Lompat ke isi

Tolotang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
M. Adiputra (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
(23 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{inuse}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
{{Infobox religion
'''Tolotang''' (kadang ditulis '''Tolottang''', atau '''Towani Tolotang''') adalah sebuah kepercayaan yang dianut mayoritas di beberapa wilayah dalam provinsi [[Sulawesi Selatan]], terutama di [[Kabupaten Sidenreng Rappang]] atau yang biasa disingkat dan dikenal dengan Kabupaten Sidrap.
| icon =
| icon_width =
| icon_alt =
| image = La galigo.jpg
| imagewidth = 300px
| alt =
| caption = ''"La Galigo"'', kitab suci agama Tolotang.
| abbreviation =
| type = [[Agama asli Nusantara]]<br>([[Suku Bugis]])
| main_classification =
| orientation =
| scripture = {{hlist|Lontara|[[Sureq Galigo|La Galigo]]}}
| theology = [[Monoteisme]]
| polity =
| associations = [[Parisada Hindu Dharma Indonesia]]
| structure =
| leader_title =
| leader = [[Bissu]]
| leader_name =
| fellowships_type =
| fellowships =
| division_type =
| division =


| full_communion =
Sekitar 5000 warga di wilayah Amparita, Kabupaten Sidrap menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Karena pemerintah [[Indonesia]] hanya mengakui enam agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan [[Agama Hindu]]. Maka dari itu hingga saat ini kepercayaan ini juga dikenal dengan nama Hindu Tolotang.<ref name= Panaungi>[http://www.rappang.com/2009/12/la-panaungi-pendiri-toani-tolotang.html La panaungi, Pendiri Toani Tolotang] rappang.com</ref>
| area = [[Sulawesi Selatan]]<br>{{•}}[[Kabupaten Sidenreng Rappang]]
| language = [[Bahasa Bugis]]
| liturgy =
| headquarters =
| founder = La Panaungi
| territory =
| members = [[Suku Bugis]]
| reunion =
| number_of_followers = ± 27.000 jiwa.
| ministers_type =
| ministers =
| missionaries =
| hospitals =
| nursing_homes =
| aid =
| secondary_schools =
| tax_status =
| tertiary =
| other_names = Hindu Tolotang
| publications =
| website =
| website_title1 =
| slogan =
| logo =
| module =
| footnotes = }}
'''Tolotang''' (kadang ditulis '''Tolottang''', atau '''Towani Tolotang''') adalah agama asli [[suku Bugis]] yang dianut mayoritas di beberapa wilayah dalam provinsi [[Sulawesi Selatan]], terutama di [[Kabupaten Sidenreng Rappang]] atau yang biasa disingkat dan dikenal dengan Kabupaten Sidrap.

Pada masa orde lama, terdapat sekitar 5000 warga di wilayah Amparita, Kabupaten Sidrap menganut agama yang sudah turun temurun ini. Karena pemerintah [[Indonesia]] hanya mengakui enam agama resmi, sedangkan agama lokal dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan penganut agama Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, akhirnya mereka menggabungkan diri dengan [[Agama Hindu]]. Maka dari itu hingga saat ini kepercayaan ini juga dikenal dengan nama Hindu Tolotang. Sama halnya dengan agama [[Kaharingan]] suku Dayak yang juga bergabung dengan Hindu, sehingga dikenal dengan Hindu Kaharingan.<ref name= Panaungi>[http://www.rappang.com/2009/12/la-panaungi-pendiri-toani-tolotang.html La panaungi, Pendiri Toani Tolotang]rappang.com {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150503020220/http://www.rappang.com/2009/12/la-panaungi-pendiri-toani-tolotang.html |date=2015-05-03 }}</ref>

Pada masa sebelumnya, masyarakat suku Bugis yang masih menganut agama Tolotang juga pernah mengalami nasib yang tragis. Mereka dikejar-kejar oleh para pemberontak [[Darul Islam]]/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan [[Kahar Muzakkar]]. Para pemberontak memaksa banyak pendahulu Tolotang untuk keluar dari keyakinan mereka. Tidak sedikit para penganut Tolotang yang mati dibunuh.<ref name=Lokal>[https://1001indonesia.net/kepercayaan-lokal-komunitas-towani-tolotang-di-sidenreng-rappang/ 1001 Indonesia: Kepercayaan Lokal Komunitas Towani Tolotang di Sidenreng Rappang]. 25 Januari 2019. Diakses 30 Maret 2019.</ref>


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pendiri Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Tolotang ini mengenal adanya Tuhan dan mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Jadi Tolotang tergolong bukan merupakan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama lain, yang bukan lagi anggota dari komunitas Tolotang tersebut. Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.<ref name=Panaungi />
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pendiri agama Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Tolotang ini mengenal adanya Tuhan dan mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Jadi Tolotang bukanlah Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama lain, yang bukan lagi anggota dari komunitas Tolotang tersebut. Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.<ref name=Panaungi />


Dalam perkembangannya, agama Islam menjadi agama mayoritas di hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan sehingga agama asli seperti Tolotang juga mulai tidak begitu dikenal walaupun beberapa masih mempertahankan agama warisan nenek moyang ini dalam sebuah kelompok komunitas. Masalah lain muncul pada 1966 yaitu ketika pemerintah tidak mengakui agama yang dipeluk oleh kelompok masyarakat yang telah disebutkan sebelumnya. Pada saat itu pemerintah hanya mengakui lima agama, yakni [[Islam]], [[Katolik]], [[Protestan]], [[Hindu]], dan [[Buddha]]. Pemerintah kemudian memberi tiga pilihan kepada warga Tolotang. Secara administratif, apakah mereka akan dikategorikan ke dalam Islam, Kristen, atau Hindu, karena menurut pemerintah tiga agama tersebut dekat dengan kepercayaan Tolotang. Berdasarkan hasil kesepakatan, dipilihlah Hindu. Sejak itu, secara resmi komunitas ini menganut Hindu. Namun, pada praktiknya, mereka tetap melaksanakan adat istiadat dan memeluk keyakinan yang telah mereka warisi secara turun-temurun.
Dalam perkembangannya, agama Islam menjadi agama mayoritas di hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan sehingga agama asli seperti Tolotang juga mulai tidak begitu dikenal walaupun beberapa masih mempertahankan agama warisan nenek moyang ini dalam sebuah kelompok komunitas. Masalah lain muncul pada 1966 yaitu ketika pemerintah tidak mengakui agama yang dipeluk oleh kelompok masyarakat yang telah disebutkan sebelumnya. Pada saat itu pemerintah hanya mengakui lima agama, yakni [[Islam]], [[Katolik]], [[Protestan]], [[Hindu]], dan [[Buddha]]. Pemerintah kemudian memberi tiga pilihan kepada warga Tolotang. Secara administratif, apakah mereka akan dikategorikan ke dalam Islam, Kristen, atau Hindu, karena menurut pemerintah tiga agama tersebut dekat dengan kepercayaan Tolotang. Berdasarkan hasil kesepakatan, dipilihlah Hindu. Sejak itu, secara resmi komunitas ini menganut Hindu. Namun, pada praktiknya, mereka tetap melaksanakan adat istiadat dan memeluk keyakinan yang telah mereka warisi secara turun-temurun.
Baris 16: Baris 69:
* Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
* Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
* Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia.
* Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia.
* Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
* Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
* Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
* Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
* Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
* Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Baris 24: Baris 77:
Dalam masyarakat Tolotang sendiri terdapat dua kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat Towani Tolotang (komunitas yang masih menganut agama Tolotang). Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi keagamaan, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam agama Islam. Bagi Komunitas Towani Tolotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun sirih. Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok Towani Tolotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri Towani Tolotang.
Dalam masyarakat Tolotang sendiri terdapat dua kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat Towani Tolotang (komunitas yang masih menganut agama Tolotang). Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi keagamaan, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam agama Islam. Bagi Komunitas Towani Tolotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun sirih. Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok Towani Tolotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri Towani Tolotang.


Bagi Masyarakat Towani Tolotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkaplan ritual masyarakat Towani Tolotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian. Sementara bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur Pakkawaru E, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara yang merupakan kitab suci bagi penganut agama Tolotang oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.
Bagi Masyarakat Towani Tolotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkaplan ritual masyarakat Towani Tolotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal pada hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati pada hari kemudian. Sementara bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur Pakkawaru E, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara yang merupakan kitab suci bagi penganut agama Tolotang oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.


== Upacara ==
== Upacara ==
[[Berkas:Bissu sembahyang.jpg|jmpl|[[Bissu]], kaum pemuka agama Tolotang.]]
Upacara Adat Tolotang dilakukan oleh masyarakat Tolotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kabupaten Pangakajene dengan Kabupaten Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh penting Tolotang yang disebut Uwa. Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe yang merupakan permainan adu kekuatan kaki, kini hanya dilakukan oleh anak-anak. Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala untuk para laki-laki, sedangkan Untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya.
Upacara keagamaan Tolotang dilakukan oleh masyarakat Tolotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kabupaten Pangakajene dengan Kabupaten Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh penting Tolotang yang disebut Uwa. Ritual ini dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak wangi oleh Uwa, atraksi Massempe yang merupakan permainan adu kekuatan kaki, kini hanya dilakukan oleh anak-anak. Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala untuk para laki-laki, sedangkan Untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya.


Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak wangi pada batu leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 35: Baris 89:


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* [http://www.sangbaco.com/2012/07/pahaman-awal-suku-bugis-makassar.html#.VBgyIvmSyiw Pahaman awal suku Bugis Makassar] sangbaco.com
* [http://www.sangbaco.com/2012/07/pahaman-awal-suku-bugis-makassar.html#.VBgyIvmSyiw Pahaman awal suku Bugis Makassar] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20131014125413/http://www.sangbaco.com/2012/07/pahaman-awal-suku-bugis-makassar.html#.VBgyIvmSyiw |date=2013-10-14 }} sangbaco.com
* [http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/memburu-pengakuan-dari-agama-di-ktp/1193820 Memburu pengakuan dari agama di KTP] radioaustralia.net
* [http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/memburu-pengakuan-dari-agama-di-ktp/1193820 Memburu pengakuan dari agama di KTP] radioaustralia.net
* http://tolotang.blogspot.com
* http://tolotang.blogspot.com


{{Commonscat|Hinduism in Indonesia}}
{{Commonscat|Hinduism in Indonesia}}
{{Agama di Indonesia}}
{{topik Hindu}}
{{topik Hindu}}
{{Mitos supernatural Indonesia}}
{{Mitos supernatural Indonesia}}


[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Agama di Indonesia]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Agama]]
[[Kategori:Budaya Bugis]]
[[Kategori:Mitologi Bugis]]

Revisi per 6 Juni 2024 07.04

"La Galigo", kitab suci agama Tolotang.
JenisAgama asli Nusantara
(Suku Bugis)
Kitab suci
TeologiMonoteisme
PemimpinBissu
PerhimpunanParisada Hindu Dharma Indonesia
WilayahSulawesi Selatan
 • Kabupaten Sidenreng Rappang
BahasaBahasa Bugis
PendiriLa Panaungi
Jumlah pengikut± 27.000 jiwa.
Nama lainHindu Tolotang

Tolotang (kadang ditulis Tolottang, atau Towani Tolotang) adalah agama asli suku Bugis yang dianut mayoritas di beberapa wilayah dalam provinsi Sulawesi Selatan, terutama di Kabupaten Sidenreng Rappang atau yang biasa disingkat dan dikenal dengan Kabupaten Sidrap.

Pada masa orde lama, terdapat sekitar 5000 warga di wilayah Amparita, Kabupaten Sidrap menganut agama yang sudah turun temurun ini. Karena pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama resmi, sedangkan agama lokal dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan penganut agama Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, akhirnya mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu. Maka dari itu hingga saat ini kepercayaan ini juga dikenal dengan nama Hindu Tolotang. Sama halnya dengan agama Kaharingan suku Dayak yang juga bergabung dengan Hindu, sehingga dikenal dengan Hindu Kaharingan.[1]

Pada masa sebelumnya, masyarakat suku Bugis yang masih menganut agama Tolotang juga pernah mengalami nasib yang tragis. Mereka dikejar-kejar oleh para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Para pemberontak memaksa banyak pendahulu Tolotang untuk keluar dari keyakinan mereka. Tidak sedikit para penganut Tolotang yang mati dibunuh.[2]

Sejarah

Beberapa sumber menyebutkan bahwa pendiri agama Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Tolotang ini mengenal adanya Tuhan dan mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Jadi Tolotang bukanlah Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama lain, yang bukan lagi anggota dari komunitas Tolotang tersebut. Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.[1]

Dalam perkembangannya, agama Islam menjadi agama mayoritas di hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan sehingga agama asli seperti Tolotang juga mulai tidak begitu dikenal walaupun beberapa masih mempertahankan agama warisan nenek moyang ini dalam sebuah kelompok komunitas. Masalah lain muncul pada 1966 yaitu ketika pemerintah tidak mengakui agama yang dipeluk oleh kelompok masyarakat yang telah disebutkan sebelumnya. Pada saat itu pemerintah hanya mengakui lima agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Pemerintah kemudian memberi tiga pilihan kepada warga Tolotang. Secara administratif, apakah mereka akan dikategorikan ke dalam Islam, Kristen, atau Hindu, karena menurut pemerintah tiga agama tersebut dekat dengan kepercayaan Tolotang. Berdasarkan hasil kesepakatan, dipilihlah Hindu. Sejak itu, secara resmi komunitas ini menganut Hindu. Namun, pada praktiknya, mereka tetap melaksanakan adat istiadat dan memeluk keyakinan yang telah mereka warisi secara turun-temurun.

Pada masa sebelumnya, penganut agama lokal suku Bugis ini juga pernah mengalami nasib yang tragis. Mereka dikejar-kejar oleh para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Para pemberontak memaksa banyak pendahulu Tolotang untuk keluar dari keyakinan mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang mati dibunuh.[2]

Ajaran

Ajaran Tolotang bertumpu pada lima keyakinan, yaitu:

  • Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
  • Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia.
  • Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
  • Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
  • Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.

Bisa diluruskan bahwa Menyembah kepada batu-batuan, sumur, dan kuburan nenek moyang, adalah satu bentuk arah sebagai sarana konsentrasi. Jadi hal ini hendaknya tidak membuat orang-orang luar menghakimi mereka bahwa Tolotang adalah Animisme maupun Dinamisme.

Dalam masyarakat Tolotang sendiri terdapat dua kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat Towani Tolotang (komunitas yang masih menganut agama Tolotang). Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi keagamaan, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam agama Islam. Bagi Komunitas Towani Tolotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun sirih. Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok Towani Tolotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri Towani Tolotang.

Bagi Masyarakat Towani Tolotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkaplan ritual masyarakat Towani Tolotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal pada hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati pada hari kemudian. Sementara bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur Pakkawaru E, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara yang merupakan kitab suci bagi penganut agama Tolotang oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.

Upacara

Bissu, kaum pemuka agama Tolotang.

Upacara keagamaan Tolotang dilakukan oleh masyarakat Tolotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kabupaten Pangakajene dengan Kabupaten Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh penting Tolotang yang disebut Uwa. Ritual ini dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak wangi oleh Uwa, atraksi Massempe yang merupakan permainan adu kekuatan kaki, kini hanya dilakukan oleh anak-anak. Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala untuk para laki-laki, sedangkan Untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya.

Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak wangi pada batu leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.

Referensi

Pranala luar