudah Pandemi COVID 19: Kajian Pustaka" (PDF). Warta Perkaretan. 40 (1): 3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-11-11. Diakses tanggal 2022-11-11.
- ^ Perdana, Resty Puspa (2019). "Kinerja Ekonomi Karet dan Strategi Pengembangan Hilirisasinya di Indonesia" (PDF). Forum Penelitian Agro Ekonomi. 37 (1): 25.
- ^ a b Pasaribu, A. P., dan Soetriono (2009). "Perwilayahan dan Strategi Pengembangan Kooditas Karet (Hevea Brasiliensis) di Indonesia" (PDF). J-SEP. 3 (3): 1.