Lompat ke isi

Teungku Chik di Tiro: Perbedaan antara revisi

Koordinat: 5°24′52.3″N 95°28′29.2″E / 5.414528°N 95.474778°E / 5.414528; 95.474778
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Wagino Bot (bicara | kontrib)
 
(6 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 19: Baris 19:
Siti Aisyah
Siti Aisyah
| relatives = Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman)
| relatives = Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman)
| family = Teungku Ma'at Ditirio (Cucu) <br>
| family = Teungku Ma'at Di Tiro (Cucu) <br>
[[Teungku]] [[Hasan Tiro]] Cicit
[[Teungku]] [[Hasan Tiro]] (Cicit)
| honours = [[Pahlawan]] [[Kemerdekaan]] [[Aceh]]
| honours = [[Pahlawan]] [[Kemerdekaan]] [[Aceh]]
}}
}}
Baris 40: Baris 40:
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.


Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar. <ref>{{Cite news|last=Razali|first=Habil|date=16 April 2021|title=Jejak Perang di Masjid Tuha: Tempat Ulama Tiro Berjihad Usir Belanda|url=https://kumparan.com/acehkini/jejak-perang-di-masjid-tuha-tempat-ulama-tiro-berjihad-usir-belanda-1-1vYxTP2I8Z2|work=kumparan/acehkini|access-date=2021-08-09}}</ref>
Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar.<ref>{{Cite news|last=Razali|first=Habil|date=16 April 2021|title=Jejak Perang di Masjid Tuha: Tempat Ulama Tiro Berjihad Usir Belanda|url=https://kumparan.com/acehkini/jejak-perang-di-masjid-tuha-tempat-ulama-tiro-berjihad-usir-belanda-1-1vYxTP2I8Z2|work=kumparan/acehkini|access-date=2021-08-09}}</ref>


[[Berkas:Jeurat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.JPG|jmpl|Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman]]
[[Berkas:Jeurat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.JPG|jmpl|Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman]]
Baris 48: Baris 48:
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.<ref>[http://acehbooks.org/pdf/ACEH_00266.pdf Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)]</ref> Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu [[Abraham Pruijs van der Hoeven]] (1881-1883), [[Philip Franz Laging Tobias]] (1883-1884), [[Henry Demmeni]] (1884-1886) dan [[Henri Karel Frederik van Teijn]] (1886-1891)
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.<ref>[http://acehbooks.org/pdf/ACEH_00266.pdf Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)]</ref> Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu [[Abraham Pruijs van der Hoeven]] (1881-1883), [[Philip Franz Laging Tobias]] (1883-1884), [[Henry Demmeni]] (1884-1886) dan [[Henri Karel Frederik van Teijn]] (1886-1891)


Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari [[1891]] di benteng Aneuk Galong.<ref>{{Cite web|url=https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-2435366/mengenal-pahlawan-teungku-cik-di-tiro-di-aceh-besar|title=Mengenal Pahlawan Teungku Cik di Tiro di Aceh Besar|last=Fitri|first=Aulia|website=detikTravel|language=id|access-date=2020-04-29}}</ref>
Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari [[1891]] di benteng Aneuk Galong.<ref>{{Cite news|url=https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-2435366/mengenal-pahlawan-teungku-cik-di-tiro-di-aceh-besar|title=Mengenal Pahlawan Teungku Cik di Tiro di Aceh Besar|last=Fitri|first=Aulia|work=[[Detik.com|detikcom]]|language=id|access-date=2020-04-29}}</ref>


== Lain-lain ==
== Lain-lain ==
Salah satu cucunya adalah [[Hasan di Tiro]], pendiri dan pemimpin [[Gerakan Aceh Merdeka]].<ref>[[Kyodo]], ''[http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0WDQ/is_2006_Jan_2/ai_n15991099 Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal]'', 2 Januari 2006</ref>
Salah satu cucunya adalah [[Hasan di Tiro]], pendiri dan pemimpin [[Gerakan Aceh Merdeka]].<ref>[[Kyodo]], ''[http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0WDQ/is_2006_Jan_2/ai_n15991099 Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070311025818/http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0WDQ/is_2006_Jan_2/ai_n15991099 |date=2007-03-11 }}'', 2 Januari 2006</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
Baris 71: Baris 71:


{{Pahlawan Indonesia}}
{{Pahlawan Indonesia}}



{{lifetime|1836|1891|Di Tiro, Teungku Cik}}
{{lifetime|1836|1891|Di Tiro, Teungku Cik}}
Baris 79: Baris 78:
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Pidie]]
[[Kategori:Tokoh Pidie]]
[[Kategori:Tokoh yang dibunuh]]
[[Kategori:Tokoh yang dibunuh di Nusantara]]
[[Kategori:Perang Aceh]]
[[Kategori:Perang Aceh]]
[[Kategori:Sejarah Aceh]]
[[Kategori:Sejarah Aceh]]
Baris 86: Baris 85:
[[Kategori:Wali Negara Aceh]]
[[Kategori:Wali Negara Aceh]]
[[Kategori:Tokoh dari Aceh Besar]]
[[Kategori:Tokoh dari Aceh Besar]]

{{Indo-bio-stub}}

Revisi terkini sejak 22 Desember 2023 15.03

Muhammad Saman Tiro
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Nama asalMuhammad Saman
Lahir1 Januari 1836
Kesultanan Aceh Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh Darussalam
Meninggal31 Januari 1891(1891-01-31) (umur 55)
Kesultanan Aceh Aneuk Galong, Aceh Besar, Kesultanan Aceh Darussalam
Sebab meninggalMeninggal karena diracun oleh Belanda
Tempat pemakamanMeureu,Indrapuri, Aceh Besar
5°24′52.3″N 95°28′29.2″E / 5.414528°N 95.474778°E / 5.414528; 95.474778
Dikenal atasUlama
Pahlawan Kemerdekaan Aceh
Lawan politikBelanda Hindia Belanda
Anak1.Fatimah
2.Muhammad Amin,
3.Mahyiddin,
4.Ubaidillah,
5.Muhammad Ali Zainal Abidin, dan
6.Teungku Lambada.
Orang tuaTeungku Sjech Abdullah
Siti Aisyah
KerabatTeungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman)
KeluargaTeungku Ma'at Di Tiro (Cucu)
Teungku Hasan Tiro (Cicit)
PenghormatanPahlawan Kemerdekaan Aceh

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1 Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, 31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.

Gerbang masuk makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.[1]

Memimpin perjuangan

[sunting | sunting sumber]

Pada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.

Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, paman Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang dibawanya itu.

Bangunan makam Teungku Chik di Tiro

Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.

Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar.[2]

Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman

Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dalam perang sabil, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[3] Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886) dan Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.[4]

Lain-lain

[sunting | sunting sumber]

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[5]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Teungku Chik Ditiro" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-27. Diakses tanggal 2020-04-29. 
  2. ^ Razali, Habil (16 April 2021). "Jejak Perang di Masjid Tuha: Tempat Ulama Tiro Berjihad Usir Belanda". kumparan/acehkini. Diakses tanggal 2021-08-09. 
  3. ^ Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)
  4. ^ Fitri, Aulia. "Mengenal Pahlawan Teungku Cik di Tiro di Aceh Besar". detikcom. Diakses tanggal 2020-04-29. 
  5. ^ Kyodo, Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal Diarsipkan 2007-03-11 di Wayback Machine., 2 Januari 2006

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]