Suku Hui di Fujian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Hui di Fujian
福建回族
Situs Masjid Qingjing, Quanzhou.
Jumlah populasi
116.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Quanzhou, Fuzhou, Xiamen, Provinsi Fujian (Republik Rakyat Tiongkok)
Bahasa
Bahasa Hokkien, Bahasa Mandarin
Agama
Agama tradisional Tionghoa, Islam
Kelompok etnik terkait
Suku Han, Suku Hui

Suku Hui (Huizu) di Fujian adalah bagian kecil dari Suku Hui di Republik Rakyat Tiongkok. Suku Hui di Fujian, terutama di Quanzhou, memiliki perbedaan besar dari segi budaya dan kepercayaan dari mayoritas Hui di Republik Rakyat Tiongkok.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarahnya Suku Hui (回族)merupakan keturunan dari imigran Muslim yang datang ke Tiongkok dari Asia Barat semenjak zaman Dinasti Tang, kemudian juga pada periode Dinasti Song (960-1279). Mereka bertambah banyak semasa pemerintahan Mongol atas Tiongkok (1279-1368). Hingga kini diperkirakan terdapat lebih dari 10 juta Suku Hui di Republik Rakyat Tiongkok, termasuk di dalamnya 116.000 di Provinsi Fujian.[1]

Di Provinsi Fujian, agama Islam mengalami penurunan dalam hal praktik semenjak periode Dinasti Ming, yang disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, terputus dari komunitas utama Muslim yang pindah ke utara mengikuti pembangunan ibukota Beijing. Program pendidikan agama Islam (Jingtang Jiaoyu) yang dikembangkan oleh Hu Dengzhou (1522-1597) di utara Tiongkok tidak mencapai Fujian dan masyarakat di sana tidak bisa lagi mengerti kitab suci Quran. Faktor lainnya adalah serangan bertubi-tubi dari perompak Jepang di kawasan pesisir Fujian dan Zhejiang, ikut berakibat pada kehancuran komunitas Muslim di sana. Berbagai masalah itu menyebabkan keturunan Muslim mulai berasimilasi dengan penduduk mayoritas Tionghoa dan mengadopsi marga dan nama Tionghoa.

Wilayah-wilayah[sunting | sunting sumber]

Xiamen[sunting | sunting sumber]

Fuzhou[sunting | sunting sumber]

Suku Hui di Fuzhou merupakan minoritas di antara Suku Han. Sejarah suku Hui di Fuzhou telah bermula sejak Zaman Lima Dinasti (907-960) dengan berdirinya Masjid Fuzhou.[2]

Quanzhou[sunting | sunting sumber]

Suku Hui memiliki budaya yang cukup berbeda dari satu tempat ke tempat lain, hampir semua dicirikan dari keyakinan atau agamanya yakni Islam. Namun terdapat beberapa kelompok Hui yang berbeda dari mayoritas yang beragama Islam. Ada kelompok Hui yang hanya dikategorikan sebagai suku dan budaya saja, tetapi tidak berdasarkan agama. Kelompok Hui yang tidak menjalankan Islam ini terdapat di Provinsi Fujian, khususnya kawasan Quanzhou. Klan yang terkenal adalah Klan Ding dari Chendai, Klan Guo dari Baiqi, Klan Jin, Klan Pu dan sebagainya.

Pengelompokan klan-klan (kelompok marga) Fujian ini sebagai Suku Hui belum lama dilakukan karena pada sebagian besar sejarahnya mereka lebih sering mengidentifikasi suku sebagai orang Han (Tionghoa). Klan Guo dari Baiqi mulai dikenali sebagai Suku Hui paling awal sekitar 1957. Tetapi tradisi, ritual dan bahasa mereka sama dengan orang-orang Hokkien Quanzhou setempat karena percampuran yang sudah ratusan tahun.

Identifikasi terhadap suku minoritas di Tiongkok dan program pemberian hak-hak khusus terhadap mereka dimulai sekitar akhir dekade 70-an. Ini bertujuan untuk menghindarkan pertikaian dan separatisme.

Klan-klan yang berasal dari keturunan beberapa tokoh Muslim ternama di masa lalu diberikan statusnya sebagai Suku Hui pada tahun 1980-an dan 1990-an. Walau sejak tahun 1950an, pengamalan terhadap ajaran Islam merupakan kriteria utama yang resmi untuk sertifikasi Hui, namun Klan Baiqi Guo dan lain-lain di Fujian adalah kasus unik.

Klan Hui di Fujian ini disertifikasi sebagai bagian dari Suku Hui hanya karena tradisi dan ritual yang berkaitan dengan leluhur mereka. Mereka memiliki bukti sebagai keturunan pedagang Muslim yang datang ke Quanzhou sekitar 600 tahun lalu. Walau tak menganut agama leluhurnya, Klan Guo memiliki tradisi budaya unik yang menjadi penanda perbedaan mereka dengan klan Tionghoa lain. Selayaknya orang Han, mereka juga menjalankan upacara penghormatan bagi leluhur, seperti Qing Ming (ziarah kubur) atau pemakaman. Kuburan leluhur yang terdahulu masih bercorak Muslim.

Alasan lainnya karena kawasan Baiqi merupakan daerah ekonomi tertinggal. Dengan masuk kategori sebagai Suku Hui, mereka dapat diuntungkan dengan kebijakan Republik Rakyat Tiongkok yang memberi hak-hak khusus untuk suku minoritas.

Ide untuk kembali ke agama Islam pada saat ini bukanlah hal yang umum, dimana sedikit sekali individual dari klan-klan tersebut yang tertarik dengan Islam yang murni.

Klan Ding[sunting | sunting sumber]

Makam leluhur Klan Ding

Klan Ding dari Chendai (陈埭丁氏) memiliki anggota sekitar 30.000 orang, merupakan klan Hui terbesar di Fujian. Leluhur mereka adalah Sayyid Ajall Shams al-Din (Sai-dian-chi-zhan-si-si-ding atau kependekannya Saidianchi; 1210-1279) seorang keturunan Bukhara yang menjadi seorang gubernur Provinsi Yunnan pada periode Dinasti Yuan. Dalam buku silsilah Klan Ding, pendiri pertama di Kota Quanzhou yang disebut adalah Ding Jiezhai, bukan Saidianchi. Penyebabnya adalah persekusi yang dilancarkan oleh Suku Han dan pemerintahan Ming terhadap orang keturunan asing.

Ding Jiezhai (1251-1298) dalam buku silsilah dituliskan pindah dari Suzhou untuk tinggal di Quanzhou (1265–1274) untuk berdagang. Karena kekacauan pada periode akhir Yuan, cucunya yang bernama Ding Ren’an akhirnya pindah ke kawasan Chendai. Dalam catatan silsilah keluarga mereka terulis bahwa generasi ke-3 dan ke-4 Klan Guo telah tinggal secara permanen di Chendai setelah runtuhnya Dinasti Yuan.

Kepala klan generasi ke-3 yang bernama Ding Shoude bersama keluarganya menghadapi penolakan masyarakat karena asal-usul mereka. Ding Shoude terpaksa meninggalkan bagian selatan Quanzhou untuk menghindari persekusi terhadap keturunan asing. Keturunan Ding telah berasimilasi dengan penduduk setempat selama beberapa generasi.

Klan Guo[sunting | sunting sumber]

Klan Guo (Kwee/Kueh) dari Baiqi (百奇郭氏) merupakan keturunan dari pedagang Muslim yang tinggal di Fujian mulai pada abad ke-11 hingga 14. Semenjak abad ke-14, anak cucu pedagang Muslim ini telah kawin campur dengan masyarakat lokal sehingga keturunan mereka kini penampilannya sama seperti orang Tionghoa pada umumnya.

Menurut Baiqi Guoshi Huizu Zongpu (Buku Silsilah Klan Guo), leluhur pendiri klan Guo ini adalah Guo Deguang (lahir 1308 atau 1311), seorang pedagang Muslim dari Hangzhou. Pada tahun 1376, setelah Dinasti Ming berkuasa atas Tiongkok, cucu Guo Deguang yang bernama Guo Zhongyan (1348-1422) pindah ke Baiqi, Quanzhou, Provinsi Fujian. Pada permulaan abad ke-17, sekitar periode pertengahan masa pemerintahan Kaisar Wanli (1573-1620), generasi ke-8 dan ke-9 Klan Hui Baiqi tidak lagi menjalankan agama Islam.

Beberapa alasan yang diketahui mengapa Klan Guo perlahan meninggalkan Islam adalah karena terjadinya kekacauan pada masa awal Ming dimana minoritas seperti kaum Muslim mendapat persekusi dan permusuhan dari orang Han serta pemerintahan Ming (efek dari Pemberontakan Ispah). Demi melindungi kaum dan meningkatkan statusnya agar lebih baik di mata masyarakat, Klan Guo terpaksa mulai menggunakan tokoh historis terkemuka Guo Ziyi sebagai "tameng" untuk membantu menyembunyikan asal-usul mereka yang asli. Ini terjadi pada masa hidup Guo Men, leluhur generasi Guo yang ke-4.

Guo Ziyi

Guo Ziyi / 郭子仪 (697-781) sendiri adalah seorang pahlawan dari Dinasti Tang yang juga dianggap sebagai leluhur bersama oleh Klan Guo beretnis Tionghoa lainnya (apakah itu Hokkien atau Hakka). Dengan ini Klan Guo dari Baiqi dapat dianggap sebagai bagian dari mayoritas, bukan kelompok yang berbeda. Proses asimilasi lama kelamaan membuat mereka tidak berbeda dari mayoritas. Meski Guo Ziyi bukanlah nenek moyang asli Klan Guo dari Baiqi secara langsung, tetapi ia dianggap sebagai tokoh leluhur yang dihormati oleh klan ini hingga kini. Baik Guo Ziyi (bukan leluhur asli) dan Guo Deguang (leluhur yang asli), sama-sama dihormati.

Pada awal era Dinasti Qing hingga era Republik Tiongkok, beberapa keturunan Guo dari Baiqi menyeberang ke Pulau Taiwan dan tinggal di Kota Lugang. Keturunan lainnya menyebar ke Filipina, Singapura dan Malaysia.

Walaupun mayoritas Klan Guo tidak menjalankan Islam, tetapi ada beberapa cabang klan yang menjalankan Islam. Sisa-sisa Islam yang terakhir lenyap pada dekade 1940-an. Sampai tahun 1940-an setidaknya 20 orang anggota keluarga Klan Guo cabang ke-4, memiliki beberapa pengetahuan dasar tentang prinsip Islam. Sebuah masjid kecil di Desa Liandai masih tersisa sampai tahun 1937 yang kemudian dipindahkan ke Desa Dashan dimana seorang seorang pemuka agama lokal menjadi imam (bahasa Tionghoa: Ahong) dalam sebuah komunitas kecil. Setelah kematian sang imam tahun 1946, aktivitas Muslim di desa itu berakhir pula.

Budaya Klan Hui di Quanzhou[sunting | sunting sumber]

Klan Hui Quanzhou melestarikan tradisi unik dalam beberapa aspek seperti praktik upacara kematian, penghormatan terhadap leluhur, ziarah kubur, pencatatan buku silsilah dan perayaan kuil layaknya orang Tionghoa. Tradisi budaya ini secara turun temurun dilaksanakan sebagai bentuk asimilasi budaya ke dalam masyarakat Tionghoa.

Dalam upacara penghormatan terhadap leluhur, dilakukan persembahan secara simbolis Al'quran kepada leluhur mereka. Klan ini juga memiliki larangan mengonsumsi daging babi atau memberikan persembahan daging babi dalam beberapa ritual, misalnya penghormatan utntuk leluhur. Larangan mengonsumsi daging babi juga dijalankan pada periode pertama berkabung (ketika ada anggota keluarga yang meninggal). Larangan untuk menyajikan daging babi dalam penghormatan untuk leluhur juga ditemukan dalam keturunan Guo di Lugang, Taiwan dan Penang, Malaysia. Ini dipatuhi secara penuh sebagai tata cara ritual Klan Guo. Sementara itu Klan Ding dalam upacara selalu menyajikan persembahan berupa sayur-sayuran, makanan laut, serta daging kambing dan daging sapi.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b 福建民族分布及人口比例, gov.cn. Akses: 24 September 2023.
  2. ^ The Rich Islamic History of China’s Coastal Trading Hub, Sixthone. Akses: 5 Oktober 2023.

Sumber[sunting | sunting sumber]