Lompat ke isi

Yohanan ben Zakai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Yohanan ben zakai)

Yohanan ben Zakai (Ibrani: יוחנן בן זכאייוחנן בן זכאי‎, 30 – 90 M),[1] juga dikenal sebagai Johanan B. Zakkai, atau singkatnya ריב״ז, Ribaz, singkatan dari Rabbi Yohanan ben Zakkai, adalah salah satu tannaim, seorang bijak Yahudi yang penting di era Bait Suci Kedua, dan kontributor utama untuk inti teks Yudaisme Rabinik, Mishnah. Namanya sering didahului dengan gelar kehormatan, "Rabban." Ia secara luas dianggap sebagai salah satu tokoh Yahudi yang paling penting pada masanya. Makamnya terletak di Tiberias, dalam Kompleks Makam Maimonides.

Dia adalah orang bijak Yahudi pertama yang disebut dengan gelar Rabi dalam Mishnah.[2]

Kehidupan

[sunting | sunting sumber]
Yohanan ben Zakai di Knesset Menorah

Talmud melaporkan, pada pertengahan abad pertama, ia sangat aktif dalam menentang interpretasi orang-orang Saduki mengenai hukum Yahudi,[3][4] dan memproduksi kontra-argumen untuk keberatan orang-orang Saduki terhadap orang-orang Farisi.[5] Ia sedemikan berdedikasi menentang pandangan hukum Yahudi menurut aliran Saduki, sampai ia mencegah Imam Besar Yahudi, yang saat itu dari golongan Saduki, untuk mengikuti penafsiran Saduki mengenai ritual Lembu merah.[6]

Rumahnya, pada saat itu, di Arav, sebuah desa di Galilea, di mana ia menghabiskan delapan belas tahun hidupnya.[7][8] Namun, meskipun hidup di antara mereka, ia menemukan sikap orang-orang Galilea tidak pantas, dikatakan menyebut mereka membenci Taurat dan oleh karena itu akan "jatuh ke tangan para perampok."

Selama pengepungan terhadap Yerusalem dalam Pemberontakan Yahudi Besar, ia mendukung perdamaian; menurut Talmud, ketika ia menemukan kemarahan rakyat yang terkepung tak tertahankan, ia mengatur untuk melarikan diri secara rahasia dari kota di dalam peti mati, sehingga ia bisa bernegosiasi dengan Vespasianus (yang, pada saat itu, masih hanya seorang komandan militer).[9] Yohanan dengan tepat meramalkan bahwa Vespasian akan menjadi Kaisar, dan bahwa Bait Suci akan segera dihancurkan; sebagai imbalannya, Vespasianus mengabulkan tiga keinginan Yohanan: keselamatan Yavne dan orang-orang bijak di dalamnya, keturunan Rabban Gamliel, yang dari dinasti Daud, dan seorang dokter untuk mengobati Rabbi Tzadok, yang telah berpuasa selama 40 tahun untuk mencegah kehancuran Yerusalem.[10]

Setelah kehancuran Yerusalem, Yohanan mengubah sekolah di Yavne menjadi pusat agama Yahudi, bersikeras bahwa hak tertentu, yang diberikan oleh hukum Yahudi secara unik kepada Yerusalem, harus ditransfer ke Yavne.[11] Sekolahnya berfungsi sebagai pembentukan kembali Sanhedrin, sehingga Yudaisme bisa memutuskan bagaimana berurusan dengan hilangnya korban altar Bait Suci di Yerusalem, dan pertanyaan lain-lain yang bersangkutan. Mengacu pada sebuah bagian dalam Kitab Hosea, "aku menginginkan belas kasihan dan bukan persembahan",[12] ia membantu membujuk dewan untuk mengganti hewan kurban dengan doa,[13] sebuah praktek yang terus berlanjut dalam ibadah sekarang; akhirnya Yudaisme Rabinik muncul dari kesimpulan-kesimpulan dewan.

Dalam beberapa tahun terakhir dia mengajar di Bror Hayil, lokasi dekat Yavne.[14] Murid-muridnya hadir pada ranjang kematiannya, dan diminta oleh dia, dalam perkataan sebelum kata terakhirnya, menurut Talmud catatan, untuk mengurangi risiko ritual kontaminasi yang diberikan oleh mayat:

Tempatkan wadah-wadah keluar dari rumah, supaya sedapat mungkin tidak menjadi najis[15]

Lebih misterius adalah catatan Talmud mengenai kata-kata terakhirnya, yang tampaknya berhubungan dengan mesianisme Yahudi:

Persiapkan takhta untuk Hizkia, Raja Yehuda, yang akan datang

Murid-murid kembali ke Yavne setelah kematiannya, dan ia dikuburkan di kota Tiberias; sebelas abad kemudian, Maimonides dimakamkan di dekatnya. Dalam perannya sebagai pemimpin agama Yahudi, ia digantikan oleh Gamliel II.

Tradisi Yahudi mencatat Yohanan ben Zakai sebagai orang yang sangat berdedikasi untuk belajar agama, mengklaim bahwa tidak ada yang pernah menemukannya bergerak di bidang lain selain studi.[16] Ia dianggap sebagai seseorang yang meneruskan ajaran-ajaran para pendahulunya; di sisi lain, banyak homiletika dan penafsiran ucapan dikaitkan dengannya[17] dan ia dikenal membangun sejumlah fatwa dalam era pasca-kehancuran Bait Suci Yerusalem:[18]

  1. Setelah penghancuran Yerusalem, sangkakala akan ditiup di beit din ketika Rosh Hashanah jatuh pada hari Sabat (sebelum kehancuran, itu hanya dtiiup di Yerusalem dan sekitarnya pada Sabat)
  2. Setelah penghancuran Yerusalem, Empat Spesies harus diambil untuk seluruh Sukkot (sebelum kehancuran, itu hanya diambil untuk seluruh hari-hari raya di Yerusalem dan pada hari pertama hari-hari raya di tempat lain)
  3. Setelah penghancuran Yerusalem, chadash (butir baru) harus dilarang untuk seluruh Hari Melambai atau yom haneif (hari korban omer dipersembahkan, tanggal enam belas bulan Nisan; sebelum kehancuran, itu dilarang hanya sampai saat melambaikan tangan pada hari itu)
  4. Setelah penghancuran Yerusalem, saksi untuk bulan baru harus diterima sepanjang hari (sebelum kehancuran, saksi hanya diterima sampai korban tamid sore)
  5. Setelah penghancuran Yerusalem, saksi untuk bulan baru hanya akan pergi ke tempat perkumpulan, dan tidak mengikuti Nasi atau "pangeran" (sebelum kehancuran, saksi hanya diterima di lokasi Nasi di Yerusalem)
  6. Kohanim (kaum imam) tidak boleh naik untuk memberkati orang-orang saat mengenakan alas kaki.
  7. Setelah penghancuran Yerusalem, saksi untuk bulan baru tidak boleh melanggar Sabat, kecuali untuk bulan Nisan dan Tisyri (sebelum kehancuran, saksi diperbolehkan untuk melanggar hari Sabat untuk semua bulan)
  8. Setelah penghancuran Yerusalem, orang yang pindah ke agama Yahudi tidak lagi memisahkan uang untuk korban masuk agama atau konversi (sebelum kehancuran, bagian dari proses konversi ini adalah untuk membawa korban di Bait Suci di Yerusalem)
  9. Identitas kesembilan fatwa ini dibantah:
    1. Setelah penghancuran Yerusalem, Perpuluhan Kedua diizinkan untuk ditukar dengan uang dalam satu hari perjalanan dari Yerusalem (sebelum kehancuran, pertukaran hanya diizinkan bagi mereka yang tinggal lebih jauh dari satu hari perjalanan)
    2. Setelah penghancuran Yerusalem, benang merah yang terkait dengan chatas dari Yom Kippur dikirim dengan ish iti (yang ditunjuk) untuk Azazel (sebelum kehancuran, benang merah dipertahankan dalam bangunan Bait Suci)

Beberapa komentarnya bersifat esoteris. Pada satu kesempatan ia menyarankan bahwa umat manusia harus berusaha untuk memahami ketakterhinggaan Allah, dengan membayangkan langit diperpanjang sampai jarak yang tak terpikirkan.[19] Ia berpendapat bahwa kesalehan Ayub tidak didasarkan pada kasih akan Allah, tapi pada takut akan Allah.[20]

Dia ditantang untuk menyelesaikan beberapa keingintahuan Alkitab oleh seorang kepala pasukan Romawi, yang mengenal Taurat, tapi yang namanya telah hilang dalam kekacauan. Di antara isu-isu yang dibahas adalah fakta bahwa angka-angka[21][22][23] dalam Kitab Bilangan tidak sesuai jumlahnya,[24][25] dan alasan di balik ritual sapi merah;[26] pada yang terakhir ini jawaban pertanyaan yang diberikankan tidak memuaskan para muridnya sendiri, sehingga ia memutuskan bahwa ritual adalah salah satu yang tidak boleh dipertanyakan.[27]

Ia mengartikulasikan prinsip bahwa seseorang seharusnya tidak mengambil kredit untuk studinya, karena "ini adalah tujuan dari penciptaan".[28] Ia juga dikutip mengatakan:

Jika Anda memegang sebuah pohon di tangan Anda dan seseorang mengatakan kepada Anda, 'Ayo datang cepat, mesias ada di sini!', pertama-tama selesaikan penanaman pohon dan kemudian pergi untuk menyambut mesias.[29]
Didahului oleh:
Simeon ben Gamliel
Nasi
70 - 80
Diteruskan oleh:
Gamliel II

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
Lukisan Dinding Sinagoge Yochanan ben Zakai 

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sanhedrin 41a
  2. ^ Hezser, Catherine (1997). The Social Structure of the Rabbinic Movement in Roman Palestine. Mohr Siebeck. hlm. 64–. ISBN 978-3-16-146797-4. We suggest that the avoidance of the title "Rabbi" for pre-70 sages may have originated with the editors of the Mishnah. The editors attributed the title to some sages and not to others. The avoidance of the title for pre-70 sages may perhaps be seen as a deliberate program on the part of these editors who wanted to create the impression that the “rabbinic movement" began with R. Yochanan b. Zakkai and that the Yavnean "academy" was something new, a notion that is sometimes already implicitly or explicitly suggested by some of the traditions available to them. This notion is not diminished by the occasional claim to continuity with the past which was limited to individual teachers and institutions and served to legitimize rabbinic authority. 
  3. ^ Menahot 65a
  4. ^ Baba Batra 115b
  5. ^ Yadayim 4:5
  6. ^ Parah (Tosefta) 3:8
  7. ^ Jewish Encyclopedia, Yochanan ben Zakai
  8. ^ Jerusalem Talmud, Shabbat 16:8 (81b)
  9. ^ Bavli Gittin 56a&b
  10. ^ Bavli Gittin 56b
  11. ^ Rosh Ha Shanah 4:1-3
  12. ^ [[{{{buku}}}|{{{buku}}}]] Hosea:6:6
  13. ^ Rabbi Nathan, Abot 4
  14. ^ Sanhedrin 32b
  15. ^ Berakot 28b
  16. ^ Sukkot 28a
  17. ^ Jewish Encyclopedia, "Johanan ben Zakkai"
  18. ^ Bavli Rosh Hashanah 31b
  19. ^ Hagigah 13a
  20. ^ Soṭah 5:5
  21. ^ Bilangan 3:22
  22. ^ Bilangan 3:28
  23. ^ [[{{{buku}}}|{{{buku}}}]] Numbers:3:34
  24. ^ Bilangan 3:39
  25. ^ Bekorot 5b [1]
  26. ^ Bemidbar Rabbah 19:8
  27. ^ Bemidbar Rabbah 19:8
  28. ^ Pirkei Abot 2:8
  29. ^ Rabbi Nathan, Abot, 31b

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]