Lompat ke isi

Suyati Tarwo Sumosutargio

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Suyati Tarwo Sumosutargio menarikan Tari Gambyong Pareanom di Pura Mangkunegaran.

Suyati Tarwo Sumosutargio adalah seorang penari klasik khas Istana Mangkunagaran yang mendapatkan gelar kehormatan dari Mangkunegara IX sebagai abdi dalem dengan nama Kanjeng Raden Nganten Tumenggung (K.R.Ng.T.) Suyati Tarwo Sumosutargio.[1] Dia tinggal di Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta dan berasal dari keluarga yang tidak memiliki latar belakang seniman ataupun keturunan priayi dari Mangkunagaran. Kedua orang tuanya hanya berprofesi sebagai penjual makanan. Dia dikenal oleh masyarakat Surakarta yang berkecimpung dalam dunia seni tari karena pernah terlibat dalam penggalian dan rekonstruksi Tari Srimpi Mandrarini ciptaan Mangkunegara V. Berkat kepiawaiannya menari, dia mendapatkan predikat sebagai “maestro tari khas Mangkunagaran” oleh pemerintah Republik Indonesia.[2]

Selain Suyati, para tokoh seni lain yang terkenal dalam dunia seni pertunjukan Tari Gaya Surakarta, antara lain Raden Tumenggung (R.T.) Hatmasutagnyo, R.T. Atmokesowo, R.T. Kusumokesowo, Raden Mas (R.M.) Hario Tondokusumo, R.M. Wignyohambekso, Rusman, Darsi, Surono, Suseno, Rono Suripto, Suyono, Suciati, Joko Suharjo, dan Suyati Sulomo. Atas jasa dari mereka, tarian klasik tersebut dapat terus berkembang dan dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Surakarta.[3]

Suyati lahir pada 27 Mei 1933 dari pasangan suami-istri bernama Kartodiwiryo dan Suparni. Dia lahir di kediaman orang tuanya yang saat itu masih berada di Gondowijayan, Timuran, Banjarsari, Surakarta. Rumah tersebut berada di sebelah barat Istana Mangkunagaran (sekarang di sebelah timur Rumah Dinas Wali kota Surakarta). Suyati lahir kira-kira sekitar pukul 05.30 pagi dengan dibantu oleh dukun bayi. Dia merupakan anak bungsu dari enam bersaudara yang terdiri dari dua orang anak laki-laki dan empat anak perempuan. Tiga kakak perempuannya bernama Rukinem, Pariyem, dan Sukamti.[4]

Suyati lahir dalam lingkungan keluarga pedagang. Kedua orang tuanya mencukupi kehidupan sehari-hari dengan cara berjualan mande ratengan (makanan siap saji) di Pasar Beling, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sar Mbeling (Pasar Pecah-Belah). Pasar itu menjual barang-barang pecah belah yang terletak di sekitar Jalan Supomo sekarang. Untuk memudahkan berbagai hal serta membesarkan usahanya, kedua orang tuanya lantas berpindah rumah ke daerah Pasar Beling.[5]

Sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpindah rumah, Suyati, yang saat itu berumur 6 tahun, mulai tinggal di rumah Mbah Wongso Semito. Mbah Wongso sendiri merupakan bibinya yang bekerja sebagai buruh batik. Dia tidak dikaruniai keturunan, sehingga dengan senang hati memutuskan untuk merawat dan mengasuh Suyati seperti anak kandungnya sendiri.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Suyati mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat yang saat itu berada di sebelah barat PKU Muhammadiyah Surakarta. Bersama dengan teman sebayanya yang lain, dirinya gemar melakukan beberapa permainan tradisional di sekolahnya, antara lain: jelungan (petak umpet), mbar jentik (permainan yang mirip dengan congklak pada saat ini, namun menggunakan bulatan-bulatan yang berasal dari tanah dan menggunakan 20 biji tanjung), bahkan ngunduh layangan.[6]

Anak bungsu dari pasangan suami-istri Kartodiwiryo dan Suparni tersebut mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat sampai dengan kelas empat. Dia tidak melanjutkan sekolah lagi karena lebih tertarik untuk belajar menari. Ketertarikan menari tersebut mendapatkan penguat ketika dirinya terpilih menjadi abdi dalem pundutan yang mendapatkan kesempatan belajar menari di Istana Mangkunegaran.[7]

Sebelum belajar menari di Istana Mangkunegaran, dirinya telah belajar menari kepada Ki Demang Sewaka yang juga merupakan seorang abdi dalem Istana Mangkunegaran. Ki Demang Sewaka terkenal pandai menari. Anak-anak yang berada di lingkungan sekitar tempat tinggal Ki Ageng Sewaka secara rutin dikumpulkan oleh Ki Demang Sewaka untuk dilatih dan diajari menari.

Pada saat itu, usia Suyati + 10 tahun saat memulai langkah yang mengantarkannya menjadi seorang maestro seni tari. Dia awalnya tertarik berlatih menari di rumah Ki Demang Sewaka atas bujukan dari teman-teman sebayanya yang ikut latihan menari di sana. Bersama dengan anak-anak lainnya, dia rutin belajar menari di rumah Ki Demang Sewaka, hingga pada suatu sore ketika Bendoro Raden Mas (B.R.M.) Soerjosoeparto atau Mangkunegara VII[8] melakukan kegiatan rutin berkeliling kampung dengan menaiki kuda, Ki Demang Sewaka menunjukkan bakat menari yang dimiliki oleh Suyati kepadanya.

Ketika telah resmi diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, Suyati menjalani kehidupan asrama di lingkungan kerajaan. Selain mewariskan bangunan yang megah, Istana Mangkunegaran juga merupakan pusat seni kebudayaan Jawa yang sampai sekarang masih dapat dinikmati ataupun dikaji. Adapun asrama yang diperuntukkan bagi para penari perempuan terletak di sebelah barat tembok Istana Mangkunegaran.[9] Suyati menjalani kehidupan asrama sebagai penari di Istana Mangkunegaran selama + 3 tahun hingga wafatnya Mangkunegara VII. Berkenaan dengan mangkatnya Mangkunegara VII dan memasuki masa Mangkunegara VIII, asrama tersebut kemudian dibubarkan. Setelah asrama dibubarkan, Suyati yang saat itu berusia + 12 tahun lantas kembali ke rumah bibinya yang mengasuhnya sejak kecil.

Kehidupan Suyati di asrama dijalaninya bersama dengan 14 orang penari perempuan lainnya. Beberapa penari yang masih diingat oleh Suyati antara lain: Kunti, Seno, Sarbini, Suparni, Tugini, Sagiyem, dan Jaikem. Pada waktu itu, para wanita penari keraton tersebut (termasuk Suyati) tinggal di dalam keputren yang berada di dalam tembok istana. Masyarakat keputren memiliki pemerintahan yang diatur oleh abdi dalem perempuan, yang di dalam tatanan tersebut mengenal birokrasi. Abdi dalem yang dimaksudkan sebagian terdiri dari priyantun dalem dan sebagian lainnya direkrut dari kalangan rakyat umum.[10] Penghuni keputren sendiri terdiri atas kelompok bangsawan dan bukan bangsawan yang tersusun secara hierarki. Kelompok yang pertama meliputi para putri keluarga dan kerabat raja, sedangkan kelompok yang kedua meliputi abdi dalem estri dan para abdi.[11]

Kelompok penari perempuan seperti Suyati biasa disebut dengan bedhaya, magang priyantun, ataupun abdi dalem priyantun. Dari penyebutan tersebut tampak bahwa para abdi dalem ini mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus dari raja.[12] Hal tersebut disebabkan karena para bedhaya juga bertugas melayani raja atau permaisuri. Untuk menjadi bedhaya, mereka dididik sejak usia dini, yaitu sejak masih memakai sabuk wala yang merupakan cara memakai kain dalam tradisi Jawa untuk anak usia 10-12 tahun. Apabila mereka sudah berusia 12-15 tahun, mereka mengenakan tatanan kain model pinjungan terkait perkembangan bentuk tubuhnya. Setelah dewasa, mereka harus mengenakan model atau tatanan berkain yang disebut dengan semekan atau ubet-ubet.[13]

Pada saat Suyati diangkat menjadi penari di Istana Mangkunegaran, dia berada pada masa pemerintahan Mangkunegara VII yang dikenal memiliki semangat dan upaya memajukan kesenian, termasuk di dalamnya seni tari. Para putra dan narapraja di lingkungan Istana Mangkunegaran pun diwajibkan belajar menari dan karawitan.[14][15] Istana Mangkunegaran mendirikan Pakempalan Beksa Mangkunegaran (PBMN) sebagai wadah untuk memajukan berbagai kesenian tersebut. PBMN merupakan sebuah wadah belajar menari yang mirip dengan pendidikan formal. Dalam sistem pengajarannya, PBMN memiliki tingkatan-tingkatan atau kelas. Hasil evaluasi akhir belajar disampaikan dalam bentuk buku rapot, sedangkan pembagian kelas dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan bakat dan kemampuan dari para siswa.[16]

Suyati sendiri belajar menari di Istana Mangkunegaran mulai dari mendalami bentuk-bentuk tayungan[17] hingga bentuk-bentuk tari wireng. Latihan menari di masa Suyati kecil dulu tidak terikat pada pakem atau hafalan urutan gerakan dari suatu tarian, namun berdasarkan kendangan. Seorang penari harus pandai mengikuti irama kendang yang menyatu dengan gerakan.[18]

Pengabdian

[sunting | sunting sumber]

Selain Tari Srimpi dan Tari Gambyong, Suyati paling sering menarikan Tari Minakjinggo-Damarwulan ketika menjadi penari di Istana Mangkunegaran. Dalam tarian ini, dia mampu menarikan dua peran, yaitu sebagai Minakjinggo maupun Damarwulan. Suyati sering kali tampil membawakan Tari Minakjinggo-Damarwulan berpasangan dengan Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Rono Suripto, yang merupakan teman latihan menarinya sejak lama. Dengan R.M.T. Rono Suripto pulalah Suyati mulai menggali Tari Gambyong Pareanom susunan Nyi Bei Mintararas yang masih bertahan sesuai dengan aslinya sampai saat ini.[19]

Suyati sendiri merupakan salah satu penari dalam pementasan Tari Langendriyan.[20] Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, pemain pada Tari Langendriyan berjumlah tujuh orang, yang kemudian disebut dengan Langendriyan Pitu. Tokoh-tokoh yang diperankan pada Langendriyah Pitu meliputi: Damarwulan, Minakjinggo, Dayun, Sabdopalon, Nayagenggong, Wahito, dan Puyengan.[21]

Sekitar tahun 1980-an, Suyati mendapatkan surat keputusan pengangkatan sebagai guru tari di Istana Mangkunegaran dari Mangkunegara VIII. Surat tersebut diberikan kepada Suyati berkat dedikasi dan loyalitasnya dalam kesenian tari, walaupun sebenarnya dia berkeinginan setelah menikah hanya akan menjadi Dharma Wanita saja. Dengan surat keputusan tersebut, dirinya memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu terkait dengan tarian khas Mangkunegaran. Suyati diangkat menjadi pelatih tari pada masa R.M.T. Tarwo Sumosutargio (suaminya) menjabat sebagai Ketua Langenpraja di Istana Mangkunegaran.[22]

Tari Mangkunegaran lain yang dikuasai oleh Suyati meliputi: Langendriyan, Bedhaya Bedah Madiun, Srimpi Pandhelori, Srimpi Muncar, Golek Lambangsari, Golek Montro, Srikandi Larasati, Srikandi Mustakaweni, Gambyong (Gambyong Pareanom, dan Gambyong Retno Kusumo), Wireng (Blambangan Cakil, Janaka, Dasamuka, dan Karno Tanding), serta Langenkusumo. Suyati juga pernah menciptakan sebuah tarian pada tahun 1985, yaitu Tari Gambyong Langenkusumo, sebuah tarian yang memadukan antara Tari Gambyong dan Tari Golek. Adapun Tari Gambyong Langenkusumo ciptaan suyati tersebut merupakan hasil interpretasi baru atas tarian yang sudah ada, yang kemudian digali dan direkonstruksi ulang. Meskipun kaya akan pengalaman dan pengetahuan tentang seni tari, namun Suyati tidak pernah membuka sanggar tari sendiri. Baginya, cukup menjadi guru tari di Istana Mangkunegaran.[23]

Penghargaan

[sunting | sunting sumber]

Beberapa piagam penghargaan dari luar Istana Mangkunegaran pernah diterima oleh Suyati. Piagam penghargaan tersebut antara lain diberikan kepadanya selaku pelatih tari yang telah berpartisipasi memberikan pelatihan pada mata kuliah Kajian Tari Mandiri di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, pada tanggal 25 November 2000. Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2004, Suyati menerima ucapan terima kasih atas partisipasinya dalam membimbing dan melatih tari pada mata kuliah Penggalian Tari Tradisional, khususnya sebagai pelatih Tari Gambyong Pareanom Mangkunegaran. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Suyati kembali mendapatkan penghargaan pada tanggal 10 Desember 2005. Dia memperoleh penghargaan sebagai pelatih Tari Sancaya Kusuma Wicitra Gaya Mangkunegaran. Kegiatan tersebut dalam rangka penggalian tari tradisional yang dilakukan oleh mahasiswa angkatan 2003 pada Program Studi Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.[24]

Atas ketekunan, kerja keras, dan konsistensinya dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan tari gaya Mangkunegaran dengan cara mengajarkannya kepada penari yang lebih muda di Mangkunegaran, Suyati memperoleh Panghargaan Maestro Tari Tradisional Gaya Mangkunegaran oleh Pemerintah Republik Indonesia.[2] Anugerah penghargaan itu diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepadanya pada tanggal 24 Juni 2009 melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang saat itu dijabat oleh Ir. Jero Wacik.[25] Selain Suyati, ada 10 maestro seni tradisi dari berbagai daerah lain di Indonesia yang juga mendapatkan penghargaan itu, antara lain:

  1. Zulkaidah Boru Harahap dalam bidang karya opera Batak dari Provinsi Sumatra Utara.
  2. Ida Wayan Oka Granoka dalam bidang seni teater yang berasal dari Provinsi Bali.
  3. I Made Taro dalam bidang tradisi lisan yang berasal dari Provinsi Bali.
  4. Bernard Ginupit dalam bidang seni musik yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara.
  5. Hendrik Julieus Mantiri dalam bidang musik tradisional bambu yang berasal dari Provinsi Sulawesi Utara.
  6. Djalaludin sebagai sastrawan dan folklor yang berasal dari Provinsi Bengkulu.
  7. Abdul Muin Daeng Mile dalam bidang musik tradisional yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan.
  8. Enoch Atmadibrata dalam bidang teater rakyat yang berasal dari Provinsi Jawa Barat.
  9. Chan Umar dalam bidang seni ukir khas Minangkabau yang berasal dari Provinsi Sumatra Barat.
  10. Jamhan Akbar dalam bidang sastra lisan yang berasal dari Provinsi Kalimantan Selatan.[25]

Penghargaan juga diberikan kepada Suyati dari walikota Surakarta yang saat itu masih dijabat oleh Ir. H. Joko Widodo, tepatnya pada tanggal 17 Februari 2010. Suyati mendapatkan penghargaan Bhakti Darmakusala Bidang Budaya, sebagai penghargaan atas pengabdiannya dalam Pembangunan Kota Surakarta, sehingga dapat dijadikan teladan bagi para masyarakat lainnya. Berselang satu tahun kemudian, Suyati mendapatkan piagam penghargaan atas perannya sebagai pelatih Tari Gambyong Retno Kusumo pada mata kuliah Penggalian Tari Tradisional, Jurusan Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.[26]

Keikutsertaan Suyati dalam kegiatan yang terkait dengan dunia tari tidak pernah surut. Pada tanggal 29 April 2013, Suyati mengikuti kegiatan World Dance Day 2013-Solo 24 Jam Menari yang diselenggarakan oleh Institut Seni Surakarta dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Kegiatan inilah yang membuat dirinya memperoleh sertifikat penghargaan pada tanggal 29 April 2017.[27]

Sebagai seseorang yang mengabdikan hidupnya pada bidang tari di Istana Mangkunegaran, Suyati mendapatkan penghargaan dalam bentuk penganugerahan nama. Penganugerahan gelar nama tersebut berarti menaikkan pangkat dan kedudukannya di dalam masyarakat, khususnya kerabat Mangkunegaran. Di sisi lain, tidak semua para abdi dalem di Istana Mangkunegaran bernasib baik dan dihargai oleh kekuasaan kerajaan, lebih-lebih bagi mereka yang bukan termasuk golongan abdi dalem.[15] Hal ini disebabkan karena dalam pemerintahan tradisional Jawa yang berbentuk kerajaan (khususnya Keraton Surakarta) peraturan mengenai gelar dan jabatan sangat diperlukan.[9]

Suyati mulai mendapatkan anugerah gelar nama pada tanggal 24 Januari 1990, dari nama semula Nyi Tarwo Soemosoetargiyo menjadi Nyi Ngabehi Tarwo Soemosoetargiyo. Surat penganugerahan gelar tersebut ditandatangani oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (K.G.P.A.A.) Mangkunegara IX. Selanjutnya, karena wewenang dari K.G.P.A.A. Mangkunegara IX, maka pada tanggal 3 April 2001 Suyati dianugerahi gelar kepangkatan baru menjadi Raden Nganten Ngabehi Sutarwo Sumosutargio.[28]

Tidak hanya itu, atas dedikasinya yang sangat tinggi, Suyati mendapatkan kehormatan sebagai Bupati Anom Sesebutan Tumenggung dengan nama Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio, yang ditandatangani oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IX. Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 2015 lalu, Suyati kembali diberikan anugerah kepangkatan sebagai Bupati Sepuh Kanjeng dari K.G.P.A.A. Mangkunegara IX dengan nama Kanjeng Raden Nganten Tumenggung (K.R.Ng.T) Suyati Tarwo Sumosutargio. Biasanya kehormatan Bupati Sepuh dengan sebutan Kanjeng itu hanya diberikan kepada keluarga atau keturunan dari Istana Mangkunegaran, namun Suyati sebagai abdi dalem yang berasal dari kalangan masyarakat biasa bisa mendapatkan kehormatan tersebut.[2]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 7.
  2. ^ a b c Prayitno, Gigih. "Guru Besar Jurusan Tari ISI Surakarta Lucurkan Buku Terbaru "Suyati Tarwo Sumosutargio"". Diakses tanggal 16 Maret 2019. 
  3. ^ Supanto dan Suhatno. (1981/1982), hlm. 1.
  4. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 26–27.
  5. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 28.
  6. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 28-29.
  7. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 29.
  8. ^ Hermono, Ully. (2014), hlm. 21.
  9. ^ a b Sumarno (Juni 2013). "Jabatan dan Tugas dalam Pemerintahan di Keraton Surakarta: Studi Serat Wadu Aji". Patra Widya. Vol. 14, No. 2 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya). ISSN 1411-5239. 
  10. ^ Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 56-58.
  11. ^ Prabowo, W.S. (2007). hlm. 34.
  12. ^ Ernawati Purwaningsih, dkk. (2013). hlm. 29-30.
  13. ^ Prabowo, W.S. (2007). hlm. 35.
  14. ^ Hermono, Ully. (2014), hlm. 21-22.
  15. ^ a b Priyatmoko, Heri (Agustus 2018). "Gamelan di Kemlayan: Studi Sejarah Kampung Abdi Dalem Niyaga di Surakarta". Patra Widya. Vol. 19, No. 2 (Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya). ISSN 1411-5239. 
  16. ^ Prabowo, W.S. (2007). hlm. 155.
  17. ^ Tayungan merupakan latihan gerak-gerak dasar dalam belajar menari. Adapun urutan tayungan antara lain: dhekung, sembahan, ngadeg ngigel, ngedeg sabetan, tanjak tengen, tanjak kiwo, kalang kinantang, kambeng, bapang, bapang gecul, nayung, ukel nayung, ubet sampur, miwir sampur, mirong, ridhong, sampir sampur, ngolong sampur, dhadap, srisig, nyindur, ingkrong, larikan, larikan rakit, dan larikan sungsun.
  18. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 33.
  19. ^ Darmaningsih, M. (1987). Gambyong Pareanom: Studi Kasus Tentang Nilai-Nilai Kewanitaan dalam Pura Mangkunegaran (Tesis Skripsi). Institut Kesenian Jakarta. 
  20. ^ Tarian yang menggunakan alur cerita, yang mirip dengan Wayang Orang, dan dialognya menggunakan tembang.
  21. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 38-39.
  22. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 57-58.
  23. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 59-62.
  24. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 62-63.
  25. ^ a b Kompas.com. "Menbudpar Beri Penghargaan Kepada Para Maestro". Diakses tanggal 16 Maret 2019. 
  26. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 66.
  27. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 66-67.
  28. ^ Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati. (2017), hlm. 68-69.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Ernawati Purwaningsih, dkk (2013). Potret Keluarga Jawa di Kota Surakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. 
  • Hermono, Ully (2014). Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 
  • Nurdiyanto dan Theresia Ani Larasati (2017). Dari dan Untuk Mangkunegaran: Mosaik-Mosaik Kehidupan Suyati Tarwo Sumosutargio Sebagai Penari Istana. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. 
  • Prabowo, W.S. (2007). Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunegaran. Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 
  • Supanto dan Suhatno (1981/1982). R.T. Hatma Sutagnya: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]