Lompat ke isi

Perkawinan anak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pernikahan anak)
Infografik perkawinan anak di Indonesia tahun 2020

Perkawinan anak adalah perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 19 tahun. Sebagian besar perkawinan anak terjadi pada anak perempuan dengan laki-laki dewasa.[1] Pada Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022[2] tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang digugat ke Mahkamah Konstitusi, terdapat batasan usia anak. Usia anak yang dimaksud adalah 19 tahun.[3] Dengan demikian, anak-anak secara otomatis tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan, sehingga perkawinan anak dianggap menyalahi aturan pernikahan yang mengharuskan persetujuan secara sadar dari kedua belah pihak. Wilayah dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi adalah Afrika Barat dan Afrika Sub-Sahara, sementara jumlah kasus perkawinan anak terbesar ada di Asia Selatan.[4] Sedangkan kasus perkawinan anak di Indonesia menempati urutan ke tujuh Dunia yakni sebanyak 1.220.900 kasus.[5] Dengan jumlah angka tertinggi sebanyak 273.300 kasus perkawinan anak terjadi pada wilayah Jawa Barat pada tahun 2015.

Perkawinan anak biasanya identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Menurut data, anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan anak.[6] Pandangan masyarakat yang mementingkan keperawanan perempuan dan menganggap perempuan memiliki masa reproduksi yang lebih pendek daripada laki-laki serta perempuan tidak mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan menjadikan kasus perkawinan anak di berbagai daerah sulit hilang.

Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksual yang komprehensif dapat membantu mencegah perkawinan anak.[7] Mengurangi perkawinan anak di negara-negara berkembang membutuhkan pendidikan dan penguatan masyarakat di daerah pedesaan. Anak perempuan dapat membuat keputusan untuk menikah dan hidup lebih baik dengan pendidikan. Program pembangunan di daerah pedesaan seperti perawatan air, kesehatan, dan sanitasi dapat membantu finansial keluarga dan menekan angka perkawinan anak, sehingga pendidikan dan pembangunan pedesaan dapat memutus siklus kemiskinan dan perkawinan anak.[8]

Dasar hukum perkawinan

[sunting | sunting sumber]

Dalam melakukan perkawinan, tepatnya di Indonesia terdapat beberapa dasar hukum yang yang mengatur penyelenggaraan perkawinan salah satunya adalah usia perkawinan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah berusia 19 tahun.[9] Aturan tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perkawinan usia anak yang dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan jiwa untuk anak perempuan dan bayi yang dilahirkannya serta untuk menghindari berbagai dampak lainnyaa. Selain itu usia perkawinan dapat terdiri atas usia perkawinan dengan persetujuan orang tua dan usia perkawinan tanpa memerlukan persetujuan dari orang tua. Usia perkawinanan dengan persetujuan orang tua adalah 19 tahun keatas baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan usia perkawinan tanpa memerlukan persetujuan orang tua adalah 21 tahun.[10]

Dampak dari perkawinan anak

[sunting | sunting sumber]

Dampak kesehatan

[sunting | sunting sumber]

perkawinan anak melanggar hak-hak anak dan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi anak perempuan dan anak laki-laki. Bagi anak perempuan, selain masalah kesehatan mental, kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang hamil, serta dampak kesehatan yang merugikan akibat dari kehamilan dini dan persalinan.[1][11] Salah satu penyebab kematian paling umum bagi anak perempuan usia 15-19 tahun di negara berkembang adalah kehamilan dan persalinan, karena secara medis alat reproduksi mereka belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.[12][13] Anak perempuan berisiko mendapatkan komplikasi terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia dan eklampsia. Menurut penelitian dari Kanada dan Indonesia, usia rahim prima secara fisik berada pada usia di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun.[13] Tidak hanya berbahaya bagi ibu, bayi yang dilahirkan pun tidak luput dari risiko. Selain risiko kematian pada bayi dua kali lipat sebelum memasuki usia satu tahun. Ibu berisiko melahirkan bayi secara premature, stunting (kekurangan asupan gizi), pertumbuhan janin terhambat, bayi berat lahir rendah (BBLR), stillbirth (bayi lahir mati), kematian perinatal (kematian bayi tujuh hari setelah lahir), gangguan sistem saraf, dan cacat lahir.[13][14]

Adapun dampak pernikahan bagi anak laki-laki adalah belum siap untuk bertanggung jawab, menafkahi keluarga, menjadi ayah sejak dini, kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang karier.[11] Secara global, dampak perkawinan anak di kalangan anak laki-laki hanya seperenam di antara anak perempuan.[15] Penelitian tentang dampak pernikahan pada anak laki-laki di bawah umur sangat sedikit, para peneliti berpendapat kemungkinan karena perkawinan anak yang melibatkan anak laki-laki kurang umum dan mereka jarang menghadapi dampak kesehatan yang merugikan sebagai akibat dari kehamilan dini dan persalinan.[11] Data per September 2014, 156 juta pria yang masih hidup menikah sebagai anak laki-laki di bawah umur.[16]

UNICEF mengungkapkan bahwa diperkirakan 115 juta laki-laki di seluruh dunia menikah sebagai anak-anak. Dari jumlah tersebut, 1 dari 5, atau 23 juta, anak laki-laki menikah sebelum usia 15 tahun. Jumlah total pengantin anak-anak adalah 765 juta. Anak perempuan tetap terpengaruh secara tidak proporsional, dengan 1 dari 5 wanita muda berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun, dibandingkan dengan 1 dari 30 pria muda.[17]

Dampak psikiatri

[sunting | sunting sumber]

Secara psikologis, perkawinan anak yang belum memasuki usia 18 tahun akan menimbulkan stres hingga gangguan mental yang mencapai 41% seperti depresi, gangguan disosiatif, kecemasan, kecanduan, trauma psikologis bahkan yang lebih berat. Anak akan menjadi lebih pendiam, menarik diri dari pergaulan atau mudah melampiaskan kemarahan karena sulit mengendalikan emosi. Selain itu, anak akan berperilaku seksual menyimpang dan perselingkuhan karena kontrol diri masih lemah.[14]

Pernikahan pada usia anak jelas lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.[14]

Batas usia pernikahan yang diizinkan oleh Undang-Undang adalah 19 tahun, usia ini umumnya telah menginjak usia dewasa muda, karena batasan usia anak adalah 0-18 tahun. Pada usia 19 tahun, telah terbentuk kematangan fisik dan kepribadian seseorang. Meskipun pada usia tersebut, tidak selalu terjadi kesesuaian perkembangan dan kematangan fisik dan mental seseorang. Namun secara umum tingkat kedewasaan dan kematangan mental sudah stabil.[14]

Dampak pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Perkawinan anak juga melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan, mengembangkan potensi mereka, dan memperluas kemungkinan anak untuk mengakhiri pendidikannya terutama untuk anak perempuan. Anak perempuan yang berpendidikan rendah dan drop out akan lebih besar kemungkinannya untuk dinikahkan dari pada mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi terlebih anak laki-laki. Pernikahan anak juga akan membatasi tingkat partisipasi anak unuk mendapatkan pendidikan. Menurut data BPS tahun 2015-2017, sekitar 80% anak-anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hanya menamatkan pendidikan dasar setara SD dan SMP. Maka akan banyak calon ibu yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk dapat mengasuh anak-anak mereka dengan baik.[18]

Menurut penelitian, lembaga pendidikan di Indonesia belum memfasilitasi hak anak yang menikah muda, baik karena paksaan orang tua maupun akibat pergaulan berisiko. Sekolah menolak menerima mereka kembali untuk melanjutkan pendidikannya. Sebab jika diberi ruang untuk melanjutkan sekolah, akan memberi dampak buruk terhadap siswa lain. Tidak jarang juga anak yang sudah menikah akan mendapatkan bullying dari teman-temannya, khususnya pernikahan yang disebabkan kecelakaan. Maka pilihannya, terpaksa harus putus sekolah. Ketika terjadi putus sekolah maka akan semakin banyak generasi muda yang tidak berpendidikan, dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan keluarganya dan juga bangsa.[14]

Dampak ekonomi

[sunting | sunting sumber]

Siklus kemiskinan baru akan muncul pada anak yang menikah usia 15–16 tahun karena belum mapan dan tidak memiliki pekerjaan yang layak. Kerap terjadinya perkawinan anak karena desakan keluarga yang berada dalam jerat kemiskinan. Perkawinan juga dipandang sebagai solusi mengurangi beban keluarga bagi anak wanita.[19] Namun jika dilihat kembali, tidak sedikit anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga, khususnya orang tua dari pihak laki-laki. Kondisi ini akan berlangsung secara repetitif turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemiskinan struktural akan terbentuk. Selain itu, seseorang yang menikah pada usia sangat muda, cenderung memiliki anak yang lebih banyak. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan keterbatasan keterampilan, mereka pun tidak dapat bersaing untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak.[14]

Dampak sosial

[sunting | sunting sumber]

perkawinan anak juga berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan di kalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran, bahkan terhadap masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik secara fisik maupun psikis. Selain itu, perkawinan anak yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan juga merupakan masalah tersendiri. Mereka harus diasingkan dari lingkungannya, lalu dinikahkan, dan akhirnya terpaksa melahirkan. Dalam hal ini, mereka menjadi kurang diterima dan di diskriminasi, baik oleh keluarga sendiri maupun lingkungan sosialnya.[14]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Parsons, Jennifer; Edmeades, Jeffrey; Kes, Aslihan; Petroni, Suzanne; Sexton, Maggie; Wodon, Quentin (2015-07-03). "Economic Impacts of Child Marriage: A Review of the Literature". The Review of Faith & International Affairs. 13 (3): 12–22. doi:10.1080/15570274.2015.1075757. ISSN 1557-0274. 
  2. ^ "Menuntut Persamaan Batas Usia Perkawinan dalam Dua Undang-Undang | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia". www.mkri.id. Diakses tanggal 2024-03-12. 
  3. ^ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [www.depkes.go.id "InfoDATIN Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia"] Periksa nilai |url= (bantuan). 
  4. ^ International Center for Research on Women (ICRW). "Child Marriage Around the World". 
  5. ^ UNICEF. 2020. Pernikahan Anak di Indonesia. PUSKAPA - FACSHEET INFOGRAPHIC - indonesia (unicef.org)
  6. ^ International Center for Research on Women (ICRW). "Poverty and Child Marriage". 
  7. ^ International technical guidance on sexuality education : an evidence-informed approach. Unesco (edisi ke-2nd revised ed). Paris: UNESCO. 2018. ISBN 978-92-3-100259-5. OCLC 1371618774. 
  8. ^ Subscriber, SSRN (2011). "Ssrn Demo Paper". SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.1954661. ISSN 1556-5068. 
  9. ^ UU RI No 16 Tahun 2019. uu16-2019bt.pdf (peraturan.go.id)
  10. ^ PUSKAPA - FACSHEET INFOGRAPHIC - indonesia (unicef.org)
  11. ^ a b c Gastón, Colleen Murray; Misunas, Christina; Cappa, Claudia (2019-07-03). "Child marriage among boys: a global overview of available data". Vulnerable Children and Youth Studies (dalam bahasa Inggris). 14 (3): 219–228. doi:10.1080/17450128.2019.1566584. ISSN 1745-0128. 
  12. ^ Ludden, Jennifer (2013-12-01). "Five Things You May Not Know About Child Marriage". Diakses tanggal 2023-03-25. 
  13. ^ a b c "Dampak Buruk Perkawinan Anak | Indonesia Baik". indonesiabaik.id. Diakses tanggal 2023-03-25. 
  14. ^ a b c d e f g UNICHEF-Indonesia (2020). Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Pencegahan Perkawinan Anak (PDF). Jakarta Selatan: Pimpinan Pusat Muslimat NU. 
  15. ^ "Child marriage | UNICEF". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  16. ^ Strochlic, Nina (2014-09-18). "The Sad Hidden Plight of Child Grooms". The Daily Beast (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  17. ^ "115 million boys and men around the world married as children - UNICEF". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  18. ^ BPS. 2017. Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 (edisi revisi). download.php (bps.go.id)
  19. ^ BPS. 2017. Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015 Edisi Revisi. download.php (bps.go.id)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]