Lompat ke isi

Pembingkaian: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Riski Yolanda (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k clean up
 
(32 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
Dalam [[ilmu sosial]], '''pembingkaian''' (atau dikenal dalam [[bahasa Inggris]]: '''''framing''''') terdiri atas serangkaian sudut pandang konsep dan teoretis tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi masyarakat melihat dan menyampaikan [[kenyataan]].
{{Sedang ditulis}}
{{Translating}}
Dalam [[ilmu sosial]], ''framing'' atau "pembingkaian" terdiri atas serangkaian sudut pandang konsep dan teoretis tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi masyarakat melihat dan menyampaikan [[kenyataan]].


''Framing'' dapat terwujud dalam [[komunikasi]] atau [[pikiran]] antarpribadi. ''Frame-frame dalam pikiran'' terdiri atas penggambaran, interpretasi, dan penyederhanaan kenyataan. ''Frame-frame dalam komunikasi'' terdiri atas penyampaian ''frame'' di antara para pelaku yang berbeda.<ref name="Druckman2001">{{cite journal|last1=Druckman|first1=J.N.|year=2001|title=The Implications of Framing Effects for Citizen Competence|journal=Political Behavior|volume=23|issue=3|pages=225–56|doi=10.1023/A:1015006907312|s2cid=10584001}}</ref> ''Framing'' adalah komponen kunci [[sosiologi]], kajian tentang interaksi sosial di antara para manusia. ''Framing'' adalah bagian utuh dari pemrosesan dan penyampaian data dalam keseharian. Teknik-teknik sukses ''framing'' dapat digunakan untuk mengurangi ambiguitas topik-topik yang tidak dapat dipahami dengan menghubungkan informasi sedemikian rupa sehingga para penerimanya dapat terhubung dengan apa yang sudah mereka ketahui.
Pembingkaian dapat terwujud dalam [[komunikasi]] atau [[pikiran]] antarpribadi. ''Frame-frame dalam pikiran'' terdiri atas penggambaran, interpretasi, dan penyederhanaan kenyataan. ''Frame-frame dalam komunikasi'' terdiri atas penyampaian ''frame'' di antara para pelaku yang berbeda.<ref name="Druckman2001">{{cite journal|last1=Druckman|first1=J.N.|year=2001|title=The Implications of Framing Effects for Citizen Competence|journal=Political Behavior|volume=23|issue=3|pages=225–56|doi=10.1023/A:1015006907312|s2cid=10584001}}</ref> ''Framing'' adalah komponen kunci [[sosiologi]], kajian tentang interaksi sosial di antara para manusia. ''Framing'' adalah bagian utuh dari pemrosesan dan penyampaian data dalam keseharian. Teknik-teknik sukses ''framing'' dapat digunakan untuk mengurangi ambiguitas topik-topik yang tidak dapat dipahami dengan menghubungkan informasi sedemikian rupa sehingga para penerimanya dapat terhubung dengan apa yang sudah mereka ketahui.


Dalam [[teori sosial]], ''framing'' adalah [[skema]] [[interpretasi]], sekumpulan [[anekdot]] dan [[stereotipe]] yang diandalkan oleh para individu untuk memahami dan merespons sebuah peristiwa.<ref name="Goffman1974">
Dalam [[teori sosial]], ''framing'' adalah [[skema]] [[interpretasi]], sekumpulan [[anekdot]] dan [[stereotipe]] yang diandalkan oleh para individu untuk memahami dan merespons sebuah peristiwa.<ref name="Goffman1974">
Baris 23: Baris 21:
</ref>
</ref>


Meskipun beberapa menganggap ''framing'' sama dengan [[Agenda-setting theory|''agenda setting'']], para ilmuwan lain menyatakan adanya perbedaan. Menurut artikel yang ditulis Donald H. Weaver, ''frami''ng menyeleksi aspek-aspek tertentu dari permasalahan dan membuatnya lebih menonjol untuk memperoleh interpretasi tertentu dan penilaian-penilaian masalah, sedangkan ''agenda setting'' mengenalkan topik masalah untuk meningkatkan arti penting dan keterkaitannya.<ref>{{Cite journal|last=Weaver|first=David H.|year=2007|title=Thoughts on Agenda Setting, Framing, and Priming|journal=Journal of Communication|volume=57|page=142|doi=10.1111/j.1460-2466.2006.00333.x}}</ref>
Meskipun beberapa menganggap ''framing'' sama dengan [[Agenda-setting theory|''agenda setting'']], para ilmuwan lain menyatakan adanya perbedaan. Menurut artikel yang ditulis Donald H. Weaver, ''framing'' menyeleksi aspek-aspek tertentu dari permasalahan dan membuatnya lebih menonjol untuk memperoleh interpretasi tertentu dan penilaian-penilaian masalah, sedangkan ''agenda setting'' mengenalkan topik masalah untuk meningkatkan arti penting dan keterkaitannya.<ref>{{Cite journal|last=Weaver|first=David H.|year=2007|title=Thoughts on Agenda Setting, Framing, and Priming|journal=Journal of Communication|volume=57|page=142|doi=10.1111/j.1460-2466.2006.00333.x}}</ref>


==Efek-efek ''framing'' dalam penelitian komunikasi==
==Dalam penelitian komunikasi==


Dalam [[komunikasi]], ''framing'' menggambarkan bagaimana media berita membentuk [[opini publik]].
Dalam [[komunikasi]], ''framing'' menggambarkan bagaimana media berita membentuk [[opini publik]].
Baris 38: Baris 36:
* Temporal-kontekstual (misalnya berlalunya waktu setelah peristiwa menggemparkan).<ref>{{cite journal |last1=Rodelo |first1=F. V. |date=2020 |title=Antecedents of strategic game and issue framing of local electoral campaigns in the Mexican context |journal=Comunicación y Sociedad |volume=14 |issue=1 |page=1 |doi=10.32870/cys.v2020.7643 |s2cid=226386940 |url=https://doi.org/10.32870/cys.v2020.7643}}</ref>
* Temporal-kontekstual (misalnya berlalunya waktu setelah peristiwa menggemparkan).<ref>{{cite journal |last1=Rodelo |first1=F. V. |date=2020 |title=Antecedents of strategic game and issue framing of local electoral campaigns in the Mexican context |journal=Comunicación y Sociedad |volume=14 |issue=1 |page=1 |doi=10.32870/cys.v2020.7643 |s2cid=226386940 |url=https://doi.org/10.32870/cys.v2020.7643}}</ref>


[[Erving Goffman]] menekankan peran konteks budaya sebagai pembentuk ''frame-frame'' saat beliau mengemukakan bahwa maksud ''frame'' mengandung akar-akar budaya.<ref name="Goffman1974"/>Ketergantungan konteks frame-frame media ini telah digambarkan sebagai 'resonansi budaya'<ref>{{Cite book |last1=Gamson|first1= W. A. |last2= Modigliani|first2= A. |chapter=The changing culture of affirmative action|pages= 137–77|title=Research in Political Sociology|volume =3 |editor-last=Braungart |editor-first=Richard G. |editor-last2=Braungart |editor-first2=Margaret M. |date=1987 |publisher=JAI Press |isbn=978-0-89232-752-2 |location=Greenwich, Conn.; London |language=en |oclc=495235993}}</ref> atau 'kesetiaan naratif'.<ref name="SnowBenford1988">Snow, D. A., & Benford, R. D. (1988). Ideology, frame resonance, and participant mobilization. In B. Klandermans, H. Kriesi, & S. Tarrow (Eds.), International social movement research. Vol. 1, From structure on action: Comparing social movement research across cultures (pp. 197–217). Greenwich, CT: JAI Press.</ref> Sebagai contoh, kebanyakan orang mungkin tidak menyadari ''frame'' dalam kisah-kisah tentang pemisahan gereja dan negara karena umumnya media tidak membingkai kisah-kisah tersebut dari sudut pandang agama.<ref>{{cite book |last1=Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. |title=Fundamentals of media effects |date=May 3, 2012 |url=https://www.google.com/books/edition/Fundamentals_of_Media_Effects/XcUQAAAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&bsq=%22church%20and%20state%22 |publisher=Waveland Press, Inc.|isbn=9781478608196 }}</ref>
[[Erving Goffman]] menekankan peran konteks budaya sebagai pembentuk ''frame-frame'' saat beliau mengemukakan bahwa maksud ''frame'' mengandung akar-akar budaya.<ref name="Goffman1974"/> Ketergantungan konteks ''frame-frame'' media ini telah digambarkan sebagai 'resonansi budaya'<ref>{{Cite book |last1=Gamson|first1= W. A. |last2= Modigliani|first2= A. |chapter=The changing culture of affirmative action|pages= 137–77|title=Research in Political Sociology|volume =3 |editor-last=Braungart |editor-first=Richard G. |editor-last2=Braungart |editor-first2=Margaret M. |date=1987 |publisher=JAI Press |isbn=978-0-89232-752-2 |location=Greenwich, Conn.; London |language=en |oclc=495235993}}</ref> atau 'kesetiaan naratif'.<ref name="SnowBenford1988">Snow, D. A., & Benford, R. D. (1988). Ideology, frame resonance, and participant mobilization. In B. Klandermans, H. Kriesi, & S. Tarrow (Eds.), International social movement research. Vol. 1, From structure on action: Comparing social movement research across cultures (pp. 197–217). Greenwich, CT: JAI Press.</ref> Sebagai contoh, kebanyakan orang mungkin tidak menyadari ''frame'' dalam kisah-kisah tentang pemisahan gereja dan negara karena umumnya media tidak membingkai kisah-kisah tersebut dari sudut pandang agama.<ref>{{cite book |last1=Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. |title=Fundamentals of media effects |date=May 3, 2012 |url=https://www.google.com/books/edition/Fundamentals_of_Media_Effects/XcUQAAAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&bsq=%22church%20and%20state%22 |publisher=Waveland Press, Inc.|isbn=9781478608196 }}</ref>


===''Frame setting''===
===''Frame setting''===
Saat masyarakat dihadapkan pada bingkai berita baru, mereka akan menerima konstruksi yang dibuat berlaku untuk sebuah masalah, tetapi secara signifikan mereka lebih mungkin untuk melakukannya saat mereka memiliki skema yang ada untuk konstruksi tersebut. Inilah yang disebut efek penerapan. Artinya, ketika ''frame-frame'' baru mengundang orang untuk menerapkan skema yang ada pada masalah, implikasi dari penerapan itu sebagian bergantung pada apa yang ada di dalam skema tersebut. Oleh karena itu, secara umum, lebih banyak pendengar mengetahui tentang permasalahan, lebih efektif ''frame-frame'' tersebut.
Saat masyarakat dihadapkan pada bingkai berita baru, mereka akan menerima konstruksi yang dibuat berlaku untuk sebuah masalah, tetapi secara signifikan mereka lebih mungkin untuk melakukannya saat mereka memiliki skema yang ada untuk konstruksi tersebut. Inilah yang disebut efek penerapan. Artinya, ketika ''frame-frame'' baru mengundang orang untuk menerapkan skema yang ada pada masalah, implikasi dari penerapan itu sebagian bergantung pada apa yang ada di dalam skema tersebut. Oleh karena itu, secara umum, lebih banyak pendengar mengetahui tentang permasalahan, lebih efektif ''frame-frame'' tersebut.


Terdapat sejumlah level dan tipe pengaruh ''framing'' yang telah diteliti. Contohnya, para ilmuwan berfokus pada perubahan sikap dan tindakan, derajat kepentingan masalah yang dirasakan, keputusan pemungutan suara, dan pembentukan opini. Para ilmuwan lain tertarik pada proses-proses psikologis daripada penerapan. Misalnya, Iyengar<ref>Iyengar, S. (1991). Is anyone responsible? How television frames political issues. Chicago: University of Chicago Press.</ref> mengungkapkan bahwa berita tentang permasalahan sosial dapat memengaruhi tanggung jawab atribusi kausal dan pengobatan, pengaruh yang diamati dalam penilaian-penilaian dan respons kognitif pemimpin politik, atau ilmuwan lain melihat kepada efek ''framing'' terhadap gaya pemrosesan penilaian dan kompleksitas pikiran anggota pendengar mengenai permasalahan. Kajian-kajian ''frame setting'' juga membahas bagaimana ''frame-frame'' dapat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang masalah (kognitif) atau merasakan masalah (afektif).<ref>{{cite book |last1=Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. |title=Fundamentals of media effects. |date=May 3, 2012 |url=https://www.google.com/books/edition/Fundamentals_of_Media_Effects/XcUQAAAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&bsq=%22thinks%20about%20an%20issue%22 |publisher=Waveland Press, Inc.|isbn=9781478608196 }}</ref>
Terdapat sejumlah level dan tipe pengaruh ''framing'' yang telah diteliti. Contohnya, para ilmuwan berfokus pada perubahan sikap dan tindakan, derajat kepentingan masalah yang dirasakan, keputusan pemungutan suara, dan pembentukan opini. Para ilmuwan lain tertarik pada proses-proses psikologis daripada penerapan. Misalnya, Iyengar<ref>Iyengar, S. (1991). Is anyone responsible? How television frames political issues. Chicago: University of Chicago Press.</ref> mengungkapkan bahwa berita tentang permasalahan sosial dapat memengaruhi tanggung jawab atribusi kausal dan pengobatan, pengaruh yang diamati dalam penilaian-penilaian dan respons kognitif pemimpin politik, atau ilmuwan lain melihat kepada efek ''framing'' terhadap gaya pemrosesan penilaian dan kompleksitas pikiran anggota pendengar mengenai permasalahan. Kajian-kajian ''frame setting'' juga membahas bagaimana ''frame-frame'' dapat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang masalah (kognitif) atau merasakan masalah (afektif).<ref>{{cite book |last1=Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. |title=Fundamentals of media effects. |date=May 3, 2012 |url=https://www.google.com/books/edition/Fundamentals_of_Media_Effects/XcUQAAAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&bsq=%22thinks%20about%20an%20issue%22 |publisher=Waveland Press, Inc.|isbn=9781478608196 }}</ref>
Baris 51: Baris 49:
===Landasan dalam penelitian komunikasi===
===Landasan dalam penelitian komunikasi===


Anthropologis [[Gregory Bateson]] pertama kali mendefinisikan ''framing'' sebagai "ikatan spasial dan temporal dari serangkaian pesan-pesan interaktif" (''A Theory of Play and Fantasy'', 1954, diproduksi kembali dalam bukunya ''[[Steps to an Ecology of Mind]]'' pada tahun 1972).<ref name=Bateson1972>{{cite book|last=Bateson|first=G.|title=Steps to an Ecology of Mind|year=1972|publisher=Ballantine Books|location=New York}}</ref>
Anthropologis [[Gregory Bateson]] pertama kali mendefinisikan ''framing'' sebagai "ikatan spasial dan temporal dari serangkaian pesan-pesan interaktif" (dalam ''A Theory of Play and Fantasy'', 1954, diproduksi kembali dalam buku ''[[Steps to an Ecology of Mind]]'' pada tahun 1972).<ref name=Bateson1972>{{cite book|last=Bateson|first=G.|title=Steps to an Ecology of Mind|url=https://archive.org/details/stepstoecologyof0000bate|year=1972|publisher=Ballantine Books|location=New York}}</ref>


====Sumber sosiologis penelitian ''media framing'' ====
====Sumber sosiologis penelitian ''media framing'' ====
Baris 57: Baris 55:
Penelitian ''media framing'' mempunyai akar psikologis dan sosiologis. ''Framing'' sosiologis berfokus pada "kata-kata, gambar-gambar, frasa-frasa, dan gaya presentasi" yang digunakan para komunikator saat menyampaikan informasi kepada penerima.<ref name="Druckman2001" /> Penelitian ''frame-frame'' dalam penelitian media yang digerakkan secara sosiologis umumnya meneliti pengaruh "norma-norma dan nilai-nilai sosial, kendala-kendala dan tekanan-tekanan organisatoris, tekanan kelompok-kelompok kepentingan, rutinitas jurnalistik, dan orientasi-orientasi ideologis atau politis jurnalis" dalam ''frame-frame'' yang berada dalam konten media.<ref name=Scheufele2000>{{cite journal|last=Scheufele|first=D.A.|title=Agenda-setting, priming, and framing revisited: Another look at cognitive effects of political communication|journal=Mass Communication & Society|year=2000|volume=3|issue=2&3|pages=297–316|doi=10.1207/S15327825MCS0323_07|s2cid=59128739}}</ref>
Penelitian ''media framing'' mempunyai akar psikologis dan sosiologis. ''Framing'' sosiologis berfokus pada "kata-kata, gambar-gambar, frasa-frasa, dan gaya presentasi" yang digunakan para komunikator saat menyampaikan informasi kepada penerima.<ref name="Druckman2001" /> Penelitian ''frame-frame'' dalam penelitian media yang digerakkan secara sosiologis umumnya meneliti pengaruh "norma-norma dan nilai-nilai sosial, kendala-kendala dan tekanan-tekanan organisatoris, tekanan kelompok-kelompok kepentingan, rutinitas jurnalistik, dan orientasi-orientasi ideologis atau politis jurnalis" dalam ''frame-frame'' yang berada dalam konten media.<ref name=Scheufele2000>{{cite journal|last=Scheufele|first=D.A.|title=Agenda-setting, priming, and framing revisited: Another look at cognitive effects of political communication|journal=Mass Communication & Society|year=2000|volume=3|issue=2&3|pages=297–316|doi=10.1207/S15327825MCS0323_07|s2cid=59128739}}</ref>


[[Todd Gitlin]], dalam analisisnya tentang cara media berita meremehkan gerakan [[New Left]] siswa pada tahun 1960-an termasuk yang pertama meneliti ''frame-frame'' dari sudut pandang sosiologis. Gitlin menulis, ''frame-frame'' adalah "pola-pola tetap kognisi, tafsiran-tafsiran, dan presentasi pilihan [dan] menekankan ... [bahwa] sebagian besar tidak diucapkan dan diakui ... [dan] mengatur dunia bagi para jurnalis [serta] kami yang membaca pemberitaan mereka".<ref name=Gitlin1980>{{cite book|last=Gitlin|first=T.|title=The Whole World is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left|year=1980|publisher=University of California Press|location=Berkeley, CA}}</ref>
[[Todd Gitlin]], dalam analisisnya tentang cara media berita meremehkan gerakan [[New Left]] siswa pada tahun 1960-an termasuk yang pertama meneliti ''frame-frame'' dari sudut pandang sosiologis. Gitlin menulis, ''frame-frame'' adalah "pola-pola tetap kognisi, tafsiran-tafsiran, dan presentasi pilihan [dan] menekankan ... [bahwa] sebagian besar tidak diucapkan dan diakui ... [dan] mengatur dunia bagi para jurnalis [serta] kami yang membaca pemberitaan mereka".<ref name=Gitlin1980>{{cite book|last=Gitlin|first=T.|title=The Whole World is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left|url=https://archive.org/details/wholeworldiswatc00gitl|year=1980|publisher=University of California Press|location=Berkeley, CA}}</ref>


====Sumber psikologis penelitian ''media framing''====
====Sumber psikologis penelitian ''media framing''====
Baris 72: Baris 70:
Gambar-gambar lebih disukai daripada teks karena membutuhkan lebih sedikit muatan kognitif dan lebih sedikit membosankan daripada kata-kata.<ref name="Rodriguez" /> Dari sudut pandang psikologis, gambar-gambar mengaktifkan sel-sel saraf pada mata untuk mengirim informasi ke otak. Gambar-gambar juga memiliki nilai atraksi tinggi dan dapat membangkitkan daya tarik emosional yang lebih kuat. Dalam konteks ''framing'', gambar-gambar dapat mengaburkan fakta-fakta dan permasalahan dalam usaha untuk membingkai informasi. Visual-visual terdiri dari alat-alat retoris seperti metafora, penggambaran, dan simbol-simbol untuk menggambarkan adegan atau konteks peristiwa secara grafis dalam upaya untuk membantu kita memahami lebih baik dunia di sekitar kita. Gambar-gambar dapat memiliki keterkaitan satu per satu antara apa yang ditangkap kamera dan representasinya di dunia nyata.
Gambar-gambar lebih disukai daripada teks karena membutuhkan lebih sedikit muatan kognitif dan lebih sedikit membosankan daripada kata-kata.<ref name="Rodriguez" /> Dari sudut pandang psikologis, gambar-gambar mengaktifkan sel-sel saraf pada mata untuk mengirim informasi ke otak. Gambar-gambar juga memiliki nilai atraksi tinggi dan dapat membangkitkan daya tarik emosional yang lebih kuat. Dalam konteks ''framing'', gambar-gambar dapat mengaburkan fakta-fakta dan permasalahan dalam usaha untuk membingkai informasi. Visual-visual terdiri dari alat-alat retoris seperti metafora, penggambaran, dan simbol-simbol untuk menggambarkan adegan atau konteks peristiwa secara grafis dalam upaya untuk membantu kita memahami lebih baik dunia di sekitar kita. Gambar-gambar dapat memiliki keterkaitan satu per satu antara apa yang ditangkap kamera dan representasinya di dunia nyata.


Bersamaan dengan meningkatkan pemahaman, visual juga dapat meningkatkan tingkat penyimpanan dannmembuat informasi lebih mudah untuk diingat. Karena sifat gambar yang seimbang, aturan-aturan tata bahasa tidak berlaku.
Bersamaan dengan meningkatkan pemahaman, visual juga dapat meningkatkan tingkat penyimpanan dan membuat informasi lebih mudah untuk diingat. Karena sifat gambar yang seimbang, aturan-aturan tata bahasa tidak berlaku.


Menurut para peneliti,<ref name="Rodriguez" /> ''framing'' tercermin dalam empat model tingkata yang mengidentifikasi dan menganalisis ''frame-frame'' visual sebagai berikut: visual-visual sebagai sistem denotatif, visual-visual sebagai sistem semiotika-stilistika, visual-visual sebagai sistem konotatif, dan visual sebagai perwakilan ideologis.
Menurut para peneliti,<ref name="Rodriguez" /> ''framing'' tercermin dalam empat model tingkatan yang mengidentifikasi dan menganalisis ''frame-frame'' visual sebagai berikut: visual-visual sebagai sistem denotatif, visual-visual sebagai sistem semiotika-stilistika, visual-visual sebagai sistem konotatif, dan visual sebagai perwakilan ideologis.


Para peneliti berhati-hati agar tidak hanya mengandalkan gambar-gambar untuk memahami informasi. Karena gambar-gambar lebih banyak memegang kekuatan dan lebih terkait pada kenyataan, kita dapat mengabaikan potensi manipulasi dan pembabakan dan salah menganggap ini sebagai bukti.
Para peneliti berhati-hati agar tidak hanya mengandalkan gambar-gambar untuk memahami informasi. Karena gambar-gambar lebih banyak memegang kekuatan dan lebih terkait pada kenyataan, kita dapat mengabaikan potensi manipulasi dan pembabakan dan salah menganggap ini sebagai bukti.


Gambar-gambar dapat menjadi perwakilan ideologi dengan memastikan prinsip-prinsip dasar yang membentuk atribut-atribut dasar kita dengan mengombinasikan simbol dan fitur gaya gambar ke dalam proses penafsiran koheren.
Gambar-gambar dapat menjadi perwakilan ideologi dengan memastikan prinsip-prinsip dasar yang membentuk atribut-atribut dasar kita dengan mengombinasikan simbol dan fitur gaya gambar ke dalam proses penafsiran koheren.
Baris 82: Baris 80:
Suatu penelitian menunjukkan ''visual framing'' menonjol dalam liputan berita, terutama dalam kaitannya terhadap politik.<ref>{{Cite journal|last1=Powell|first1=Thomas|last2=Boomgaarden|first2=Hajo|last3=Swert|first3=Knut|last4=Vreese|first4=Claes|date=November 2015|title=A Clearer Picture: The Contribution of Visuals and Text to Framing Effects|url=https://www.researchgate.net/publication/284132158|journal=Journal of Communication|volume=65|issue=6|pages=997–1017|doi=10.1111/jcom.12184|via=ResearchGate}}</ref> Gambar-gambar yang bermuatan emosi dipandang sebagai alat menonjol untuk membingkai pesan-pesan politik. ''Visual framing'' bisa menjadi efektif dengan menaruh penekanan dalam aspek spesifik sebuah masalah, taktik yang biasa digunakan dalam penggambaran berita konflik dan perang dikenal sebagai ''empathy framing''. ''Visual framing'' yang memiliki daya tarik emosional bisa dibilang lebih menonjol.
Suatu penelitian menunjukkan ''visual framing'' menonjol dalam liputan berita, terutama dalam kaitannya terhadap politik.<ref>{{Cite journal|last1=Powell|first1=Thomas|last2=Boomgaarden|first2=Hajo|last3=Swert|first3=Knut|last4=Vreese|first4=Claes|date=November 2015|title=A Clearer Picture: The Contribution of Visuals and Text to Framing Effects|url=https://www.researchgate.net/publication/284132158|journal=Journal of Communication|volume=65|issue=6|pages=997–1017|doi=10.1111/jcom.12184|via=ResearchGate}}</ref> Gambar-gambar yang bermuatan emosi dipandang sebagai alat menonjol untuk membingkai pesan-pesan politik. ''Visual framing'' bisa menjadi efektif dengan menaruh penekanan dalam aspek spesifik sebuah masalah, taktik yang biasa digunakan dalam penggambaran berita konflik dan perang dikenal sebagai ''empathy framing''. ''Visual framing'' yang memiliki daya tarik emosional bisa dibilang lebih menonjol.


Tipe ''framing'' ini dapat diterapkan ke konteks lain, termasuk atletik-atletik dalam kaitannya dengan disabilitas atletik.<ref>{{Cite journal|last1=Sikorski|first1=Christian|last2=Schierl|first2=Thomas|last3=Möller|first3=Carsten|date=March 2012|title=Visual News Framing and Effects on Recipients' Attitudes Toward Athletes With Physical Disabilities|url=https://www.researchgate.net/publication/269874729|journal=International Journal of Sport Communication|via=ResearchGate}}</ref> ''Visual framing'' dalam konteks ini dapat menafsirkan kembali sudut pandang tentang ketidakmampuan atletik dan fisik, suatu stereotipe media yang sudah ada sebelumnya.
Tipe ''framing'' ini dapat diterapkan ke konteks lain, termasuk atletik-atletik dalam kaitannya dengan disabilitas atletik.<ref>{{Cite journal|last1=Sikorski|first1=Christian|last2=Schierl|first2=Thomas|last3=Möller|first3=Carsten|date=March 2012|title=Visual News Framing and Effects on Recipients' Attitudes Toward Athletes With Physical Disabilities|url=https://www.researchgate.net/publication/269874729|journal=International Journal of Sport Communication|via=ResearchGate}}</ref> ''Visual framing'' dalam konteks ini dapat menafsirkan kembali sudut pandang tentang ketidakmampuan atletik dan fisik, suatu stereotipe media yang sudah ada sebelumnya.


===Mengklarifikasi dan membedakan "paradigma retak"===
===Clarifying and distinguishing a "fractured paradigm"===


Kemungkinan karena penggunaannya dalam lintas ilmu-ilmu sosial, ''frame'' telah ditetapkan dan digunakan dalam banyak cara yang terpisah. Entman menyebut ''framing'' "konseptualisasi yang menyebar" dan "paradigma retak" yang "sering ditetapkan secara begitu saja dengan banyak diserahkan kepada pemahaman diam-diam yang diasumsikan pembaca".<ref name="Entman1993" /> Dalam upaya menyediakan lebih banyak kejelasan konseptual, Entman menunjukkan bahwa ''frame-frame'' "memilih beberapa aspek kenyataan yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks berkomunikasi sedemikian rupa sehingga mendorong definisi masalah tertentu, penafsiran kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi perawatan untuk barang yang digambarkan".<ref name="Entman1993" /> Konseptualisasi ''framing'' Entman<ref name="Entman1993" /> yang menyebutkan ''frame-frame'' bekerja dengan mengangkat potongan-potongan tertentu dalam arti penting, berada sejalur dengan penelitian awal tentang dasar-dasar psikologis ''framing effect'' (lihat juga Iyengar<ref name="Iyengar1991" /> yang memperdebatkan jika aksesbilitas adalah penjelasan utama psikologis untuk keberadaan pengaruh-pengaruh ''framing''). Wyer dan Srull<ref name="WyerSrull1984" /> menjelaskan susunan aksesibilitas sebagai berikut.
Kemungkinan karena penggunaan frame-frame telah didefinisikan dan digunakan dalam banyak cara yang terpisah. Entman menyebut framing "konseptualisasi yang menyebar" dan "paradigma retak" yang "sering ditetapkan secara begitu saja, dengan banyak diserahkan kepada pemahaman pembaca.
# Orang-orang menyimpan potongan-potongan informasi yang berkaitan dalam "tempat penyimpanan referensi" dalam memori jangka panjang mereka.<ref name=WyerSrull1984>{{cite book|last1=Wyer Jr.|first1=R.S.|title=Social Cognition: The Ontario Symposium|year=1984|publisher=Lawrence Erlbaum|location=Hillsdale, NJ|last2=Srull |first2=T.K. |editor=E.T. Higgins |editor2=N.A. Kuiper |editor3=M.P Zanna |chapter=Category Accessibility: Some theoretic and empirical issues concerning the processing of social stimulus information}}</ref>
# Orang-orang mengatur "tempat penyimpanan referensi" sehingga lebih banyak potongan-potongan informasi yang sering dan baru-baru ini digunakan disimpan di bagian atas tempat penyimpanan tersebut. Jadi, potongan-potongan informasi tersebut lebih mudah diakses.<ref name=WyerSrull1984 />
# Karena orang-orang cenderung hanya mengambil secuil informasi dari memori jangka panjang saat membuat penilaian, mereka cenderung mengambil potongan-potongan yang paling mudah diakses untuk digunakan membuat penilaian-penilaian itu.<ref name=WyerSrull1984 />


Argumen yang mendukung aksesibilitas sebagai proses psikologis yang mendasari dapat diringkas sebagai berikut: Karena masyarakat sangat mengandalkan media berita untuk informasi peristiwa-peristiwa publik, informasi yang paling mudah diakses tentang peristiwa-peristiwa publik sering hadir dari peristiwa-peristiwa publik yang mereka konsumsi. Argumen ini juga disebut sebagai dukungan dalam debat mengenai apakah ''framing'' harus dimasukkan oleh [[agenda-setting theory|teori ''agenda-setting'']] sebagai bagian level kedua dari ''agenda setting''. McCombs dan para peneliti ''agenda-setting'' lainnya secara umum setuju jika framing harus digabungkan bersama [[Priming (media)|''priming'']], di bawah ruang lingkup ''agenda setting'' sebagai model kompleks efek-efek media yang menghubungkan produksi media, konten, dan efek-efek pemirsa.<ref name=Kosicki1993>{{cite journal|last=Kosicki|first=G.M.|title=Problems and opportunities in Agenda-setting research|journal=Journal of Communication|year=1993|volume=43|issue=2|pages=100–27|doi=10.1111/j.1460-2466.1993.tb01265.x}}</ref><ref name=McCombsShaw1993>{{cite journal|last=McCombs|first=M.E.|author2=Shaw, D.L.|title=The evolution of agenda-setting research: Twenty-five years in the marketplace of ideas|journal=Journal of Communication|year=1993|volume=43|issue=2|pages=58–67|doi=10.1111/j.1460-2466.1993.tb01262.x}}</ref><ref name=McCombsLlamasLopez-EscobarRey1997 /> Tentu saja, McCombs, Llamas, Lopez-Escobar, dan Rey membenarkan percobaan mereka untuk menggabungkan penelitian ''framing'' dan ''agenda-setting'' dengan asumsi penghematan.<ref name=McCombsLlamasLopez-EscobarRey1997>{{cite journal|last=McCombs|first=M.F.|author2=Llamas, J.P. |author3=Lopez-Escobar, E. |author4=Rey, F. |s2cid=145481877|title=Candidate images in Spanish elections: Second-level agenda-setting effects|journal=Journalism & Mass Communication Quarterly|year=1997|volume=74|pages=703–17|doi=10.1177/107769909707400404|issue=4}}</ref>
Perhaps because of their use across the social sciences, frames have been defined and used in many disparate ways. Entman called framing "a scattered conceptualization" and "a fractured paradigm" that "is often defined casually, with much left to an assumed tacit understanding of the reader".<ref name="Entman1993" /> In an effort to provide more conceptual clarity, Entman suggested that frames "select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item described".<ref name="Entman1993" /> Entman's<ref name="Entman1993" /> conceptualization of framing, which suggests frames work by elevating particular pieces of information in salience, is in line with much early research on the psychological underpinnings of framing effects (see also Iyengar,<ref name="Iyengar1991" /> who argues that accessibility is the primary psychological explanation for the existence of framing effects). Wyer and Srull<ref name="WyerSrull1984" /> explain the construct of accessibility thus:
# People store related pieces of information in "referent bins" in their long-term memory.<ref name=WyerSrull1984>{{cite book|last1=Wyer Jr.|first1=R.S.|title=Social Cognition: The Ontario Symposium|year=1984|publisher=Lawrence Erlbaum|location=Hillsdale, NJ|last2=Srull |first2=T.K. |editor=E.T. Higgins |editor2=N.A. Kuiper |editor3=M.P Zanna |chapter=Category Accessibility: Some theoretic and empirical issues concerning the processing of social stimulus information}}</ref>
# People organize "referent bins" such that more frequently and recently used pieces of information are stored at the top of the bins and are therefore more accessible.<ref name=WyerSrull1984 />
# Because people tend to retrieve only a small portion of information from long-term memory when making judgments, they tend to retrieve the most accessible pieces of information to use for making those judgments.<ref name=WyerSrull1984 />


Namun, Scheufele membantah bahwa tak seperti ''agenda setting'' dan ''priming'', ''framing'' tidak bersandar sepenuhnya terhadap aksesibilitas sehingga tidak tepat untuk menggabungkan ''framing'' dengan ''agenda seeting'' dan ''priming'' untuk kepentingan penghematan.<ref name=Scheufele2000 /> Bukti-bukti empiris kelihatannya mempertahankan klaim Scheufele. Sebagai contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley secara empiris menunjukkan bahwa penerapan adalah kuncinya, alih-alih ciri khas.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Mengukur aksesibilitas dalam ketentuan-ketentuan latensi jawaban-jawaban responden yang hasil-hasil informasinya lebih mudah diakses dalam waktu-waktu respons yang lebih cepat, Nelson, Clawson, dan Oxley menunjukkan bahwa aksesibilitas diperhitungkan hanya untuk proporsi kecil terhadap perubahan dalam efek-efek ''framing'', sementara penerapan diperhitungkan untuk perubahan proporsi besar.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Akan tetapi, menurut Nelson dan rekan-rekan, "''frame-frame'' memengaruhi pendapat dengan menekan nilai-nilai spesifik, fakta-fakta, dan pertimbangan-pertimbangan lain, memberikannya dengan relevansi nyata yang lebih besar terhadap masalah daripada yang tampaknya mereka miliki di bawah ''frame'' alternatif."<ref name="NelsonClawsonOxley1997" />
The argument supporting accessibility as the psychological process underlying framing can therefore be summarized thus: Because people rely heavily on news media for public affairs information, the most accessible information about public affairs often comes from the public affairs news they consume. This argument has also been cited as support in the debate over whether framing should be subsumed by [[agenda-setting theory]] as part of the second level of agenda setting. McCombs and other agenda-setting scholars generally agree that framing should be incorporated, along with [[Priming (media)|priming]], under the umbrella of agenda setting as a complex model of media effects that links media production, content, and audience effects.<ref name=Kosicki1993>{{cite journal|last=Kosicki|first=G.M.|title=Problems and opportunities in Agenda-setting research|journal=Journal of Communication|year=1993|volume=43|issue=2|pages=100–27|doi=10.1111/j.1460-2466.1993.tb01265.x}}</ref><ref name=McCombsShaw1993>{{cite journal|last=McCombs|first=M.E.|author2=Shaw, D.L.|title=The evolution of agenda-setting research: Twenty-five years in the marketplace of ideas|journal=Journal of Communication|year=1993|volume=43|issue=2|pages=58–67|doi=10.1111/j.1460-2466.1993.tb01262.x}}</ref><ref name=McCombsLlamasLopez-EscobarRey1997 /> Indeed, McCombs, Llamas, Lopez-Escobar, and Rey justified their attempt to combine framing and agenda-setting research on the assumption of parsimony.<ref name=McCombsLlamasLopez-EscobarRey1997>{{cite journal|last=McCombs|first=M.F.|author2=Llamas, J.P. |author3=Lopez-Escobar, E. |author4=Rey, F. |s2cid=145481877|title=Candidate images in Spanish elections: Second-level agenda-setting effects|journal=Journalism & Mass Communication Quarterly|year=1997|volume=74|pages=703–17|doi=10.1177/107769909707400404|issue=4}}</ref>

Scheufele, however, argues that, unlike agenda setting and priming, framing does not rely primarily on accessibility, making it inappropriate to combine framing with agenda setting and priming for the sake of parsimony.<ref name=Scheufele2000 /> Empirical evidence seems to vindicate Scheufele's claim. For example, Nelson, Clawson, and Oxley empirically demonstrated that applicability, rather than their salience, is key.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Measuring accessibility in terms of response latency of respondent answers, where more accessible information results in faster response times, Nelson, Clawson, and Oxley demonstrated that accessibility accounted for only a minor proportion of the variance in framing effects while applicability accounted for the major proportion of variance.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Therefore, according to Nelson and colleagues, "frames influence opinions by stressing specific values, facts, and other considerations, endowing them with greater apparent relevance to the issue than they might appear to have under an alternative frame."<ref name="NelsonClawsonOxley1997" />


Dengan kata lain, ketika '''penelitian awal''' mengesankan bahwa dengan menyoroti aspek-aspek tertentu permasalahan, ''frame'' membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diakses dan lebih mungkin digunakan dalam proses penilaian,<ref name=Entman1993 /><ref name=Iyengar1991 /> '''penelitian terkini''' mengesankan bahwa ''frame'' bekerja dengan membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diterapkan dan lebih relevan pada proses penilaian.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /><ref name=Scheufele2000 />
Dengan kata lain, ketika '''penelitian awal''' mengesankan bahwa dengan menyoroti aspek-aspek tertentu permasalahan, ''frame'' membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diakses dan lebih mungkin digunakan dalam proses penilaian,<ref name=Entman1993 /><ref name=Iyengar1991 /> '''penelitian terkini''' mengesankan bahwa ''frame'' bekerja dengan membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diterapkan dan lebih relevan pada proses penilaian.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /><ref name=Scheufele2000 />


===Equivalency versus emphasis: two types of frames in media research===
===''Equivalency'' lawan ''emphasis'': dua tipe ''frame'' dalam penelitian media===


Chong dan Druckman mengacu penelitian framing memiliki fokus utama pada dua tipe frame: frame ekuivalensi dan frame empasis.<ref name=ChongDruckman2007>{{Cite journal | doi=10.1146/annurev.polisci.10.072805.103054 |title = Framing Theory|journal = Annual Review of Political Science|volume = 10|pages = 103–126|year = 2007|last1 = Chong|first1 = Dennis|last2 = Druckman|first2 = James N.|doi-access=free}}</ref> Frame ekuivalensi quivalency frames mengesankan "frasa-frasa berbeda, tetapi ekuivalen secara logis", yang menyebabkan para individu mengubah pilihan mereka.<ref name="Druckman2001" /> Frame-frame ekuivalensi sering diucapkan dalam istilah-istilah "keuntungan" versus "kekalahan". Contohnya, Kahneman dan Tversky meminta para pemirsa memilih di antara dua tanggapan kebijakan "gain-framed" terhadap hipotesis wabah penyakit yang diperkirakan membunuh 600 orang.<ref name=KahnemanTversky1984>{{cite journal |last=Kahneman |first=D.|author2=Tversky, A.|s2cid=9460007|title=Choices, values, and frames|journal=American Psychologist |year=1984|volume=39|issue=4|pages=341–50 |doi=10.1037/0003-066X.39.4.341}}</ref> Respons A akan menyelamatkan 200 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan menyelamatkan semua orang, tetapi dua pertiga kemungkinan tidak menyelamatkan siapa-siapa. Para partisipan A sangat memilih Respons A yang dirasa lebih sedikit opsi berisikonya. Kahneman dan Tversky meminta para partisipan lain untuk memilih di antara dua respons kebijakan "loss-framed" ekuivalen terhadap wabah penyakit yang sama. Pada kondisi ini, Respons A akan membunuh 400 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan tidak membunuh siapa pun, tetapi dua pertiga kemungkinan membunuh semua orang. Walaupun pilihan-pilihan ini identik secara matematis dengan opsi yang diberikan dalam kondisi "gain-framed", para partisipan sangat memilih Respons B, opsi yang berisiko. Kemudian, Kahneman dan Tversky membuktikan bahwa saat diutarakan dalam istilah-istilah potential gains, masyarakat cenderung memilih opsi yang mereka rasa lebih sedikit risikonya (yaitu sure gain). Kebalikannya, saat dihadapkan dengan potential loss, masyarakat cenderung memilih opsi yang berisiko.<ref name=KahnemanTversky1984 />
Chong dan Druckman mengacu penelitian ''framing'' memiliki fokus utama pada dua tipe frame: ''equivalency frames'' dan ''emphasis frames''.<ref name=ChongDruckman2007>{{Cite journal | doi=10.1146/annurev.polisci.10.072805.103054 |title = Framing Theory|journal = Annual Review of Political Science|volume = 10|pages = 103–126|year = 2007|last1 = Chong|first1 = Dennis|last2 = Druckman|first2 = James N.|doi-access=free}}</ref> ''Equivalency frames'' mengesankan "frasa-frasa berbeda, tetapi ekuivalen secara logis", yang menyebabkan para individu mengubah pilihan mereka.<ref name="Druckman2001" /> ''Equivalency frames'' sering diucapkan dalam istilah-istilah "keuntungan" versus "kekalahan". Contohnya, Kahneman dan Tversky meminta para pemirsa memilih di antara dua tanggapan kebijakan "''gain-framed''" terhadap hipotesis wabah penyakit yang diperkirakan membunuh 600 orang.<ref name=KahnemanTversky1984>{{cite journal |last=Kahneman |first=D.|author2=Tversky, A.|s2cid=9460007|title=Choices, values, and frames|journal=American Psychologist |year=1984|volume=39|issue=4|pages=341–50 |doi=10.1037/0003-066X.39.4.341}}</ref> Respons A akan menyelamatkan 200 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan menyelamatkan semua orang, tetapi dua pertiga kemungkinan tidak menyelamatkan siapa-siapa. Para partisipan A sangat memilih Respons A yang dirasa lebih sedikit opsi berisikonya. Kahneman dan Tversky meminta para partisipan lain untuk memilih di antara dua respons kebijakan "''loss-framed''" ekuivalen terhadap wabah penyakit yang sama. Pada kondisi ini, Respons A akan membunuh 400 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan tidak membunuh siapa pun, tetapi dua pertiga kemungkinan membunuh semua orang. Walaupun pilihan-pilihan ini identik secara matematis dengan opsi yang diberikan dalam kondisi "gain-framed", para partisipan sangat memilih Respons B, opsi yang berisiko. Kemudian, Kahneman dan Tversky membuktikan bahwa saat diutarakan dalam istilah-istilah potential gains, masyarakat cenderung memilih opsi yang mereka rasa lebih sedikit risikonya (yaitu ''sure gain''). Kebalikannya, saat dihadapkan dengan kerugian potensial, masyarakat cenderung memilih opsi yang berisiko.<ref name=KahnemanTversky1984 />


Tak seperti frame-frame ekuivalensi, frame-frame empasis mengesankan "pertimbangan yang berbeda secara kualitatif, tetapi relevan secara potensial" yang digunakan para individu untuk membuat penilaian.<ref name=ChongDruckman2007 /> Perlu dicatat jika framing berbeda dengan agenda-setting. Emphasis framing mewakili perubahan dalam struktur komunikasi untuk membangkitkan skema kognitif tertentu. Agenda setting bergantung pada frekuensi atau keunggulan pesan-pesan permasalahan untuk memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan. Emphasis framing mengacu pada pengaruh struktur pesan dan agenda setting mengacu pada pengaruh kepentingan konten.<ref name=Cacciatore2016>{{cite journal |last=Cacciatore |first=Michael A.|author2= Dietram A. Scheufele|author3=Shanto Iyengar |title= The End of Framing as We Know It … and the Future of Media Effects. |journal= Mass Communication and Society |year=2016|volume=19|issue=1|pages=7–23 |doi=10.1080/15205436.2015.1068811|s2cid=31767132}}</ref> Contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley menampakkan pada para partisipan berita yang menampilkan rencana [[Ku Klux Klan]] untuk menjalankan rapat.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Para partisipan dalam suatu keadaan membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah masalah keamanan publik, sedangkan para partisipan dalam keadaan lain membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah pertimbangan kebebasan berbicara. Participants exposed to the public safety condition considered public safety applicable for deciding whether the Klan should be allowed to hold a rally and, as expected, expressed lower tolerance of the Klan's right to hold a rally.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Participants exposed to the free speech condition, however, considered free speech applicable for deciding whether the Klan should be allowed to hold a rally and, as expected, expressed greater tolerance of the Klan's right to hold a rally.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" />
Tak seperti ''equivalency frames'', ''emphasis frames'' mengesankan "pertimbangan yang berbeda secara kualitatif, tetapi relevan secara potensial" yang digunakan para individu untuk membuat penilaian.<ref name=ChongDruckman2007 /> Perlu dicatat jika ''framing'' berbeda dengan ''agenda-setting''. ''Emphasis framing'' mewakili perubahan dalam struktur komunikasi untuk membangkitkan skema kognitif tertentu. ''Agenda setting'' bergantung pada frekuensi atau keunggulan pesan-pesan permasalahan untuk memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan. ''Emphasis framing'' mengacu pada pengaruh struktur pesan dan ''agenda setting'' mengacu pada pengaruh kepentingan konten.<ref name=Cacciatore2016>{{cite journal |last=Cacciatore |first=Michael A.|author2= Dietram A. Scheufele|author3=Shanto Iyengar |title= The End of Framing as We Know It … and the Future of Media Effects. |journal= Mass Communication and Society |year=2016|volume=19|issue=1|pages=7–23 |doi=10.1080/15205436.2015.1068811|s2cid=31767132}}</ref> Contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley menampakkan pada para partisipan berita yang menampilkan rencana [[Ku Klux Klan]] untuk menjalankan rapat.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Para partisipan dalam suatu keadaan membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah masalah keamanan publik, sedangkan para partisipan dalam keadaan lain membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah pertimbangan kebebasan berbicara. Para peserta yang tertuju pada kondisi keamanan publik memandang penerapn keamanan publik untuk menentukan apakah Klan harus diperbolehkan untuk mengadakan rapat dan seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih rendah terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" /> Namun, para partisipan yang tertuju pada kondisi kebebasan berbicara memandang penerapan kebebasan berbicara untuk memutuskan apakah Klan perlu diizinkan untuk mengadakan rapat, seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih besar terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.<ref name="NelsonClawsonOxley1997" />


==''Framing'' Dalam Keuangan ==
==''Framing'' Dalam Keuangan ==
Pembalikan preferensi dan fenomena terkait lainnya memiliki relevansi yang lebih luas dalam ekonomi perilaku karena bertentangan dengan prediksi [[rational choice|pilihan rasional]], dasar ekonomi tradisional. Bias-bias ''framing'' memengaruhi keputusan investasi, peminjaman, membuat salah satu tema [[behavioral finance|''behavioral finance'']].
Preference reversals and other associated phenomena are of wider relevance within behavioural economics, as they contradict the predictions of [[rational choice]], the basis of traditional economics. Framing biases affecting investing, lending, borrowing decisions make one of the themes of [[behavioral finance]].


==''Framing'' dalam psikologi dan ekonomi ==
==''Framing'' dalam psikologi dan ekonomi ==
Baris 112: Baris 108:
{{Main|Framing effect (psychology)}}
{{Main|Framing effect (psychology)}}


[[Amos Tversky]] dan [[Daniel Kahneman]] telah menunjukkan jika framing dapat memengaruhi hasil akhir dari [[choice problems]] (i.e. the choices one makes), so much so that some of the [[classic axioms]] of [[rational choice]] are not true.<ref name="TverskyKahneman1981">{{cite journal | last1 = Tversky | first1 = Amos | last2 = Kahneman | first2 = Daniel | s2cid = 5643902 | year = 1981 | title = The Framing of Decisions and the Psychology of Choice | journal = Science | volume = 211 | issue = 4481| pages = 453–58 | doi = 10.1126/science.7455683 | pmid = 7455683 | bibcode = 1981Sci...211..453T }}</ref> Ini mengarah kepada perkembangan [[prospect theory]].<ref>{{cite web |title = Decision-Making Under Uncertainty – Advanced Topics: An Introduction to Prospect Theory | website= Econport. |url = http://www.econport.org/econport/request?page=man_ru_advanced_prospect | access-date = 2021-10-08}}</ref>
[[Amos Tversky]] dan [[Daniel Kahneman]] telah menunjukkan jika ''framing'' dapat sangat memengaruhi hasil akhir dari [[choice problems|''choice problems'']] (yakni pilihan yang dibuat seseorang) sehingga sejumlah [[classic axioms|aksioma klasik]] dari [[rational choice|pilihan rasional]] tidaklah benar.<ref name="TverskyKahneman1981">{{cite journal | last1 = Tversky | first1 = Amos | last2 = Kahneman | first2 = Daniel | s2cid = 5643902 | year = 1981 | title = The Framing of Decisions and the Psychology of Choice | journal = Science | volume = 211 | issue = 4481| pages = 453–58 | doi = 10.1126/science.7455683 | pmid = 7455683 | bibcode = 1981Sci...211..453T }}</ref> Hal ini mengarah kepada perkembangan [[prospect theory|teori prospek]].<ref>{{cite web |title = Decision-Making Under Uncertainty – Advanced Topics: An Introduction to Prospect Theory | website= Econport. |url = http://www.econport.org/econport/request?page=man_ru_advanced_prospect | access-date = 2021-10-08}}</ref>


Konteks atau framing of problems diangkat oleh hasil-hasil pembuat keputusan dalam decision-makers results in part from extrinsic manipulation of the decision-options offered, as well as from forces intrinsic to decision-makers, e.g., their norms, habits, and unique [[temperament]].
Konteks atau ''framing of problems'' diangkat oleh hasil-hasil pembuat keputusan dalam bagian dari manipulasi ekstrinsik yang ditawarkan pilihan-pilihan keputusan, sekaligus dari paksaan-paksaan intrinsik pada para pembuat keputusan, misalnya norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, dan [[temperament|perangai]] unik mereka.


===Desmonstrasi eksperimental ===
===Experimental demonstration===
Tversky dan Kahneman (1981) mendemonstrasikan secara sistematik saat masalah yang sama disajikan dalam cara-cara berbeda, misalnya pada masalah penyakit Asia. Para partisipan diminta untuk "membayangkan jika AS bersiap untuk wabah penyakit Asia tak biasa yang diperkirakan membunuh 600 orang. Dua program alternatif untuk melawan wabah penyakit telah diajukan. Simpulkan perkiraan ilmiah yang tepat dari konsekuensi program sebagai berikut."
Tversky and Kahneman (1981) demonstrated systematic when the same problem is presented in different ways, for example in the Asian disease problem. Participants were asked to "imagine that the U.S. is preparing for the outbreak of an unusual Asian disease, which is expected to kill 600 people. Two alternative programs to combat the disease have been proposed. Assume the exact scientific estimate of the consequences of the programs are as follows."


Kelompok partisipan pertama disajikan dengan pilihan di antara program-program: Dalam kelompok 600 orang,
The first group of participants was presented with a choice between programs:
In a group of 600 people,


* Program A: "200 people will be saved"
* Program A: "200 orang akan diselamatkan"
* Program B: "there is a 1/3 probability that 600 people will be saved, and a 2/3 probability that no people will be saved"
* Program B: "ada 1/3 kemungkinan bahwa 600 orang diselamatkan, dan 2/3 kemungkinan bahwa tak ada orang yang diselamatkan"


72 percent of participants preferred program A (the remainder, 28%, opting for program B).
72 persen partisipan lebih memilih program A (28% sisanya memilih program B).


Grup partisipan kedua disajikan dengan pilihan sebagai berikut, yakni dalam kelompok 600 orang,
The second group of participants was presented with the choice between the following:
In a group of 600 people,


* Program C: "400 people will die"
* Program C: "400 orang akan meninggal"
* Program D: "there is a 1/3 probability that nobody will die, and a 2/3 probability that 600 people will die"
* Program D: "ada 1/3 kemungkinan tidak ada orang meninggal, dan 2/3 kemungkinan jika 600 orang akan meninggal"


In this decision frame, 78% preferred program D, with the remaining 22% opting for program C.
Dalam ''frame'' keputusan ini, 78% lebih memilih program D, dengan 22% sisanya memilih program C.


Programs A and C are identical, as are programs B and D. The change in the decision frame between the two groups of participants produced a preference reversal: when the programs were presented in terms of lives saved, the participants preferred the secure program, A (= C). When the programs were presented in terms of expected deaths, participants chose the gamble D (= B).<ref name=Entman1993/>
Program A dan C identik, begitu pula program B dan D. Perubahan dalam ''frame'' penentuan di antara dua kelompok partisipan menghasilkan pembalikan preferensi: saat program-program disajikan dengan istilah penyelamatan nyawa, para partisipan lebih memilih program yang aman, A (= C). Saat program disajikan dalam istilah kematian yang diperkirakan, partisipan memilih risiko D (= B).<ref name=Entman1993/>


===Absolute and relative influences===
===Pengaruh mutlak dan relatif===


Framing effects arise because one can often frame a decision using multiple [[scenario]]s, in which one may express benefits either as a [[relative risk reduction]] (RRR), or as [[absolute risk reduction]] (ARR). Extrinsic control over the cognitive distinctions (between [[risk tolerance]] and [[Incentive|reward anticipation]]) adopted by decision makers can occur through altering the presentation of [[relative risk]]s and [[Three degrees of comparison|absolute]] benefits.
Pengaruh-pengaruh ''framing'' timbul karena seseorang dapat sering membingkai keputusan menggunakan banyak [[scenario|skenario]] mana yang mungkin mengungkapkan manfaat baik sebagai [[relative risk reduction|pengurangan risiko relatif]] (RRR), atau sebagai [[absolute risk reduction|pengurangan risiko mutlak]] (ARR). Kendai ekstrinsik terhadap perbedaan-perbedaan kognitif (antara [[risk tolerance|toleransi risiko]] dan [[Incentive|antisipasi penghargaan]]) yang diangkat para pembuat keputusan dapat terjadi lewat mengubah presentasi [[relative risk|risiko relatif]] dan keuntungan-keuntungan [[Three degrees of comparison|absolut]].


Umumnya, masyarakat lebih memilih keputusan mutlak yang melekat pada efek positif ''framing'' yang menawarkan jaminan perolehan. Saat opsi-opsi keputusan muncul dibingkai sebagai ''likely gain'', pilihan-pilihan yang menolak risiko menonjol.
People generally prefer the absolute certainty inherent in a positive framing-effect, which offers an assurance of gains. When decision-options appear framed as a ''likely gain'', risk-averse choices predominate.


Pergeseran terhadap tingkah laku pencari risiko terjadi saat pembuat keputusan membingkai keputusan dalam ketentuan-ketentuan negatif, atau mengangkat pengaruh negatif ''framing''.
A shift toward risk-seeking behavior occurs when a decision-maker frames decisions in negative terms, or adopts a negative framing effect.


In [[Decision-making|medical decision making]], framing bias is best avoided by using absolute measures of efficacy.<ref name="pmid21792695">{{cite journal|vauthors=Perneger TV, Agoritsas T | title=Doctors and Patients' Susceptibility to Framing Bias: A Randomized Trial | journal=J Gen Intern Med | year= 2011 | volume= 26| issue= 12| pages= 1411–17| pmid=21792695 | doi=10.1007/s11606-011-1810-x | pmc= 3235613}}</ref>
Dalam [[Decision-making|pembuatan keputusan medis]], ''framing bias'' paling baik dihindari dengan menggunakan ukuran mutlak kemanjuran.<ref name="pmid21792695">{{cite journal|vauthors=Perneger TV, Agoritsas T | title=Doctors and Patients' Susceptibility to Framing Bias: A Randomized Trial | journal=J Gen Intern Med | year= 2011 | volume= 26| issue= 12| pages= 1411–17| pmid=21792695 | doi=10.1007/s11606-011-1810-x | pmc= 3235613}}</ref>


===Frame-manipulation research===
===Penelitian ''frame-manipulation'' ===
Researchers have found that framing decision-problems in a positive light generally results in less-risky choices; with negative framing of problems, riskier choices tend to result.<ref name="TverskyKahneman1981" />
Para peneliti menemukan bahwa masalah-masalah keputusan ''framing'' dalam sorotan positif umumnya menghasilkan pilihan yang lebih sedikit risikonya; dengan ''framing'' negatif permasalahan, cenderung lebih berisiko pilihannya.<ref name="TverskyKahneman1981" />


In a study by researchers at [[Dartmouth Medical School]], 57% of the subjects chose a medication when presented with benefits in relative terms, whereas only 14.7% chose a medication whose benefit appeared in absolute terms. Further questioning of the patients suggested that, because the subjects ignored the underlying risk of disease, they perceived benefits as greater when expressed in relative terms.<ref>{{Cite journal | doi=10.1007/bf02599636 | pmid=8271086| title=The framing effect of relative and absolute risk| journal=Journal of General Internal Medicine| volume=8| issue=10| pages=543–548| year=1993| last1=Malenka| first1=David J.| last2=Baron| first2=John A.| last3=Johansen| first3=Sarah| last4=Wahrenberger| first4=Jon W.| last5=Ross| first5=Jonathan M.| s2cid=8257709}}</ref>
Pada sebuah penelitian oleh para peneliti [[Dartmouth Medical School]], 57% subjek memilih pengobatan saat disajikan dengan keuntungan-keuntungan dalam istilah-istilah relatif, sedangkan 14.7% memilih pengobatan yang keuntungannya disajikan dalam istilah-istilah mutlak. Lebih lanjut, pertanyaan pasien menunjukkan bahwa, karena subjek mengabaikan risiko pokok penyakit, mereka memandang manfaat menjadi lebih besar saat ditunjukkan dalam ketentuan-ketentuan relatif .<ref>{{Cite journal | doi=10.1007/bf02599636 | pmid=8271086| title=The framing effect of relative and absolute risk| journal=Journal of General Internal Medicine| volume=8| issue=10| pages=543–548| year=1993| last1=Malenka| first1=David J.| last2=Baron| first2=John A.| last3=Johansen| first3=Sarah| last4=Wahrenberger| first4=Jon W.| last5=Ross| first5=Jonathan M.| s2cid=8257709}}</ref>


===Theoretical models===
===Model-model teoretis ===
Researchers have proposed<ref name=ChongDruckman2007/><ref>{{Cite journal | doi=10.1177/009365097024005002 |title = Switching Trains of Thought|journal = Communication Research|volume = 24|issue = 5|pages = 481–506|year = 1997|last1 = Price|first1 = Vincent|last2 = Tewksbury|first2 = David|last3 = Powers|first3 = Elizabeth|s2cid = 145098410}}</ref> various models explaining the '''framing effect''':
Para peneliti telah mengajukan bermacam-macam<ref name=ChongDruckman2007/><ref>{{Cite journal | doi=10.1177/009365097024005002 |title = Switching Trains of Thought|journal = Communication Research|volume = 24|issue = 5|pages = 481–506|year = 1997|last1 = Price|first1 = Vincent|last2 = Tewksbury|first2 = David|last3 = Powers|first3 = Elizabeth|s2cid = 145098410}}</ref> model menjelaskan pengaruh ''framing''.


* teori-teori kognitif, seperti [[fuzzy-trace theory|teori ''fuzzy-trace'']], berusaha untuk menjelaskan pengaruh ''framing'' dengan menentukan jumlah upaya pemrosesan kognitif yang ditujukan untuk menentukan nilai potensi keungungan dan kerugian.
* cognitive theories, such as the [[fuzzy-trace theory]], attempt to explain the framing-effect by determining the amount of cognitive processing effort devoted to determining the value of potential gains and losses.
*[[prospect theory|teori prospek]] menjelaskan pengaruh ''framing'' dalam ketentuan-ketentuan fungsional yang ditentukan dengan pilihan untuk nilai-nilai yang dirasakan berbeda berdasarkan asumsi bahwa khalayak memberi pembobotan lebih hebat pada kerugian daripada keuntungan yang setara.
*[[prospect theory]] explains the framing-effect in functional terms, determined by preferences for differing perceived values, based on the assumption that people give a greater weighting to losses than to equivalent gains.
*teori-teori [[motivation|motivasion]]al menjelaskan efek ''framing'' dalam ketentuan-ketentuan paksaan [[hedonic|hedonik]] yang mempengaruhi individu, seperti rasa takut dan harapan —berdasarkan pada gagasan bahwa emosi-emosi negatif yang ditimbulkan oleh potensi kerugian biasanya lebih berat dari emosi yang ditimbulkan oleh keuntungan hipotesis.
*[[motivation]]al theories explain the framing-effect in terms of [[hedonic]] forces affecting individuals, such as fears and wishes—based on the notion that negative emotions evoked by potential losses usually out-weigh the emotions evoked by hypothetical gains.
* teori ''trade-off [[Cost-benefit analysis|cost-benefit]]'' mendefinisikan pilihan sebagai kompromo antara keinginan, baik sebagai preferensi untuk keputusan yang benar atau preferensi untuk upaya kognitif yang diminimalkan. Model yang memadukan unsur-unsur teori kognitif dan motivasi ini, mendalilkan bahwa menghitung nilai perolehan yang pasti membutuhkan upaya kognitif yang jauh lebih sedikit daripada yang diperlukan untuk memilih perolehan yang berisiko.
* cognitive [[Cost-benefit analysis|cost-benefit]] trade-off theory defines choice as a compromise between desires, either as a preference for a correct decision or a preference for minimized cognitive effort. This model, which dovetails elements of cognitive and motivational theories, postulates that calculating the value of a sure gain takes much less cognitive effort than that required to select a risky gain.


===Neuroimaging===
===''Neuroimaging''===


Cognitive [[neuroscientist]]s have linked the framing effect to neural activity in the [[amygdala]], and have identified another brain-region, the orbital and medial [[prefrontal cortex]] (OMPFC), that appears to moderate the role of [[emotion]] on decisions. Using [[functional magnetic resonance imaging]] (fMRI) to monitor brain-activity during a financial decision-making task, they observed greater activity in the OMPFC of those research subjects less susceptible to the framing effect.<ref>{{cite journal | last1 = De Martino | first1 = B. | last2 = Kumaran | first2 = D. | last3 = Seymour | first3 = B. | last4 = Dolan | first4 = R. J. | year = 2006 | title = Frames, biases, and rational decision-making in the human brain | journal = Science | volume = 313 | issue = 5787| pages = 684–87 | doi = 10.1126/science.1128356 | pmid = 16888142 | pmc = 2631940 | bibcode = 2006Sci...313..684D }}</ref>
[[Neuroscientist|Para ahli saraf]] kognitif telah mengaitkan efek ''framing'' pada aktivitas saraf di [[amygdala]] dan mengidentifikasi bagian otak lain, [[prefrontal cortex|korteks prefrontal]] (OMPFC) orbital dan medial yang muncul untuk memoderasi peran [[emotion|emosi]] terhadap keputusan. Menggunakan [[functional magnetic resonance imaging|pencitraan resonansi magnetik fungsional]] (fMRI) untuk mengamati aktivitas otak selama tugas pembuatan keputusan, mereka mengamati aktivitas yang lebih besar di OMPFC dari subjek penelitian yang kurang rentan terhadap efek ''framing''.<ref>{{cite journal | last1 = De Martino | first1 = B. | last2 = Kumaran | first2 = D. | last3 = Seymour | first3 = B. | last4 = Dolan | first4 = R. J. | year = 2006 | title = Frames, biases, and rational decision-making in the human brain | journal = Science | volume = 313 | issue = 5787| pages = 684–87 | doi = 10.1126/science.1128356 | pmid = 16888142 | pmc = 2631940 | bibcode = 2006Sci...313..684D }}</ref>


==In sociology==
==Dalam sosiologi==
'''[[Framing theory]]''' dan '''frame analysis''' provide a broad theoretical approach that analysts have used in [[communication studies]], [[journalism|news]] (Johnson-Cartee, 1995), politics, and [[social movement]]s (among other applications).
'''[[Framing theory|Teori ''framing'']]''' dan '''analisis frame''' memberikan pendekatan teoretis luas yang telah digunakan analis dalam [[communication studies|kajian-kajian komunikasi]], [[Jurnalisme|berita]] (Johnson-Cartee, 1995), politik, dan [[social movement|pergerakan sosial]] (di antara penerapan).


Menurut Bert Klandermans, "konstruksi sosial ''frame-frame'' tindakan kolektif" melibatkan "wacana publik, yaitu antarmuka wacana media dan interaksi antarpersonal; komunikasi persuasif saat kampanye-kampanye oleh organisasi-organisasi pergerakan, para lawan dan organisasi kontra-gerakan mereka; dan peningkatan kesadaran selama episode tindakan kolektif".<ref>
According to Bert Klandermans, the "social construction of collective action frames" involves "public discourse, that is, the interface of media discourse and interpersonal interaction; persuasive communication during mobilization campaigns by movement organizations, their opponents and countermovement organizations; and consciousness raising during episodes of collective action".<ref>
Bert Klandermans. 1997. ''The Social Psychology of Protest''. Oxford: Blackwell, p. 45
Bert Klandermans. 1997. ''The Social Psychology of Protest''. Oxford: Blackwell, p. 45
</ref>
</ref>


===History===
===Sejarah===
[[diction|Word-selection]] has been a component of [[rhetoric]].
[[diction|Word-selection]] telah menjadi komponen [[rhetoric|retorik]].


Most commentators attribute the concept of framing to the work of [[Erving Goffman]] on [[frame analysis]] and point to his 1974 book, ''Frame analysis: An essay on the organization of experience''. Goffman used the idea of frames to label "schemata of interpretation" that allow individuals or groups "to locate, perceive, identify, and label" events and occurrences, thus rendering meaning, organizing experiences, and guiding actions.<ref>
Kebanyakan juru ulas menyematkan konsep ''framing'' terhadap kerja [[Erving Goffman]] mengenai [[frame analysis|analisis ''frame'']] dan mengarahkan pada buku tahun 1974, ''Frame analysis: An essay on the organization of experience''. Goffman menggunakan ide ''frame'' untuk melabeli "skemata interpretasi" yang membolehkan para individu atau kelompok "untuk meletakkan,melihat, mengidentifikasi, dan melabeli" peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, sehingga memberikan makna, mengatur pengalaman, dan membimbing tindakan.<ref>
Erving Goffman (1974). ''Frame Analysis: An essay on the organization of experience''. Cambridge: Harvard University Press, 1974, p. 21.
Erving Goffman (1974). ''Frame Analysis: An essay on the organization of experience''. Cambridge: Harvard University Press, 1974, p. 21.
</ref> Konsep ''framing'' Goffman berkembang dari karyanya pada tahun 1959, ''[[The Presentation of Self in Everyday Life]]'', sebuah ulasan dari [[manajemen]] [[Impression management|impresi]]. Karya-karya ini bisa dibilang bergantung pada konsep imej karya [[Kenneth Boulding]].<ref>
</ref>
Goffman's framing concept evolved out of his 1959 work, ''[[The Presentation of Self in Everyday Life]]'', a commentary on the [[management]] of [[Impression management|impressions]]. These works arguably depend on [[Kenneth Boulding]]'s concept of image.<ref>
Kenneth Boulding: ''The Image: Knowledge in Life and Society'', University of Michigan Press, 1956)
Kenneth Boulding: ''The Image: Knowledge in Life and Society'', University of Michigan Press, 1956)
</ref>
</ref>


===Social movements===
===Gerakan-gerakan sosial===
Para sosiologis telah memanfaatkan ''framing'' untuk menjelaskan proses [[social movement|pergerakan sosial]].<ref name="SnowBenford1988" /> Pergerakan bertindak sebagai pembawa kepercayaan dan ideologi (bandingkan [[meme]]), terlebih lagi, mereka berjalan sebagai bagian proses membangun makna untuk para partisipan dan penentang (Snow & Benford, 1988). Para sosiologis menganggap mobilisasi pergerakan massa "sukses" saat ''frame-frame'' yang diproyeksikan sejajar dengan ''frame'' partisipan untuk menghasilkan resonansi antara kedua pihak. Para peneliti ''framing'' membicarakan proses ini sebagai ''frame re-alignment''.
Sociologists have utilized framing to explain the process of [[social movement]]s.<ref name="SnowBenford1988" />
Movements act as carriers of beliefs and ideologies (compare [[meme]]s). In addition, they operate as part of the process of constructing meaning for participants and opposers (Snow & Benford, 1988). Sociologists deem the mobilization of mass-movements "successful" when the frames projected align with the frames of participants to produce resonance between the two parties. Researchers of framing speak of this process as ''frame re-alignment''.


===Frame-alignment===
===''Frame-alignment''===
Snow and Benford (1988) regard frame-alignment as an important element in social mobilization or movement. They argue that when individual frames become linked in congruency and complementariness, "frame alignment" occurs,<ref name="Snowetal1986">{{cite journal | last1 = Snow | first1 = D. A. | last2 = Rochford | first2 = E. B. | last3 = Worden | first3 = S. K. | last4 = Benford | first4 = R. D. | s2cid = 144072873 | year = 1986 | title = Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation | journal = American Sociological Review | volume = 51 | issue = 4| pages = 464–481 | doi=10.2307/2095581| jstor = 2095581 }}</ref>
Snow dan Benford (1988) menganggap deretan frame (''frame-alignment'') sebagai elemen penting dalam pergerakan atau perpindahan sosial. Mereka memperdebatkan bahwa saat ''frame-frame'' individu terhubung dalam keselarasan dan saling melengkapi, "''frame alignment''" terjadi,<ref name="Snowetal1986">{{cite journal | last1 = Snow | first1 = D. A. | last2 = Rochford | first2 = E. B. | last3 = Worden | first3 = S. K. | last4 = Benford | first4 = R. D. | s2cid = 144072873 | year = 1986 | title = Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation | journal = American Sociological Review | volume = 51 | issue = 4| pages = 464–481 | doi=10.2307/2095581| jstor = 2095581 }}</ref> memproduksi "''frame resonance''", katalis dalam proses grup yang melakukan transisi dari sebuah ''frame'' ke ''frame'' lain (meskipun tidak semua upaya-upaya ''framing'' membuktikan kesuksesan). Persyaratan yang mempengaruhi atau memaksa upaya-upaya ''framing'' termasuk berikut ini.
producing "frame resonance", a catalyst in the process of a group making the transition from one frame to another (although not all framing efforts prove successful). The conditions that affect or constrain framing efforts include the following:


* "The robustness, completeness, and thoroughness of the framing effort". Snow and Benford (1988) identify three core framing-tasks, and state that the degree to which framers attend to these tasks will determine participant mobilization. They characterize the three tasks as the following:
* "Kekokohan, kelengkapan, dan ketelitian upaya ''framing''". Snow dan Benford (1988) mengidentifikasi tiga inti tugas ''framing'', dan menyatakan bahwa sejauh mana menghadapi tugas-tugas ini akan menentukan mobilisasi partisipan. Mereka menggambarkan tiga tugas tersebut sebagai berikut.
*# ''framing'' diagnostik untuk identifikasi masalah dan penugasan menyalahkan.
*# diagnostic framing for the identification of a problem and assignment of blame
*# ''framing'' prognostik untuk menyarankan solusi, strategi, dan taktik terhadap sebuah masalah.
*# prognostic framing to suggest solutions, strategies, and tactics to a problem
*# ''framing'' motivasional yang menjadi panggilan untuk senjata atau alasan untuk bertindak.
*# motivational framing that serves as a call to arms or rationale for action
* Hubungan antara ''frame'' yang diusulkan dan [[belief system|sistem kepercayaan]] yang lebih luas, secara pusat: ''frame'' tak bisa menjadi sarti penting dan hierarki yang rendah dalam sistem kepercayaan yang lebih luas. Jangkauan dan keterkaitannya, apabila pembuat ''frame'' menghubungkan frame kepada satu saja inti keyakinan atau nilai yang sendirinya memiliki jangkauan dalam sistem kepercayaan yang lebih luas, ''frame'' tersebut memiliki derajat diskonto yang tinggi.
* The relationship between the proposed frame and the larger [[belief system|belief-system]]; centrality: the frame cannot be of low hierarchical significance and salience within the larger belief system. Its range and interrelatedness, if the framer links the frame to only one core belief or value that, in itself, has a limited range within the larger belief system, the frame has a high degree of being discounted.
* Relevansi ''frame'' terhadap kenyataan partisipan; ''frame'' harus terlihat relevan untuk para partisipan dan juga harus memberikan mereka informasi. Kredibilitas empiris atau testabilitas dapat membatasi relevansi: berkaitan dengan pengalaman partisipan, dan memiliki ketepatan naratif, artinya sesuai dengan mitos dan narasi budaya yang ada.
* Relevance of the frame to the realities of the participants; a frame must seem relevant to participants and must also inform them. Empirical credibility or testability can constrain relevancy: it relates to participant experience, and has narrative fidelity, meaning that it fits in with existing cultural myths and narrations.
*[[Protest cycle|Cycles of protest]] (Tarrow 1983a; 1983b); the point at which the frame emerges on the timeline of the current era and existing preoccupations with social change. Previous frames may affect efforts to impose a new frame.
*[[Protest cycle|''Cycles of protest'']] (Tarrow 1983a; 1983b); titik di mana ''frame'' muncul pada garis waktu era masa kini dan keasyikan yang ada dengan perubahan sosial. ''Frame-frame'' sebelumnya dapat memengaruhi upaya untuk mengenakan ''frame'' baru.


Snow and Benford (1988) propose that once someone has constructed proper frames as described above, large-scale changes in society such as those necessary for social movement can be achieved through frame-alignment.
Snow dan Benford (1988) mengusulkan bahwa begitu seseorang telah membangun ''frame-frame'' tepat seperti yang dijabarkan di atas, perubahan skala besar dalam masyarakat seperti kepentingan untuk pegerakan sosial itu dapat dicapai melalui ''frame-alignment''.


====Types====
====Tipe-tipe====
Frame-alignment comes in four forms: frame bridging, frame amplification, frame extension and frame transformation.
''Frame-alignment'' muncul dalam empat bentuk: ''frame bridging'', ''frame amplification'', ''frame extension'' dan ''frame transformation''.


#''Frame bridging'' involves the "linkage of two or more ideologically congruent but structurally unconnected frames regarding a particular issue or problem" (Snow et al., 1986, p.&nbsp;467). It involves the linkage of a movement to "unmobilized [''[[sic]]''] sentiment pools or public opinion preference clusters" (p.&nbsp;467) of people who share similar views or grievances but who lack an organizational base.
#''Frame bridging'' melibatkan "hubungan dua atau lebih frame-frame yang kongruen secara ideologis, tetapi tidak terhubung secara struktural mengenai isu atau masalah tertentu" (Snow dkk., 1986, hal.&nbsp;467). Hal tersebut melibatkan hubungan sebuah pergerakan terhadap "kumpulan sentimen atau kelompok preferensi opini publik yang tidak bergerak [''[[sic]]'']" (hal.&nbsp;467) orang-orang yang berbagi pandangan atau keluhan serupa, tetapi yang tidak memiliki basis organisasi.
#''Frame amplification'' refers to "the clarification and invigoration of an interpretive frame that bears on a particular issue, problem, or set of events" (Snow et al., 1986, p.&nbsp;469). This interpretive frame usually involves the invigorating of values or beliefs.
#''Frame amplification'' mengacu pada "klarifikasi dan penyegaran ''frame'' interpretatif yang mengemban isu, masalah, atau rangkaian peristiwa tertentu" (Snow dkk., 1986, hal.&nbsp;469). ''Frame'' interpretatif ini biasanya melibatkan penyegaran nilai-nilai atau kepercayaan.
#''Frame extensions'' represent a movement's effort to incorporate participants by extending the boundaries of the proposed frame to include or encompass the views, interests, or sentiments of targeted groups (Snow et al., 1986, p.&nbsp;472).
#''Frame extensions'' mewakili usaha pergerakan untuk menggabungkan para peserta dengan melebarkan batasan-batasan ''frame'' yang diusulkan untuk memuat atau mencakup para pengamat, peminat, atau sentimen grup yang ditargetkan (Snow dkk., 1986, hal.&nbsp;472).
#''Frame transformation'' becomes necessary when the proposed frames "may not resonate with, and on occasion may even appear antithetical to, conventional lifestyles or rituals and extant interpretive frames" (Snow et al., 1986, p.&nbsp;473).
#''Frame transformation'' menjadi penting saat ''frame-frame'' yang diusulkan "mungkin tidak beresonansi dan kadang kala, bahkan tampak bertentangan kepada gaya hidup konvensional atau ritual dan kerangka penafsiran yang masih ada" (Snow dkk., 1986, hal.&nbsp;473).


When this happens, the securing of participants and support requires new values, new meanings and understandings. Goffman (1974, pp.&nbsp;43–44) calls this "keying", where "activities, events, and biographies that are already meaningful from the standpoint of some primary framework, in terms of another framework" (Snow et al., 1986, p.&nbsp;474) such that they are seen differently. Two types of frame transformation exist:
Saat ini terjadi, pengamanan peserta dan dukungan membutuhkan nilai-nilai baru, makna-makna baru, dan pemahaman. Goffman (1974, hal.&nbsp;43–44) menyebut hal ini "kunci", saat "para aktivis, peristiwa, dan biografi yang telah bermakna dari sudut beberapa ''framework'' utama, dalam ketentuan-ketentuan ''framework'' lain" (Snow dkk., 1986, hal.&nbsp;474) sedemikian rupa sehingga mereka terlihat berbeda. Dua tipe transformasi ''frame'' berwujud


# Domain-specific transformations, such as the attempt to alter the status of groups of people, and
# ''Domain-specific transformations'', seperti upaya untuk mengubah status grup-grup masyarakat, dan
# Global interpretive frame-transformation, where the scope of change seems quite radical—as in a change of [[world view|world-views]], total conversions of thought, or uprooting of everything familiar (for example: moving from [[communism]] to [[market capitalism]], or vice versa; [[religious conversion]], etc.).
# ''Global interpretive frame-transformation'', di mana ruang lingkup perubahan terlihat cukup radikal—seperti dalam perubahan [[world view|pandangan dunia]], konversi total pemikiran, atau pencabutan segala sesuatu yang akrab (misalnya: berpindah dari [[komunisme]] ke [[market capitalism|kapitalis pasar]], atau sebaliknya; [[religious conversion|pengubahan agama]], dll.).


==Sebagai kritik retorik==
==As rhetorical criticism==
Although the idea of language-framing had been explored earlier by [[Kenneth Burke]] (terministic screens), political communication researcher [[Jim A. Kuypers]] first published work advancing [[frame analysis]] (framing analysis) as a rhetorical perspective in 1997. His approach begins inductively by looking for themes that persist across time in a text (for Kuypers, primarily news narratives on an issue or event) and then determining how those themes are framed. Kuypers's work begins with the assumption that frames are powerful rhetorical entities that "induce us to filter our perceptions of the world in particular ways, essentially making some aspects of our multi-dimensional reality more noticeable than other aspects. They operate by making some information more salient than other information...."<ref>
Walaupun pemikiran ''language-framing'' telah dijelajah sebelumnya oleh [[Kenneth Burke]] (saringan-saringan terministik), peneliti komunikasi politik [[Jim A. Kuypers]] pertama kali menerbitkan karya [[frame analysis|analisis ''frame'']] (''framing analysis'') terdahulu sebagai sudut pandang retorik dalam 1997. Pendekatannya dimulai secara induktif dengan mencari tema-tema yang bertahan sepanjang waktu dalam sebuah teks (bagi Kuypers, utamanya narasi berita terhadap masalah atau peristiwa) dan kemudian menentukan bagaimana tema-tema tersebut dibingkai. Penelitian Kuypers diawali dengan asumsi bahwa ''frame'' adalah entitas retorik kuat yang "menyebabkan kita menyaring persepsi kita terhadap dunia dalam cara yang khusus, pada dasarnya membuat beberapa aspek kenyataan multi-dimensional kita lebih terlihat daripada aspek lainnya. ''Frame'' berjalan dengan membuat beberapa informasi lebih menonjol daripada informasi lainnya...."<ref>
Jim A. Kuypers, "Framing Analysis" in ''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action'', edited by J.A. Kuypers, Lexington Press, 2009. p. 181.</ref>
Jim A. Kuypers, "Framing Analysis" in ''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action'', edited by J.A. Kuypers, Lexington Press, 2009. p. 181.</ref>


In his 2009 essay "Framing Analysis" in ''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action''<ref>
Pada esainya tahun 2009 "''Framing Analysis''" dalam ''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action''<ref>
''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action''</ref> and his 2010 essay "Framing Analysis as a Rhetorical Process",<ref>Kuypers, Jim A. "Framing Analysis as a Rhetorical Process," Doing News Framing Analysis. Paul D'Angelo and Jim A. Kuypers, eds. (New York: Routeledge, 2010).</ref> Kuypers offers a detailed conception for doing framing analysis from a rhetorical perspective. According to Kuypers, "Framing is a process whereby communicators, consciously or unconsciously, act to construct a point of view that encourages the facts of a given situation to be interpreted by others in a particular manner. Frames operate in four key ways: they define problems, diagnose causes, make moral judgments, and suggest remedies. Frames are often found within a narrative account of an issue or event, and are generally the central organizing idea."<ref>Jim A. Kuypers, ''Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age'', Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009.</ref> Kuypers's work is based on the premise that framing is a rhetorical process and as such it is best examined from a rhetorical point of view. Curing the problem is not rhetorical and best left to the observer.
''Rhetorical Criticism: Perspectives in Action''</ref> dan esainya tahun 2010 "''Framing Analysis as a Rhetorical Process''",<ref>Kuypers, Jim A. "Framing Analysis as a Rhetorical Process," Doing News Framing Analysis. Paul D'Angelo and Jim A. Kuypers, eds. (New York: Routeledge, 2010).</ref> Kuypers memberikan konsep detail untuk melakukan analisis ''framing'' dari sudut pandang retorika. Menurut Kuypers, "''Framing'' adalah proses saat para komunikator secara sadar ataupun tidak, bertindak untuk membangun sudut pandang yang mendorong fakta-fakta situasi tertentu untuk ditafsirkan oleh orang lain dengan cara tertentu. ''Frame-frame'' bekerja dalam empat cara kunci: mendefinisikan masalah, mendiagnosis masalah, membuat pertimbangan moral, dan menyarankan pengobatan. ''Frame-frame'' sering ditemukan dalam akun narasi sebuah isu atau peristiwa dan umumnya pusat ide pengorganisasian."<ref>Jim A. Kuypers, ''Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age'', Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009.</ref> Penelitian Kuypers berdasarkan pada premis bahwa ''framing'' adalah proses retoris dan karenanya paling bagus diteliti dari sudut pandang retoris. Menyembuhkan masalah bukanlah retoris dan paling baik diserahkan kepada pengamat.


==Dalam wacana lingkungan==
==In environmental discourse==


=== History of Climate Activism ===
=== Sejarah aktivisme iklim ===
[[Climate activism|Aktivisme iklim]] secara teratur terbentuk dan terbentuk kembali oleh dialog pada tingkat lokal, nasional, dan internasional berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.
[[Climate activism|Climate Activism]] is constantly shaped and reshaped by dialogue at the local, national, and international level pertaining to climate change as well as by evolving societal norms and values.


Beginning with the 19th century [[Transcendentalism|transcendental movement]] in which [[Henry David Thoreau]] penned his novel ''On Walden Pond'' detailing his experiences with the natural environment and augmented by the work of other transcendentalists such as [[Ralph Waldo Emerson]], climate activism has taken many forms. [[John Muir]], also from the late 19th century, advocated for the preservation of Earth for its own sake, establishing the [[Sierra Club]]. [[Aldo Leopold]]’s 1949 collection of essays, ''[[A Sand County Almanac]]'', established a “[[land ethic]]” and has set the stage for modern environmental ethics, calling for conservation and preservation of nature and wilderness. Rachel Carson’s ''[[Silent Spring]]'', published in 1962, revealed the environmental and human health harms of pesticides and successfully advocated for the cessation of [[DDT]] usage.
Diawali dengan [[Transcendentalism|pergerakan transendental]] pada abad 19 ketika [[Henry David Thoreau]] menulis novel ''On Walden Pond'' merinci pengalamannya dengan lingkungan alam dan ditambah oleh karya transendental lainnya seperti [[Ralph Waldo Emerson]], aktivisme iklim telah mengambil banyak bentuk. [[John Muir]], yang juga dari akhir abad 19, menyarankan pelestarian Bumi untuk kepentingannya sendiri, membangun [[Sierra Club]]. Kumpulan esai [[Aldo Leopold]] tahun 1949, ''[[A Sand County Almanac]]'', membentuk “[[land ethic|etika tanah]]” dan telah mengatur tahap untuk etika lingkungan modern, menyerukan konservasi dan pelestarian alam dan hutan belantara. ''[[Silent Spring]]'' karya Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962, mengungkapkan bahaya pestisida bagi kesehatan manusia dan lingkungan dan dengan berhasil menganjurkan enghentian penggunaan [[DDT]].


The concept of global climate change and subsequently the activism space pertaining to the climate took off in the 1970’s. The first [[Earth Day]] took place on April 22, 1970. The decades following witnessed the establishment of [[Greenpeace]], [[Earth First!]], the [[United Nations Environment Programme|United Nations Environmental Program]] (UNEP), and the [[United Nations Framework Convention on Climate Change]] (UNFCCC).
Konsep perubahan iklim dan kemudian ruang aktivisme berkaitan dengan iklim mulai berkembang pada tahun 1970-an. [[Hari Bumi]] pertama berlangsung pada 22 April, 1970. Dekade-dekade berikutnya menjadi saksi berdirinya [[Greenpeace]], [[Earth First!]], [[Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Program Lingkungan PBB]] (UNEP), dan [[Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa|Konvensi Kerangka Kerja PBB terhadap Perubahan Iklim]] (UNFCCC).


Landmark climate documents in the last 30 years include the [[Rio Declaration on Environment and Development|Rio Declaration]], [[Kyoto Protocol]], [[Paris Agreement|Paris Climate Agreement]], [https://www.gycad.org Global Youth Climate Action Declaration], among others.
Dokumen-dokumen iklim penting dalam 30 tahun terakhir di antaranya termasuk [[Rio Declaration on Environment and Development|"Rio Declaration"]], "[[Kyoto Protocol|Kyoto Protocol"]], "[[Paris Agreement|Paris Climate Agreement]]", dan "[https://www.gycad.org Global Youth Climate Action Declaration]".


Most recently, the [[Peoples Climate March|Peoples’ Climate March]] and Global Climate Strike have evolved into events attended by millions of activists and citizens around the world annually. Climate activism has been reinvigorated by an insurgence of young people on the frontlines of dialogue and advocacy. [[Greta Thunberg]], a young Swedish woman, founded the initiative [[School strike for the climate|Fridays for Future]] which now has active chapters in scores of countries around the world. Other active youth-led climate groups include [[Extinction Rebellion]], the [[Sunrise Movement]], [[SustainUS]], the [https://www.gycad.org Global Youth Climate Action Declaration] (GYCAD), [http://thisiszerohour.org/ ZeroHour], among others working at both the transnational and local levels.
Yang terbaru, [[Peoples Climate March|Peoples’ Climate March]] dan Global Climate Strike telah berkembang menjadi peristiwa-peristiwa yang dihadiri oleh berjuta-juta warga sipil dan aktivis seluruh dunia setiap tahun. Aktivitas iklim telah dihidupkan kembali oleh pemberontakan kaum muda di garis depan dialog dan advokasi. [[Greta Thunberg|Greta Thunber]], seorang wanita muda asal Swedia menginisiasi [[School strike for the climate|Fridays for Future]] yang kini memiliki cabang aktif di sejumlah negara di seluruh dunia. Grup iklim aktif lainnya yang dipimpin oleh pemuda termasuk di antaranya [[Extinction Rebellion]], [[Sunrise Movement]], [[SustainUS]], [https://www.gycad.org Global Youth Climate Action Declaration] (GYCAD), [http://thisiszerohour.org/ ZeroHour], bekerja di tingkat lokal dan lintasnegara.


=== Individual motivation & acceptance ===
=== Motivasi dan dukungan individu ===
Individual motivation to address climate change is the bedrock on which [[collective action]] is built. Decision-making processes are informed by a myriad of factors including values, beliefs, and normative behaviors. In the United States, individuals have been most effectively motivated to support climate change policies when a public health frame has been employed. This frame reduces the sense of ambiguity and dissociation often elicited by talk of melting ice sheets and carbon emissions by placing climate issues in a local context for the individual, whether in their country, state, or city.<ref>{{Cite book | doi=10.7591/9781501730801-012 |chapter = 8. Framing Climate Change|title = Communicating Climate Change|pages = 57–69|year = 2019|isbn = 9781501730801|last1 = Armstrong|first1 = Anne K.|last2 = Krasny|first2 = Marianne E.|last3 = Schuldt|first3 = Jonathon P.|s2cid = 226705441}}</ref>
Motivasi individu untuk mengatasi perubahan iklim adalah landasan mengenai dibangunnya [[collective action|tindakan kolektif]]. Proses-proses pembuatan keputusan diinformasikan oleh segudang faktor termasuk nilai-nilai, kepercayaan, dan tingkah laku normatif. Di Amerika Serikat, para individu paling efektif dimotivasi untuk mendukung kebijakan perubahan iklim ketika ''frame'' kesehatan publik digunakan. ''Frame'' ini mengurangi rasa ambiguitas dan disosiasi sering ditimbulkan oleh pembicaraan tentang pencairan lapisan es dan emisi karbon dengan menempatkan masalah iklim dalam konteks lokal untuk individu, baik di negara, negara bagian, atau kota mereka.<ref>{{Cite book | doi=10.7591/9781501730801-012 |chapter = 8. Framing Climate Change|title = Communicating Climate Change|pages = 57–69|year = 2019|isbn = 9781501730801|last1 = Armstrong|first1 = Anne K.|last2 = Krasny|first2 = Marianne E.|last3 = Schuldt|first3 = Jonathon P.|s2cid = 226705441}}</ref>


[[Global warming|Climate change]], as an issue that has yet to be established as a normative belief, is often subject to dissent in the face of activism and advocacy.<ref name=SteentjesKurz2017>{{Cite journal|last1=Steentjes|first1=Katharine|last2=Kurz|first2=Tim|last3=Barreto|first3=Manuela|last4=Morton|first4=Thomas A.|date=2017|title=The norms associated with climate change: Understanding social norms through acts of interpersonal activism|journal=Global Environmental Change|language=en|volume=43|pages=116–125|doi=10.1016/j.gloenvcha.2017.01.008|url=http://orca.cf.ac.uk/97959/1/Final%20Manuscript%20-%20Steentjes%20Kurz%20Barreto%20Morton%20-%20for%20records.pdf}}</ref> Activists engaging in interpersonal, grassroots advocacy in order to elicit more pro-environmental conduct within their social groups, even those engaged in polite confrontation, are subject to negative reactions and social consequences in the face of opposition.<ref name=SteentjesKurz2017/> Moreover, climate change has the capacity to be defined as a moral issue due to anthropogenic effects on the planet and on other human life, however there are psychological barriers to the acceptance of climate change and subsequent motivation to act in response to the need for intervention.<ref name=":0">{{Cite journal|last1=Markowitz|first1=Ezra M.|last2=Shariff|first2=Azim F.|date=2012|title=Climate change and moral judgement|journal=Nature Climate Change|language=en|volume=2|issue=4|pages=243–247|doi=10.1038/nclimate1378|issn=1758-678X|bibcode=2012NatCC...2..243M}}</ref> An article in the journal ''Nature Climate Change'' by Ezra Markowitz and Azim Shariff emphasizes six psychological challenges, listed below, posed by climate change to the human moral judgement system:<ref name=":0"/>
[[Pemanasan global|Perubahan iklim]], sebagai masalah yang belum ditetapkan sebagai keyakinan normatif sering menjadi subjek perbedaan pendapat dalam menghadapi aktivisme dan advokasi.<ref name=SteentjesKurz2017>{{Cite journal|last1=Steentjes|first1=Katharine|last2=Kurz|first2=Tim|last3=Barreto|first3=Manuela|last4=Morton|first4=Thomas A.|date=2017|title=The norms associated with climate change: Understanding social norms through acts of interpersonal activism|journal=Global Environmental Change|language=en|volume=43|pages=116–125|doi=10.1016/j.gloenvcha.2017.01.008|url=http://orca.cf.ac.uk/97959/1/Final%20Manuscript%20-%20Steentjes%20Kurz%20Barreto%20Morton%20-%20for%20records.pdf}}</ref> Para aktivis yang terlibat dalam advokasi akar rumput untuk memperoleh perilaku yang lebih pro-lingkungan dalam grup sosial mereka, bahkan mereka yang terlibat dalam konfrontasi halus adalah subjek terhadap reaksi negatif dan konsekuensi sosial di hadapan oposisi.<ref name=SteentjesKurz2017/> Selain itu, perubahan iklim memiliki kapasitas untuk ditetapkan sebagai isu moral karena efek antropogenik terhadap planet dan kehidupan manusia lainnya, tetapi ada hambatan psikologis terhadap dukungan perubahan iklim dan motivasi selanjutnya untuk bertindak dalam menanggapi keperluan akan intervensi.<ref name=":0">{{Cite journal|last1=Markowitz|first1=Ezra M.|last2=Shariff|first2=Azim F.|date=2012|title=Climate change and moral judgement|journal=Nature Climate Change|language=en|volume=2|issue=4|pages=243–247|doi=10.1038/nclimate1378|issn=1758-678X|bibcode=2012NatCC...2..243M}}</ref> Sebuah artikel dalam jurnal ''Nature Climate Change'' oleh Ezra Markowitz dan Azim Shariff menekankan enam tantangan psikologis, tercantum di bawah ini, yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada sistem penilaian moral manusia.<ref name=":0"/>


# '''Abstraksi dan kompleksitas kognitif:''' sifat abstrak dari perubahan iklim membuatnya menjadi nonintuitif dan sulit dipahami secara kognitif.
# '''Abstractness and cognitive complexity:''' the abstract nature of climate change makes it non-intuitive and cognitively effortful to grasp
# '''Ketidakbersalahan dari tindakan yang tidak disengaja:''' sistem penilaian moral manusia disetel dengan baik untuk bereaksi terhadap pelanggaran yang disengaja.
# '''The blamelessness of unintentional action:''' The human moral judgement system is finely tuned to react to intentional transgressions
# '''Kecenderungan bersalah:''' perubahan iklim antropogenik memancing kecenderungan pembelaan diri.
# '''Guilty bias:''' Anthropogenic climate change provokes self-defensive biases
# '''Ketidakpastian melahirkan angan-angan:''' Kurangnya prognosis yang pasti menghasilkan optimisme yang tidak masuk akal.
# '''Uncertainty breeds wishful thinking:''' The lack of definitive prognoses results in unreasonable optimism
# '''Kesukuan moral:''' politisasi perubahan iklim mendorong ideologi yang berlawanan.
# '''Moral tribalism:''' The politicization of climate change fosters ideological polarization
# '''Cakrawala yang lama dan tempat yang jauh:''' korban-korban di luar grup berjatuhan.
# '''Long time horizons and faraway places:''' Out-group victims fall by the wayside


=== Dire Messaging ===
=== ''Dire Messaging'' ===
Climate activism manifests itself through a range of expressions. One aspect of climate change framing that is commonly observed is the frame of dire messaging that has been criticized as alarmist and pessimistic, resulting in a dismissal of evidence-based messages.<ref name=FeinbergWiller2011>{{Cite journal|last1=Feinberg|first1=Matthew|last2=Willer|first2=Robb|date=2011|title=Apocalypse Soon?: Dire Messages Reduce Belief in Global Warming by Contradicting Just-World Beliefs|journal=Psychological Science|language=en|volume=22|issue=1|pages=34–38|doi=10.1177/0956797610391911|pmid=21148457|s2cid=39153081|issn=0956-7976}}</ref>
Aktivisme iklim menyatakan dirinya melalui berbagai ekspresi. Suatu aspek ''framing'' perubahan iklim yang umumnya dikenali adalah ''dire messaging'' yang telah dikritik sebagai penggelisah dan pesimistik, mengakibatkan penolakan pesan berbasis bukti.<ref name=FeinbergWiller2011>{{Cite journal|last1=Feinberg|first1=Matthew|last2=Willer|first2=Robb|date=2011|title=Apocalypse Soon?: Dire Messages Reduce Belief in Global Warming by Contradicting Just-World Beliefs|journal=Psychological Science|language=en|volume=22|issue=1|pages=34–38|doi=10.1177/0956797610391911|pmid=21148457|s2cid=39153081|issn=0956-7976}}</ref>


The [[just-world theory]] supports the notion that some individuals must rely on their presupposition of a just-world in order to substantiate beliefs. “Research on just-world theory has demonstrated that when individuals’ need to believe in a just world is threatened, they commonly employ defensive responses, such as dismissal or rationalization of the information that threatened their just-world beliefs”.<ref name=FeinbergWiller2011/> In the case of climate change, the notion of dire messaging is critical to understanding what motivates activism. For example, having a fear of climate change “attributed to the self’s incapacity to prevent it may result in withdrawal, while considering someone else responsible may result in anger”.<ref name=":1">{{Cite journal | url=https://www.researchgate.net/publication/318307076| doi=10.1080/14742837.2017.1344546| doi-broken-date=October 31, 2021| title=Fear, hope, anger, and guilt in climate activism| journal=Social Movement Studies| volume=16| issue=5| pages=507–519| date=2017-09-03| last1=Kleres| first1=Jochen| last2=Wettergren| first2=Åsa}}</ref>
Teori [[just-world theory|''just-world'']] yang mendukung gagasan bahwa beberapa individu harus bergantung pada pengandaian mengenai dunia yang adil untuk mendukung keyakinan. “Penelitian mengenai teori dunia yang adil telah menunjukkan bahwa saat kebutuhan para individu mempercayai dunia adil terancam, mereka biasanya menggunakan tanggapan defensif, seperti penolakan atau rasionalisasi informasi yang mengancam keyakinan dunia adil mereka”.<ref name=FeinbergWiller2011/> Dalam kasus perubahan iklim, gagasan ''dire messaging'' sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi aktivisme. Contohnya, memiliki rasa takut perubahan iklim “dikaitkan pada ketidakmampuan diri untuk mencegahnya dapat mengakibatkan penarikan diri, sedangkan mempertimbangkan orang lain bertanggung jawab dapat mengakibatkan kemarahan".<ref name=":1">{{Cite journal | url=https://www.researchgate.net/publication/318307076| doi=10.1080/14742837.2017.1344546| doi-broken-date=October 31, 2021| title=Fear, hope, anger, and guilt in climate activism| journal=Social Movement Studies| volume=16| issue=5| pages=507–519| date=2017-09-03| last1=Kleres| first1=Jochen| last2=Wettergren| first2=Åsa}}</ref>


In 2017 study, it was found that activist interviewees from the [[North–South divide in the World|Global North]] embrace fear as a motivation, but “emphasize hope, reject guilt, and treat anger with caution. Interviewees from the [[Global South]] indicated that they are “instead more acutely frightened, less hopeful, and more angered, ascribing guiltresponsibilityto northern countries. These differences may indicate a relatively depoliticized activist approach to climate change in the north, as opposed to a more politicized approach in the south”.<ref name=":1" />
Pada penelitian tahun 2017, ditemukan bahwa aktivis yang diwawancarai dari [[North–South divide in the World|Global North]] merangkul rasa takut sebagai motivasi, tetapi “menekankan harapan, menolak rasa bersalahh, dan memperlakukan kemarahan dengan hati-hati". Para aktivis yang diwawancarai dari [[Global South]] mengindikasikan bahwa mereka “alih-alih lebih ketakutan, kurang harapan, dan lebih marah, menganggap rasa bersalahtanggung jawabke negara-negara bagian utara. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mengindikasikan pendekatan aktivis yang relatif terdepolitisasi terhaadap perubahan iklim di utara, sebagai lawan dari pendekatan yang lebih terpolitisasi di selatan”.<ref name=":1" />


Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa rasa takut memotivasi aksi lewat meningkatkan kesadaran ancaman bencana iklim. Potensi rasa takut yang melumpuhkan dimediasi oleh harapan: harapan mendorong aksi, sementara aksi kolektif menghasilkan harapan sembari mengelola rasa takut. Kapasitas waspada bahaya rasa takut dirangkul "secara internal", tetapi ditolak sebagai emosi efektif dalam memotivasi khalayak untuk berpindah.<ref name=":1" />
A 2017 study shows that fear motivates action through raising awareness of the threat of climate catastrophe. Fear’s paralyzing potential is mediated by hope: Hope propels action, while collective action generates hope while also managing fear. The danger-alerting capacity of fear is embraced ‘internally’, but is rejected as an effective emotion in motivating people to mobilize.<ref name=":1" />


Research has shown that dire messaging reduces the efficacy of advocacy initiatives through demotivation of individuals, lower levels of concern, and decreased engagement.<ref name=":0" />
Peneliti telah menunjukkan bahwa ''dire messaging'' mengurangi kemanjuran inisiatif advokasi melalui demotivasi individu, tingkat kepedulian yang lebih rendah, dan penurunan keterlibatan.<ref name=":0" />


=== Positive framing ===
=== ''Positive framing'' ===
Research contends that ''prognostic framing''—which offers tangible solutions, strategies, targets, and tactics—coupled with ''motivational framing'' is most efficacious in moving people to act.<ref name="SnowBenford1988" /> Especially as it relates to climate change, the power of [[positive psychology]] is made evident when applied by activists and others generating interventions.
Peneliti berpendapat bahwa ''prognostic framing''—yang menawarkan solusi, strategi, target, dan taktik yang nyata—yang bergandengan dengan ''motivational framing'' paling mujarab dalam menggerakkan khalayak untuk bertindak.<ref name="SnowBenford1988" /> Khususnya saat berkaitan dengan perubahan iklim, kekuatan [[positive psychology|psikologi positif]] menjadi jelas saat diterapkan oleh para aktivis dan orang lain yang menghasilkan intervensi-intervensi.


The four main tenets of motivation as elucidated by Positive Psychology are agency, compassion, resilience, and purpose. When applied to climate action, the 4th edition textbook Psychology for Sustainability, further expands upon these tenets as they relate to sustainability and as catalysts of action:<ref name=":2">{{Cite book|title=Psychology for sustainability (4th ed.)|last=Scott|first=Britain|publisher=Psychology Press|year=2016|location=New York, NY}}</ref>
Empat prinsip utama motivasi seperti yang dijelaskan oleh ''Positive Psychology'' adalah ''agency, compassion, resilience'', dan ''purpose''. Saat diterapkan pada aksi iklim, buku teks edisi keempat ''Psychology for Sustainability'', lebih lanjut memperluas prinsip-prinsip ini karena berkaitan terhadap keberlanjutan dan sebagai katalis aksi:<ref name=":2">{{Cite book|title=Psychology for sustainability (4th ed.)|last=Scott|first=Britain|publisher=Psychology Press|year=2016|location=New York, NY}}</ref>


# '''Agency:''' Choosing, planning, and executing situation-relevant behavior
# '''''Agency'':''' memilih, merencanakan, dan mengeksekusi perilaku yang berkaitan dengan situasi.
# '''Compassion:''' Noticing, feeling, and responding to others’ suffering arising from a sense of connectedness
# '''''Compassion'':''' memperhatikan, merasakan, dan merespons penderitaan lain yang timbul dari rasa keterhubungan.
# '''Purpose:''' Striving toward meaningful activity
# '''''Purpose'':''' berusaha menuju aktivitas yang bermakna.
# '''Resilience:''' Recovering from, coping with, or developing new strategies for resisting adversity
# '''''Resilience'':''' memulihkan, mengatasi, atau mengembangkan strategi baru untuk melawan kesulitan.


Harapan menambah rasa ''purpose'' dan ''agency'', sekaligus meningkatkan ketahanan. Bagi para aktivis iklim, tidak mungkin memisahkan harapan dari ketakutan. Namun, saat mendekonstruksi harapan bahwa orang lain akan mengambil tindakan yang perlu, harapan dihasilkan melalui keyakinan pada kapasitasnya sendiri, menunjukkan bahwa “kepercayaan pada tindakan kolektif 'sendiri’ tampaknya menjadi inti dari harapan yang dibicarakan para aktivis”.<ref name=":1" /> Selain itu, membuat hubungan antara tindakan iklim dan emosi-emosi positif seperti rasa syukur dan kebanggaan, peningkatan kesejahteraan subjektif, dn potensi untuk mempengaruhi memungkinkan para individu untuk melihat tindakan mereka sendiri untuk memperbaiki iklim sebagai cara yang bermanfaat dan berkelanjutan daripada menurunkan motivasi.<ref name=":0" />
Hope augments a sense of purpose and agency, while enhancing resilience. For climate activists, it is infeasible to decouple hope from fear. However, when deconstructing the hope that others will take necessary actions, hope is generated through faith in one’s own capacity, indicating that “trust in ‘one’s own’ collective action seems to be the essence of the hope that activists talk about”.<ref name=":1" /> Additionally, creating a link between climate action and positive emotions such as gratitude and pride, improvements in subjective well-being, and potential for impact permits individuals to perceive their own actions to better the climate as a sustainable, rewarding manner rather than as demotivating.<ref name=":0" />


Pendekatan lain yang dibuktikan manjur adalah proyeksi masyarakat utopis dalam isu-isu mendesak yang telah diselesaikan, menawarkan narasi kreatif yang menuntun para individu dari masalah-masalah saat ini ke solusi masa depan dan mengizinkan mereka untuk memilih jadi jembatan antara keduanya. Pendekatan positif antargenerasi ini membangkitkan rasa semangat tentang tindakan iklim pada para individu dan menawarkan solusi kreatif yang dapat mereka pilih untuk ambil bagian di dalamnya.<ref name=":2" /> Sebagai contoh, pengumuman layanan masyarakat yang berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibingkai sebagai berikut.
Another approach that has proven to be efficacious is the projection of a future utopian society in which all pressing issues have been resolved, offering creative narratives that walk individuals from current problems to future solutions and allow them to choose to serve as a bridge between the two. This intergenerational, positive approach generates a sense of excitement about climate action in individuals and offers creative solutions that they may choose to take part in.<ref name=":2" /> For example, a public service announcement pertaining to climate change could be framed as follows:


“Ini 2050, kendaraan elektrik Anda diparkir dan siap untuk pergi di sebelah rumah nol emisi Anda, tetapi Anda memilih untuk mengambil sistem transit yang sangat cepat, efisien, hijau, dan bersih yang dapat diakses dari kebanyakan tempat di Amerika Serikat dan disubsidi untuk warga negara berpenghasilan rendah. Mungkin Anda tinggal di Pegunungan Appalachia di Virginia Barat, di mana industri batu bara digantikan oleh pusat-pusat besar untuk inovasi dan pekerjaan energi hijau. Anda dapat berpindah dengan mudan ke DC atau New York. Makanan Anda tumbuh secara lokal dan disalurkan lewat Koperasi Pertanian Perkotaan yang mendidik anak-anak mengenai cara menumbuhkan makanan, pentingnya pelokalan, dan cara menjadi lebih berkelanjutan.”
“It’s 2050, your electric vehicle is parked and ready to go next to your zero emission home, but you choose to take the extremely efficient, green, clean, rapid transit system that is accessible from most places in the United States and subsidized for low-income citizens. Maybe you live in the beautiful Appalachian mountains of West Virginia, where the coal industry became supplanted by massive hubs for green energy jobs and innovation. You can commute easily to DC or New York. Your food is locally grown and distributed through the Urban Agricultural Co-op that educates children about how to grow food, the importance of localization, and how to be more sustainable.”


=== Political ideology ===
=== Ideologi politik ===
Political communication scholars adopted framing tactics since political rhetoric was around. However, advances in technology have shifted the communication channels they were delivered on. From oral communication, written material, radio, television, and most recently, social media have played a prominent role in how politics is framed. Social media, in particular, allows politicians to communicate their ideologies with concise and precise messaging. Using emotional triggering words, focusing on eliciting fear or anger, to change the way the public feels about a policy is facilitated by the short attention span created by social media (<ref>{{Citation|last=Lecheler|first=Sophie|title=Framing Effects in Political Communication|date=2019-02-27|url=https://oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199756223/obo-9780199756223-0269.xml|work=Political Science|publisher=Oxford University Press|language=en|doi=10.1093/obo/9780199756223-0269|isbn=978-0-19-975622-3|access-date=2021-10-15}}</ref>).
Para peneliti komunikasi politik mengangkat taktik ''framing'' sejak beredarnya retorika politik. Akan tetapi, kemajuan dalam teknologi telah menggeserkan saluran komunikasi yang mereka gunakan. Dari komunikasi oral, material tertulis, radio, televisi, dan yang paling terkini, media sosial telah memainkan peran menonjol dalam bagaimana politik dibingkai. Media sosial, secara khusus, mengizinkan para politik untuk mengomunikasikan ideologi mereka dengan pesan singkat dan tepat. Menggunakan kata-kata yang memicu emosional, berfokus terhadap menimbulkan rasa takut atau amarah, untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kebijakan yang difasilitasi dengan rentang perhatian pendek yang dibuat oleh media sosial (<ref>{{Citation|last=Lecheler|first=Sophie|title=Framing Effects in Political Communication|date=2019-02-27|url=https://oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199756223/obo-9780199756223-0269.xml|work=Political Science|publisher=Oxford University Press|language=en|doi=10.1093/obo/9780199756223-0269|isbn=978-0-19-975622-3|access-date=2021-10-15}}</ref>).


Dalam dekade-dekade terakhir, perubahan iklim telah begitu dipolitisasi dan sering menginisiatif untuk mengatasi atau mengonseptualisasi perubahan iklim cocok untuk satu kemungkinan, sementara sangat diperdebatkan oleh yang lain. Oleh karena itu, penting membingkai aktivitsme iklim dengan cara yang nyata untuk penonton, menemukan makna komunikasi sembari meminimalkan provokasi. Dalam konteks Amerika Serikat, kecenderungan kiri “[[Liberalism in the United States|liberal]]” berbagi nilai-nilai inti kepedulian, keterbukaan, kesederajatan, kebaikan kolektif, pemagaran toleransi untuk ketidakpastian atau ambiguitas, dan penerimaan perubahan', sedangkan kecenderungan kanan “[[Conservatism|konservatif]]” berbagi nilai-nilai inti keamanan, kemurnian, kestabilan, tradisi, hierarki sosial, perintah, dan individualisme.<ref name=":2" />
In recent decades, climate change has become deeply politicized and often, initiatives to address or conceptualize climate change are palatable to one contingency, while deeply contentious to the other. Thus, it is important to frame climate activism in a way that is tangible for the audience, finding means of communicating while minimizing provocation. In the context of the United States, left-leaning “[[Liberalism in the United States|liberals]]” share the core values of care, openness, egalitarianism, collective good, possess a tolerance for uncertainty or ambiguity, and an acceptance of change; while right-leaning “[[Conservatism|conservatives]]” share the core values of security, purity, stability, tradition, social hierarchy, order, and individualism.<ref name=":2" />


A study examining various predictors of public approval for [[renewable energy]] usage in the Western United States used seven varying frames in order to assess the efficacy of framing renewable energy. [[Neoliberalism|Neoliberal]] frameworks that are often echoed by conservatives, such as support for the [[Market economy|free market economy]], are posited against climate action interventions that inherently place constraints on the free economy through support for renewable energy through subsidies or through additional tax on nonrenewable sources of energy.<ref name=":3">{{Cite journal|last1=Hazboun|first1=Shawn Olson|last2=Briscoe|first2=Michael|last3=Givens|first3=Jennifer|last4=Krannich|first4=Richard|date=2019|title=Keep quiet on climate: Assessing public response to seven renewable energy frames in the Western United States|journal=Energy Research & Social Science|language=en|volume=57|pages=101243|doi=10.1016/j.erss.2019.101243|s2cid=202350755}}</ref> Thus, when climate activists are in conversation with conservative-leaning individuals, it would be advantageous to focus on framing that does not provoke fear of constraint on the free market economy or that insinuates broad-sweeping lifestyle changes. Results of the same study support the notion that “non-climate-based frames for renewable energy are likely to garner broader public support” relative to political context and demonstrate the polarized response to climate-based framing, indicating a deep political polarization of climate change.<ref name=":3" />
Sebuah kajian memeriksa berbagai prediktor persetujuan publik untuk penggunaan [[energi terbarukan]] di bagian barat Amerika Serikat menggunakan tujuh macam frame dengan tujuan untuk menilai kemanjuran ''framing'' energi terbarukan. ''Frameworks'' [[Neoliberalism|neoliberal]] digemakan oleh para konservatif, seperti dukungan untuk [[Market economy|ekonomi pasar bebas]], diajukan terhadap intervensi aksi iklim yang secara inheren menempatkan kendala terhadap ekonomi bebas melalui dukungan energi terbarukan melalui subsidi atau pajak tambahan terhadap sumber-sumber energi tak terbarukan.<ref name=":3">{{Cite journal|last1=Hazboun|first1=Shawn Olson|last2=Briscoe|first2=Michael|last3=Givens|first3=Jennifer|last4=Krannich|first4=Richard|date=2019|title=Keep quiet on climate: Assessing public response to seven renewable energy frames in the Western United States|journal=Energy Research & Social Science|language=en|volume=57|pages=101243|doi=10.1016/j.erss.2019.101243|s2cid=202350755}}</ref> Dengan demikian, saat para aktivis iklim bercakap-cakap dengan para individu cenderung konservatif, akan menguntungkan untuk fokus terhadap framing yang tidak memicu ketakutan akan kendala ekonomi pasar bebas atau perubahan-perubahan gaya hidup yang luas. Hasil kajian yang sama mendukung gagasan bahwa "''frame-frame'' berlandaskan non-iklim untuk energi terbarukan paling mungkin mengumpulkan dukungan khalayak yang lebih luas" bertalian dengan konteks politik dan menunjukkan respons bertentangan terhadap pembingkaian berdasarkan iklim yang menunjukkan polarisasi politik yang dalam terhadap perubahan iklim.<ref name=":3" />


The idea of political framing is derived from loss aversion. Politicians want to make their idea less of a risk to potential voters since “People pay more attention to losses than to gains, just as they tend to engage in particular behaviors in the face of losses. Specifically, people take risks when they believe it helps them avert a loss, but when they face again, they opt for risk-averse strategies that maintain status quo”.<ref>{{Cite journal|last1=Osmundsen|first1=Mathias|last2=Petersen|first2=Michael Bang|date=February 2020|title=Framing Political Risks: Individual Differences and Loss Aversion in Personal and Political Situations|url=https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/pops.12587|journal=Political Psychology|language=en|volume=41|issue=1|pages=53–70|doi=10.1111/pops.12587|s2cid=151287033|issn=0162-895X}}</ref> They will communicate it in a way that can convince themselves that they are not losing by agreeing with their ideology.
Ide ''political framing'' berasal dari keengganan kehilangan. Para politikus ingin membuat ide mereka kurang berisiko bagi para pemilih potensial karena “Masyarakat lebih memperhatikan kerugian daripada keuntungan, sama seperti mereka cenderung terlibat dalam perilaku tertentu dalam menghadapi kerugian. Secara rinci, masyarakat mengambil risiko saat mereka percaya itu membantu mereka mencegah kerugian, tetapi saat mereka menghadapi lagi, mereka memilih strategi yang menghindari risiko yang mempertahankan status quo”.<ref>{{Cite journal|last1=Osmundsen|first1=Mathias|last2=Petersen|first2=Michael Bang|date=February 2020|title=Framing Political Risks: Individual Differences and Loss Aversion in Personal and Political Situations|url=https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/pops.12587|journal=Political Psychology|language=en|volume=41|issue=1|pages=53–70|doi=10.1111/pops.12587|s2cid=151287033|issn=0162-895X}}</ref> Mereka akan mengomunikasikannya dengan cara yang dapat meyakinkan bahwa masyarakat tidak rugi dengan menyetujui ideologi para politikus tersebut.


Political framing has also affected other policies besides climate change. Welfare, for example, has been subjected to political framing to shift public opinion on the implementation of the policy. The sheer flux of different frames is conducive to the change of public opinion throughout the years.<ref>{{Cite book|last=Brooks|first=Clem|title=Contested Welfare States|chapter-url=https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/9780804783170-010/html|chapter=Chapter Seven. Framing Theory, Welfare Attitudes, and the United States Case|date=2012-08-29|pages=193–221|publisher=Stanford University Press|isbn=978-0-8047-8317-0|language=en|doi=10.1515/9780804783170-010|s2cid=234415619}}</ref> It affects how people look at “deservedness” when it comes to welfare. One end can be seen as political credit, claiming where in-need citizens have a right to claim welfare as a necessity. It is framed as a duty from the government to citizens. In this frame, no one losses because government is doing its duty to maximize the quality of life for its entire society. The other side sees welfare retrenchment as necessary by using framing tactics to shift the blame and responsibility from the government to the citizens.<ref>{{Cite journal|last1=Esmark|first1=Anders|last2=Schoop|first2=Sarah R|date=December 2017|title=Deserving social benefits? Political framing and media framing of 'deservingness' in two welfare reforms in Denmark|url=http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0958928716688262|journal=Journal of European Social Policy|language=en|volume=27|issue=5|pages=417–432|doi=10.1177/0958928716688262|s2cid=157481107|issn=0958-9287}}</ref> The idea is to convince the public that welfare should be pushed back for their benefit. Contemporary rhetoric, championed by former U.S. President Ronald Reagan, has made the idea of “hard work” their frame to say welfare wouldn’t be necessary if people “worked harder.” With this contrasting frame, wealthier people are now losing because they are losing money in helping fund welfare benefits to those that "work less" than them. This different frame makes welfare seem like a zero-sum game.
''Political framing'' juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan lain selain perubahan iklim. Kesejahteraan, misalnya, telah dikenakan kepada ''political framing'' untuk menggeser opini publik terhadap penerapan kebijakan. Aliran terjal ''frame-frame'' yang berbeda kondusif mengubah opini publik selama bertahun-tahun.<ref>{{Cite book|last=Brooks|first=Clem|title=Contested Welfare States|chapter-url=https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/9780804783170-010/html|chapter=Chapter Seven. Framing Theory, Welfare Attitudes, and the United States Case|date=2012-08-29|pages=193–221|publisher=Stanford University Press|isbn=978-0-8047-8317-0|language=en|doi=10.1515/9780804783170-010|s2cid=234415619}}</ref> Hal tersebut mempengaruhi cara masyarakat memandang “kelayakan” saat bertemu dengan kebijakan. Salah satu ujungnya dapat dilihat sebagai kredit politik, menyatakan bahwa para warga negara yang membutuhkan memiliki hak untuk mengklaim kesejahteraan sebagai kebutuhan. Hal tersebut dibingkai sebagai tugas dari pemerintah ke warga negara. Dalam ''frame'' ini, tak ada yang rugi karena pemerintah melakukan tugasnya untuk memaksimalkan kualitas kehidupan untuk seluruh masyarakat. Sisi lain memandang persingkatan kebijakan sebagai keperluan dengan menggunakan taktik ''framing'' untuk menggeser tanggung jawab dan mencelakan dari pemerintah ke warga negara.<ref>{{Cite journal|last1=Esmark|first1=Anders|last2=Schoop|first2=Sarah R|date=December 2017|title=Deserving social benefits? Political framing and media framing of 'deservingness' in two welfare reforms in Denmark|url=http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0958928716688262|journal=Journal of European Social Policy|language=en|volume=27|issue=5|pages=417–432|doi=10.1177/0958928716688262|s2cid=157481107|issn=0958-9287}}</ref> Pemikiran untuk meyakinkan masyarakat bahwa kesejahteraan herus didorong untuk keuntungan mereka. Retorika kontemporer, diperjuangkan oleh mantan Presiden AS Ronald Reagan, telah membuat ide ''frame'' “kerja keras” mereka untuk mengatakan kesejahteraan tidak diperlukan jika masyarakat “bekerja lebih keras.” Dengan ''frame'' yang berlawanan ini, warga yang lebih kaya sekarang rugi karena mereka mengeluarkan uang untuk membantu dana keuntungan kesejahteraan pada mereka yang "kurang bekerja" dibandingkan mereka. ''Frame'' berbeda ini membuat kesejahteraan seperti permainan satu-kosong.
=== Gender norms ===
=== Norma-norma gender ===
The framing of climate change varies according to the intended audience and their perceived responses to various approaches to activism. In Sweden, research evaluating sustainability in the male-dominated transportation sector suggests that the norms provided by femininity are more likely to advance sustainability endeavors, while subsequently lowering the overall [[Carbon dioxide in Earth's atmosphere|CO2 emissions]] of the sector.<ref name=":4">{{Cite journal|last1=Kronsell|first1=Annica|last2=Smidfelt Rosqvist|first2=Lena|last3=Winslott Hiselius|first3=Lena|date=2016-09-13|title=Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case|journal=International Journal of Sustainable Transportation|language=en|volume=10|issue=8|pages=703–711|doi=10.1080/15568318.2015.1129653|s2cid=155307760|issn=1556-8318}}</ref> This is evident throughout the study, which goes on to indicate that the “mobility patterns, behavior, and attitudes of women suggest norms that are more conducive to decarbonized and more [[sustainable transport]] policies”.<ref name=":4" /> This suggests that masculinity is often portrayed as the norm in many sectors and substantiates the link between women and a sustainability ethic that is critically missing from many male-dominated sectors and industries.
''Framing'' perubahan iklim bervariasi tergantung pada pemirsa yang dituju dan respons yang dirasakan mereka terhadap berbagai pendekatan mengenai aktivisme. Di Sweden, peneliti menilai keberlanjutan dalam sektor transportasi yang didominasi pria menyebutkan bahwa norma-norma yang diberikan oleh feminitas lebih mungkin untuk memajukan upaya keberlanjutan, sekaligus merendahkan keseluruhan [[Carbon dioxide in Earth's atmosphere|emisi CO2]] dari sektor tersebut.<ref name=":4">{{Cite journal|last1=Kronsell|first1=Annica|last2=Smidfelt Rosqvist|first2=Lena|last3=Winslott Hiselius|first3=Lena|date=2016-09-13|title=Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case|journal=International Journal of Sustainable Transportation|language=en|volume=10|issue=8|pages=703–711|doi=10.1080/15568318.2015.1129653|s2cid=155307760|issn=1556-8318}}</ref> Hal ini terbukti selama penelitian yang selanjutnya menunjukkan bahwa “sikap, perilaku, dan pola mobilitas perempuan menunjukkan norma-norma yang lebih kondusif untuk lebih banyak kebijakan [[sustainable transport|transportasi berkelanjutan]] yang tidak mengandung karbon”.<ref name=":4" /> Ini mengesankan bahwa maskulinitas sering digambarkan sebagai norma dalam banyak sektor dan memperkuat hubungan antara perempuan dan etika keberlanjutan yang secara krisis hilang dari banyak sektor dan industri yang didominasi pria.


Studies indicate that consumers who exhibit a predisposition to environmentally conscious, “green” behaviors are perceived across the gender spectrum as being more feminine, enforcing a “Green Feminine” stereotype.<ref name=":5">{{Cite journal|last1=Brough|first1=Aaron R.|last2=Wilkie|first2=James E. B.|last3=Ma|first3=Jingjing|last4=Isaac|first4=Mathew S.|last5=Gal|first5=David|s2cid=53571117|date=2016|title=Is Eco-Friendly Unmanly? The Green-Feminine Stereotype and Its Effect on Sustainable Consumption|journal=Journal of Consumer Research|language=en|volume=43|issue=4|pages=567–582|doi=10.1093/jcr/ucw044|issn=0093-5301}}</ref> Climate activism is viewed as an effeminate act, undermining hallmarks of [[masculinity]] and underscoring the gender gap in a care-based concern for the climate. Additionally, as a result of theories pertaining to [[Gender identity|gender-identity]] maintenance, “men’s environmental choices can be influenced by gender cues, results showed that following a gender-identity (vs. age) threat, men were less likely to choose [[Green consumerism|green products]]”.<ref name=":5" /> Attributes that are associated with [[femininity]] and substantiate the cognitive association between women and green behavior include empathy and the capacity for self-transcendence.<ref name=":2" />
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa para konsumen yang menunjukkan kecenderungan untuk sadar lingkungan, tingkah laku “hijau” dirasakan lintas spektrum gender sebagai lebih feminin, melaksanakan stereotipe “''Green Feminine''”.<ref name=":5">{{Cite journal|last1=Brough|first1=Aaron R.|last2=Wilkie|first2=James E. B.|last3=Ma|first3=Jingjing|last4=Isaac|first4=Mathew S.|last5=Gal|first5=David|s2cid=53571117|date=2016|title=Is Eco-Friendly Unmanly? The Green-Feminine Stereotype and Its Effect on Sustainable Consumption|journal=Journal of Consumer Research|language=en|volume=43|issue=4|pages=567–582|doi=10.1093/jcr/ucw044|issn=0093-5301}}</ref> Aktivis iklim dipandang sebagai tindakan bersifat perempuan, merusak ciri-ciri [[maskulinitas]] dan menekankan celah gender dalam urusan berlandaskan kepedulian terhadap iklim. Sebagai tambahan, sebagai hasil teori berkenaan dengan pemeliharaan [[Gender identity|identitas gender]], “pilihan lingkungan pria dapat dipengaruhi oleh isyarat gender, hasil menunjukkan bahwa mengikuti gertakan identitas gender (lawan usia), pria kemungkinan paling sedikit untuk memilih [[Green consumerism|produk-produk hijau]]”.<ref name=":5" /> Atribut yang terkait dengan feminitas dan mendukung hubungan kognitif di antara wanita dan ''green behavior'' termasuk empati dan kapasitas untuk transendensi diri.<ref name=":2" />


==Law==
==Hukum==
[[Edward Zelinsky]] has shown that framing effects can explain some observed behaviors of legislators.<ref>{{Cite journal | url=https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/vrgtr24&div=24&id=&page= | title=Do Tax Expenditures Create Framing Effects – Volunteer Firefighters, Property Tax Exemptions, and the Paradox of Tax Expenditure Analysis| journal=Virginia Tax Review| volume=24| pages=797–830| last1=Zelinsky| first1=Edward A.|date=2005}}</ref>
[[Edward Zelinsky]] telah menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh ''framing'' dapat menjelaskan beberapa perilaku yang diamati dari para legislator.<ref>{{Cite journal | url=https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/vrgtr24&div=24&id=&page= | title=Do Tax Expenditures Create Framing Effects – Volunteer Firefighters, Property Tax Exemptions, and the Paradox of Tax Expenditure Analysis| journal=Virginia Tax Review| volume=24| pages=797–830| last1=Zelinsky| first1=Edward A.|date=2005}}</ref>


==In media==
==Dalam media==
Peran permainan ''framing'' dalam efek-efek presentasi media telah didiskusikan secara luas, dengan gagasan utama bahwa persepsi terkait dari informasi faktual dapat bervariasi berdasarkan pada penyajian informasi tersebut.
The role framing plays in the effects of media presentation has been widely discussed, with the central notion that associated perceptions of factual information can vary based upon the presentation of the information.


=== News media examples ===
=== Contoh-contoh media berita ===
In ''Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age,''<ref>Jim A. Kuypers, ''Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age'' (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 2006),</ref> [[Jim A. Kuypers]] examined the differences in framing of the [[War on Terror]] between the [[Presidency of George W. Bush|Bush]] administration and the U.S. mainstream news media between 2001 and 2005. Kuypers looked for common themes between presidential speeches and press reporting of those speeches, and then determined how the president and the press had framed those themes. By using a rhetorical version of framing analysis, Kuypers determined that the U.S. news media advanced frames counter to those used by the Bush administration:
''Dalam Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age,''<ref>Jim A. Kuypers, ''Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age'' (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 2006),</ref> [[Jim A. Kuypers]] meneliti perbedaan dalam framing [[War on Terror]] antara badan administrasi [[Presidency of George W. Bush|Bush]] dan media berita arus utama Amerika Serikat di antara tahun 2001 dan 2005. Kuypers mencari tema-tema umum antara pidato-pidato presidensial dan pemberitaan pers tentang pidato-pidato itu, kemudian menentukan bagaimana presiden dan pers membingkai tema-tema tersebut. Dengan menggunakan versi retoris analisis ''framing'', Kuypers menentukan bahwa ''frame'' lanjutan media berita AS bertentangan dengan yang digunakan oleh pemerintahan Bush.


{{quote| The press actively contested the framing of the War on Terror as early as eight weeks following 9/11. This finding stands apart from a collection of communication literature suggesting the press supported the President or was insufficiently critical of the President's efforts after 9/11. To the contrary, when taking into consideration how themes are framed, [Kuypers] found that the news media framed its response in such a way that it could be viewed as supporting the idea of some action against terrorism, while concommitantly opposing the initiatives of the President. The news media may well relay what the president says, but it does not necessarily follow that it is framed in the same manner; thus, an echo of the theme, but not of the frame. The present study demonstrates, as seen in Table One [below], that shortly after 9/11 the news media was beginning to actively counter the Bush administration and beginning to leave out information important to understanding the Bush Administration's conception of the War on Terror. In sum, eight weeks after 9/11, the news media was moving beyond reporting political opposition to the President—a very necessary and invaluable press function—and was instead actively choosing themes, and framing those themes, in such a way that the President's focus was opposed, misrepresented, or ignored.<ref>Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," ''The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective,'' Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 89–112.</ref>|author=|title=|source=}}
{{quote|Pres secara aktif menentang pembingkaian War on Terror sedini delapan minggu setelah 11 September. Penemuan ini terpisah dari kumpulan literatur komunikasi yang menunjukkan bahwa pers mendukung presiden atau kurang kritis terhadap upaya presiden setelah 11 September. Sebaliknya, saat mempertimbangkan bagaimana tema dibingkai, [Kuypers] menemukan bahwa media berita membingkai responsnya sedemikian rupa sehingga dapat dipandang sebagai mendukung pemikiran beberapa tindakan melawan terorisme, sembari menentang inisiatif presiden. Medie berita mungkin menyampaikan apa yang presiden katakan, tetapi tidak selalu berarti bahwa itu dibingkai dengan cara yang sama. Kajian ini menunjukkan, seperti yang terlihat pada tabel satu [di bawah], bahwa tak lama setelah 11 September, media berita secara aktif mulai melawan pemerintah Bush dan mulai meninggalkan informasi penting untuk memahami konsep War on Terror milik pemerintah Bush. Singkatnya, delapan minggu setelah 11 September, media berita bergerak melampaui pelaporan oposisi politik terhadap presiden—fungsi pers yang sangat penting dan tak bernilai—dan malah secara aktif memilih tema dan membingkai tema-tema tersebut sedemikian rupa sehingga fokus presiden ditentang, disalahartikan, atau diabaikan.<ref>Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," ''The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective,'' Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 89–112.</ref>|author=|title=|source=}}


Table One: Comparison of President and News Media Themes and Frames 8 Weeks after 9/11<ref>Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, "The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," ''The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective,'' Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 105.</ref>
Tabel satu: Perbandingan Tema dan Frame Antara Presiden dan Media Berita Media setelah 11 September<ref>Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, "The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," ''The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective,'' Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 105.</ref>


{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
|-
|-
! Themes !! President's Frame !! Press Frame
! Tema !! ''Frame'' Presiden !! ''Frame'' Pers
|-
|-
| Kebaikan melawan Kejahatan || Perjuangan kebaikan dan kejahatan || tak disebutkan
| Good v. Evil || Struggle of good and evil || Not mentioned
|-
|-
| Peradaban melawan barbarisme || perjuangan peradaban melawan barbarisme || tak disebutkan
| Civilization v. Barbarism || Struggle of civilization v. barbarism || Not mentioned
|-
|-
| Nature of Enemy ||Evil, implacable, murderers || Deadly, indiscriminant
| ''nature of enemy''||jahat, keras kepala, pembunuh || mematikan, tidak pandang bulu


Pemerintahan Bush
Bush Administration
|-
|-
| Nature of War || Domestic/global/enduring
| ''nature of war''|| domestik/global/tahan lama
Perang
|| Domestik/global/berlangsung lama


Perang atau tindakan polisi
War
|| Domestic/global/longstanding

War or police action
|-
|-
| Similarity to Prior Wars || Different kind of war || WWII or Vietnam?
| ''Similarity to Prior Wars''|| perbedaan jenis perang || Perang Dunia II atau Vietnam?
|-
|-
| Patience || Not mentioned || Some, but running out
| ''Patience''|| tidak disebutkan || beberapa, tetapi kehabisan
|-
|-
| International Effort || Stated || Minimally reported
| ''International Effort''|| dinyatakan || dilaporkan minimal
|-
|-


|}
|}


In 1991 Robert M. Entman published findings<ref>{{cite journal | last1 = Entman | first1 = R. M. | year = 1991 | title = Symposium Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents | journal = Journal of Communication | volume = 41 | issue = 4| pages = 6–27 | doi = 10.1111/j.1460-2466.1991.tb02328.x }}</ref> surrounding the differences in media coverage between [[Korean Air Lines Flight 007]] and [[Iran Air Flight 655]]. After evaluating various levels of media coverage, based on both amount of airtime and pages devoted to similar events, Entman concluded that the frames the events were presented in by the media were drastically different:
Pada tahun 1991, Robert M. Entman menerbitkan temuan<ref>{{cite journal | last1 = Entman | first1 = R. M. | year = 1991 | title = Symposium Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents | journal = Journal of Communication | volume = 41 | issue = 4| pages = 6–27 | doi = 10.1111/j.1460-2466.1991.tb02328.x }}</ref> seputar perbedaan liputan media antara [[Korean Air Lines Flight 007]] dan [[Iran Air Flight 655]]. Setelah mengevaluasi berbagai tingkat liputan berita berdasarkan jumlah tayang dan halaman yang ditujukan pada peristiwa serupa, Entman menyimpulkan bahwa ''frame-frame'' peristiwa yang ditampilkan oleh media berbeda secara drastis:


{{quote|Dengan tidak menekankan perusahaan dan para korban dengan pilihan grafik dan kaata sifat, kisah-kisah berita tentang jatuhnya pesawat Iran oleh AS disebut masalah teknis, sementara penjatuhan jet Korea oleh Soviet digambarkan sebagai kemarahan moral… Kerangka berita berlawanan yang digunakan oleh beberapa media penting AS dalam meliput dua penyalahgunaan kekuatan militer yang tragis ini. Pertama, kerangka berita menekankan kejatuhan moral dan rasa bersalah negara pelaku. Kedua, kerangka berita mengurangi rasa bersalah dan fokus pada kerumitan masalah pengoperasian teknologi tinggi militer.}}
{{quote| By de-emphasizing the agency and the victims and by the choice of graphics and adjectives, the news stories about the U.S. downing of an Iranian plane called it a technical problem, while the Soviet downing of a Korean jet was portrayed as a moral outrage… [T]he contrasting news frames employed by several important U.S. media outlets in covering these two tragic misapplications of military force. For the first, the frame emphasized the moral bankruptcy and guilt of the perpetrating nation, for the second, the frame de-emphasized the guilt and focused on the complex problems of operating military high technology. }}


Perbedaan dalam liputan di berbagai media:
Differences in coverage amongst various media outlets:


{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
|-
|-
! Amounts of Media coverage dedicated to each event !! Korean Air !! Iran Air
! Jumlah liputan media yang didedikasikan untuk setiap peristiwa !! Korean Air !! Iran Air
|-
|-
| Time Magazine and Newsweek || 51 pages || 20 pages
| ''Time Magazine and Newsweek''|| 51 halaman || 20 halaman
|-
|-
| CBS || 303 minutes || 204 minutes
| CBS || 303 menit || 204 menit
|-
|-
| New York Times || 286 stories || 102 stories
| ''New York Times''|| 286 cerita || 102 cerita
|}
|}


In 1988 Irwin Levin and Gary Gaeth did a study on the effects of framing attribute information on consumers before and after consuming a product (1988). In this study, they found that in a study on beef, people who ate beef labeled as 75% lean rated it more favorably than people whose beef was labelled 25% fat.
Pada tahun 1988, Irwin Levin dan Gary Gaeth melakukan penelitian mengenai efek-efek informasi atribut terhadap para konsumen sebelum dan setelah mengonsumsi sebuah produk (1988). Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa dalam penelitian mengenai daging sapi, orang-orang yang memakan daging sapi yang dilabeli 75% tidak berlemak menilainya lebih baik daripada orang-orang yang daging sapinya dilabeli 25% lemak.


==In politics==
==Dalam politik==


Peneliti retorik dan linguis [[George Lakoff]] mendebatkan bahwa untuk meyakinkan hadirin politik dari satu sisi argumen atau yang lain, kenyataan harus dihadirkan melalui frame retoris. is mendebatkan bahwa tanpa ''frame'', fakta-fakta argumen tersasar pada hadirin, membuat argumen kurang efektif. Retorika politik menggunakan ''framing'' untuk menghadapkan fakta-fakta di sekeliling masalah dalam cara yang membuat tampilan masalah memerlukan solusi. Para politikus menggunakan ''framing'' untuk membuat solusi mereka sendiri untuk urgensi yang tampaknya paling tepat dibandingkan dengan oposisi.<ref name="van der Pas" /> Argumen kontra menjadi kurang efektif dalam membujuk hadirin setelah suatu pihak membingkai argumen, karena dipertanyakan bahwa oposisi kemudian memiliki beban tambahan untuk memperdebatkan kerangka masalah di samping masalah itu sendiri.
Linguist and rhetoric scholar [[George Lakoff]] argues that, in order to persuade a political audience of one side of an argument or another, the facts must be presented through a rhetorical frame. It is argued that, without the frame, the facts of an argument become lost on an audience, making the argument less effective. The rhetoric of politics uses framing to present the facts surrounding an issue in a way that creates the appearance of a problem at hand that requires a solution. Politicians using framing to make their own solution to an exigence appear to be the most appropriate compared to that of the opposition.<ref name="van der Pas" /> Counter-arguments become less effective in persuading an audience once one side has framed an argument, because it is argued that the opposition then has the additional burden of arguing the frame of the issue in addition to the issue itself.


Framing a political issue, a political party or a political opponent is a [[strategy|strategic]] goal in [[politics]], particularly in the [[United States of America]]. Both the [[Democratic Party (United States)|Democratic]] and [[Republican Party (United States)|Republican]] political parties compete to successfully harness its power of persuasion. According to ''[[The New York Times]]'':
Membingkai masalah politik, partai politik atau lawan politik adalah tujuan [[strategi]] dalam [[politik]], terutama di [[Amerika Serikat]]. Baik partai politik [[Democratic Party (United States)|Demokrat]] dan [[Republican Party (United States)|Republik]] berkompetisi untuk memanfaatkan kekuatan persuasi dengan sukses. Menurut ''[[The New York Times]]'':


{{quote|Even before the [[2004 United States presidential election|election]], a new political word had begun to take hold of the party, beginning on the [[West Coast of the United States|West Coast]] and spreading like a virus all the way to the inner offices of the [[United States Capitol|Capitol]]. That word was 'framing.' Exactly what it means to 'frame' issues seems to depend on which Democrat you are talking to, but everyone agrees that it has to do with choosing the language to define a debate and, more important, with fitting individual issues into the contexts of broader story lines.|<ref name="framingwars">
{{quote|Bahkan, sebelum [[2004 United States presidential election|pemilu]], sebuah kata baru politik sudah mulai menggenggam partai, berawal dari [[West Coast of the United States|West Coast]] dan menyebar seperti virus sepanjang bagian dalam kantor-kantor [[United States Capitol|Capitol]]. Kata itu 'framing.' Tepatnya yang bermaksud 'frame' isu-isu kelihatannya tergantung pada Demokrat mana yang Anda ajak bicara, tetapi setiap orang setuju bahwa itu harus dilakukan dengan memilih bagasa untuk menjelaskan debat dan lebih penting dengan menyesuaikan isu-isu individu ke dalam konteks garis cerita yang lebih luas.|<ref name="framingwars">
[https://www.nytimes.com/2005/07/17/magazine/17DEMOCRATS.html?pagewanted=1&ei=5070&en=e3e686efd4fa97c5&ex=1183608000 The Framing Wars.] ''[[The New York Times]]'' 17 July 2005</ref>}}
[https://www.nytimes.com/2005/07/17/magazine/17DEMOCRATS.html?pagewanted=1&ei=5070&en=e3e686efd4fa97c5&ex=1183608000 The Framing Wars.] ''[[The New York Times]]'' 17 July 2005</ref>}}


Because framing can alter the public's perception, politicians disagree on how issues are framed. Hence, the way the issues are framed in the media reflects who is winning the battle. For instance, according to Robert Entman, professor of Communication at George Washington University, in the build-up to the Gulf War the conservatives were successful in making the debate whether to attack sooner or later, with no mention of the possibility of not attacking.<ref name=Entman1993/>
Karena ''framing'' dapat mengubah persepsi masyarakat, para politikus tidak menyetujui cara permasalahan dibingkai. Oleh karena itu, cara permasalahan dibingkai di media merefleksikan siapa yang memenangkan pertempuran. Misalnya, menurut Robert Entman, profesor Komunikasi di George Washington University, menjelang Perang Teluk, para konservatif berhasil memperdebatkan apakah akan menyerang cepat atau lambat, tanpa menyebutkan kemungkinan untuk tidak menyerang.<ref name=Entman1993/>


One particular example of [[George Lakoff|Lakoff's]] work that attained some degree of fame was his advice to rename<ref>[[Walter Olson]], [http://www.overlawyered.com/2005/07/some_framing_advice.html Overlawyered weblog] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070707192530/http://www.overlawyered.com/2005/07/some_framing_advice.html |date=2007-07-07 }}, 2005-07-18</ref> [[trial lawyer]]s (unpopular in the United States) as "public protection attorneys". Though Americans have not generally adopted this suggestion, the [[Association of Trial Lawyers of America]] did rename themselves the "American Association of Justice", in what the [[Chamber of Commerce]] called an effort to hide their identity.<ref>[[Al Kamen]], [https://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/01/16/AR2007011601429_pf.html "Forget Cash – Lobbyists Should Set Support for Lawmakers in Stone"], ''[[The Washington Post]]'', 2007-01-17</ref>
Suatu contoh khusus penelitian [[George Lakoff|Lakoff]] yang mencapai beberapa tingkat ketenaran adalah sarannya untuk menamai ulang<ref>[[Walter Olson]], [http://www.overlawyered.com/2005/07/some_framing_advice.html Overlawyered weblog] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070707192530/http://www.overlawyered.com/2005/07/some_framing_advice.html |date=2007-07-07 }}, 2005-07-18</ref> [[trial lawyer|''trial lawyers'']] (tidak populer di Amerika Serikat) sebagai "pengacara perlindungan masyarakat". Walaupun warga Amerika secara umum belum mengangkat saran ini, [[Association of Trial Lawyers of America|Asosiasi Pengacara Pengadilan Amerika]] menamai ulang diri mereka sebagai "Asosiasi Keadilan Amerika", yang disebut [[Chamber of Commerce]] sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas mereka.<ref>[[Al Kamen]], [https://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/01/16/AR2007011601429_pf.html "Forget Cash – Lobbyists Should Set Support for Lawmakers in Stone"], ''[[The Washington Post]]'', 2007-01-17</ref>


''[[The New York Times]]'' depicted similar intensity among Republicans:
''[[The New York Times]]'' menggambarkan intensitas yang mirip di antara Partai Republik.


{{quote|In one recent memo, titled 'The 14 Words Never to Use,' [[Frank Luntz|[Frank] Luntz]] urged conservatives to restrict themselves to phrases from what he calls ... the 'New American Lexicon.' Thus, a smart Republican, in Luntz's view, never advocates '[[oil drilling|drilling for oil]]'; he prefers 'exploring for energy.' He should never criticize the 'government,' which cleans our streets and pays our firemen; he should attack '[[Washington, D.C.|Washington]],' with its ceaseless thirst for taxes and regulations. 'We should never use the word [[outsourcing]],' Luntz wrote, 'because we will then be asked to defend or end the practice of allowing companies to ship American jobs overseas.'|<ref name="framingwars"/>}}
{{quote|Dalam memo baru-baru ini yang berjudul "The 14 Words Never to Use," [[Frank Luntz|[Frank] Luntz]] mendesak kaum konservatif untuk membatasi diri mereka pada fase-fase yang dia sebut... 'New American Lexicon.' Jadi, seorang anggota Republik yang cerdas, dalam pandangan Luntz, tak pernah menganjurkan '[[oil drilling|drilling for oil]]'; ia lebih suka "menjelajahi energi." Seharusnya ia tidak pernah mengkritik pemerintah yang membersihkan jalanan kita dan membayar pemadam kebakaran kita; ia harus menyerang '[[Washington, D.C.|Washington]]," dengan rasa haus yang tak henti-hentinya akan pajak dan peraturan. "Seharusnya kita tak pernah menggunakan kata [[outsourcing]]," Luntz menulis, "karena kita akan diminta untuk mempertahankan atau mengakhiri praktik mengizinkan para perusahaan untuk mengirimkan pekerjaan Amerika ke luar negeri".|<ref name="framingwars"/>}}


From a political perspective, framing has widespread consequences. For example, the concept of framing links with that of [[agenda setting theory|agenda-setting]]: by consistently invoking a particular frame, the framing party may effectively control discussion and perception of the issue. [[Sheldon Rampton]] and [[John Stauber]] in ''[[Trust Us, We're Experts]]'' illustrate how [[Public Relations|public-relations]] (PR) firms often use language to help frame a given issue, structuring the questions that then subsequently emerge. For example, one firm advises clients to use "bridging language" that uses a strategy of answering questions with specific terms or ideas in order to shift the discourse from an uncomfortable topic to a more comfortable one.<ref>
Dari perspektif politik, ''framing'' telah memperluas konsekuensi. Misalnya, konsep ''framing'' yang berhubungan dengan [[agenda setting theory|agenda-setting]]: dengan konsisten menggunakan kerangka tertentu, partai ''framing'' secara efektif dapat mengendalikan diskusi dan persepsi masalah. [[Sheldon Rampton]] dan [[John Stauber]] dalam ''[[Trust Us, We're Experts]]'' menggambarkan bagaimana firma-firma [[Public Relations|hubungan masyarakat]] (Humas) sering menggunakan bahasa untuk membantu membingkai suatu masalah, menyusun pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul. Sebagai contohnya, salah satu firma menyarankan para klien untuk menggunakan "bahasa penghubung" yang menggunakan strategi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan istilah-istilah atau ide-ide spesifik untuk menggeser wacana dari topik yang tidak nyaman ke topik yang lebih nyaman.<ref>
Rampton, Sheldon and Stauber, John. ''Trust Us, We're Experts!'' Putnam Publishing, New York, NY, 2002. p. 64.</ref> Para penggiat strategi ini mungkin mencoba untuk menarik perhatian dari suatu ''frame'' untuk fokus ke ''frame'' lainnya. Seperti yang dicatat Lakoff, "Hari pada saat [[George W. Bush]] menjabat, kata "pengurangan pajak" mulai keluar dari Gedung Putih."<ref name="Lakoff2004">{{Cite book|last=Lakoff|first=George|title=Don't think of an elephant!: know your values and frame the debate|year=2004|publisher=Chelsea Green Publishing|isbn=978-1-931498-71-5|page=[https://archive.org/details/dontthinkofeleph00lako/page/56 56]|url-access=registration|url=https://archive.org/details/dontthinkofeleph00lako/page/56}}</ref> Dengan memusatkan kembali struktur dari suatu ''frame'' ("beban pajak" atau "tanggung jawab pajak"), para individu dapat mengatur jadwal pertanyaan yang diajukan di masa depan.
Rampton, Sheldon and Stauber, John. ''Trust Us, We're Experts!'' Putnam Publishing, New York, NY, 2002. p. 64.</ref>
Practitioners of this strategy might attempt to draw attention away from one frame in order to focus on another. As Lakoff notes, "On the day that [[George W. Bush]] took office, the words "tax relief" started coming out of the White House."<ref name="Lakoff2004">{{Cite book|last=Lakoff|first=George|title=Don't think of an elephant!: know your values and frame the debate|year=2004|publisher=Chelsea Green Publishing|isbn=978-1-931498-71-5|page=[https://archive.org/details/dontthinkofeleph00lako/page/56 56]|url-access=registration|url=https://archive.org/details/dontthinkofeleph00lako/page/56}}</ref>
By refocusing the structure away from one frame ("tax burden" or "tax responsibilities"), individuals can set the agenda of the questions asked in the future.


[[Cognitive linguistics|Cognitive linguists]] point to an example of framing in the phrase "[[tax cut|tax relief]]". In this frame, use of the concept "relief" entails a concept of (without mentioning the benefits resulting from) taxes putting strain on the citizen:
[[Cognitive linguistics|Para ahli bahasa kognitif]] menunjukkan contoh ''framing'' dalam frasa "[[tax cut|keringanan pajak]]". Pada ''frame'' ini, penggunaan konsep "keringanan" mengandung konsep (tanpa menyebutkan keuntungan yang dihasilkan) pajak yang membebani warga negara.


{{quote|The current tax code is full of inequities. Many single moms face higher marginal tax rates than the wealthy. Couples frequently face a higher tax burden after they marry. The majority of Americans cannot deduct their charitable donations. Family farms and businesses are sold to pay the death tax. And the owners of the most successful small businesses share nearly half of their income with the government. President Bush's tax cut will greatly reduce these inequities. It is a fair plan that is designed to provide tax relief to everyone who pays income taxes.|<ref>[https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/reports/taxplan.html The President's Agenda for Tax Relief] retrieved 3 July 2007.</ref>}}
{{quote|Aturan pajak sekarang ini penuh dengan ketidakadilan. Banyak ibu tunggal menghadapi tarif pajak marjinal yang lebih tinggi daripada orang kaya. Pasangan sering menghadapi beban pajak yang lebih tinggi setelah menikah. Mayoritas warga Amerika tak dapat mengurangi sumbangan amal mereka. Bisnis dan peternakan keluarga dijual untuk membayar pajak kematian. Dan pemilik bisnis kecil yang paling sukses membagi hampir separuh dari pendapatan mereka dengan pemerintah. Potongan pajak Presiden Bush akan sangat mengurangi ketidakadilan ini. Ini adalah rencana adil yang dirancang untuk memberikan keringanan pajak pada seriap orang yang membayar pajak penghasilan.|<ref>[https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/reports/taxplan.html The President's Agenda for Tax Relief] retrieved 3 July 2007.</ref>}}


''Frame-frame'' alternatif dapat menekankan konsep pajak sebagai sumber dukungan infrastruktur untuk bisnis.
Alternative frames may emphasize the concept of taxes as a source of infrastructural support to businesses:


{{quote|The truth is that the wealthy have received more from America than most Americans—not just wealth but the infrastructure that has allowed them to amass their wealth: banks, the Federal Reserve, the stock market, the Securities and Exchange Commission, the legal system, federally sponsored research, patents, tax supports, the military protection of foreign investments, and much much more. American taxpayers support the infrastructure of wealth accumulation. It is only fair that those who benefit most should pay their fair share.|<ref>[https://web.archive.org/web/20101116003643/http://www.cognitivepolicyworks.com:80/resource-center/frame-analysis-framing-tutorials/simple-framing/ Lakoff, G. (2006). "Simple framing: an introduction to framing and its uses in politics". Cognitive Policy Works/Rockridge Institute]</ref>}}
{{quote|Kenyataan bahwa orang kaya menerima lebih banyak dari Amerika daripada kebanyakan warga Amerika lainnya—tidak hanya kekayaan, tetapi juga infrastruktur yang mengizinkan mereka untuk mengumpulkan kekayaan mereka: bank-bank, bank sentral Amerika Serikat, pasar saham, Komisi Keamanan dan Bursa Amerika Serikat, sistem hukum, penelitian yang disponsori federal, paten, dukungan-dukungan pajak, proteksi militer terhadap investasi asing, dan masih banyak lagi. Warga Amerika pembayar pajak mendukung infrastruktur akumulasi kekayaan. Adalah hal yang adil jika yang paling diuntungkan harus membayar bagian mereka yang wajar.|<ref>[https://web.archive.org/web/20101116003643/http://www.cognitivepolicyworks.com:80/resource-center/frame-analysis-framing-tutorials/simple-framing/ Lakoff, G. (2006). "Simple framing: an introduction to framing and its uses in politics". Cognitive Policy Works/Rockridge Institute]</ref>}}


''Frame-frame'' dapat membatasi debat dengan mengatur kosakata dan [[metaphor|metafora]] lewat cara yang para partisipan dapat pahami dan mendiskusikan masalah. Mereka tidak hanya membangun wacana politik, tetapi [[cognition|kognisi]]. Selain menghasilkan ''frame''-''frame'' baru, penelitian ''framing'' yang berorientasi politik bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hubungan ''framing'' dan pemikiran.
Frames can limit debate by setting the vocabulary and [[metaphor]]s through which participants can comprehend and discuss an issue. They form a part not just of political discourse, but of [[cognition]]. In addition to generating new frames, politically oriented framing research aims to increase public awareness of the connection between framing and reasoning.


=== Examples ===
=== Contoh-contoh ===
* The initial response of the [[George W. Bush administration|Bush administration]] to the [[September 11, 2001 attacks|assault of September 11, 2001]] was to frame the acts of [[Counterterrorism|terror]] as [[crime]]. This framing was replaced within hours by a war metaphor, yielding the "[[War on Terrorism|War on Terror]]". The difference between these two framings is in the implied response. Crime connotes bringing criminals to justice, putting them on trial and sentencing them, whereas as [[war]] implies enemy territory, military action and war powers for government.<ref name="Lakoff2004" /><ref>{{Cite journal|last=Zhang|first=Juyan |title=Beyond anti-terrorism: Metaphors as message strategy of post-September-11 U.S. public diplomacy |journal=Public Relations Review|year=2007|volume=33|issue=1|pages=31–39|doi=10.1016/j.pubrev.2006.11.006}}</ref>
* Respons awal [[George W. Bush administration|pemerintahan Bush]] terhadap [[September 11, 2001 attacks|serangan 11 September 2001]] adalah untuk membingkai [[Counterterrorism|teror]] sebagai [[crime|kriminal]]. ''Framing'' ini diganti dalam hitungan jam dengan metafora perang, menjadi "[[War on Terrorism|Perang terhadap Teror]]". Perbedaan antara dua ''framing'' ini adalah pada respons tersiratnya. Kriminal berkonotasi membawa para kriminal pada pengadilan, mengadili dan menghukum mereka, sedangkan [[war|perang]] menyiratkan wilayah musuh, aksi militer, dan kekuatan perang untuk pemerintah.<ref name="Lakoff2004" /><ref>{{Cite journal|last=Zhang|first=Juyan |title=Beyond anti-terrorism: Metaphors as message strategy of post-September-11 U.S. public diplomacy |journal=Public Relations Review|year=2007|volume=33|issue=1|pages=31–39|doi=10.1016/j.pubrev.2006.11.006}}</ref>
* The term "escalation" to describe an increase in American troop-levels in [[Iraq]] in 2007 implied that the United States deliberately increased the scope of conflict in a provocative manner and possibly implies that U.S. strategy entails a long-term military presence in Iraq, whereas [[Iraq War troop surge of 2007|"surge"]] framing implies a powerful but brief, transitory increase in intensity.<ref>[https://web.archive.org/web/20181216073735/https://www.alternet.org/story/48059/bush%3A_it%27s_escalation%2C_stupid. Lakoff, G. (2007). "It's Escalation, Stupid." ''Alternet''] retrieved 3 July 2007</ref>
* Istilah "eskalasi" untuk menggambarkan peningkatan tingkat pasukan Amerika di [[Iraq]] pada tahun 2007 menyiratkan bahwa Amerika Serikat sengaja meningkatkan ruang lingkup konflik dalam cara yang provokatif dan mungkin menyiratkan bahwa strategi AS memerlukan kehadiran militer jangka panjang di Irak, sedangkan ''framing'' [[Iraq War troop surge of 2007|"lonjakan"]] menyiratkan peningkatan sementara pada intensitas kuat, tetapi singkat.<ref>[https://web.archive.org/web/20181216073735/https://www.alternet.org/story/48059/bush%3A_it%27s_escalation%2C_stupid. Lakoff, G. (2007). "It's Escalation, Stupid." ''Alternet''] retrieved 3 July 2007</ref>
* The "bad apple" frame, as in the proverb "one bad [[apple]] spoils the barrel". This frame implies that removing one underachieving or corrupt official from an [[institution]] will solve a given problem; an opposing frame presents the same problem as systematic or structural to the institution itself—a source of infectious and spreading rot.<ref>[http://www.huffingtonpost.com/bruce-budner/the-rumsfeld-dilemma-dem_b_29550.html "The Rumsfeld Dilemma: Demand an Exit Strategy, Not a Facelift"] by Bruce Budner, in ''The Huffington Post'' 15 September 2006</ref>
* ''Frame'' "apel buruk", seperti dalam pepatah "satu apel yang buruk merusak laras". ''Frame'' ini menyiratkan bahwa mengeluarkan pejabat yang korup atau kurang berprestasi akan menuntaskan masalah, ''frame'' yang berlawanan menghadirkan masalah yang sama sebagai sistematik atau struktural pada lembaga itu sendiri—sumber penyakit menular dan menyebar.<ref>[http://www.huffingtonpost.com/bruce-budner/the-rumsfeld-dilemma-dem_b_29550.html "The Rumsfeld Dilemma: Demand an Exit Strategy, Not a Facelift"] by Bruce Budner, in ''The Huffington Post'' 15 September 2006</ref>
* The "[[taxpayers]] money" frame, rather than [[government spending|public or government funds]], which implies that individual taxpayers have a claim or right to set [[government policy]] based upon their payment of tax rather than their status as [[citizen]]s or [[voters]] and that taxpayers have a right to control public funds that are the shared property of all citizens and also privileges individual self-interest above group interest.{{Citation needed|date=April 2009}}
* ''Frame'' "uang [[taxpayers|wajib pajak]]", alih-alih [[government spending|dana pemerintah atau masyarakat]], yang menyiratkan bawa wajib pajak individu memiliki klaim atau hak untuk mengatur [[government policy|kebijakan pemerintah]] berdasarkan pembayaran pajak mereka, alih-alih status mereka sebagai [[citizen|warga negara]] atau [[voters|pemilih]] dan bahwa para wajib pajak punya hak untuk mengendalikan dana publik sehingga properti yang dibagi dari semua warga negara dan juga mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok.{{Citation needed|date=April 2009}}
* ''Frame'' "properti kolektif", yang menyiratkan bahwa properti dimiliki oleh para individu sebenarnya dimiliki oleh sekumpulan yang para anggotanya adalah individu itu sendiri. Kolektif ini dapat berupa wilayah, seperti negara, atau benda abstrak yang tidak dipetakan pada wilayah tertentu.
* The "collective property" frame, which implies that property owned by individuals is really owned by a collective in which those individuals are members. This collective can be a territorial one, such as a nation, or an abstract one that does not map to a specific territory.
* Nama-nama program yang dapat menggambarkan hanya efek-efek yang diinginkan dari sebuah program, tetapi juga dapat menyiratkan keefektifan mereka. Nama-nama program tersebut adalah sebagai berikut.
* Program-names that may describe only the intended effects of a program but may also imply their effectiveness. These include the following:
** "[[Foreign aid]]"<ref>{{Cite journal | doi=10.1177/1081180X07299797 | title=Is It All in a Word? The Effect of Issue Framing on Public Support for U.S. Spending on HIV/AIDS in Developing Countries| journal=Harvard International Journal of Press/Politics| volume=12| issue=2| pages=120–132| year=2007| last1=Bleich| first1=Sara| s2cid=144015937}}</ref> (which implies that spending money will aid foreigners, rather than harm them)
** "[[Foreign aid|Perlindungan Orang Asing]]"<ref>{{Cite journal | doi=10.1177/1081180X07299797 | title=Is It All in a Word? The Effect of Issue Framing on Public Support for U.S. Spending on HIV/AIDS in Developing Countries| journal=Harvard International Journal of Press/Politics| volume=12| issue=2| pages=120–132| year=2007| last1=Bleich| first1=Sara| s2cid=144015937}}</ref> (yang menyiratkan bahwa mengeluarkan uang akan membantu para orang asing, alih-alih menyakiti mereka)
** "[[Social security]]" (which implies that the program can be relied on to provide security for a society)
** "[[Social security|Keamanan Sosial]]" (yang menyiratkan bahwa program tersebut dapat diandalkan untuk memberikan keamanan pada masyarakat)
** "[[Stabilisation policy]]" (which implies that a policy will have a stabilizing effect).
** "[[Stabilisation policy|Kebijakan stabilisasi]]" (yang menyiratkan bahwa kebijakan akan memiliki efek stabilisasi).
* Based on [[opinion polling]] and [[focus group]]s, [[ecoAmerica]], a nonprofit environmental marketing and messaging firm, has advanced the position that [[global warming]] is an ineffective framing due to its identification as a leftist advocacy issue. The organization has suggested to government officials and environmental groups that alternate formulations of the issues would be more effective.<ref>[https://www.nytimes.com/2009/05/02/us/politics/02enviro.html "Seeking to Save the Planet, With a Thesaurus"] article by John M. Broder in ''[[The New York Times]]'' May 1, 2009</ref>
* Berdasarkan pada [[opinion polling|pemungutan opini]] dan [[focus group|grup-grup foku]]s, [[ecoAmerica]], sebuah firma pemasaran dan pesan lingkungan nirlaba telah memajukan posisi bahwa [[pemanasan global]] adalah ''framing'' yang tidak efektid karena identifikasinya sebagai isu advokasi kiri. Organisasi tersebut telah menyarankan pada para pejabat pemerintah dan grup-grup lingkungan jika perumusan masalah alternatif akan lebih efektif.<ref>[https://www.nytimes.com/2009/05/02/us/politics/02enviro.html "Seeking to Save the Planet, With a Thesaurus"] article by John M. Broder in ''[[The New York Times]]'' May 1, 2009</ref>
* In her 2009 book ''Frames of War'', [[Judith Butler]] argues that the justification within liberal-democracies for war, and atrocities committed in the course of war, (referring specifically to the current war in Iraq and to [[Abu Ghraib torture and prisoner abuse|Abu Ghraib]] and [[Guantanamo Bay detention camp|Guantanamo Bay]]) entails a framing of the (especially Muslim) 'other' as pre-modern/primitive and ultimately not human in the same way as citizens within the liberal order.<ref>Butler, J. (2009), ''Frames of War'', London: Verso.</ref>
* Dalam bukunya tahun 2009 yang berjudul ''Frames of War'', [[Judith Butler]] memperdebatkan bahwa justifikasi dalam demokrasi liberal untuk perang, dan kekejaman yang dilakukan selama perang (merujuk secara khusus pada perang di Iraq hingga [[Abu Ghraib torture and prisoner abuse|Abu Ghraib]] dan [[Guantanamo Bay detention camp|Guantanamo Bay]]) memerlukan pembingkaian (khususnya Muslim) "lain" sebagai pra-modern/primitif dan pada akhirnya bukan manusia dalam cara yang sama seperti warga negara dalam tatanan liberal.<ref>Butler, J. (2009), ''Frames of War'', London: Verso.</ref>
*Political leaders provide their personal photographers and videographers with access to private moments that are off-limits to journalists. The news media then faces an ethical dilemma of whether to republish freely available digital handouts that project the politician's desired frame but which might be newsworthy.<ref>{{Cite journal|last=Marland|first=Alex|date=2012|title=Political photography, journalism and framing in the digital age: Management of visual media by the prime minister of Canada|journal=International Journal of Press/Politics|volume=17|issue=2|pages=214–233|doi=10.1177/1940161211433838|s2cid=145242268}}</ref>
*Para pimpinan politik menyediakan para videografer dan fotografer mereka akses pada momen-momen pribadi yang terbatas untuk para jurnalis. Media berita kemudian menghadapi dilema etis apakah menerbitkan ulang selebaran digital yang tersedia secara bebas yang memproyeksikan ''frame'' yang diinginkan politikus, tetapi layak diberitakan.<ref>{{Cite journal|last=Marland|first=Alex|date=2012|title=Political photography, journalism and framing in the digital age: Management of visual media by the prime minister of Canada|journal=International Journal of Press/Politics|volume=17|issue=2|pages=214–233|doi=10.1177/1940161211433838|s2cid=145242268}}</ref>


== Effectiveness ==
== Keefektifan ==
According to Susan T. Fiske and Shelley E. Taylor, human beings are by nature "cognitive misers", meaning they prefer to do as little thinking as possible.<ref>Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill</ref> Frames provide people a quick and easy way to process information. Hence, people will use the previously mentioned mental filters (a series of which is called a schema) to make sense of incoming messages. This gives the sender and framer of the information enormous power to use these schemas to influence how the receivers will interpret the message.<ref name=Entman1993/> A recently published theory suggests that judged usability (i.e., the extent to which a consideration featured in the message is deemed usable for a given subsequent judgment) may be an important mediator of cognitive media effects like framing, agenda setting, and priming. Emphasizing judged usability leads to the revelation that media coverage may not just elevate a particular consideration, but may also actively suppress a consideration, rendering it less usable for subsequent judgments. The news framing process illustrates that among different aspects of an issue, a certain aspect is chosen over others to characterize an issue or event. For example, the issue of unemployment is described in terms of the cheap labor provided by immigrants. Exposure to the news story activates thoughts correspond to immigrants rather than thoughts related to other aspects of the issue (e.g., legislation, education, and cheap imports from other countries) and, at the same time, makes the former thoughts prominent by promoting their importance and relevance to the understanding of the issue at hand. That is, issue perceptions are influenced by the consideration featured in the news story. Thoughts related to neglected considerations become relegated to the degree that thoughts about a featured consideration are magnified.<ref>[https://www.rcommunicationr.org/index.php/vol-8-2020/177-lee-and-mcleod-2020-reconceptualizing-cognitive-media-effects-theory-and-research Lee, B., Mcleod, D. (2020). Reconceptualizing Cognitive Media Effects Theory and Research Under the Judged Usability Model. Review of Communication Research, 8, 17–50. doi: 10.12840/ISSN.2255-4165.022]</ref>
Menurut Susan T. Fiske dan Shelley E. Taylor, manusia secara alamiah "kikir kognitif", artinya mereka lebih suka melakukan berpikir sesedikit mungkin.<ref>Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill</ref> ''Frame-frame'' memberikan cara yang cepat dan mudah pada khalayak untuk memproses informasi. Oleh karena itu, masyarakat akan menggunakan saringan-saringan mental yang sebelumnya disebutkan (rangkaian yang disebut skema) untuk memahami pesan-pesan yang masuk. Ini memberikan kekuatan besar pada pengirim dan pembingkai informasi untuk menggunakan skema-skema ini untuk mempengaruhi bagaimana para penerima akan menafsirkan pesan.<ref name=Entman1993/> Teori yang diterbitkan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kegunaan yang dinilai (yaitu sejauh mana pertimbangan yang ditampilkan dalam pesan dianggap dapat digunakan untuk penilaian berikutnya yang diberikan) mungkin menjadi mediator penting dari efek media kognitif seperti ''framing'', ''agenda setting'', dan ''priming''. Menekankan kegunaan yang dinilai mengarah pada pengungkapan bahwa liputan medua mungkin tidak hanya meningkatkan pertimbangan tertentu, tetapi mungkin juga menekan suatu pertimbangan secara aktif, menjadikannya kurang bermanfaat untuk penilaian berikutnya. Proses ''framing'' berita menggambarkan bahwa di antara aspek-aspek berbeda sebuah persoalan, aspek tertentu dipilih di atas aspek-aspek lainnya untuk mengkarakteristikkan persoalan atau peristiwa. Misalnya, isu pengangguran digambarkan dalam istilah tenaga kerja murah yang disediakan oleh para imigran. Paparan berita mengaktifkan pemikiran yang sesuai dengan imigran daripada pemikiran yang berkaitan dengan aspek lain persoalan (misalnya, undang-undang, edukasi, dan impor murah dari negara lain) dan, pada saat yang sama, membuat pemikiran sebelumnya menonjol dengan mempromosikan kepentingan dan relevansi mereka untuk memahami persoalan yang dihadapi. Artinya, persepsi isu dipengaruhi oleh pertimbangan yang ditampilkan dalam cerita berita. Pemikiran yang berkaitan pada pertimbangan yang diabaikan menjadi terdegredasi ke tingkat pemikiran mengenai pertimbangan unggulan yang diperbesar.<ref>{{Cite web |url=https://www.rcommunicationr.org/index.php/vol-8-2020/177-lee-and-mcleod-2020-reconceptualizing-cognitive-media-effects-theory-and-research |title=Lee, B., Mcleod, D. (2020). Reconceptualizing Cognitive Media Effects Theory and Research Under the Judged Usability Model. Review of Communication Research, 8, 17–50. doi: 10.12840/ISSN.2255-4165.022 |access-date=2021-12-07 |archive-date=2020-07-12 |archive-url=https://web.archive.org/web/20200712203615/https://www.rcommunicationr.org/index.php/vol-8-2020/177-lee-and-mcleod-2020-reconceptualizing-cognitive-media-effects-theory-and-research |dead-url=yes }}</ref>


==See also==
==Lihat juga==
{{div col|colwidth=22em}}
{{div col|colwidth=22em}}
* [[Anecdotal value]]
* [[Anecdotal value]]
Baris 439: Baris 427:
* [[Virtue word]]{{div col end}}
* [[Virtue word]]{{div col end}}


==References==
==Referensi==
{{reflist|colwidth=30em}}
{{reflist|colwidth=30em}}
;Bibliografi
;Bibliography
*{{Cite journal |jstor = 2489471|last1 = Levin|first1 = Irwin P.|title = How Consumers are Affected by the Framing of Attribute Information Before and After Consuming the Product|journal = Journal of Consumer Research|volume = 15|issue = 3|pages = 374–378|last2 = Gaeth|first2 = Gary J.|year = 1988|doi = 10.1086/209174|url=https://www.researchgate.net/publication/24098573}}
*{{Cite journal |jstor = 2489471|last1 = Levin|first1 = Irwin P.|title = How Consumers are Affected by the Framing of Attribute Information Before and After Consuming the Product|journal = Journal of Consumer Research|volume = 15|issue = 3|pages = 374–378|last2 = Gaeth|first2 = Gary J.|year = 1988|doi = 10.1086/209174|url=https://www.researchgate.net/publication/24098573}}


==Further reading==
==Bacaan lebih lanjut==
* [[Bernard Baars|Baars, B]]. ''A cognitive theory of consciousness'', NY: [[Cambridge University Press]] 1988, {{ISBN|0-521-30133-5}}.
* [[Bernard Baars|Baars, B]]. ''A cognitive theory of consciousness'', NY: [[Cambridge University Press]] 1988, {{ISBN|0-521-30133-5}}.
* [[Kenneth E. Boulding|Boulding, Kenneth E.]] (1956). The Image: Knowledge in Life and Society. Michigan University Press.
* [[Kenneth E. Boulding|Boulding, Kenneth E.]] (1956). The Image: Knowledge in Life and Society. Michigan University Press.
Baris 497: Baris 485:
* [[Charles Tilly|Tilly, C.]], Tilly, L., & Tilly, R. (1975). ''The rebellious century, 1830–1930''. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
* [[Charles Tilly|Tilly, C.]], Tilly, L., & Tilly, R. (1975). ''The rebellious century, 1830–1930''. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
* Turner, R. H., & Killian, L. M. (1972). ''Collective Behavior''. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
* Turner, R. H., & Killian, L. M. (1972). ''Collective Behavior''. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
* {{Cite journal |jstor = 2352759|title = Rational Choice and the Framing of Decisions|journal = The Journal of Business|volume = 59|issue = 4|pages = S251–S278|last1 = Tversky|first1 = Amos|last2 = Kahneman|first2 = Daniel|year = 1986|doi = 10.1086/296365|url=http://www.cog.brown.edu/courses/cg195/pdf_files/fall07/Kahneman&Tversky1986.pdf}}
* {{Cite journal|jstor = 2352759|title = Rational Choice and the Framing of Decisions|journal = The Journal of Business|volume = 59|issue = 4|pages = S251–S278|last1 = Tversky|first1 = Amos|last2 = Kahneman|first2 = Daniel|year = 1986|doi = 10.1086/296365|url = http://www.cog.brown.edu/courses/cg195/pdf_files/fall07/Kahneman%26Tversky1986.pdf|access-date = 2021-12-07|archive-date = 2019-11-26|archive-url = https://web.archive.org/web/20191126173606/http://www.cog.brown.edu/courses/cg195/pdf_files/fall07/Kahneman%26Tversky1986.pdf|dead-url = yes}}
* {{cite journal | last1 = Wilkerson | first1 = W.S. | year = 2001 | title = Simulation, Theory, and the Frame Problem | journal = [[Philosophical Psychology (journal)|Philosophical Psychology]] | volume = 14 | issue = 2| pages = 141–53 | doi = 10.1080/09515080120051535 | s2cid = 144727029 }}
* {{cite journal | last1 = Wilkerson | first1 = W.S. | year = 2001 | title = Simulation, Theory, and the Frame Problem | journal = [[Philosophical Psychology (journal)|Philosophical Psychology]] | volume = 14 | issue = 2| pages = 141–53 | doi = 10.1080/09515080120051535 | s2cid = 144727029 }}
* [[Charles Arthur Willard|Willard, Charles Arthur]]. ''Liberalism and the Social Grounds of Knowledge'' Chicago: University of Chicago Press, 199
* [[Charles Arthur Willard|Willard, Charles Arthur]]. ''Liberalism and the Social Grounds of Knowledge'' Chicago: University of Chicago Press, 199


== Pranala luar ==
==External links==
* [https://www.nytimes.com/2005/07/17/magazine/17DEMOCRATS.html The Framing Wars. ''The New York Times'' 17 July 2005]
* [https://www.nytimes.com/2005/07/17/magazine/17DEMOCRATS.html The Framing Wars. ''The New York Times'' 17 July 2005]
* Curry, Tom. 2005. [http://www.nbcnews.com/id/7640262 "Frist chills talk of judges deal (Page 2)."] "The question in the poll was not '''framed''' as a matter of whether nominee ought to get an up-or-down vote. And that '''framing''' of the issue, Republican strategists believe, is the most advantageous one..."; [[MSNBC]]
* Curry, Tom. 2005. [http://www.nbcnews.com/id/7640262 "Frist chills talk of judges deal (Page 2)."] "The question in the poll was not '''framed''' as a matter of whether nominee ought to get an up-or-down vote. And that '''framing''' of the issue, Republican strategists believe, is the most advantageous one..."; [[MSNBC]]
* [http://hbswk.hbs.edu/item/5488.html HBS.edu] – 'Fixing Price Tag Confusion'(interview), Sean Silverthorne (December 11, 2006)
* [http://hbswk.hbs.edu/item/5488.html HBS.edu] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110606044551/http://hbswk.hbs.edu/item/5488.html |date=2011-06-06 }} – 'Fixing Price Tag Confusion'(interview), Sean Silverthorne (December 11, 2006)
* [http://www.nbcnews.com/id/14170927 "'Framing effect' influences decisions: Emotions play a role in decision-making when information is too complex"], Charles Q. Choi, [[NBC]] (August 3, 2006)
* [http://www.nbcnews.com/id/14170927 "'Framing effect' influences decisions: Emotions play a role in decision-making when information is too complex"], Charles Q. Choi, [[NBC]] (August 3, 2006)
{{Disinformation}}
{{Disinformation}}
Baris 513: Baris 501:
{{World view}}
{{World view}}


<!-- do both parties of an argument have the exact same frame? -->
{{DEFAULTSORT:Framing (Social Sciences)}}
[[Category:Framing (social sciences)| ]]
[[Category:Cognitive biases]]
[[Category:Knowledge representation]]
[[Category:Propaganda techniques]]
[[Category:Prospect theory]]
[[Category:Social constructionism]]
[[Category:Assumption (reasoning)]]<!-- do both parties of an argument have the exact same frame? -->



__TANPASUNTINGANBAGIAN__
__TANPASUNTINGANBAGIAN__

{{DEFAULTSORT:Framing (Social Sciences)}}
[[Kategori:Metode propaganda]]
[[Kategori:Representasi pengetahuan]]
[[Kategori:Bias kognitif]]
[[Kategori:Konstruksionisme sosial]]

Revisi terkini sejak 25 Desember 2022 13.13

Dalam ilmu sosial, pembingkaian (atau dikenal dalam bahasa Inggris: framing) terdiri atas serangkaian sudut pandang konsep dan teoretis tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi masyarakat melihat dan menyampaikan kenyataan.

Pembingkaian dapat terwujud dalam komunikasi atau pikiran antarpribadi. Frame-frame dalam pikiran terdiri atas penggambaran, interpretasi, dan penyederhanaan kenyataan. Frame-frame dalam komunikasi terdiri atas penyampaian frame di antara para pelaku yang berbeda.[1] Framing adalah komponen kunci sosiologi, kajian tentang interaksi sosial di antara para manusia. Framing adalah bagian utuh dari pemrosesan dan penyampaian data dalam keseharian. Teknik-teknik sukses framing dapat digunakan untuk mengurangi ambiguitas topik-topik yang tidak dapat dipahami dengan menghubungkan informasi sedemikian rupa sehingga para penerimanya dapat terhubung dengan apa yang sudah mereka ketahui.

Dalam teori sosial, framing adalah skema interpretasi, sekumpulan anekdot dan stereotipe yang diandalkan oleh para individu untuk memahami dan merespons sebuah peristiwa.[2] Dengan kata lain, orang-orang membangun "filter-filter" serangkaian kejiwaan melalui pengaruh kebudayaan dan biologis. Kemudian, mereka menggunakan filter-filter ini untuk memahami dunia. Pilihan-pilihan yang kemudian mereka buat dipengaruhi oleh penciptaan frame mereka.

Framing melibatkan konstruksi sosial dari fenomena sosial – oleh sumber-sumber media massa, pergerakan-pergerakan sosial atau politik, para pemimpin politik, atau organisasi dan para pelaku lainnya. Keterlibatan dalam komunitas bahasa tentunya memengaruhi persepsi individu mengenai makna yang dikaitkan dengan kata atau frasa. Secara politik, komunitas-komunitas bahasa periklanan, agama, dan media massa banyak diperebutkan, sedangkan framing dalam komunitas bahasa yang kurang dipertahankan mungkin berkembang[butuh rujukan]tanpa terasa dan secara alami melalui kerangka-kerangka waktu kultural, dengan lebih sedikit bentuk-bentuk perdebatan terbuka.

Seseorang dapat memandang framing dalam komunikasi sebagai hal positif atau negatif tergantung pada hadirin dan jenis informasi yang disajikan. Framing dapat berada dalam bentuk emphasis frames, di mana dua atau lebih alternatif ekuivalen secara logis digambarkan dalam cara-cara (lihat framing effect) atau emphasis frames berbeda yang menyederhanakan kenyataan dengan berfokus pada himpunan bagian aspek-aspek relevan dari suatu situasi atau permasalahan.[1] Dalam kasus equivalence frames, informasi yang dihadirkan berdasarkan fakta-fakta yang sama, tetapi kerangka yang tempat ia disajikan berubah sehingga menciptakan persepsi yang bergantung pada referensi.

Dampak framing dapat terlihat dalam jurnalisme: "frame" yang mengelilingi permasalahan dapat mengubah persepsi pembaca tanpa perlu mengubah fakta sebenarnya karena informasi yang sama digunakan sebagai dasarnya. Ini dilakukan melalui pilihan gambar-gambar dan kata-kata tertentu media untuk menutupi sebuah cerita (misalnya penggunaan kata fetus vs. kata bayi).[3] Dalam konteks politik atau komunikasi media-massa, frame menjelaskan pengemasan elemen retorik sedemikian rupa seperti untuk mendorong tafsiran tertentu dan untuk mengecilkan hati orang lain. Untuk tujuan politik, framing sering menyajikan fakta-fakta sedemikian rupa yang mengimplikasikan masalah yang memerlukan solusi. Para anggota partai politik berupaya untuk membingkai permasalahan sedemikian rupa sehingga membuat solusi untuk mendukung kecenderungan politik mereka sebagai tindakan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.[4]

Sebagai contoh: Saat kita ingin menjelaskan suatu peristiwa, pemahaman kita sering berdasarkan pada tafsiran (frame). Jika seseorang membuka dan menutup mata dengan cepat, kita menanggapi secara berbeda tergantung pada apakah kita menafsirkannya sebagai "physical frame" (mereka mengerjapkan mata) atau "social frame" (mereka berkedip). Mereka mengerjapkan mata mungkin karena butiran debu (menghasilkan ketidaksengajaan dan bukan reaksi berarti lainnya). Mereka berkedip mungkin dapat berarti tindakan sengaja dan penuh arti (misalnya untuk menyampaikan humor hingga persekongkolan).

Para pengamat akan membaca peristiwa-peristiwa yang dilihat sebagai murni fisik atau dalam bingkai "alam" berbeda dari yang dilihat terjadi dengan frame-frame sosial. Namun, kita tidak melihat sebuah peristiwa dan menerapkan frame kepada peristiwa tersebut. Sebaliknya, para individu terus-menerus memproyeksikan frame interpretatif ke dunia sekitar mereka yang memungkinkan mereka untuk memahaminya; kita hanya menggeser frame-frame (atau menyadari kalau kita telah menerapkan frame secara kebiasaan) saat keganjilan membutuhkan pergeseran frame. Dengan kata lain, kita hanya menyadari frame-frame yang telah kita gunakan saat sesuatu memaksa kita untuk mengganti suatu frame dengan frame lainnya.[5][6]

Meskipun beberapa menganggap framing sama dengan agenda setting, para ilmuwan lain menyatakan adanya perbedaan. Menurut artikel yang ditulis Donald H. Weaver, framing menyeleksi aspek-aspek tertentu dari permasalahan dan membuatnya lebih menonjol untuk memperoleh interpretasi tertentu dan penilaian-penilaian masalah, sedangkan agenda setting mengenalkan topik masalah untuk meningkatkan arti penting dan keterkaitannya.[7]

Dalam penelitian komunikasi

Dalam komunikasi, framing menggambarkan bagaimana media berita membentuk opini publik.

Tulisan Richard E. Vatz tentang penciptaan makna retoris secara langsung mengarah kepada framing, walaupun beliau hanya merujuknya sedikit. Intinya, pengaruh-pengaruh framing mengacu pada strategi-strategi sikap atau perilaku dan/untuk hasil yang ada tergantung bagaimana potongan informasi yang diberikan dibingkai dalam wacana publik. Dewasa ini, banyak volume jurnal-jurnal komunikasi ternama berisi naskah-naskah tentang frame media dan pengaruh-pengaruh framing.[8] Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam naskah-naskah tersebut secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: kajian framing sebagai variabel bebas dan kajian framing sebagai variabel terikat.[9] Awalnya biasanya berurusan dengan frame building (yaitu bagaimana frame-frame menciptakan wacana masyarakat mengenai sebuah masalah dan bagaimana frame-frame yang berbeda diangkat oleh para jurnalis) dan kemudian mengulas frame setting (yaitu bagaimana media framing memengaruhi pemirsa).

Frame building

Penelitian frame-building biasanya mengenali setidaknya tiga rangkaian utama pengaruh yang dapat memengaruhi cara jurnalis membingkai suatu masalah:

  • Sistemik (misalnya karakteristik media atau sistem politik dalam latar studi tertentu).
  • Organisatoris (misalnya fitur organisasi media seperti orientasi politik, rutinitas profesional, hubungan dengan pemerintah dan para elit, dan sebagainya).
  • Temporal-kontekstual (misalnya berlalunya waktu setelah peristiwa menggemparkan).[10]

Erving Goffman menekankan peran konteks budaya sebagai pembentuk frame-frame saat beliau mengemukakan bahwa maksud frame mengandung akar-akar budaya.[2] Ketergantungan konteks frame-frame media ini telah digambarkan sebagai 'resonansi budaya'[11] atau 'kesetiaan naratif'.[12] Sebagai contoh, kebanyakan orang mungkin tidak menyadari frame dalam kisah-kisah tentang pemisahan gereja dan negara karena umumnya media tidak membingkai kisah-kisah tersebut dari sudut pandang agama.[13]

Frame setting

Saat masyarakat dihadapkan pada bingkai berita baru, mereka akan menerima konstruksi yang dibuat berlaku untuk sebuah masalah, tetapi secara signifikan mereka lebih mungkin untuk melakukannya saat mereka memiliki skema yang ada untuk konstruksi tersebut. Inilah yang disebut efek penerapan. Artinya, ketika frame-frame baru mengundang orang untuk menerapkan skema yang ada pada masalah, implikasi dari penerapan itu sebagian bergantung pada apa yang ada di dalam skema tersebut. Oleh karena itu, secara umum, lebih banyak pendengar mengetahui tentang permasalahan, lebih efektif frame-frame tersebut.

Terdapat sejumlah level dan tipe pengaruh framing yang telah diteliti. Contohnya, para ilmuwan berfokus pada perubahan sikap dan tindakan, derajat kepentingan masalah yang dirasakan, keputusan pemungutan suara, dan pembentukan opini. Para ilmuwan lain tertarik pada proses-proses psikologis daripada penerapan. Misalnya, Iyengar[14] mengungkapkan bahwa berita tentang permasalahan sosial dapat memengaruhi tanggung jawab atribusi kausal dan pengobatan, pengaruh yang diamati dalam penilaian-penilaian dan respons kognitif pemimpin politik, atau ilmuwan lain melihat kepada efek framing terhadap gaya pemrosesan penilaian dan kompleksitas pikiran anggota pendengar mengenai permasalahan. Kajian-kajian frame setting juga membahas bagaimana frame-frame dapat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang masalah (kognitif) atau merasakan masalah (afektif).[15]

Dalam penelitian komunikasi massa

Media berita membingkai semua butir berita dengan menekankan nilai-nilai tertentu, fakta-fakta, dan pertimbangan lainnya dan memberikan mereka dengan penerapan nyata yang lebih besar untuk membuat keputusan-keputusan terkait. Media berita mendukung definisi, tafsiran, evaluasi, dan rekomendasi khusus.[16][17]

Landasan dalam penelitian komunikasi

Anthropologis Gregory Bateson pertama kali mendefinisikan framing sebagai "ikatan spasial dan temporal dari serangkaian pesan-pesan interaktif" (dalam A Theory of Play and Fantasy, 1954, diproduksi kembali dalam buku Steps to an Ecology of Mind pada tahun 1972).[18]

Sumber sosiologis penelitian media framing

Penelitian media framing mempunyai akar psikologis dan sosiologis. Framing sosiologis berfokus pada "kata-kata, gambar-gambar, frasa-frasa, dan gaya presentasi" yang digunakan para komunikator saat menyampaikan informasi kepada penerima.[1] Penelitian frame-frame dalam penelitian media yang digerakkan secara sosiologis umumnya meneliti pengaruh "norma-norma dan nilai-nilai sosial, kendala-kendala dan tekanan-tekanan organisatoris, tekanan kelompok-kelompok kepentingan, rutinitas jurnalistik, dan orientasi-orientasi ideologis atau politis jurnalis" dalam frame-frame yang berada dalam konten media.[19]

Todd Gitlin, dalam analisisnya tentang cara media berita meremehkan gerakan New Left siswa pada tahun 1960-an termasuk yang pertama meneliti frame-frame dari sudut pandang sosiologis. Gitlin menulis, frame-frame adalah "pola-pola tetap kognisi, tafsiran-tafsiran, dan presentasi pilihan [dan] menekankan ... [bahwa] sebagian besar tidak diucapkan dan diakui ... [dan] mengatur dunia bagi para jurnalis [serta] kami yang membaca pemberitaan mereka".[20]

Sumber psikologis penelitian media framing

Penelitian tentang frame-frame dalam media penelitian berbasis psikologi umumnya menguji pengaruh-pengaruh frame-frame media terhadap mereka yang menerimanya. Sebagai contoh, Iyengar menjelajahi pengaruh episodik dan tematik frame-frame berita terhadap atribusi tanggung jawab untuk permasalahan politik termasuk kejahatan, terorisme, kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan ras.[21] Menurut Iyengar, frame berita episodik "mengambil bentuk studi kasus atau pemberitaan berorientasi acara dan menggambarkan permasalahan publik dalam ketentuan contoh-contoh konkret", dengan kata lain berfokus pada tempat spesifik dalam waktu khusus. Frame berita tematik "menempatkan permasalahan publik dalam beberapa konteks umum abstrak ... mengarah kepada hasil atau kondisi umum, contohnya menjelajahi kesamaan yang terjadi di sejumlah waktu dan tempat.[16][21] Iyengar menemukan bahwa kebanyakan laporan berita, contohnya kemiskinan, adalah laporan berita episodik. Kenyataannya, pada analisis konten enam tahun berita televisi, Iyengar menemukan bahwa penonton berita biasa akan dua kali lebih mungkin menjumpai laporan berita episodik daripada laporan berita televisi tematik tentang kemiskinan.[21]

Selanjutnya, hasil-hasil percobaan menunjukkan para pemirsa yang lebih dari dua kali menonton liputan berita episodik kemiskinan lebih mungkin mengaitkan tanggung jawab kemiskinan kepada masyarakat miskin itu sendiri alih-alih masyarakat umum daripada pemirsa yang menonton liputan berita tematik kemiskinan.[21] Berkaitan dengan keunggulan framing episodik tentang kemiskinan, Iyengar memperdebatkan bahwa berita televisi mengalihkan tanggung jawab kemiskinan dari pemerintah dan masyarakat ke orang miskin itu sendiri.[21] Setelah meneliti analisis konten dan data percobaan terhadap permasalahan politik dan kemiskinan, Iyengar menyimpulkan bahwa frame-frame berita episodik mengalihkan atribusi tanggung jawab politik warga negara dari masyarakat dan para elit politik, memungkinkan mereka lebih sedikit mendukung upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah itu dan mengaburkan hubungan-hubungan di antara permasalahan tersebut dan tindakan-tindakan resmi terpilih mereka atau kekurangannya.[21]

Visual Framing

Visual framing mengacu pada proses penggunaan gambar-gambar untuk menggambarkan bagian-bagian tertentu dari kenyataan.[22]

Visual dapat digunakan untuk mewujudkan makna di samping framing tekstual. Bentuk teks dan bentuk visual berfungsi paling baik secara bersamaan.[23] Kemajuan dalam teknologi berbasis layar dan cetak telah menghasilkan penggabungan dua bentuk tersebut dalam penyebaran informasi. Karena tiap-tiap bentuk punya batasannya, mereka paling bagus digunakan bersama dan saling dikaitkan dalam membentuk makna.

Gambar-gambar lebih disukai daripada teks karena membutuhkan lebih sedikit muatan kognitif dan lebih sedikit membosankan daripada kata-kata.[22] Dari sudut pandang psikologis, gambar-gambar mengaktifkan sel-sel saraf pada mata untuk mengirim informasi ke otak. Gambar-gambar juga memiliki nilai atraksi tinggi dan dapat membangkitkan daya tarik emosional yang lebih kuat. Dalam konteks framing, gambar-gambar dapat mengaburkan fakta-fakta dan permasalahan dalam usaha untuk membingkai informasi. Visual-visual terdiri dari alat-alat retoris seperti metafora, penggambaran, dan simbol-simbol untuk menggambarkan adegan atau konteks peristiwa secara grafis dalam upaya untuk membantu kita memahami lebih baik dunia di sekitar kita. Gambar-gambar dapat memiliki keterkaitan satu per satu antara apa yang ditangkap kamera dan representasinya di dunia nyata.

Bersamaan dengan meningkatkan pemahaman, visual juga dapat meningkatkan tingkat penyimpanan dan membuat informasi lebih mudah untuk diingat. Karena sifat gambar yang seimbang, aturan-aturan tata bahasa tidak berlaku.

Menurut para peneliti,[22] framing tercermin dalam empat model tingkatan yang mengidentifikasi dan menganalisis frame-frame visual sebagai berikut: visual-visual sebagai sistem denotatif, visual-visual sebagai sistem semiotika-stilistika, visual-visual sebagai sistem konotatif, dan visual sebagai perwakilan ideologis.

Para peneliti berhati-hati agar tidak hanya mengandalkan gambar-gambar untuk memahami informasi. Karena gambar-gambar lebih banyak memegang kekuatan dan lebih terkait pada kenyataan, kita dapat mengabaikan potensi manipulasi dan pembabakan dan salah menganggap ini sebagai bukti.

Gambar-gambar dapat menjadi perwakilan ideologi dengan memastikan prinsip-prinsip dasar yang membentuk atribut-atribut dasar kita dengan mengombinasikan simbol dan fitur gaya gambar ke dalam proses penafsiran koheren.

Suatu penelitian menunjukkan visual framing menonjol dalam liputan berita, terutama dalam kaitannya terhadap politik.[24] Gambar-gambar yang bermuatan emosi dipandang sebagai alat menonjol untuk membingkai pesan-pesan politik. Visual framing bisa menjadi efektif dengan menaruh penekanan dalam aspek spesifik sebuah masalah, taktik yang biasa digunakan dalam penggambaran berita konflik dan perang dikenal sebagai empathy framing. Visual framing yang memiliki daya tarik emosional bisa dibilang lebih menonjol.

Tipe framing ini dapat diterapkan ke konteks lain, termasuk atletik-atletik dalam kaitannya dengan disabilitas atletik.[25] Visual framing dalam konteks ini dapat menafsirkan kembali sudut pandang tentang ketidakmampuan atletik dan fisik, suatu stereotipe media yang sudah ada sebelumnya.

Mengklarifikasi dan membedakan "paradigma retak"

Kemungkinan karena penggunaannya dalam lintas ilmu-ilmu sosial, frame telah ditetapkan dan digunakan dalam banyak cara yang terpisah. Entman menyebut framing "konseptualisasi yang menyebar" dan "paradigma retak" yang "sering ditetapkan secara begitu saja dengan banyak diserahkan kepada pemahaman diam-diam yang diasumsikan pembaca".[16] Dalam upaya menyediakan lebih banyak kejelasan konseptual, Entman menunjukkan bahwa frame-frame "memilih beberapa aspek kenyataan yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks berkomunikasi sedemikian rupa sehingga mendorong definisi masalah tertentu, penafsiran kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi perawatan untuk barang yang digambarkan".[16] Konseptualisasi framing Entman[16] yang menyebutkan frame-frame bekerja dengan mengangkat potongan-potongan tertentu dalam arti penting, berada sejalur dengan penelitian awal tentang dasar-dasar psikologis framing effect (lihat juga Iyengar[21] yang memperdebatkan jika aksesbilitas adalah penjelasan utama psikologis untuk keberadaan pengaruh-pengaruh framing). Wyer dan Srull[26] menjelaskan susunan aksesibilitas sebagai berikut.

  1. Orang-orang menyimpan potongan-potongan informasi yang berkaitan dalam "tempat penyimpanan referensi" dalam memori jangka panjang mereka.[26]
  2. Orang-orang mengatur "tempat penyimpanan referensi" sehingga lebih banyak potongan-potongan informasi yang sering dan baru-baru ini digunakan disimpan di bagian atas tempat penyimpanan tersebut. Jadi, potongan-potongan informasi tersebut lebih mudah diakses.[26]
  3. Karena orang-orang cenderung hanya mengambil secuil informasi dari memori jangka panjang saat membuat penilaian, mereka cenderung mengambil potongan-potongan yang paling mudah diakses untuk digunakan membuat penilaian-penilaian itu.[26]

Argumen yang mendukung aksesibilitas sebagai proses psikologis yang mendasari dapat diringkas sebagai berikut: Karena masyarakat sangat mengandalkan media berita untuk informasi peristiwa-peristiwa publik, informasi yang paling mudah diakses tentang peristiwa-peristiwa publik sering hadir dari peristiwa-peristiwa publik yang mereka konsumsi. Argumen ini juga disebut sebagai dukungan dalam debat mengenai apakah framing harus dimasukkan oleh teori agenda-setting sebagai bagian level kedua dari agenda setting. McCombs dan para peneliti agenda-setting lainnya secara umum setuju jika framing harus digabungkan bersama priming, di bawah ruang lingkup agenda setting sebagai model kompleks efek-efek media yang menghubungkan produksi media, konten, dan efek-efek pemirsa.[27][28][29] Tentu saja, McCombs, Llamas, Lopez-Escobar, dan Rey membenarkan percobaan mereka untuk menggabungkan penelitian framing dan agenda-setting dengan asumsi penghematan.[29]

Namun, Scheufele membantah bahwa tak seperti agenda setting dan priming, framing tidak bersandar sepenuhnya terhadap aksesibilitas sehingga tidak tepat untuk menggabungkan framing dengan agenda seeting dan priming untuk kepentingan penghematan.[19] Bukti-bukti empiris kelihatannya mempertahankan klaim Scheufele. Sebagai contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley secara empiris menunjukkan bahwa penerapan adalah kuncinya, alih-alih ciri khas.[17] Mengukur aksesibilitas dalam ketentuan-ketentuan latensi jawaban-jawaban responden yang hasil-hasil informasinya lebih mudah diakses dalam waktu-waktu respons yang lebih cepat, Nelson, Clawson, dan Oxley menunjukkan bahwa aksesibilitas diperhitungkan hanya untuk proporsi kecil terhadap perubahan dalam efek-efek framing, sementara penerapan diperhitungkan untuk perubahan proporsi besar.[17] Akan tetapi, menurut Nelson dan rekan-rekan, "frame-frame memengaruhi pendapat dengan menekan nilai-nilai spesifik, fakta-fakta, dan pertimbangan-pertimbangan lain, memberikannya dengan relevansi nyata yang lebih besar terhadap masalah daripada yang tampaknya mereka miliki di bawah frame alternatif."[17]

Dengan kata lain, ketika penelitian awal mengesankan bahwa dengan menyoroti aspek-aspek tertentu permasalahan, frame membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diakses dan lebih mungkin digunakan dalam proses penilaian,[16][21] penelitian terkini mengesankan bahwa frame bekerja dengan membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diterapkan dan lebih relevan pada proses penilaian.[17][19]

Equivalency lawan emphasis: dua tipe frame dalam penelitian media

Chong dan Druckman mengacu penelitian framing memiliki fokus utama pada dua tipe frame: equivalency frames dan emphasis frames.[30] Equivalency frames mengesankan "frasa-frasa berbeda, tetapi ekuivalen secara logis", yang menyebabkan para individu mengubah pilihan mereka.[1] Equivalency frames sering diucapkan dalam istilah-istilah "keuntungan" versus "kekalahan". Contohnya, Kahneman dan Tversky meminta para pemirsa memilih di antara dua tanggapan kebijakan "gain-framed" terhadap hipotesis wabah penyakit yang diperkirakan membunuh 600 orang.[31] Respons A akan menyelamatkan 200 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan menyelamatkan semua orang, tetapi dua pertiga kemungkinan tidak menyelamatkan siapa-siapa. Para partisipan A sangat memilih Respons A yang dirasa lebih sedikit opsi berisikonya. Kahneman dan Tversky meminta para partisipan lain untuk memilih di antara dua respons kebijakan "loss-framed" ekuivalen terhadap wabah penyakit yang sama. Pada kondisi ini, Respons A akan membunuh 400 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan tidak membunuh siapa pun, tetapi dua pertiga kemungkinan membunuh semua orang. Walaupun pilihan-pilihan ini identik secara matematis dengan opsi yang diberikan dalam kondisi "gain-framed", para partisipan sangat memilih Respons B, opsi yang berisiko. Kemudian, Kahneman dan Tversky membuktikan bahwa saat diutarakan dalam istilah-istilah potential gains, masyarakat cenderung memilih opsi yang mereka rasa lebih sedikit risikonya (yaitu sure gain). Kebalikannya, saat dihadapkan dengan kerugian potensial, masyarakat cenderung memilih opsi yang berisiko.[31]

Tak seperti equivalency frames, emphasis frames mengesankan "pertimbangan yang berbeda secara kualitatif, tetapi relevan secara potensial" yang digunakan para individu untuk membuat penilaian.[30] Perlu dicatat jika framing berbeda dengan agenda-setting. Emphasis framing mewakili perubahan dalam struktur komunikasi untuk membangkitkan skema kognitif tertentu. Agenda setting bergantung pada frekuensi atau keunggulan pesan-pesan permasalahan untuk memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan. Emphasis framing mengacu pada pengaruh struktur pesan dan agenda setting mengacu pada pengaruh kepentingan konten.[32] Contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley menampakkan pada para partisipan berita yang menampilkan rencana Ku Klux Klan untuk menjalankan rapat.[17] Para partisipan dalam suatu keadaan membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah masalah keamanan publik, sedangkan para partisipan dalam keadaan lain membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah pertimbangan kebebasan berbicara. Para peserta yang tertuju pada kondisi keamanan publik memandang penerapn keamanan publik untuk menentukan apakah Klan harus diperbolehkan untuk mengadakan rapat dan seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih rendah terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17] Namun, para partisipan yang tertuju pada kondisi kebebasan berbicara memandang penerapan kebebasan berbicara untuk memutuskan apakah Klan perlu diizinkan untuk mengadakan rapat, seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih besar terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17]

Framing Dalam Keuangan

Pembalikan preferensi dan fenomena terkait lainnya memiliki relevansi yang lebih luas dalam ekonomi perilaku karena bertentangan dengan prediksi pilihan rasional, dasar ekonomi tradisional. Bias-bias framing memengaruhi keputusan investasi, peminjaman, membuat salah satu tema behavioral finance.

Framing dalam psikologi dan ekonomi

Daniel Kahneman

Amos Tversky dan Daniel Kahneman telah menunjukkan jika framing dapat sangat memengaruhi hasil akhir dari choice problems (yakni pilihan yang dibuat seseorang) sehingga sejumlah aksioma klasik dari pilihan rasional tidaklah benar.[33] Hal ini mengarah kepada perkembangan teori prospek.[34]

Konteks atau framing of problems diangkat oleh hasil-hasil pembuat keputusan dalam bagian dari manipulasi ekstrinsik yang ditawarkan pilihan-pilihan keputusan, sekaligus dari paksaan-paksaan intrinsik pada para pembuat keputusan, misalnya norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, dan perangai unik mereka.

Desmonstrasi eksperimental

Tversky dan Kahneman (1981) mendemonstrasikan secara sistematik saat masalah yang sama disajikan dalam cara-cara berbeda, misalnya pada masalah penyakit Asia. Para partisipan diminta untuk "membayangkan jika AS bersiap untuk wabah penyakit Asia tak biasa yang diperkirakan membunuh 600 orang. Dua program alternatif untuk melawan wabah penyakit telah diajukan. Simpulkan perkiraan ilmiah yang tepat dari konsekuensi program sebagai berikut."

Kelompok partisipan pertama disajikan dengan pilihan di antara program-program: Dalam kelompok 600 orang,

  • Program A: "200 orang akan diselamatkan"
  • Program B: "ada 1/3 kemungkinan bahwa 600 orang diselamatkan, dan 2/3 kemungkinan bahwa tak ada orang yang diselamatkan"

72 persen partisipan lebih memilih program A (28% sisanya memilih program B).

Grup partisipan kedua disajikan dengan pilihan sebagai berikut, yakni dalam kelompok 600 orang,

  • Program C: "400 orang akan meninggal"
  • Program D: "ada 1/3 kemungkinan tidak ada orang meninggal, dan 2/3 kemungkinan jika 600 orang akan meninggal"

Dalam frame keputusan ini, 78% lebih memilih program D, dengan 22% sisanya memilih program C.

Program A dan C identik, begitu pula program B dan D. Perubahan dalam frame penentuan di antara dua kelompok partisipan menghasilkan pembalikan preferensi: saat program-program disajikan dengan istilah penyelamatan nyawa, para partisipan lebih memilih program yang aman, A (= C). Saat program disajikan dalam istilah kematian yang diperkirakan, partisipan memilih risiko D (= B).[16]

Pengaruh mutlak dan relatif

Pengaruh-pengaruh framing timbul karena seseorang dapat sering membingkai keputusan menggunakan banyak skenario mana yang mungkin mengungkapkan manfaat baik sebagai pengurangan risiko relatif (RRR), atau sebagai pengurangan risiko mutlak (ARR). Kendai ekstrinsik terhadap perbedaan-perbedaan kognitif (antara toleransi risiko dan antisipasi penghargaan) yang diangkat para pembuat keputusan dapat terjadi lewat mengubah presentasi risiko relatif dan keuntungan-keuntungan absolut.

Umumnya, masyarakat lebih memilih keputusan mutlak yang melekat pada efek positif framing yang menawarkan jaminan perolehan. Saat opsi-opsi keputusan muncul dibingkai sebagai likely gain, pilihan-pilihan yang menolak risiko menonjol.

Pergeseran terhadap tingkah laku pencari risiko terjadi saat pembuat keputusan membingkai keputusan dalam ketentuan-ketentuan negatif, atau mengangkat pengaruh negatif framing.

Dalam pembuatan keputusan medis, framing bias paling baik dihindari dengan menggunakan ukuran mutlak kemanjuran.[35]

Penelitian frame-manipulation

Para peneliti menemukan bahwa masalah-masalah keputusan framing dalam sorotan positif umumnya menghasilkan pilihan yang lebih sedikit risikonya; dengan framing negatif permasalahan, cenderung lebih berisiko pilihannya.[33]

Pada sebuah penelitian oleh para peneliti Dartmouth Medical School, 57% subjek memilih pengobatan saat disajikan dengan keuntungan-keuntungan dalam istilah-istilah relatif, sedangkan 14.7% memilih pengobatan yang keuntungannya disajikan dalam istilah-istilah mutlak. Lebih lanjut, pertanyaan pasien menunjukkan bahwa, karena subjek mengabaikan risiko pokok penyakit, mereka memandang manfaat menjadi lebih besar saat ditunjukkan dalam ketentuan-ketentuan relatif .[36]

Model-model teoretis

Para peneliti telah mengajukan bermacam-macam[30][37] model menjelaskan pengaruh framing.

  • teori-teori kognitif, seperti teori fuzzy-trace, berusaha untuk menjelaskan pengaruh framing dengan menentukan jumlah upaya pemrosesan kognitif yang ditujukan untuk menentukan nilai potensi keungungan dan kerugian.
  • teori prospek menjelaskan pengaruh framing dalam ketentuan-ketentuan fungsional yang ditentukan dengan pilihan untuk nilai-nilai yang dirasakan berbeda berdasarkan asumsi bahwa khalayak memberi pembobotan lebih hebat pada kerugian daripada keuntungan yang setara.
  • teori-teori motivasional menjelaskan efek framing dalam ketentuan-ketentuan paksaan hedonik yang mempengaruhi individu, seperti rasa takut dan harapan —berdasarkan pada gagasan bahwa emosi-emosi negatif yang ditimbulkan oleh potensi kerugian biasanya lebih berat dari emosi yang ditimbulkan oleh keuntungan hipotesis.
  • teori trade-off cost-benefit mendefinisikan pilihan sebagai kompromo antara keinginan, baik sebagai preferensi untuk keputusan yang benar atau preferensi untuk upaya kognitif yang diminimalkan. Model yang memadukan unsur-unsur teori kognitif dan motivasi ini, mendalilkan bahwa menghitung nilai perolehan yang pasti membutuhkan upaya kognitif yang jauh lebih sedikit daripada yang diperlukan untuk memilih perolehan yang berisiko.

Neuroimaging

Para ahli saraf kognitif telah mengaitkan efek framing pada aktivitas saraf di amygdala dan mengidentifikasi bagian otak lain, korteks prefrontal (OMPFC) orbital dan medial yang muncul untuk memoderasi peran emosi terhadap keputusan. Menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk mengamati aktivitas otak selama tugas pembuatan keputusan, mereka mengamati aktivitas yang lebih besar di OMPFC dari subjek penelitian yang kurang rentan terhadap efek framing.[38]

Dalam sosiologi

Teori framing dan analisis frame memberikan pendekatan teoretis luas yang telah digunakan analis dalam kajian-kajian komunikasi, berita (Johnson-Cartee, 1995), politik, dan pergerakan sosial (di antara penerapan).

Menurut Bert Klandermans, "konstruksi sosial frame-frame tindakan kolektif" melibatkan "wacana publik, yaitu antarmuka wacana media dan interaksi antarpersonal; komunikasi persuasif saat kampanye-kampanye oleh organisasi-organisasi pergerakan, para lawan dan organisasi kontra-gerakan mereka; dan peningkatan kesadaran selama episode tindakan kolektif".[39]

Sejarah

Word-selection telah menjadi komponen retorik.

Kebanyakan juru ulas menyematkan konsep framing terhadap kerja Erving Goffman mengenai analisis frame dan mengarahkan pada buku tahun 1974, Frame analysis: An essay on the organization of experience. Goffman menggunakan ide frame untuk melabeli "skemata interpretasi" yang membolehkan para individu atau kelompok "untuk meletakkan,melihat, mengidentifikasi, dan melabeli" peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, sehingga memberikan makna, mengatur pengalaman, dan membimbing tindakan.[40] Konsep framing Goffman berkembang dari karyanya pada tahun 1959, The Presentation of Self in Everyday Life, sebuah ulasan dari manajemen impresi. Karya-karya ini bisa dibilang bergantung pada konsep imej karya Kenneth Boulding.[41]

Gerakan-gerakan sosial

Para sosiologis telah memanfaatkan framing untuk menjelaskan proses pergerakan sosial.[12] Pergerakan bertindak sebagai pembawa kepercayaan dan ideologi (bandingkan meme), terlebih lagi, mereka berjalan sebagai bagian proses membangun makna untuk para partisipan dan penentang (Snow & Benford, 1988). Para sosiologis menganggap mobilisasi pergerakan massa "sukses" saat frame-frame yang diproyeksikan sejajar dengan frame partisipan untuk menghasilkan resonansi antara kedua pihak. Para peneliti framing membicarakan proses ini sebagai frame re-alignment.

Frame-alignment

Snow dan Benford (1988) menganggap deretan frame (frame-alignment) sebagai elemen penting dalam pergerakan atau perpindahan sosial. Mereka memperdebatkan bahwa saat frame-frame individu terhubung dalam keselarasan dan saling melengkapi, "frame alignment" terjadi,[42] memproduksi "frame resonance", katalis dalam proses grup yang melakukan transisi dari sebuah frame ke frame lain (meskipun tidak semua upaya-upaya framing membuktikan kesuksesan). Persyaratan yang mempengaruhi atau memaksa upaya-upaya framing termasuk berikut ini.

  • "Kekokohan, kelengkapan, dan ketelitian upaya framing". Snow dan Benford (1988) mengidentifikasi tiga inti tugas framing, dan menyatakan bahwa sejauh mana menghadapi tugas-tugas ini akan menentukan mobilisasi partisipan. Mereka menggambarkan tiga tugas tersebut sebagai berikut.
    1. framing diagnostik untuk identifikasi masalah dan penugasan menyalahkan.
    2. framing prognostik untuk menyarankan solusi, strategi, dan taktik terhadap sebuah masalah.
    3. framing motivasional yang menjadi panggilan untuk senjata atau alasan untuk bertindak.
  • Hubungan antara frame yang diusulkan dan sistem kepercayaan yang lebih luas, secara pusat: frame tak bisa menjadi sarti penting dan hierarki yang rendah dalam sistem kepercayaan yang lebih luas. Jangkauan dan keterkaitannya, apabila pembuat frame menghubungkan frame kepada satu saja inti keyakinan atau nilai yang sendirinya memiliki jangkauan dalam sistem kepercayaan yang lebih luas, frame tersebut memiliki derajat diskonto yang tinggi.
  • Relevansi frame terhadap kenyataan partisipan; frame harus terlihat relevan untuk para partisipan dan juga harus memberikan mereka informasi. Kredibilitas empiris atau testabilitas dapat membatasi relevansi: berkaitan dengan pengalaman partisipan, dan memiliki ketepatan naratif, artinya sesuai dengan mitos dan narasi budaya yang ada.
  • Cycles of protest (Tarrow 1983a; 1983b); titik di mana frame muncul pada garis waktu era masa kini dan keasyikan yang ada dengan perubahan sosial. Frame-frame sebelumnya dapat memengaruhi upaya untuk mengenakan frame baru.

Snow dan Benford (1988) mengusulkan bahwa begitu seseorang telah membangun frame-frame tepat seperti yang dijabarkan di atas, perubahan skala besar dalam masyarakat seperti kepentingan untuk pegerakan sosial itu dapat dicapai melalui frame-alignment.

Tipe-tipe

Frame-alignment muncul dalam empat bentuk: frame bridging, frame amplification, frame extension dan frame transformation.

  1. Frame bridging melibatkan "hubungan dua atau lebih frame-frame yang kongruen secara ideologis, tetapi tidak terhubung secara struktural mengenai isu atau masalah tertentu" (Snow dkk., 1986, hal. 467). Hal tersebut melibatkan hubungan sebuah pergerakan terhadap "kumpulan sentimen atau kelompok preferensi opini publik yang tidak bergerak [sic]" (hal. 467) orang-orang yang berbagi pandangan atau keluhan serupa, tetapi yang tidak memiliki basis organisasi.
  2. Frame amplification mengacu pada "klarifikasi dan penyegaran frame interpretatif yang mengemban isu, masalah, atau rangkaian peristiwa tertentu" (Snow dkk., 1986, hal. 469). Frame interpretatif ini biasanya melibatkan penyegaran nilai-nilai atau kepercayaan.
  3. Frame extensions mewakili usaha pergerakan untuk menggabungkan para peserta dengan melebarkan batasan-batasan frame yang diusulkan untuk memuat atau mencakup para pengamat, peminat, atau sentimen grup yang ditargetkan (Snow dkk., 1986, hal. 472).
  4. Frame transformation menjadi penting saat frame-frame yang diusulkan "mungkin tidak beresonansi dan kadang kala, bahkan tampak bertentangan kepada gaya hidup konvensional atau ritual dan kerangka penafsiran yang masih ada" (Snow dkk., 1986, hal. 473).

Saat ini terjadi, pengamanan peserta dan dukungan membutuhkan nilai-nilai baru, makna-makna baru, dan pemahaman. Goffman (1974, hal. 43–44) menyebut hal ini "kunci", saat "para aktivis, peristiwa, dan biografi yang telah bermakna dari sudut beberapa framework utama, dalam ketentuan-ketentuan framework lain" (Snow dkk., 1986, hal. 474) sedemikian rupa sehingga mereka terlihat berbeda. Dua tipe transformasi frame berwujud

  1. Domain-specific transformations, seperti upaya untuk mengubah status grup-grup masyarakat, dan
  2. Global interpretive frame-transformation, di mana ruang lingkup perubahan terlihat cukup radikal—seperti dalam perubahan pandangan dunia, konversi total pemikiran, atau pencabutan segala sesuatu yang akrab (misalnya: berpindah dari komunisme ke kapitalis pasar, atau sebaliknya; pengubahan agama, dll.).

Sebagai kritik retorik

Walaupun pemikiran language-framing telah dijelajah sebelumnya oleh Kenneth Burke (saringan-saringan terministik), peneliti komunikasi politik Jim A. Kuypers pertama kali menerbitkan karya analisis frame (framing analysis) terdahulu sebagai sudut pandang retorik dalam 1997. Pendekatannya dimulai secara induktif dengan mencari tema-tema yang bertahan sepanjang waktu dalam sebuah teks (bagi Kuypers, utamanya narasi berita terhadap masalah atau peristiwa) dan kemudian menentukan bagaimana tema-tema tersebut dibingkai. Penelitian Kuypers diawali dengan asumsi bahwa frame adalah entitas retorik kuat yang "menyebabkan kita menyaring persepsi kita terhadap dunia dalam cara yang khusus, pada dasarnya membuat beberapa aspek kenyataan multi-dimensional kita lebih terlihat daripada aspek lainnya. Frame berjalan dengan membuat beberapa informasi lebih menonjol daripada informasi lainnya...."[43]

Pada esainya tahun 2009 "Framing Analysis" dalam Rhetorical Criticism: Perspectives in Action[44] dan esainya tahun 2010 "Framing Analysis as a Rhetorical Process",[45] Kuypers memberikan konsep detail untuk melakukan analisis framing dari sudut pandang retorika. Menurut Kuypers, "Framing adalah proses saat para komunikator secara sadar ataupun tidak, bertindak untuk membangun sudut pandang yang mendorong fakta-fakta situasi tertentu untuk ditafsirkan oleh orang lain dengan cara tertentu. Frame-frame bekerja dalam empat cara kunci: mendefinisikan masalah, mendiagnosis masalah, membuat pertimbangan moral, dan menyarankan pengobatan. Frame-frame sering ditemukan dalam akun narasi sebuah isu atau peristiwa dan umumnya pusat ide pengorganisasian."[46] Penelitian Kuypers berdasarkan pada premis bahwa framing adalah proses retoris dan karenanya paling bagus diteliti dari sudut pandang retoris. Menyembuhkan masalah bukanlah retoris dan paling baik diserahkan kepada pengamat.

Dalam wacana lingkungan

Sejarah aktivisme iklim

Aktivisme iklim secara teratur terbentuk dan terbentuk kembali oleh dialog pada tingkat lokal, nasional, dan internasional berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

Diawali dengan pergerakan transendental pada abad 19 ketika Henry David Thoreau menulis novel On Walden Pond merinci pengalamannya dengan lingkungan alam dan ditambah oleh karya transendental lainnya seperti Ralph Waldo Emerson, aktivisme iklim telah mengambil banyak bentuk. John Muir, yang juga dari akhir abad 19, menyarankan pelestarian Bumi untuk kepentingannya sendiri, membangun Sierra Club. Kumpulan esai Aldo Leopold tahun 1949, A Sand County Almanac, membentuk “etika tanah” dan telah mengatur tahap untuk etika lingkungan modern, menyerukan konservasi dan pelestarian alam dan hutan belantara. Silent Spring karya Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962, mengungkapkan bahaya pestisida bagi kesehatan manusia dan lingkungan dan dengan berhasil menganjurkan enghentian penggunaan DDT.

Konsep perubahan iklim dan kemudian ruang aktivisme berkaitan dengan iklim mulai berkembang pada tahun 1970-an. Hari Bumi pertama berlangsung pada 22 April, 1970. Dekade-dekade berikutnya menjadi saksi berdirinya Greenpeace, Earth First!, Program Lingkungan PBB (UNEP), dan Konvensi Kerangka Kerja PBB terhadap Perubahan Iklim (UNFCCC).

Dokumen-dokumen iklim penting dalam 30 tahun terakhir di antaranya termasuk "Rio Declaration", "Kyoto Protocol", "Paris Climate Agreement", dan "Global Youth Climate Action Declaration".

Yang terbaru, Peoples’ Climate March dan Global Climate Strike telah berkembang menjadi peristiwa-peristiwa yang dihadiri oleh berjuta-juta warga sipil dan aktivis seluruh dunia setiap tahun. Aktivitas iklim telah dihidupkan kembali oleh pemberontakan kaum muda di garis depan dialog dan advokasi. Greta Thunber, seorang wanita muda asal Swedia menginisiasi Fridays for Future yang kini memiliki cabang aktif di sejumlah negara di seluruh dunia. Grup iklim aktif lainnya yang dipimpin oleh pemuda termasuk di antaranya Extinction Rebellion, Sunrise Movement, SustainUS, Global Youth Climate Action Declaration (GYCAD), ZeroHour, bekerja di tingkat lokal dan lintasnegara.

Motivasi dan dukungan individu

Motivasi individu untuk mengatasi perubahan iklim adalah landasan mengenai dibangunnya tindakan kolektif. Proses-proses pembuatan keputusan diinformasikan oleh segudang faktor termasuk nilai-nilai, kepercayaan, dan tingkah laku normatif. Di Amerika Serikat, para individu paling efektif dimotivasi untuk mendukung kebijakan perubahan iklim ketika frame kesehatan publik digunakan. Frame ini mengurangi rasa ambiguitas dan disosiasi sering ditimbulkan oleh pembicaraan tentang pencairan lapisan es dan emisi karbon dengan menempatkan masalah iklim dalam konteks lokal untuk individu, baik di negara, negara bagian, atau kota mereka.[47]

Perubahan iklim, sebagai masalah yang belum ditetapkan sebagai keyakinan normatif sering menjadi subjek perbedaan pendapat dalam menghadapi aktivisme dan advokasi.[48] Para aktivis yang terlibat dalam advokasi akar rumput untuk memperoleh perilaku yang lebih pro-lingkungan dalam grup sosial mereka, bahkan mereka yang terlibat dalam konfrontasi halus adalah subjek terhadap reaksi negatif dan konsekuensi sosial di hadapan oposisi.[48] Selain itu, perubahan iklim memiliki kapasitas untuk ditetapkan sebagai isu moral karena efek antropogenik terhadap planet dan kehidupan manusia lainnya, tetapi ada hambatan psikologis terhadap dukungan perubahan iklim dan motivasi selanjutnya untuk bertindak dalam menanggapi keperluan akan intervensi.[49] Sebuah artikel dalam jurnal Nature Climate Change oleh Ezra Markowitz dan Azim Shariff menekankan enam tantangan psikologis, tercantum di bawah ini, yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada sistem penilaian moral manusia.[49]

  1. Abstraksi dan kompleksitas kognitif: sifat abstrak dari perubahan iklim membuatnya menjadi nonintuitif dan sulit dipahami secara kognitif.
  2. Ketidakbersalahan dari tindakan yang tidak disengaja: sistem penilaian moral manusia disetel dengan baik untuk bereaksi terhadap pelanggaran yang disengaja.
  3. Kecenderungan bersalah: perubahan iklim antropogenik memancing kecenderungan pembelaan diri.
  4. Ketidakpastian melahirkan angan-angan: Kurangnya prognosis yang pasti menghasilkan optimisme yang tidak masuk akal.
  5. Kesukuan moral: politisasi perubahan iklim mendorong ideologi yang berlawanan.
  6. Cakrawala yang lama dan tempat yang jauh: korban-korban di luar grup berjatuhan.

Dire Messaging

Aktivisme iklim menyatakan dirinya melalui berbagai ekspresi. Suatu aspek framing perubahan iklim yang umumnya dikenali adalah dire messaging yang telah dikritik sebagai penggelisah dan pesimistik, mengakibatkan penolakan pesan berbasis bukti.[50]

Teori just-world yang mendukung gagasan bahwa beberapa individu harus bergantung pada pengandaian mengenai dunia yang adil untuk mendukung keyakinan. “Penelitian mengenai teori dunia yang adil telah menunjukkan bahwa saat kebutuhan para individu mempercayai dunia adil terancam, mereka biasanya menggunakan tanggapan defensif, seperti penolakan atau rasionalisasi informasi yang mengancam keyakinan dunia adil mereka”.[50] Dalam kasus perubahan iklim, gagasan dire messaging sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi aktivisme. Contohnya, memiliki rasa takut perubahan iklim “dikaitkan pada ketidakmampuan diri untuk mencegahnya dapat mengakibatkan penarikan diri, sedangkan mempertimbangkan orang lain bertanggung jawab dapat mengakibatkan kemarahan".[51]

Pada penelitian tahun 2017, ditemukan bahwa aktivis yang diwawancarai dari Global North merangkul rasa takut sebagai motivasi, tetapi “menekankan harapan, menolak rasa bersalahh, dan memperlakukan kemarahan dengan hati-hati". Para aktivis yang diwawancarai dari Global South mengindikasikan bahwa mereka “alih-alih lebih ketakutan, kurang harapan, dan lebih marah, menganggap rasa bersalah – tanggung jawab – ke negara-negara bagian utara. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mengindikasikan pendekatan aktivis yang relatif terdepolitisasi terhaadap perubahan iklim di utara, sebagai lawan dari pendekatan yang lebih terpolitisasi di selatan”.[51]

Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa rasa takut memotivasi aksi lewat meningkatkan kesadaran ancaman bencana iklim. Potensi rasa takut yang melumpuhkan dimediasi oleh harapan: harapan mendorong aksi, sementara aksi kolektif menghasilkan harapan sembari mengelola rasa takut. Kapasitas waspada bahaya rasa takut dirangkul "secara internal", tetapi ditolak sebagai emosi efektif dalam memotivasi khalayak untuk berpindah.[51]

Peneliti telah menunjukkan bahwa dire messaging mengurangi kemanjuran inisiatif advokasi melalui demotivasi individu, tingkat kepedulian yang lebih rendah, dan penurunan keterlibatan.[49]

Positive framing

Peneliti berpendapat bahwa prognostic framing—yang menawarkan solusi, strategi, target, dan taktik yang nyata—yang bergandengan dengan motivational framing paling mujarab dalam menggerakkan khalayak untuk bertindak.[12] Khususnya saat berkaitan dengan perubahan iklim, kekuatan psikologi positif menjadi jelas saat diterapkan oleh para aktivis dan orang lain yang menghasilkan intervensi-intervensi.

Empat prinsip utama motivasi seperti yang dijelaskan oleh Positive Psychology adalah agency, compassion, resilience, dan purpose. Saat diterapkan pada aksi iklim, buku teks edisi keempat Psychology for Sustainability, lebih lanjut memperluas prinsip-prinsip ini karena berkaitan terhadap keberlanjutan dan sebagai katalis aksi:[52]

  1. Agency: memilih, merencanakan, dan mengeksekusi perilaku yang berkaitan dengan situasi.
  2. Compassion: memperhatikan, merasakan, dan merespons penderitaan lain yang timbul dari rasa keterhubungan.
  3. Purpose: berusaha menuju aktivitas yang bermakna.
  4. Resilience: memulihkan, mengatasi, atau mengembangkan strategi baru untuk melawan kesulitan.

Harapan menambah rasa purpose dan agency, sekaligus meningkatkan ketahanan. Bagi para aktivis iklim, tidak mungkin memisahkan harapan dari ketakutan. Namun, saat mendekonstruksi harapan bahwa orang lain akan mengambil tindakan yang perlu, harapan dihasilkan melalui keyakinan pada kapasitasnya sendiri, menunjukkan bahwa “kepercayaan pada tindakan kolektif 'sendiri’ tampaknya menjadi inti dari harapan yang dibicarakan para aktivis”.[51] Selain itu, membuat hubungan antara tindakan iklim dan emosi-emosi positif seperti rasa syukur dan kebanggaan, peningkatan kesejahteraan subjektif, dn potensi untuk mempengaruhi memungkinkan para individu untuk melihat tindakan mereka sendiri untuk memperbaiki iklim sebagai cara yang bermanfaat dan berkelanjutan daripada menurunkan motivasi.[49]

Pendekatan lain yang dibuktikan manjur adalah proyeksi masyarakat utopis dalam isu-isu mendesak yang telah diselesaikan, menawarkan narasi kreatif yang menuntun para individu dari masalah-masalah saat ini ke solusi masa depan dan mengizinkan mereka untuk memilih jadi jembatan antara keduanya. Pendekatan positif antargenerasi ini membangkitkan rasa semangat tentang tindakan iklim pada para individu dan menawarkan solusi kreatif yang dapat mereka pilih untuk ambil bagian di dalamnya.[52] Sebagai contoh, pengumuman layanan masyarakat yang berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibingkai sebagai berikut.

“Ini 2050, kendaraan elektrik Anda diparkir dan siap untuk pergi di sebelah rumah nol emisi Anda, tetapi Anda memilih untuk mengambil sistem transit yang sangat cepat, efisien, hijau, dan bersih yang dapat diakses dari kebanyakan tempat di Amerika Serikat dan disubsidi untuk warga negara berpenghasilan rendah. Mungkin Anda tinggal di Pegunungan Appalachia di Virginia Barat, di mana industri batu bara digantikan oleh pusat-pusat besar untuk inovasi dan pekerjaan energi hijau. Anda dapat berpindah dengan mudan ke DC atau New York. Makanan Anda tumbuh secara lokal dan disalurkan lewat Koperasi Pertanian Perkotaan yang mendidik anak-anak mengenai cara menumbuhkan makanan, pentingnya pelokalan, dan cara menjadi lebih berkelanjutan.”

Ideologi politik

Para peneliti komunikasi politik mengangkat taktik framing sejak beredarnya retorika politik. Akan tetapi, kemajuan dalam teknologi telah menggeserkan saluran komunikasi yang mereka gunakan. Dari komunikasi oral, material tertulis, radio, televisi, dan yang paling terkini, media sosial telah memainkan peran menonjol dalam bagaimana politik dibingkai. Media sosial, secara khusus, mengizinkan para politik untuk mengomunikasikan ideologi mereka dengan pesan singkat dan tepat. Menggunakan kata-kata yang memicu emosional, berfokus terhadap menimbulkan rasa takut atau amarah, untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kebijakan yang difasilitasi dengan rentang perhatian pendek yang dibuat oleh media sosial ([53]).

Dalam dekade-dekade terakhir, perubahan iklim telah begitu dipolitisasi dan sering menginisiatif untuk mengatasi atau mengonseptualisasi perubahan iklim cocok untuk satu kemungkinan, sementara sangat diperdebatkan oleh yang lain. Oleh karena itu, penting membingkai aktivitsme iklim dengan cara yang nyata untuk penonton, menemukan makna komunikasi sembari meminimalkan provokasi. Dalam konteks Amerika Serikat, kecenderungan kiri “liberal” berbagi nilai-nilai inti kepedulian, keterbukaan, kesederajatan, kebaikan kolektif, pemagaran toleransi untuk ketidakpastian atau ambiguitas, dan penerimaan perubahan', sedangkan kecenderungan kanan “konservatif” berbagi nilai-nilai inti keamanan, kemurnian, kestabilan, tradisi, hierarki sosial, perintah, dan individualisme.[52]

Sebuah kajian memeriksa berbagai prediktor persetujuan publik untuk penggunaan energi terbarukan di bagian barat Amerika Serikat menggunakan tujuh macam frame dengan tujuan untuk menilai kemanjuran framing energi terbarukan. Frameworks neoliberal digemakan oleh para konservatif, seperti dukungan untuk ekonomi pasar bebas, diajukan terhadap intervensi aksi iklim yang secara inheren menempatkan kendala terhadap ekonomi bebas melalui dukungan energi terbarukan melalui subsidi atau pajak tambahan terhadap sumber-sumber energi tak terbarukan.[54] Dengan demikian, saat para aktivis iklim bercakap-cakap dengan para individu cenderung konservatif, akan menguntungkan untuk fokus terhadap framing yang tidak memicu ketakutan akan kendala ekonomi pasar bebas atau perubahan-perubahan gaya hidup yang luas. Hasil kajian yang sama mendukung gagasan bahwa "frame-frame berlandaskan non-iklim untuk energi terbarukan paling mungkin mengumpulkan dukungan khalayak yang lebih luas" bertalian dengan konteks politik dan menunjukkan respons bertentangan terhadap pembingkaian berdasarkan iklim yang menunjukkan polarisasi politik yang dalam terhadap perubahan iklim.[54]

Ide political framing berasal dari keengganan kehilangan. Para politikus ingin membuat ide mereka kurang berisiko bagi para pemilih potensial karena “Masyarakat lebih memperhatikan kerugian daripada keuntungan, sama seperti mereka cenderung terlibat dalam perilaku tertentu dalam menghadapi kerugian. Secara rinci, masyarakat mengambil risiko saat mereka percaya itu membantu mereka mencegah kerugian, tetapi saat mereka menghadapi lagi, mereka memilih strategi yang menghindari risiko yang mempertahankan status quo”.[55] Mereka akan mengomunikasikannya dengan cara yang dapat meyakinkan bahwa masyarakat tidak rugi dengan menyetujui ideologi para politikus tersebut.

Political framing juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan lain selain perubahan iklim. Kesejahteraan, misalnya, telah dikenakan kepada political framing untuk menggeser opini publik terhadap penerapan kebijakan. Aliran terjal frame-frame yang berbeda kondusif mengubah opini publik selama bertahun-tahun.[56] Hal tersebut mempengaruhi cara masyarakat memandang “kelayakan” saat bertemu dengan kebijakan. Salah satu ujungnya dapat dilihat sebagai kredit politik, menyatakan bahwa para warga negara yang membutuhkan memiliki hak untuk mengklaim kesejahteraan sebagai kebutuhan. Hal tersebut dibingkai sebagai tugas dari pemerintah ke warga negara. Dalam frame ini, tak ada yang rugi karena pemerintah melakukan tugasnya untuk memaksimalkan kualitas kehidupan untuk seluruh masyarakat. Sisi lain memandang persingkatan kebijakan sebagai keperluan dengan menggunakan taktik framing untuk menggeser tanggung jawab dan mencelakan dari pemerintah ke warga negara.[57] Pemikiran untuk meyakinkan masyarakat bahwa kesejahteraan herus didorong untuk keuntungan mereka. Retorika kontemporer, diperjuangkan oleh mantan Presiden AS Ronald Reagan, telah membuat ide frame “kerja keras” mereka untuk mengatakan kesejahteraan tidak diperlukan jika masyarakat “bekerja lebih keras.” Dengan frame yang berlawanan ini, warga yang lebih kaya sekarang rugi karena mereka mengeluarkan uang untuk membantu dana keuntungan kesejahteraan pada mereka yang "kurang bekerja" dibandingkan mereka. Frame berbeda ini membuat kesejahteraan seperti permainan satu-kosong.

Norma-norma gender

Framing perubahan iklim bervariasi tergantung pada pemirsa yang dituju dan respons yang dirasakan mereka terhadap berbagai pendekatan mengenai aktivisme. Di Sweden, peneliti menilai keberlanjutan dalam sektor transportasi yang didominasi pria menyebutkan bahwa norma-norma yang diberikan oleh feminitas lebih mungkin untuk memajukan upaya keberlanjutan, sekaligus merendahkan keseluruhan emisi CO2 dari sektor tersebut.[58] Hal ini terbukti selama penelitian yang selanjutnya menunjukkan bahwa “sikap, perilaku, dan pola mobilitas perempuan menunjukkan norma-norma yang lebih kondusif untuk lebih banyak kebijakan transportasi berkelanjutan yang tidak mengandung karbon”.[58] Ini mengesankan bahwa maskulinitas sering digambarkan sebagai norma dalam banyak sektor dan memperkuat hubungan antara perempuan dan etika keberlanjutan yang secara krisis hilang dari banyak sektor dan industri yang didominasi pria.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa para konsumen yang menunjukkan kecenderungan untuk sadar lingkungan, tingkah laku “hijau” dirasakan lintas spektrum gender sebagai lebih feminin, melaksanakan stereotipe “Green Feminine”.[59] Aktivis iklim dipandang sebagai tindakan bersifat perempuan, merusak ciri-ciri maskulinitas dan menekankan celah gender dalam urusan berlandaskan kepedulian terhadap iklim. Sebagai tambahan, sebagai hasil teori berkenaan dengan pemeliharaan identitas gender, “pilihan lingkungan pria dapat dipengaruhi oleh isyarat gender, hasil menunjukkan bahwa mengikuti gertakan identitas gender (lawan usia), pria kemungkinan paling sedikit untuk memilih produk-produk hijau”.[59] Atribut yang terkait dengan feminitas dan mendukung hubungan kognitif di antara wanita dan green behavior termasuk empati dan kapasitas untuk transendensi diri.[52]

Hukum

Edward Zelinsky telah menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh framing dapat menjelaskan beberapa perilaku yang diamati dari para legislator.[60]

Dalam media

Peran permainan framing dalam efek-efek presentasi media telah didiskusikan secara luas, dengan gagasan utama bahwa persepsi terkait dari informasi faktual dapat bervariasi berdasarkan pada penyajian informasi tersebut.

Contoh-contoh media berita

Dalam Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age,[61] Jim A. Kuypers meneliti perbedaan dalam framing War on Terror antara badan administrasi Bush dan media berita arus utama Amerika Serikat di antara tahun 2001 dan 2005. Kuypers mencari tema-tema umum antara pidato-pidato presidensial dan pemberitaan pers tentang pidato-pidato itu, kemudian menentukan bagaimana presiden dan pers membingkai tema-tema tersebut. Dengan menggunakan versi retoris analisis framing, Kuypers menentukan bahwa frame lanjutan media berita AS bertentangan dengan yang digunakan oleh pemerintahan Bush.

Pres secara aktif menentang pembingkaian War on Terror sedini delapan minggu setelah 11 September. Penemuan ini terpisah dari kumpulan literatur komunikasi yang menunjukkan bahwa pers mendukung presiden atau kurang kritis terhadap upaya presiden setelah 11 September. Sebaliknya, saat mempertimbangkan bagaimana tema dibingkai, [Kuypers] menemukan bahwa media berita membingkai responsnya sedemikian rupa sehingga dapat dipandang sebagai mendukung pemikiran beberapa tindakan melawan terorisme, sembari menentang inisiatif presiden. Medie berita mungkin menyampaikan apa yang presiden katakan, tetapi tidak selalu berarti bahwa itu dibingkai dengan cara yang sama. Kajian ini menunjukkan, seperti yang terlihat pada tabel satu [di bawah], bahwa tak lama setelah 11 September, media berita secara aktif mulai melawan pemerintah Bush dan mulai meninggalkan informasi penting untuk memahami konsep War on Terror milik pemerintah Bush. Singkatnya, delapan minggu setelah 11 September, media berita bergerak melampaui pelaporan oposisi politik terhadap presiden—fungsi pers yang sangat penting dan tak bernilai—dan malah secara aktif memilih tema dan membingkai tema-tema tersebut sedemikian rupa sehingga fokus presiden ditentang, disalahartikan, atau diabaikan.[62]

Tabel satu: Perbandingan Tema dan Frame Antara Presiden dan Media Berita Media setelah 11 September[63]

Tema Frame Presiden Frame Pers
Kebaikan melawan Kejahatan Perjuangan kebaikan dan kejahatan tak disebutkan
Peradaban melawan barbarisme perjuangan peradaban melawan barbarisme tak disebutkan
nature of enemy jahat, keras kepala, pembunuh mematikan, tidak pandang bulu

Pemerintahan Bush

nature of war domestik/global/tahan lama

Perang

Domestik/global/berlangsung lama

Perang atau tindakan polisi

Similarity to Prior Wars perbedaan jenis perang Perang Dunia II atau Vietnam?
Patience tidak disebutkan beberapa, tetapi kehabisan
International Effort dinyatakan dilaporkan minimal

Pada tahun 1991, Robert M. Entman menerbitkan temuan[64] seputar perbedaan liputan media antara Korean Air Lines Flight 007 dan Iran Air Flight 655. Setelah mengevaluasi berbagai tingkat liputan berita berdasarkan jumlah tayang dan halaman yang ditujukan pada peristiwa serupa, Entman menyimpulkan bahwa frame-frame peristiwa yang ditampilkan oleh media berbeda secara drastis:

Dengan tidak menekankan perusahaan dan para korban dengan pilihan grafik dan kaata sifat, kisah-kisah berita tentang jatuhnya pesawat Iran oleh AS disebut masalah teknis, sementara penjatuhan jet Korea oleh Soviet digambarkan sebagai kemarahan moral… Kerangka berita berlawanan yang digunakan oleh beberapa media penting AS dalam meliput dua penyalahgunaan kekuatan militer yang tragis ini. Pertama, kerangka berita menekankan kejatuhan moral dan rasa bersalah negara pelaku. Kedua, kerangka berita mengurangi rasa bersalah dan fokus pada kerumitan masalah pengoperasian teknologi tinggi militer.

Perbedaan dalam liputan di berbagai media:

Jumlah liputan media yang didedikasikan untuk setiap peristiwa Korean Air Iran Air
Time Magazine and Newsweek 51 halaman 20 halaman
CBS 303 menit 204 menit
New York Times 286 cerita 102 cerita

Pada tahun 1988, Irwin Levin dan Gary Gaeth melakukan penelitian mengenai efek-efek informasi atribut terhadap para konsumen sebelum dan setelah mengonsumsi sebuah produk (1988). Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa dalam penelitian mengenai daging sapi, orang-orang yang memakan daging sapi yang dilabeli 75% tidak berlemak menilainya lebih baik daripada orang-orang yang daging sapinya dilabeli 25% lemak.

Dalam politik

Peneliti retorik dan linguis George Lakoff mendebatkan bahwa untuk meyakinkan hadirin politik dari satu sisi argumen atau yang lain, kenyataan harus dihadirkan melalui frame retoris. is mendebatkan bahwa tanpa frame, fakta-fakta argumen tersasar pada hadirin, membuat argumen kurang efektif. Retorika politik menggunakan framing untuk menghadapkan fakta-fakta di sekeliling masalah dalam cara yang membuat tampilan masalah memerlukan solusi. Para politikus menggunakan framing untuk membuat solusi mereka sendiri untuk urgensi yang tampaknya paling tepat dibandingkan dengan oposisi.[4] Argumen kontra menjadi kurang efektif dalam membujuk hadirin setelah suatu pihak membingkai argumen, karena dipertanyakan bahwa oposisi kemudian memiliki beban tambahan untuk memperdebatkan kerangka masalah di samping masalah itu sendiri.

Membingkai masalah politik, partai politik atau lawan politik adalah tujuan strategi dalam politik, terutama di Amerika Serikat. Baik partai politik Demokrat dan Republik berkompetisi untuk memanfaatkan kekuatan persuasi dengan sukses. Menurut The New York Times:

Bahkan, sebelum pemilu, sebuah kata baru politik sudah mulai menggenggam partai, berawal dari West Coast dan menyebar seperti virus sepanjang bagian dalam kantor-kantor Capitol. Kata itu 'framing.' Tepatnya yang bermaksud 'frame' isu-isu kelihatannya tergantung pada Demokrat mana yang Anda ajak bicara, tetapi setiap orang setuju bahwa itu harus dilakukan dengan memilih bagasa untuk menjelaskan debat dan lebih penting dengan menyesuaikan isu-isu individu ke dalam konteks garis cerita yang lebih luas.

— [65]

Karena framing dapat mengubah persepsi masyarakat, para politikus tidak menyetujui cara permasalahan dibingkai. Oleh karena itu, cara permasalahan dibingkai di media merefleksikan siapa yang memenangkan pertempuran. Misalnya, menurut Robert Entman, profesor Komunikasi di George Washington University, menjelang Perang Teluk, para konservatif berhasil memperdebatkan apakah akan menyerang cepat atau lambat, tanpa menyebutkan kemungkinan untuk tidak menyerang.[16]

Suatu contoh khusus penelitian Lakoff yang mencapai beberapa tingkat ketenaran adalah sarannya untuk menamai ulang[66] trial lawyers (tidak populer di Amerika Serikat) sebagai "pengacara perlindungan masyarakat". Walaupun warga Amerika secara umum belum mengangkat saran ini, Asosiasi Pengacara Pengadilan Amerika menamai ulang diri mereka sebagai "Asosiasi Keadilan Amerika", yang disebut Chamber of Commerce sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas mereka.[67]

The New York Times menggambarkan intensitas yang mirip di antara Partai Republik.

Dalam memo baru-baru ini yang berjudul "The 14 Words Never to Use," [Frank] Luntz mendesak kaum konservatif untuk membatasi diri mereka pada fase-fase yang dia sebut... 'New American Lexicon.' Jadi, seorang anggota Republik yang cerdas, dalam pandangan Luntz, tak pernah menganjurkan 'drilling for oil'; ia lebih suka "menjelajahi energi." Seharusnya ia tidak pernah mengkritik pemerintah yang membersihkan jalanan kita dan membayar pemadam kebakaran kita; ia harus menyerang 'Washington," dengan rasa haus yang tak henti-hentinya akan pajak dan peraturan. "Seharusnya kita tak pernah menggunakan kata outsourcing," Luntz menulis, "karena kita akan diminta untuk mempertahankan atau mengakhiri praktik mengizinkan para perusahaan untuk mengirimkan pekerjaan Amerika ke luar negeri".

— [65]

Dari perspektif politik, framing telah memperluas konsekuensi. Misalnya, konsep framing yang berhubungan dengan agenda-setting: dengan konsisten menggunakan kerangka tertentu, partai framing secara efektif dapat mengendalikan diskusi dan persepsi masalah. Sheldon Rampton dan John Stauber dalam Trust Us, We're Experts menggambarkan bagaimana firma-firma hubungan masyarakat (Humas) sering menggunakan bahasa untuk membantu membingkai suatu masalah, menyusun pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul. Sebagai contohnya, salah satu firma menyarankan para klien untuk menggunakan "bahasa penghubung" yang menggunakan strategi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan istilah-istilah atau ide-ide spesifik untuk menggeser wacana dari topik yang tidak nyaman ke topik yang lebih nyaman.[68] Para penggiat strategi ini mungkin mencoba untuk menarik perhatian dari suatu frame untuk fokus ke frame lainnya. Seperti yang dicatat Lakoff, "Hari pada saat George W. Bush menjabat, kata "pengurangan pajak" mulai keluar dari Gedung Putih."[69] Dengan memusatkan kembali struktur dari suatu frame ("beban pajak" atau "tanggung jawab pajak"), para individu dapat mengatur jadwal pertanyaan yang diajukan di masa depan.

Para ahli bahasa kognitif menunjukkan contoh framing dalam frasa "keringanan pajak". Pada frame ini, penggunaan konsep "keringanan" mengandung konsep (tanpa menyebutkan keuntungan yang dihasilkan) pajak yang membebani warga negara.

Aturan pajak sekarang ini penuh dengan ketidakadilan. Banyak ibu tunggal menghadapi tarif pajak marjinal yang lebih tinggi daripada orang kaya. Pasangan sering menghadapi beban pajak yang lebih tinggi setelah menikah. Mayoritas warga Amerika tak dapat mengurangi sumbangan amal mereka. Bisnis dan peternakan keluarga dijual untuk membayar pajak kematian. Dan pemilik bisnis kecil yang paling sukses membagi hampir separuh dari pendapatan mereka dengan pemerintah. Potongan pajak Presiden Bush akan sangat mengurangi ketidakadilan ini. Ini adalah rencana adil yang dirancang untuk memberikan keringanan pajak pada seriap orang yang membayar pajak penghasilan.

— [70]

Frame-frame alternatif dapat menekankan konsep pajak sebagai sumber dukungan infrastruktur untuk bisnis.

Kenyataan bahwa orang kaya menerima lebih banyak dari Amerika daripada kebanyakan warga Amerika lainnya—tidak hanya kekayaan, tetapi juga infrastruktur yang mengizinkan mereka untuk mengumpulkan kekayaan mereka: bank-bank, bank sentral Amerika Serikat, pasar saham, Komisi Keamanan dan Bursa Amerika Serikat, sistem hukum, penelitian yang disponsori federal, paten, dukungan-dukungan pajak, proteksi militer terhadap investasi asing, dan masih banyak lagi. Warga Amerika pembayar pajak mendukung infrastruktur akumulasi kekayaan. Adalah hal yang adil jika yang paling diuntungkan harus membayar bagian mereka yang wajar.

— [71]

Frame-frame dapat membatasi debat dengan mengatur kosakata dan metafora lewat cara yang para partisipan dapat pahami dan mendiskusikan masalah. Mereka tidak hanya membangun wacana politik, tetapi kognisi. Selain menghasilkan frame-frame baru, penelitian framing yang berorientasi politik bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hubungan framing dan pemikiran.

Contoh-contoh

  • Respons awal pemerintahan Bush terhadap serangan 11 September 2001 adalah untuk membingkai teror sebagai kriminal. Framing ini diganti dalam hitungan jam dengan metafora perang, menjadi "Perang terhadap Teror". Perbedaan antara dua framing ini adalah pada respons tersiratnya. Kriminal berkonotasi membawa para kriminal pada pengadilan, mengadili dan menghukum mereka, sedangkan perang menyiratkan wilayah musuh, aksi militer, dan kekuatan perang untuk pemerintah.[69][72]
  • Istilah "eskalasi" untuk menggambarkan peningkatan tingkat pasukan Amerika di Iraq pada tahun 2007 menyiratkan bahwa Amerika Serikat sengaja meningkatkan ruang lingkup konflik dalam cara yang provokatif dan mungkin menyiratkan bahwa strategi AS memerlukan kehadiran militer jangka panjang di Irak, sedangkan framing "lonjakan" menyiratkan peningkatan sementara pada intensitas kuat, tetapi singkat.[73]
  • Frame "apel buruk", seperti dalam pepatah "satu apel yang buruk merusak laras". Frame ini menyiratkan bahwa mengeluarkan pejabat yang korup atau kurang berprestasi akan menuntaskan masalah, frame yang berlawanan menghadirkan masalah yang sama sebagai sistematik atau struktural pada lembaga itu sendiri—sumber penyakit menular dan menyebar.[74]
  • Frame "uang wajib pajak", alih-alih dana pemerintah atau masyarakat, yang menyiratkan bawa wajib pajak individu memiliki klaim atau hak untuk mengatur kebijakan pemerintah berdasarkan pembayaran pajak mereka, alih-alih status mereka sebagai warga negara atau pemilih dan bahwa para wajib pajak punya hak untuk mengendalikan dana publik sehingga properti yang dibagi dari semua warga negara dan juga mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok.[butuh rujukan]
  • Frame "properti kolektif", yang menyiratkan bahwa properti dimiliki oleh para individu sebenarnya dimiliki oleh sekumpulan yang para anggotanya adalah individu itu sendiri. Kolektif ini dapat berupa wilayah, seperti negara, atau benda abstrak yang tidak dipetakan pada wilayah tertentu.
  • Nama-nama program yang dapat menggambarkan hanya efek-efek yang diinginkan dari sebuah program, tetapi juga dapat menyiratkan keefektifan mereka. Nama-nama program tersebut adalah sebagai berikut.
    • "Perlindungan Orang Asing"[75] (yang menyiratkan bahwa mengeluarkan uang akan membantu para orang asing, alih-alih menyakiti mereka)
    • "Keamanan Sosial" (yang menyiratkan bahwa program tersebut dapat diandalkan untuk memberikan keamanan pada masyarakat)
    • "Kebijakan stabilisasi" (yang menyiratkan bahwa kebijakan akan memiliki efek stabilisasi).
  • Berdasarkan pada pemungutan opini dan grup-grup fokus, ecoAmerica, sebuah firma pemasaran dan pesan lingkungan nirlaba telah memajukan posisi bahwa pemanasan global adalah framing yang tidak efektid karena identifikasinya sebagai isu advokasi kiri. Organisasi tersebut telah menyarankan pada para pejabat pemerintah dan grup-grup lingkungan jika perumusan masalah alternatif akan lebih efektif.[76]
  • Dalam bukunya tahun 2009 yang berjudul Frames of War, Judith Butler memperdebatkan bahwa justifikasi dalam demokrasi liberal untuk perang, dan kekejaman yang dilakukan selama perang (merujuk secara khusus pada perang di Iraq hingga Abu Ghraib dan Guantanamo Bay) memerlukan pembingkaian (khususnya Muslim) "lain" sebagai pra-modern/primitif dan pada akhirnya bukan manusia dalam cara yang sama seperti warga negara dalam tatanan liberal.[77]
  • Para pimpinan politik menyediakan para videografer dan fotografer mereka akses pada momen-momen pribadi yang terbatas untuk para jurnalis. Media berita kemudian menghadapi dilema etis apakah menerbitkan ulang selebaran digital yang tersedia secara bebas yang memproyeksikan frame yang diinginkan politikus, tetapi layak diberitakan.[78]

Keefektifan

Menurut Susan T. Fiske dan Shelley E. Taylor, manusia secara alamiah "kikir kognitif", artinya mereka lebih suka melakukan berpikir sesedikit mungkin.[79] Frame-frame memberikan cara yang cepat dan mudah pada khalayak untuk memproses informasi. Oleh karena itu, masyarakat akan menggunakan saringan-saringan mental yang sebelumnya disebutkan (rangkaian yang disebut skema) untuk memahami pesan-pesan yang masuk. Ini memberikan kekuatan besar pada pengirim dan pembingkai informasi untuk menggunakan skema-skema ini untuk mempengaruhi bagaimana para penerima akan menafsirkan pesan.[16] Teori yang diterbitkan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kegunaan yang dinilai (yaitu sejauh mana pertimbangan yang ditampilkan dalam pesan dianggap dapat digunakan untuk penilaian berikutnya yang diberikan) mungkin menjadi mediator penting dari efek media kognitif seperti framing, agenda setting, dan priming. Menekankan kegunaan yang dinilai mengarah pada pengungkapan bahwa liputan medua mungkin tidak hanya meningkatkan pertimbangan tertentu, tetapi mungkin juga menekan suatu pertimbangan secara aktif, menjadikannya kurang bermanfaat untuk penilaian berikutnya. Proses framing berita menggambarkan bahwa di antara aspek-aspek berbeda sebuah persoalan, aspek tertentu dipilih di atas aspek-aspek lainnya untuk mengkarakteristikkan persoalan atau peristiwa. Misalnya, isu pengangguran digambarkan dalam istilah tenaga kerja murah yang disediakan oleh para imigran. Paparan berita mengaktifkan pemikiran yang sesuai dengan imigran daripada pemikiran yang berkaitan dengan aspek lain persoalan (misalnya, undang-undang, edukasi, dan impor murah dari negara lain) dan, pada saat yang sama, membuat pemikiran sebelumnya menonjol dengan mempromosikan kepentingan dan relevansi mereka untuk memahami persoalan yang dihadapi. Artinya, persepsi isu dipengaruhi oleh pertimbangan yang ditampilkan dalam cerita berita. Pemikiran yang berkaitan pada pertimbangan yang diabaikan menjadi terdegredasi ke tingkat pemikiran mengenai pertimbangan unggulan yang diperbesar.[80]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d Druckman, J.N. (2001). "The Implications of Framing Effects for Citizen Competence". Political Behavior. 23 (3): 225–56. doi:10.1023/A:1015006907312. 
  2. ^ a b Goffman, E. (1974). Frame analysis: An essay on the organization of experience. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  3. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (2013) (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  4. ^ a b van der Pas, D. (2014). "Making Hay While the Sun Shines: Do Parties Only Respond to Media Attention When The Framing is Right?". Journal of Press/Politics. 19 (1): 42–65. doi:10.1177/1940161213508207. 
  5. ^ This example borrowed from Clifford Geertz: Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (1983), Basic Books 2000 paperback: ISBN 0-465-04162-0
  6. ^ Goffman offers the example of the woman bidding on a mirror at an auction who first examines the frame and surface for imperfections, and then "checks" herself in the mirror and adjusts her hat. See Goffman, Erving. Frame Analysis: An essay on the organization of experience. Boston: Northeastern University Press, 1986. ISBN 0-930350-91-X, p. 39. In each case the mirror represents more than simply a physical object.
  7. ^ Weaver, David H. (2007). "Thoughts on Agenda Setting, Framing, and Priming". Journal of Communication. 57: 142. doi:10.1111/j.1460-2466.2006.00333.x. 
  8. ^ Scheufele, Dietram A.; Iyengar, Shanto (2014). "The State of Framing Research: A Call for New Directions". Dalam Kenski, Kate; Jamieson, Kathleen Hall. The Oxford Handbook of Political Communication (edisi ke-Online). Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199793471.013.47. 
  9. ^ Scheufele, Dietram A.; Tewksbury, David H. (2009). "News framing theory and research". Dalam Bryant, Jennings; Oliver, Mary Beth. Media Effects: Advances in Theory and Research (edisi ke-3rd). Erlbaum. hlm. 17–33. ISBN 9780203877111. 
  10. ^ Rodelo, F. V. (2020). "Antecedents of strategic game and issue framing of local electoral campaigns in the Mexican context". Comunicación y Sociedad. 14 (1): 1. doi:10.32870/cys.v2020.7643. 
  11. ^ Gamson, W. A.; Modigliani, A. (1987). "The changing culture of affirmative action". Dalam Braungart, Richard G.; Braungart, Margaret M. Research in Political Sociology (dalam bahasa Inggris). 3. Greenwich, Conn.; London: JAI Press. hlm. 137–77. ISBN 978-0-89232-752-2. OCLC 495235993. 
  12. ^ a b c Snow, D. A., & Benford, R. D. (1988). Ideology, frame resonance, and participant mobilization. In B. Klandermans, H. Kriesi, & S. Tarrow (Eds.), International social movement research. Vol. 1, From structure on action: Comparing social movement research across cultures (pp. 197–217). Greenwich, CT: JAI Press.
  13. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  14. ^ Iyengar, S. (1991). Is anyone responsible? How television frames political issues. Chicago: University of Chicago Press.
  15. ^ Bryant, J., Thompson, S., & Finklea, B. W. (May 3, 2012). Fundamentals of media effects. Waveland Press, Inc. ISBN 9781478608196. 
  16. ^ a b c d e f g h i Entman, R.M. (1993). "Framing: Toward clarification of a fractured paradigm" (PDF). Journal of Communication. 43 (4): 51–58. CiteSeerX 10.1.1.495.2893alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01304.x. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-16. 
  17. ^ a b c d e f g h Nelson, T.E.; Clawson, R.A.; Oxley, Z.M. (1997). "Media framing of a civil liberties conflict and its effect on tolerance". American Political Science Review. 91 (3): 567–83. doi:10.2307/2952075. JSTOR 2952075. 
  18. ^ Bateson, G. (1972). Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantine Books. 
  19. ^ a b c Scheufele, D.A. (2000). "Agenda-setting, priming, and framing revisited: Another look at cognitive effects of political communication". Mass Communication & Society. 3 (2&3): 297–316. doi:10.1207/S15327825MCS0323_07. 
  20. ^ Gitlin, T. (1980). The Whole World is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left. Berkeley, CA: University of California Press. 
  21. ^ a b c d e f g h Iyengar, S. (1991). Is Anyone Responsible? How Television Frames Political Issues. Chicago: University of Chicago Press. 
  22. ^ a b c Rodriguez, Lulu; Dimitrova, Daniela V. (2011-01-01). "The levels of visual framing". Journal of Visual Literacy. 30 (1): 48–65. doi:10.1080/23796529.2011.11674684. ISSN 1051-144X. 
  23. ^ "Reading Images: A Grammar of Visual Design | Request PDF". ResearchGate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-28. 
  24. ^ Powell, Thomas; Boomgaarden, Hajo; Swert, Knut; Vreese, Claes (November 2015). "A Clearer Picture: The Contribution of Visuals and Text to Framing Effects". Journal of Communication. 65 (6): 997–1017. doi:10.1111/jcom.12184 – via ResearchGate. 
  25. ^ Sikorski, Christian; Schierl, Thomas; Möller, Carsten (March 2012). "Visual News Framing and Effects on Recipients' Attitudes Toward Athletes With Physical Disabilities". International Journal of Sport Communication – via ResearchGate. 
  26. ^ a b c d Wyer Jr., R.S.; Srull, T.K. (1984). "Category Accessibility: Some theoretic and empirical issues concerning the processing of social stimulus information". Dalam E.T. Higgins; N.A. Kuiper; M.P Zanna. Social Cognition: The Ontario Symposium. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. 
  27. ^ Kosicki, G.M. (1993). "Problems and opportunities in Agenda-setting research". Journal of Communication. 43 (2): 100–27. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01265.x. 
  28. ^ McCombs, M.E.; Shaw, D.L. (1993). "The evolution of agenda-setting research: Twenty-five years in the marketplace of ideas". Journal of Communication. 43 (2): 58–67. doi:10.1111/j.1460-2466.1993.tb01262.x. 
  29. ^ a b McCombs, M.F.; Llamas, J.P.; Lopez-Escobar, E.; Rey, F. (1997). "Candidate images in Spanish elections: Second-level agenda-setting effects". Journalism & Mass Communication Quarterly. 74 (4): 703–17. doi:10.1177/107769909707400404. 
  30. ^ a b c Chong, Dennis; Druckman, James N. (2007). "Framing Theory". Annual Review of Political Science. 10: 103–126. doi:10.1146/annurev.polisci.10.072805.103054alt=Dapat diakses gratis. 
  31. ^ a b Kahneman, D.; Tversky, A. (1984). "Choices, values, and frames". American Psychologist. 39 (4): 341–50. doi:10.1037/0003-066X.39.4.341. 
  32. ^ Cacciatore, Michael A.; Dietram A. Scheufele; Shanto Iyengar (2016). "The End of Framing as We Know It … and the Future of Media Effects". Mass Communication and Society. 19 (1): 7–23. doi:10.1080/15205436.2015.1068811. 
  33. ^ a b Tversky, Amos; Kahneman, Daniel (1981). "The Framing of Decisions and the Psychology of Choice". Science. 211 (4481): 453–58. Bibcode:1981Sci...211..453T. doi:10.1126/science.7455683. PMID 7455683. 
  34. ^ "Decision-Making Under Uncertainty – Advanced Topics: An Introduction to Prospect Theory". Econport. Diakses tanggal 2021-10-08. 
  35. ^ Perneger TV, Agoritsas T (2011). "Doctors and Patients' Susceptibility to Framing Bias: A Randomized Trial". J Gen Intern Med. 26 (12): 1411–17. doi:10.1007/s11606-011-1810-x. PMC 3235613alt=Dapat diakses gratis. PMID 21792695. 
  36. ^ Malenka, David J.; Baron, John A.; Johansen, Sarah; Wahrenberger, Jon W.; Ross, Jonathan M. (1993). "The framing effect of relative and absolute risk". Journal of General Internal Medicine. 8 (10): 543–548. doi:10.1007/bf02599636. PMID 8271086. 
  37. ^ Price, Vincent; Tewksbury, David; Powers, Elizabeth (1997). "Switching Trains of Thought". Communication Research. 24 (5): 481–506. doi:10.1177/009365097024005002. 
  38. ^ De Martino, B.; Kumaran, D.; Seymour, B.; Dolan, R. J. (2006). "Frames, biases, and rational decision-making in the human brain". Science. 313 (5787): 684–87. Bibcode:2006Sci...313..684D. doi:10.1126/science.1128356. PMC 2631940alt=Dapat diakses gratis. PMID 16888142. 
  39. ^ Bert Klandermans. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell, p. 45
  40. ^ Erving Goffman (1974). Frame Analysis: An essay on the organization of experience. Cambridge: Harvard University Press, 1974, p. 21.
  41. ^ Kenneth Boulding: The Image: Knowledge in Life and Society, University of Michigan Press, 1956)
  42. ^ Snow, D. A.; Rochford, E. B.; Worden, S. K.; Benford, R. D. (1986). "Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation". American Sociological Review. 51 (4): 464–481. doi:10.2307/2095581. JSTOR 2095581. 
  43. ^ Jim A. Kuypers, "Framing Analysis" in Rhetorical Criticism: Perspectives in Action, edited by J.A. Kuypers, Lexington Press, 2009. p. 181.
  44. ^ Rhetorical Criticism: Perspectives in Action
  45. ^ Kuypers, Jim A. "Framing Analysis as a Rhetorical Process," Doing News Framing Analysis. Paul D'Angelo and Jim A. Kuypers, eds. (New York: Routeledge, 2010).
  46. ^ Jim A. Kuypers, Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009.
  47. ^ Armstrong, Anne K.; Krasny, Marianne E.; Schuldt, Jonathon P. (2019). "8. Framing Climate Change". Communicating Climate Change. hlm. 57–69. doi:10.7591/9781501730801-012. ISBN 9781501730801. 
  48. ^ a b Steentjes, Katharine; Kurz, Tim; Barreto, Manuela; Morton, Thomas A. (2017). "The norms associated with climate change: Understanding social norms through acts of interpersonal activism" (PDF). Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 43: 116–125. doi:10.1016/j.gloenvcha.2017.01.008. 
  49. ^ a b c d Markowitz, Ezra M.; Shariff, Azim F. (2012). "Climate change and moral judgement". Nature Climate Change (dalam bahasa Inggris). 2 (4): 243–247. Bibcode:2012NatCC...2..243M. doi:10.1038/nclimate1378. ISSN 1758-678X. 
  50. ^ a b Feinberg, Matthew; Willer, Robb (2011). "Apocalypse Soon?: Dire Messages Reduce Belief in Global Warming by Contradicting Just-World Beliefs". Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 34–38. doi:10.1177/0956797610391911. ISSN 0956-7976. PMID 21148457. 
  51. ^ a b c d Kleres, Jochen; Wettergren, Åsa (2017-09-03). "Fear, hope, anger, and guilt in climate activism". Social Movement Studies. 16 (5): 507–519. doi:10.1080/14742837.2017.1344546 (tidak aktif October 31, 2021). 
  52. ^ a b c d Scott, Britain (2016). Psychology for sustainability (4th ed.). New York, NY: Psychology Press. 
  53. ^ Lecheler, Sophie (2019-02-27), "Framing Effects in Political Communication", Political Science (dalam bahasa Inggris), Oxford University Press, doi:10.1093/obo/9780199756223-0269, ISBN 978-0-19-975622-3, diakses tanggal 2021-10-15 
  54. ^ a b Hazboun, Shawn Olson; Briscoe, Michael; Givens, Jennifer; Krannich, Richard (2019). "Keep quiet on climate: Assessing public response to seven renewable energy frames in the Western United States". Energy Research & Social Science (dalam bahasa Inggris). 57: 101243. doi:10.1016/j.erss.2019.101243. 
  55. ^ Osmundsen, Mathias; Petersen, Michael Bang (February 2020). "Framing Political Risks: Individual Differences and Loss Aversion in Personal and Political Situations". Political Psychology (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 53–70. doi:10.1111/pops.12587. ISSN 0162-895X. 
  56. ^ Brooks, Clem (2012-08-29). "Chapter Seven. Framing Theory, Welfare Attitudes, and the United States Case". Contested Welfare States (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. hlm. 193–221. doi:10.1515/9780804783170-010. ISBN 978-0-8047-8317-0. 
  57. ^ Esmark, Anders; Schoop, Sarah R (December 2017). "Deserving social benefits? Political framing and media framing of 'deservingness' in two welfare reforms in Denmark". Journal of European Social Policy (dalam bahasa Inggris). 27 (5): 417–432. doi:10.1177/0958928716688262. ISSN 0958-9287. 
  58. ^ a b Kronsell, Annica; Smidfelt Rosqvist, Lena; Winslott Hiselius, Lena (2016-09-13). "Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case". International Journal of Sustainable Transportation (dalam bahasa Inggris). 10 (8): 703–711. doi:10.1080/15568318.2015.1129653. ISSN 1556-8318. 
  59. ^ a b Brough, Aaron R.; Wilkie, James E. B.; Ma, Jingjing; Isaac, Mathew S.; Gal, David (2016). "Is Eco-Friendly Unmanly? The Green-Feminine Stereotype and Its Effect on Sustainable Consumption". Journal of Consumer Research (dalam bahasa Inggris). 43 (4): 567–582. doi:10.1093/jcr/ucw044. ISSN 0093-5301. 
  60. ^ Zelinsky, Edward A. (2005). "Do Tax Expenditures Create Framing Effects – Volunteer Firefighters, Property Tax Exemptions, and the Paradox of Tax Expenditure Analysis". Virginia Tax Review. 24: 797–830. 
  61. ^ Jim A. Kuypers, Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 2006),
  62. ^ Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective, Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 89–112.
  63. ^ Jim A. Kuypers, Stephen D. Cooper, Matthew T. Althouse, "George W. Bush, "The American Press, and the Initial Framing of the War on Terror after 9/11," The George W. Bush Presidency: A Rhetorical Perspective, Robert E. Denton, ed. (Lanham, MD: Lexington Books, 2012), 105.
  64. ^ Entman, R. M. (1991). "Symposium Framing U.S. Coverage of International News: Contrasts in Narratives of the KAL and Iran Air Incidents". Journal of Communication. 41 (4): 6–27. doi:10.1111/j.1460-2466.1991.tb02328.x. 
  65. ^ a b The Framing Wars. The New York Times 17 July 2005
  66. ^ Walter Olson, Overlawyered weblog Diarsipkan 2007-07-07 di Wayback Machine., 2005-07-18
  67. ^ Al Kamen, "Forget Cash – Lobbyists Should Set Support for Lawmakers in Stone", The Washington Post, 2007-01-17
  68. ^ Rampton, Sheldon and Stauber, John. Trust Us, We're Experts! Putnam Publishing, New York, NY, 2002. p. 64.
  69. ^ a b Lakoff, George (2004). Don't think of an elephant!: know your values and frame the debatePerlu mendaftar (gratis). Chelsea Green Publishing. hlm. 56. ISBN 978-1-931498-71-5. 
  70. ^ The President's Agenda for Tax Relief retrieved 3 July 2007.
  71. ^ Lakoff, G. (2006). "Simple framing: an introduction to framing and its uses in politics". Cognitive Policy Works/Rockridge Institute
  72. ^ Zhang, Juyan (2007). "Beyond anti-terrorism: Metaphors as message strategy of post-September-11 U.S. public diplomacy". Public Relations Review. 33 (1): 31–39. doi:10.1016/j.pubrev.2006.11.006. 
  73. ^ Lakoff, G. (2007). "It's Escalation, Stupid." Alternet retrieved 3 July 2007
  74. ^ "The Rumsfeld Dilemma: Demand an Exit Strategy, Not a Facelift" by Bruce Budner, in The Huffington Post 15 September 2006
  75. ^ Bleich, Sara (2007). "Is It All in a Word? The Effect of Issue Framing on Public Support for U.S. Spending on HIV/AIDS in Developing Countries". Harvard International Journal of Press/Politics. 12 (2): 120–132. doi:10.1177/1081180X07299797. 
  76. ^ "Seeking to Save the Planet, With a Thesaurus" article by John M. Broder in The New York Times May 1, 2009
  77. ^ Butler, J. (2009), Frames of War, London: Verso.
  78. ^ Marland, Alex (2012). "Political photography, journalism and framing in the digital age: Management of visual media by the prime minister of Canada". International Journal of Press/Politics. 17 (2): 214–233. doi:10.1177/1940161211433838. 
  79. ^ Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill
  80. ^ "Lee, B., Mcleod, D. (2020). Reconceptualizing Cognitive Media Effects Theory and Research Under the Judged Usability Model. Review of Communication Research, 8, 17–50. doi: 10.12840/ISSN.2255-4165.022". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-12. Diakses tanggal 2021-12-07. 
Bibliografi

Bacaan lebih lanjut

  • Baars, B. A cognitive theory of consciousness, NY: Cambridge University Press 1988, ISBN 0-521-30133-5.
  • Boulding, Kenneth E. (1956). The Image: Knowledge in Life and Society. Michigan University Press.
  • Carruthers, P. (2003). "On Fodor's Problem". Mind and Language. 18 (5): 502–23. doi:10.1111/1468-0017.00240. 
  • Clark, A. (1997), Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Cutting, Hunter and Makani Themba Nixon (2006). Talking the Walk: A Communications Guide for Racial Justice: AK Press
  • Dennett, D. (1978), Brainstorms, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Fairhurst, Gail T. and Sarr, Robert A. 1996. The Art of Framing: Managing the Language of Leadership. Jossey-Bass, Inc.
  • Feldman, Jeffrey. (2007), Framing the Debate: Famous Presidential Speeches and How Progressives Can Use Them to Control the Conversation (and Win Elections). Brooklyn, NY: Ig Publishing.
  • Fodor, J.A. (1983), The Modularity of Mind, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Fodor, J.A. (1987), "Modules, Frames, Fridgeons, Sleeping Dogs, and the Music of the Spheres", in Pylyshyn (1987).
  • Fodor, J.A. (2000), The Mind Doesn't Work That Way, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Ford, K.M. & Hayes, P.J. (eds.) (1991), Reasoning Agents in a Dynamic World: The Frame Problem, New York: JAI Press.
  • Goffman, Erving. 1974. Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. London: Harper and Row.
  • Goffman, E. (1974). Frame Analysis. Cambridge: Harvard University Press.
  • Goffman, E. (1959). Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday.
  • Gonzalez, Cleotilde; Dana, Jason; Koshino, Hideya; Just, Marcel (2005). "The framing effect and risky decisions: Examining cognitive functions with fMRI" (PDF). Journal of Economic Psychology. 26: 1–20. doi:10.1016/j.joep.2004.08.004. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal June 11, 2007. 
  • Goodman, N. (1954), Fact, Fiction, and Forecast, Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Hanks, S.; McDermott, D. (1987). "Nonmonotonic Logic and Temporal Projection". Artificial Intelligence. 33 (3): 379–412. doi:10.1016/0004-3702(87)90043-9. 
  • Haselager, W.F.G. (1997). Cognitive science and folk psychology: the right frame of mind. London: Sage
  • Haselager, W.F.G.; Van Rappard, J.F.H. (1998). "Connectionism, Systematicity, and the Frame Problem" (PDF). Minds and Machines. 8 (2): 161–79. doi:10.1023/A:1008281603611. 
  • Hayes, P.J. (1991), "Artificial Intelligence Meets David Hume: A Reply to Fetzer", in Ford & Hayes (1991).
  • Heal, J. (1996), "Simulation, Theory, and Content", in Theories of Theories of Mind, eds. P. Carruthers & P. Smith, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 75–89.
  • Johnson-Cartee, K. (2005). News narrative and news framing: Constructing political reality. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
  • Kendall, Diana, Sociology In Our Times, Thomson Wadsworth, 2005, ISBN 0-534-64629-8 Google Print, p. 531
  • Klandermans, Bert. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell.
  • Lakoff, G. & Johnson, M. (1980), Metaphors We Live By, Chicago: University of Chicago Press.
  • Leites, N. & Wolf, C., Jr. (1970). Rebellion and authority. Chicago: Markham Publishing Company.
  • Martino, De; Kumaran, D; Seymour, B; Dolan, RJ (2006). "Frames, Biases, and Rational Decision-Making in the Human Brain". Science. 313 (5787): 684–87. Bibcode:2006Sci...313..684D. doi:10.1126/science.1128356. PMC 2631940alt=Dapat diakses gratis. PMID 16888142. 
  • McAdam, D., McCarthy, J., & Zald, M. (1996). Introduction: Opportunities, Mobilizing Structures, and Framing Processes—Toward a Synthetic, Comparative Perspective on Social Movements. In D. McAdam, J. McCarthy & M. Zald (Eds.), Comparative Perspectives on Social Movements; Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings (pp. 1–20). New York: Cambridge University Press.
  • McCarthy, John (1986). "Applications of circumscription to formalizing common-sense knowledge". Artificial Intelligence. 28 (1): 89–116. doi:10.1016/0004-3702(86)90032-9. 
  • McCarthy, J. & Hayes, P.J. (1969), "Some Philosophical Problems from the Standpoint of Artificial Intelligence", in Machine Intelligence 4, ed. D.Michie and B.Meltzer, Edinburgh: Edinburgh University Press, pp. 463–502.
  • McDermott, D. (1987), "We've Been Framed: Or Why AI Is Innocent of the Frame Problem", in Pylyshyn (1987).
  • Mithen, S. (1987), The Prehistory of the Mind, London: Thames & Hudson.
  • Nelson, T. E.; Oxley, Z. M.; Clawson, R. A. (1997). "Toward a psychology of framing effects". Political Behavior. 19 (3): 221–46. doi:10.1023/A:1024834831093. 
  • Pan, Z.; Kosicki, G. M. (1993). "Framing analysis: An approach to news discourse". Political Communication. 10 (1): 55–75. doi:10.1080/10584609.1993.9962963. 
  • Pan. Z. & Kosicki, G. M. (2001). Framing as a strategic action in public deliberation. In S. D. Reese, O. H. Gandy, Jr., & A. E. Grant (Eds.), Framing public life: Perspectives on media and our understanding of the social world, (pp. 35–66). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
  • Pan, Z. & Kosicki, G. M. (2005). Framing and the understanding of citizenship. In S. Dunwoody, L. B. Becker, D. McLeod, & G. M. Kosicki (Eds.), Evolution of key mass communication concepts, (pp. 165–204). New York: Hampton Press.
  • Pylyshyn, Zenon W. (ed.) (1987), The Robot's Dilemma: The Frame Problem in Artificial Intelligence, Norwood, NJ: Ablex.
  • Stephen D. Reese, Oscar H. Gandy and August E. Grant. (2001). Framing Public Life: Perspectives on Media and Our Understanding of the Social World. Maywah, New Jersey: Lawrence Erlbaum. ISBN 978-0-8058-3653-0
  • Russell, S. & Wefald, E. (1991), Do the Right Thing: Studies in Limited Rationality, Cambridge, MA: MIT Press.
  • Scheufele, DA; Dietram, A. (1999). "Framing as a theory of media effects". Journal of Communication. 49 (1): 103–22. doi:10.1111/j.1460-2466.1999.tb02784.x. 
  • Shanahan, Murray P. (1997), Solving the Frame Problem: A Mathematical Investigation of the Common Sense Law of Inertia, Cambridge, MA: MIT Press. ISBN 0-262-19384-1
  • Shanahan, Murray P. (2003), "The Frame Problem", in The Macmillan Encyclopedia of Cognitive Science, ed. L.Nadel, Macmillan, pp. 144–50.
  • Simon, Herbert (1957), Models of Man, Social and Rational: Mathematical Essays on Rational Human Behavior in a Social Setting, New York: John Wiley. OCLC 165735
  • Snow, D. A.; Benford, R. D. (1988). "Ideology, frame resonance, and participant mobilization". International Social Movement Research. 1: 197–217. 
  • Snow, D. A.; Rochford, E. B.; Worden, S. K.; Benford, R. D. (1986). "Frame alignment processes, micromobilization, and movement participation". American Sociological Review. 51 (4): 464–81. doi:10.2307/2095581. JSTOR 2095581. 
  • Sperber, D.; Wilson, D. (1996). "Fodor's Frame Problem and Relevance Theory". Behavioral and Brain Sciences. 19 (3): 530–32. doi:10.1017/S0140525X00082030. 
  • Tarrow, S. (1983a). "Struggling to Reform: social Movements and policy change during cycles of protest". Western Societies Paper No. 15. Ithaca, NY: Cornell University.
  • Tarrow, S. (1983b). "Resource mobilization and cycles of protest: Theoretical reflections and comparative illustrations". Paper presented at the Annual Meeting of the American Sociological Association, Detroit, August 31 – September 4.
  • Triandafyllidou, A.; Fotiou, A. (1998). "Sustainability and Modernity in the European Union: A Frame Theory Approach to Policy-Making". Sociological Research Online. 3 (1): 60–75. doi:10.5153/sro.99. 
  • Tilly, C., Tilly, L., & Tilly, R. (1975). The rebellious century, 1830–1930. Cambridge, MA: Cambridge University Press.
  • Turner, R. H., & Killian, L. M. (1972). Collective Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
  • Tversky, Amos; Kahneman, Daniel (1986). "Rational Choice and the Framing of Decisions" (PDF). The Journal of Business. 59 (4): S251–S278. doi:10.1086/296365. JSTOR 2352759. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-11-26. Diakses tanggal 2021-12-07. 
  • Wilkerson, W.S. (2001). "Simulation, Theory, and the Frame Problem". Philosophical Psychology. 14 (2): 141–53. doi:10.1080/09515080120051535. 
  • Willard, Charles Arthur. Liberalism and the Social Grounds of Knowledge Chicago: University of Chicago Press, 199

Pranala luar

Templat:Disinformation

Templat:Media culture Templat:Media manipulation

Templat:World view