Lompat ke isi

Petirtaan Jalatunda: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Arwinar (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(24 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Candi jolotundo 2017.jpg|jmpl|Petirtaan kuno Jalatunda]]
[[Berkas:Candi jolotundo 2017.jpg|jmpl|Petirtaan kuno Jolotundo]]
'''Petirtaan Jolotundo''' disebut juga dengan '''Candi Jolotundo''' atau '''Jalatunda''' adalah kompleks petirtaan kuno yang merupakan kawasan kolam suci petirtaan yang dibangun sejak masa [[Kerajaan Medang]] yang telah berpindah dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]], atau lazim disebut [[Medang]] ''periode Jawa Timur'' dan masih berfungsi hingga sekarang, dugaan paling awal diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan [[Sri Isyana Tunggawijaya]] putri raja Medang ([[Mpu Sindok]]) dengan suaminya [[Sri Lokapala]] yang merupakan seorang bangsawan dari [[pulau Bali]].


== Lokasi ==
'''Kompleks Petirtaan Jalatunda''' lebih dikenal dengan '''Jolotundo''' atau '''Petirtaan Jolotundo''' merupakan kawasan kolam suci petirtaan yang dibangun sejak masa [[Kerajaan Medang]] yang telah berpindah dari [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]] atau lazim disebut [[Medang]] ''periode Jawa Timur'' dan masih berfungsi hingga sekarang, dugaan paling awal diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan '''[[Sri Isyana Tunggawijaya]]''' putri raja Medang [[(Mpu Sindok)]] dengan suaminya '''[[Sri Lokapala]]''' yang merupakan seorang bangsawan dari [[pulau Bali]]. Lokasinya terletak di kaki barat ''Bukit Bekel'', salah satu "gunung pendamping" [[Gunung Penanggungan]], dan berada dalam wilayah administrasi [[Kabupaten Mojokerto]], tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa [[Seloliman, Trawas, Mojokerto|Seloliman]], Kecamatan [[Trawas, Mojokerto|Trawas]], berjarak sekitar 50 km arah selatan dari [[Kota Surabaya|Surabaya]] dan berjarak sekitar 25 km ke arah tenggara dari [[Kota Mojokerto|Mojokerto]]. Sampai sekarang, petirtaan ini masih dikunjungi oleh banyak peziarah karena dianggap memiliki khasiat tertentu. menurut penelitian dari beberapa sumber dikatakan mata air ''Petirtaan Jolotundo'' memiliki kandungan mineral yang tinggi dan dianggap merupakan mata air terbaik setelah mata air ''zamzam''. Selain fungsi utama sebagai tempat untuk ziarah, pada masa modern tempat ini juga dikembangkan sebagai destinasi wisata keluarga dan pendakian (baik untuk kepentingan spiritual maupun rekreasi) menuju ke Gunung Penanggungan atau Bukit Bekel.


Lokasi Petirtaan Jolotundo terletak di kaki barat ''Bukit Bekel'', salah satu ''gunung pendamping'' di wilayah area [[Gunung Penanggungan]], dan berada dalam wilayah administrasi [[Kabupaten Mojokerto]], tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa [[Seloliman, Trawas, Mojokerto|Seloliman]], Kecamatan [[Trawas, Mojokerto|Trawas]], berjarak sekitar 50 km arah selatan dari [[Kota Surabaya|Surabaya]] dan berjarak sekitar 25 km ke arah tenggara dari [[Kota Mojokerto|Mojokerto]]. Sampai sekarang, petirtaan ini masih dikunjungi oleh banyak peziarah karena dianggap memiliki khasiat tertentu, baik hari-hari biasa maupun pada malam-malam tertentu menurut penelitian dari beberapa sumber dikatakan mata air ''Petirtaan Jolotundo'' memiliki kandungan mineral yang tinggi dan dianggap merupakan mata air terbaik setelah mata air ''zamzam''. Selain fungsi utama sebagai tempat untuk ziarah, pada masa modern tempat ini juga dikembangkan sebagai destinasi wisata keluarga dan pendakian baik untuk kepentingan keagamaan ''spiritual'' maupun wisata ''rekreasi'' menuju ke Gunung Penanggungan atau Bukit Bekel.
Laporan tentang penemuan kompleks yang ketika itu berada di tengah hutan belantara dibuat oleh J.W.B. Wardenaar, yang pada tahun 1815 bekerja atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, [[Thomas Stamford Raffles]].<ref name=":0">{{Cite news|last=WIJAYANTO|first=Totok|date=25 Januari 2012|others=(mirror link)|title=Jalatunda, "Patirtan" Terkuno|url=https://hurahura.wordpress.com/2012/01/30/jalatunda-patirtan-terkuno/|work=Kompas|access-date=12 Oktober 2020}}</ref> Wardenaar membuat gambar dan deskripsi awal atas situs ini. Bosch dan de Haan (1965). mengutip laporan-laporan pengunjung awal, menyebutkan: "Menurut laporan para pengunjung-pengunjung awal, monumen tersebut sangat sulit dicapai."<ref>{{Cite journal|last=Bosch|first=F.|last2=Haan|first2=B. de|date=1965|title=The oldjavanese bathing place of Jalatunda|url=|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|publisher=KITLV|volume=121|issue=2|pages=189-232|doi=}}</ref>. Selanjutnya, kajian-kajian dibuat oleh Domis ”De Oosterling” (1836), [[Willem Frederik Stutterheim|W.F. Stutterheim]] ”Het Zinrijke Waterwerk Djalatoenda” (1937), lalu P.H. Pott dalam ”Yoga en Yantra” (1946).<ref name=":0" />


== Penemuan ==
Petirtaan ini dianggap sebagai petirtaan tertua di Jawa Timur, berdasarkan pahatan angka tahun yang tertera di salah satu bagian belakang bangunan, yang bertuliskan 899 ([[Kalender Saka|Saka]], atau 977 M).<ref>{{Cite web|last=Anonim|first=|date=3 Januari 2020|title=Petirtaan Jolotundo|url=http://disparpora.mojokertokab.go.id/wisata_135_petirtaan-jolotundo.aspx|website=|access-date=12 Oktober 2020}}</ref> Menurut sumber lain pendiriannya juga dikaitkan dengan raja [[Airlangga]], pewaris kekuasaan [[Medang]] dan penerus [[wangsa Isyana]], yang mendirikan [[Kerajaan Kahuripan]]. Sebagai kelanjutan [[Medang]] yang telah runtuh akibat serangan '''Haji Wurawari''' dari '''Lwaram''' [[Cepu]], [[Blora]] sekutu [[Kerajaan Sriwijaya]] musuh besar dari [[Medang]] dan [[wangsa Isyana]], dikemudian Kerajaan Airlangga tersebut kembali terpecah menjadi kerajaan [[Kadiri]] dan [[Janggala]] akibat dari perebutan takhta kedua puteranya [[Sri Samarawijaya]] dan [[Mapanji Garasakan]].

Laporan tentang penemuan kompleks yang ketika itu berada di tengah hutan belantara dibuat oleh J.W.B. Wardenaar, yang pada tahun 1815 bekerja atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, [[Thomas Stamford Raffles]].<ref name=":0">{{Cite news|last=WIJAYANTO|first=Totok|date=25 Januari 2012|others=(mirror link)|title=Jalatunda, "Patirtan" Terkuno|url=https://hurahura.wordpress.com/2012/01/30/jalatunda-patirtan-terkuno/|work=Kompas|access-date=12 Oktober 2020}}</ref> Wardenaar membuat gambar dan deskripsi awal atas situs ini. Bosch dan de Haan (1965). mengutip laporan-laporan pengunjung awal, menyebutkan: "Menurut laporan para pengunjung-pengunjung awal, monumen tersebut sangat sulit dicapai."<ref>{{Cite journal|last=Bosch|first=F.|last2=Haan|first2=B. de|date=1965|title=The oldjavanese bathing place of Jalatunda|url=|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|publisher=KITLV|volume=121|issue=2|pages=189-232|doi=}}</ref>. Selanjutnya, kajian-kajian dibuat oleh Domis ”De Oosterling” (1836), [[Willem Frederik Stutterheim|W.F. Stutterheim]] ”Het Zinrijke Waterwerk Djalatoenda” (1937), lalu P.H. Pott dalam ”Yoga en Yantra” (1946).<ref name=":0" />

== Sejarah ==

Petirtaan ini dianggap sebagai petirtaan tertua di Jawa Timur, berdasarkan pahatan angka tahun yang tertera di salah satu bagian belakang bangunan, yang bertuliskan [[899]] [[Kalender Saka|Saka]], atau [[977]] M. Adanya relief yang terdapat di candi Jolotundo beserta temuan lempengan logamyang bertuliskan nama [[Isna|Dewi Isana]] dan [[Agni]] dapat menjelaskan bahwa candi ini bercorak [[Hindu]]. Hasil penelitian Stuterhim mengatakan bahwa petirtaan ini dulunya terdapat sebuah pancuran,yang mana pancuran tersebut mirip dengan bentuk [[Gunung Penanggungan]] yang dikelilingi oleh delapan buah puncak yang lebih rendah yang mempunyai arti simbolis sebagai replika [[Mahameru]]. Menurut Bosch, relief cerita yang terdapat di candi Jolotundo terdiri dari 16 panel. Yang mana panel 1-13 diambil dari [[Mahabharata|kitab Mahabharata]], sedangkan dari panel 14-16 berisikan cerita dari [[Kathasaritsagara|kitab Kathasaritsagara]].<ref>{{Cite web|last=Anonim|first=|date=3 Januari 2020|title=Petirtaan Jolotundo|url=http://disparpora.mojokertokab.go.id/wisata_135_petirtaan-jolotundo.aspx|website=|access-date=12 Oktober 2020|archive-date=2020-10-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20201019133157/http://disparpora.mojokertokab.go.id/wisata_135_petirtaan-jolotundo.aspx|dead-url=yes}}</ref>

Menurut sumber lain pendiriannya juga dikaitkan dengan [[Airlangga]] dan ayahnya Raja [[Udayana]] dari [[Kerajaan Bedahulu]], [[Bali]] yang didasari pada tulisan Jawa kuno yang ada di dinding selatan teras pertama candi menyebutkan kalimat ''Udayana'', namun kalimat tersebut tidak berdiri sendiri melainkan bersambung kalimat di samping kata Udayana yang menyebutkan tentang ''Margayawati'' kedua kalimat tersebut terdapat dalam sebuah karya sastra kitab ''Kathasaritsagara'', Kathasaritsagara sendiri menceritakan tentang persaingan Raja Udayana dengan Ibunya Margayawati digunung ''Udayaparwa''. Setelah 14 tahun pengasingan, kemudian raja Udayana kembali bertemu dengan yang bernama ''Sahasranika'' yang merupakan raja dari ''kerajaan Vasta''.

Sementara Airlangga adalah anak pasangan raja Udayana [[wangsa Warmadewa]] dari Bali dengan putri [[Kerajaan Medang]] bernama [[Mahendradatta]] Airlangga merupakan pewaris kekuasaan Medang dan penerus wangsa Isyana, yang mendirikan [[Kerajaan Kahuripan|Medang Kahuripan]]. Sebagai kelanjutan Medang yang telah runtuh akibat serangan Haji Wurawari dari Lwaram (sekitar [[Cepu]], [[Blora]]) sekutu [[Sriwijaya]] musuh besar dari kerajaan Medang dan wangsa Isyana, dikemudian Kerajaan Airlangga tersebut kembali terpecah menjadi [[kerajaan Janggala]] dan [[Panjalu]] akibat dari perebutan takhta antara kedua putranya [[Sri Samarawijaya]] dan [[Mapanji Garasakan]].


== Rujukan ==
== Rujukan ==
<references />
<references />

{{Arkeologi-stub}}
{{Candi Hindu Indonesia}}
{{Candi Hindu Indonesia}}

[[Kategori:Candi di Jawa Timur]]
[[Kategori:Candi di Jawa Timur]]
[[Kategori:Objek wisata di Jawa Timur]]
[[Kategori:Objek wisata di Jawa Timur]]

Revisi terkini sejak 27 Agustus 2023 04.52

Petirtaan kuno Jolotundo

Petirtaan Jolotundo disebut juga dengan Candi Jolotundo atau Jalatunda adalah kompleks petirtaan kuno yang merupakan kawasan kolam suci petirtaan yang dibangun sejak masa Kerajaan Medang yang telah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, atau lazim disebut Medang periode Jawa Timur dan masih berfungsi hingga sekarang, dugaan paling awal diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Sri Isyana Tunggawijaya putri raja Medang (Mpu Sindok) dengan suaminya Sri Lokapala yang merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.

Lokasi Petirtaan Jolotundo terletak di kaki barat Bukit Bekel, salah satu gunung pendamping di wilayah area Gunung Penanggungan, dan berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, berjarak sekitar 50 km arah selatan dari Surabaya dan berjarak sekitar 25 km ke arah tenggara dari Mojokerto. Sampai sekarang, petirtaan ini masih dikunjungi oleh banyak peziarah karena dianggap memiliki khasiat tertentu, baik hari-hari biasa maupun pada malam-malam tertentu menurut penelitian dari beberapa sumber dikatakan mata air Petirtaan Jolotundo memiliki kandungan mineral yang tinggi dan dianggap merupakan mata air terbaik setelah mata air zamzam. Selain fungsi utama sebagai tempat untuk ziarah, pada masa modern tempat ini juga dikembangkan sebagai destinasi wisata keluarga dan pendakian baik untuk kepentingan keagamaan spiritual maupun wisata rekreasi menuju ke Gunung Penanggungan atau Bukit Bekel.

Laporan tentang penemuan kompleks yang ketika itu berada di tengah hutan belantara dibuat oleh J.W.B. Wardenaar, yang pada tahun 1815 bekerja atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Thomas Stamford Raffles.[1] Wardenaar membuat gambar dan deskripsi awal atas situs ini. Bosch dan de Haan (1965). mengutip laporan-laporan pengunjung awal, menyebutkan: "Menurut laporan para pengunjung-pengunjung awal, monumen tersebut sangat sulit dicapai."[2]. Selanjutnya, kajian-kajian dibuat oleh Domis ”De Oosterling” (1836), W.F. Stutterheim ”Het Zinrijke Waterwerk Djalatoenda” (1937), lalu P.H. Pott dalam ”Yoga en Yantra” (1946).[1]

Petirtaan ini dianggap sebagai petirtaan tertua di Jawa Timur, berdasarkan pahatan angka tahun yang tertera di salah satu bagian belakang bangunan, yang bertuliskan 899 Saka, atau 977 M. Adanya relief yang terdapat di candi Jolotundo beserta temuan lempengan logamyang bertuliskan nama Dewi Isana dan Agni dapat menjelaskan bahwa candi ini bercorak Hindu. Hasil penelitian Stuterhim mengatakan bahwa petirtaan ini dulunya terdapat sebuah pancuran,yang mana pancuran tersebut mirip dengan bentuk Gunung Penanggungan yang dikelilingi oleh delapan buah puncak yang lebih rendah yang mempunyai arti simbolis sebagai replika Mahameru. Menurut Bosch, relief cerita yang terdapat di candi Jolotundo terdiri dari 16 panel. Yang mana panel 1-13 diambil dari kitab Mahabharata, sedangkan dari panel 14-16 berisikan cerita dari kitab Kathasaritsagara.[3]

Menurut sumber lain pendiriannya juga dikaitkan dengan Airlangga dan ayahnya Raja Udayana dari Kerajaan Bedahulu, Bali yang didasari pada tulisan Jawa kuno yang ada di dinding selatan teras pertama candi menyebutkan kalimat Udayana, namun kalimat tersebut tidak berdiri sendiri melainkan bersambung kalimat di samping kata Udayana yang menyebutkan tentang Margayawati kedua kalimat tersebut terdapat dalam sebuah karya sastra kitab Kathasaritsagara, Kathasaritsagara sendiri menceritakan tentang persaingan Raja Udayana dengan Ibunya Margayawati digunung Udayaparwa. Setelah 14 tahun pengasingan, kemudian raja Udayana kembali bertemu dengan yang bernama Sahasranika yang merupakan raja dari kerajaan Vasta.

Sementara Airlangga adalah anak pasangan raja Udayana wangsa Warmadewa dari Bali dengan putri Kerajaan Medang bernama Mahendradatta Airlangga merupakan pewaris kekuasaan Medang dan penerus wangsa Isyana, yang mendirikan Medang Kahuripan. Sebagai kelanjutan Medang yang telah runtuh akibat serangan Haji Wurawari dari Lwaram (sekitar Cepu, Blora) sekutu Sriwijaya musuh besar dari kerajaan Medang dan wangsa Isyana, dikemudian Kerajaan Airlangga tersebut kembali terpecah menjadi kerajaan Janggala dan Panjalu akibat dari perebutan takhta antara kedua putranya Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

  1. ^ a b WIJAYANTO, Totok (25 Januari 2012). "Jalatunda, "Patirtan" Terkuno". Kompas. (mirror link). Diakses tanggal 12 Oktober 2020. 
  2. ^ Bosch, F.; Haan, B. de (1965). "The oldjavanese bathing place of Jalatunda". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV. 121 (2): 189–232. 
  3. ^ Anonim (3 Januari 2020). "Petirtaan Jolotundo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-19. Diakses tanggal 12 Oktober 2020.