Lompat ke isi

Teori Kognitif Sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Teori Kognitif Sosial adalah nama baru dari Teori Belajar Sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan Teori Kognitif Sosial ini dilakukan tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura[1] juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru. Pada publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang dapat memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini berperan dalam mempelajari efek dari isi media massa pada khalayak, tepatnya media di level individu.

Konsep-konsep utama

[sunting | sunting sumber]

Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengetahuan tentang belajar observasional yaitu proses belajar dengan mengamati. Jika ada seorang "model" di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan internal atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan hiburan. Proses belajar dari individu tersebut akan terjadi melalui cara memperhatikan model tersebut. Biasanya perilaku seseorang dapat timbul karena proses peniruan. Peniruan merupakan reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis" (Baran & Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan anaknya cara mengikat sepatu, kemudian sang ibu memeragakan berulang kali sehingga anaknya dapat mengikat tali sepatunya. Proses inilah yang disebut dengan proses peniruan.

Proses peniruan interpersonal juga dapat dilihat pada narasumber yang ditampilkan oleh media. Misalnya, orang dapat menirukan cara memasak kue bika yang ada dalam sebuah acara kuliner di televisi. Meskipun contoh yang ditampilkan lebih mudah dari bagaimana cara membuat kue bika tersebut, tetapi tidak semua narasumber dapat memengaruhi khalayak. Dalam kasus ini, teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar, yaitu "rewards and punishments"—imbalan dan hukuman—,tetapi penempatkannya dalam konteks belajar sosial.

Baranowski, Perry, dan Parcel (1997) menyatakan bahwa proses penguatan merupakan bentuk utama dari cara belajar seseorang. Proses penguatan ini merupakan konsep sentral dari proses belajar sosial. Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi dan efek membiarkan. Efek menghalangi terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu. Misalnya penangkapan dan vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam pembuatan video porno. Pengamatan terhadap sesuatu yang terjadi atau dialami artis itu, dapat mengurangi kemungkinan orang tersebut mengikuti sesuatu yang dilakukan artis penyanyi terkenal itu. Sebaliknya, efek membiarkan terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. Misalnya di sebuah tayangan kontes adu bakat di sebuah televisi, ditampilkan sekelompok pengamen jalanan yang dapat memenangi hadiah ratusan juta rupiah. Karena mengikuti lomba tersebut, mereka ditawari menjadi model iklan dan bermain dalam sinetron. Menurut teori ini, orang akan tertarik mencoba mengikuti jejak pengamen jalanan itu.

Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang sebenarnya. Tetapi dari penguatan atas sesuatu yang dicapai atau dialami orang lain yang kemudian dirasakan seseorang sebagai pengalamannya sendiri. Jenis penguatan ini disebut penguatan perwakilan. Menurut Bandura (1986), penguatan perwakilan terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil dan harapan hasil.

Pengharapan hasil menunjukkan bahwa ketika seseorang melihat model diberi penghargaan atau hukuman, seseorang tersebut akan berharap mendapatkan hasil yang sama jika ia melakukan perilaku yang sama dengan model itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Baranowski dkk (1997), bahwa orang akan mengembangkan pengharapannya tentang suatu situasi dan pengharapannya untuk mendapatkan suatu hasil dari perilakunya, sebelum ia benar-benar mengalami situasi tersebut.

Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk harapan akan hasil. Harapan-harapan ini mempertimbangkan sejauh mana penguatan tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah imbalan/penghargaan atau hukuman. Misalnya, orang memang menganggap bahwa perilaku artis penyanyi yang membintangi video porno memang pantas dihukum, tetapi teori kognitif sosial juga mempertimbangkan kemungkinan perilaku yang sama yang dilakukan orang lain dalam video porno tersebut mendapatkan imbalan. Misalnya berupa simpati atau bahkan tidak diajukan ke pengadilan sebab dianggap sebagai korban, walapun pada saat melakukan adegan video porno tersebut ia dan si artis penyanyi yang dihukum itu sama-sama melakukannya dengan sadar. Hal ini akan memengaruhi sejauh mana proses belajar sosial akan terjadi.

Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dari pembelajaran dalam teori kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang dikemukakan teori ini yang akan memengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting bagi teori ini adalah konsep identifikasi dengan model di dalam media.

Dalam teori kognitif sosial secara khusus dinyatakan bahwa jika seseorang merasakan hubungan psikologis yang kuat dengan seorang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi. Menurut White (1972: 252) identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi, hingga berusaha menjadi seperti sang model dengan beberapa kualitas yang lebih besar. Misalnya seorang anak yang mengidolakan seorang atlet sepak bola, ia mungkin akan meniru atlet tersebut dengan cara menggunakan kostum yang sama dengan atlet tersebut atau mengonsumsi makanan yang dikonsumsi atlet tersebut.

Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan seorang "pengamat" untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dimilikinya untuk menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan efikasi diri (Bandura, 1977a) dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasyarat kritis dari perubahan perilaku. Misalnya dalam kasus tayangan tentang cara pembuatan kue bika di televisi yang telah disebutkan di atas. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tidak semua orang akan belajar membuat kue bika, khususnya bagi mereka yang terbiasa membeli kue bika siap saji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa membuat kue bika sendiri merupakan hal yang sia-sia dan tidak perlu dilakukan karena membelinya pun tidak mahal harganya. Dalam hal ini orang tersebut dianggap tidak mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk belajar memasak kue bika dari televisi.

Teori Kognitif Sosial dan Media Komunikasi

[sunting | sunting sumber]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang menampilkan suatu perilaku dan mendapatkan imbalan atau hukuman karena perilaku tersebut. Melalui pengamatan ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang sesuatu yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama dengan model tersebut.

Harapan-harapan ini akan memengaruhi proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang akan muncul. Namun, proses belajar ini akan dipandu oleh sejauh mana orang tersebut mengidentifikasi dirinya dengan model itu dan sejauh mana ia merasakan efikasi diri tentang perilaku-perilaku yang dicontohkan model tersebut.

Melalui dasar pemikiran ini, aplikasi dari teori kognitif sosial dengan penelitian di media massa perlu diperjelas. Di dalam masyarakat masa kini, banyak model yang kita pelajari adalah model yang kita lihat, dengar, atau baca di media massa. Model-model ini dapat dikatakan sebagai orang-orang yang kita amati dalam siaran berita atau program dokumenter. Mereka juga dapat berupa karakter-karakter yang kita lihat dalam program-program drama/sinetron/film layar lebar atau televisi atau juga karakter dalam buku novel dan para penyanyi atau penari yang kita dengar dan lihat melalui radio atau CD dan VCD musik. Oleh karena itu, begitu banyaknya model yang ditampilkan media akan dapat mengubah perilaku baik anak-anak maupun orang dewasa karena mereka mengamati media.

Dampak terbesar dari teori kognitif sosial adalah dalam penelitian tentang kekerasan dalam media. Gunter (1994) melakukan tinjauan atas riset tentang dampak dari kekerasan yang ditampilkan di media pada anak-anak dan orang dewasa, dan ia menyimpulkan bahwa terdapat bukti-bukti campuran yang kuat yang menghubungkan efek dari penggambaran kekerasan melalui media pada perilaku, sikap dan kognisi dari penonton.

Teori kognisi sosial, yang amat menekankan efek pada perilaku, mengatakan bahwa penggambaran kekerasan itu memicu baik peningkatan maupun penurunan dalam perilaku kekerasan, tergantung pada perilaku yang mendapatkan imbalan maupun hukuman, dan juga tergantung pada sejauh mana penonton mengidentifikasi diri mereka pada model kekerasan dalam media. Tentu saja, riset awal Bandura (1962) dan Berkowitz (1964) mendukung hubungan mendasar antara menonton perilaku kekerasan dan pemodelan perilaku dalam interaksi. Bagaimanapun, riset terakhir telah menambahkan kompleksitas untuk persamaan ini, dengan alasan bahwa isu-isu seperti kecenderungan perilaku agresif yang sudah ada, proses kognitif media, realita yang digambarkan media, dan bahkan diet bisa memengaruhi sejauh mana seseorang "belajar" tentang kekerasan dari media. (Miller,2005: 254)

Aplikasi dari teori kognitif sosial pada studi tentang kekerasan melalui televisi mempertimbangkan bagaimana media dapat memiliki konsekuensi yang tak diinginkan pada khalayak pemirsanya. Bagaimanapun, para sarjana komunikasi dan peneliti riset aksi juga mempertimbangkan aplikasi yang lebih berguna dari teori kognitif sosial ini. Makin banyak saja para sarjana komunikasi yang menggunakan konsep hiburan dan pendidikan dalam mempertimbangkan bagaimana pesan-pesan program hiburan bisa digunakan untuk menimbulkan perubahan perilaku dan sosial. Misalnya penelitian tentang bagaimana telenovela yang disiarkan di banyak negara, selain dapat menghibur juga dapat menyampaikan isu tentang keluarga berencana, persamaan hak pria dan wanita, dan reformasi pertanian. Banyak juga opera sabun Amerika yang memang dibuat dalam kerangka kognitif sosial yaitu dengan menggunakan karakter-karakter yang menarik yang mendapatkan penghargaan atau hukuman sebagai pemodelan dari perilaku secara nyata.

Teori Kognitif Sosial juga digunakan dalam aplikasi komunikasi kesehatan masyarakat. Misalnya untuk kampanye tentang demam berdarah, atau flu burung digunakan artis terkenal atau tokoh yang menarik yang karena mengikuti anjuran pemerintah untuk pencegahan, bisa terhindar dari penyakit tersebut. Pemakaian artis terkenal atau tokoh yang menarik akan memicu orang untuk lebih waspada terhadap kedua penyakit tersebut.

Ringkasan

[sunting | sunting sumber]

Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku dapat dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model, identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan sejauh mana khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media. Meskipun berdasarkan bidang studi psikologi sosial, teori ini memiliki efek yang kuat untuk pemahaman tentang efek kekerasan melalui media baik untuk anak-anak maupun orang dewasa dan perencanaan kampanye yang ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat melalui media.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • ^ <286::aid-pits2310040321>3.0.co;2-k "Motivation examined. Levine, David (Ed.) Nebraska Symposium on Motivation, 1966. Lincoln: University of Nebraska Press, 1966, 109 p.,$5.95 (paper)". Psychology in the Schools. 4 (3): 286–287. 1967-07. doi:10.1002/1520-6807(196707)4:3<286::aid-pits2310040321>3.0.co;2-k. ISSN 0033-3085. 
    • Bandura, A.1962. Social learning through imitation. Dalam M.R. Jones (Ed), Nebraska symposium on motivation.Vol 10. Lincoln: University of Nebraska Press
    • Bandura, A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change. Psychological Review, 84, hal. 191-215
    • Bandura, A. 1977b. Social Learning Theory. New Jersey: Prentise Hall
    • Baran, S.J & D.K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth
    • Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass
    • Miller. Katherine.2005. Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts. 2nd Edition. International Edition. Singapore: McGraw-Hill