Sejarah nama Indonesia: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(35 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{pp-vandalism|small=yes}} |
|||
⚫ | |||
{{Untuk|artikel tentang nama orang-orang Indonesia|Nama Indonesia}} |
|||
⚫ | Nama '''"Indonesia"''' berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara [[Indocina]] dan [[Australia]] dengan aneka nama, sementara kronik-[[kronik]] bangsa [[Tionghoa]] menyebut kawasan ini sebagai '''Nan-hai''' ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa [[India]] menamai kepulauan ini '''Dwipantara''' ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam [[bahasa Sanskerta]] ''dwipa'' (pulau) dan ''antara'' (luar, seberang). Kisah [[Ramayana]] karya pujangga [[Walmiki]] menceritakan pencarian terhadap [[Sinta]], istri [[Rama]] yang diculik [[Rahwana]], sampai ke ''Suwarnadwipa'' ("Pulau Emas", diperkirakan [[Pulau Sumatra]] sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Nama "Indonesia" berasal dari dua kata [[Bahasa Yunani|Yunani]] yaitu, ''[[Sungai Indus|Indus]]'' (Ἰνδός) yang berarti "India" dan kata ''Nesos'' (νῆσος) yang berarti pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan India".<ref>{{cite book|author1=Tomascik, T.|author2=Mah, J.A.|author3=Nontji, A.|author4=Moosa, M.K.|title=The Ecology of the Indonesian Seas – Part One|publisher=Periplus Editions|year=1996|location=Hong Kong|isbn=962-593-078-7}}</ref> |
||
⚫ | [[Bangsa Arab]] menyebut wilayah kepulauan itu sebagai '''Jaza'ir al-Jawi''' (Kepulauan [[Pulau Jawa|Jawa]]). Nama [[bahasa Latin|Latin]] untuk [[kemenyan]], ''benzoe'', berasal dari nama [[bahasa Arab]], ''luban jawi'' ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon ''[[species:Styrax sumatrana|Styrax sumatrana]]'' yang dahulu hanya tumbuh di |
||
[[File:1855 Colton Map of the East Indies (Singapore, Thailand, Borneo, Malaysia) - Geographicus - EastIndies-colton-1855.jpg|thumb|right|300px|Wilayah yang sekarang diidentifikasi sebagai Indonesia memiliki nama yang berbeda, seperti "[[Hindia Timur]]" di peta tahun 1855 ini.]] |
|||
⚫ | Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, [[Persia]], [[India]], dan [[Tiongkok]]. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah '''Hindia'''. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan |
||
⚫ | [[Bangsa Arab]] menyebut wilayah kepulauan itu sebagai '''Jaza'ir al-Jawi''' (Kepulauan [[Pulau Jawa|Jawa]]). Nama [[bahasa Latin|Latin]] untuk [[kemenyan]], ''benzoe'', berasal dari nama [[bahasa Arab]], ''luban jawi'' ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon ''[[species:Styrax sumatrana|Styrax sumatrana]]'' yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama ''Samathrah'' (Sumatra), ''Sholibis'' ([[Pulau Sulawesi]]), dan ''Sundah'' ([[Sunda]]) yang disebut ''kulluh Jawi'' ("semuanya Jawa"). |
||
⚫ | [[Eduard Douwes Dekker]] ([[1820]]-[[1887]]), yang dikenal dengan nama samaran ''Multatuli'', pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "'''Insulinde'''", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam [[bahasa Latin]] "''insula''" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal [[abad ke-20]]. |
||
⚫ | Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, [[Persia]], [[India]], dan [[Tiongkok]]. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah '''Hindia'''. Jazirah [[Asia Selatan]] mereka sebut "Hindia Muka" dan [[Asia Tenggara Daratan]] dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama '''Kepulauan Hindia''' (''Indische Archipel'', ''Indian Archipelago'', ''l'Archipel Indien'') atau '''Hindia Timur''' (''Oost Indie'', ''East Indies'', ''Indes Orientales''). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "'''Kepulauan Melayu'''" (''Maleische Archipel'', ''Malay Archipelago'', ''l'Archipel Malais''). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi '''Nederlandsch-Indie''' ('''[[Hindia Belanda]]'''). Pemerintah [[Masa pendudukan Jepang|pendudukan]] [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] [[1942]]-[[1945]] memakai istilah '''To-Indo''' (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. |
||
⚫ | [[Eduard Douwes Dekker]] ([[1820]]-[[1887]]), yang dikenal dengan nama samaran ''Multatuli'', pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "'''[[Insulinde]]'''", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam [[bahasa Latin]] "''insula''" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal [[abad ke-20]]. |
||
== Nama Indonesia == |
== Nama Indonesia == |
||
Pada tahun [[1847]] di [[Singapura]] terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, ''[[Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia]]'' (JIAEA, [[Bahasa Indonesia|BI]]: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh [[James Richardson Logan]] ([[1819]]-[[1869]]), seorang [[Skotlandia]] yang meraih sarjana [[hukum]] dari [[Universitas Edinburgh]]. Kemudian pada tahun [[1849]] seorang ahli etnologi bangsa [[Inggris]], [[George Windsor Earl|George Samuel Windsor Earl]] ([[1813]]-[[1865]]), menggabungkan diri sebagai redaksi [[majalah]] JIAEA. |
Pada tahun [[1847]] di [[Singapura]] terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, ''[[Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia]]'' (JIAEA, [[Bahasa Indonesia|BI]]: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh [[James Richardson Logan]] ([[1819]]-[[1869]]), seorang [[Skotlandia]] yang meraih sarjana [[hukum]] dari [[Universitas Edinburgh]]. Kemudian pada tahun [[1849]] seorang ahli etnologi bangsa [[Inggris]], [[George Windsor Earl|George Samuel Windsor Earl]] ([[1813]]-[[1865]]), menggabungkan diri sebagai redaksi [[majalah]] JIAEA. |
||
Dalam ''JIAEA'' volume IV tahun [[1850]], halaman 66-74, Earl menulis artikel ''On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations'' ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (''a distinctive name''), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: ''Indunesia'' atau ''Malayunesia'' ("''nesos''" dalam [[bahasa Yunani]] berarti "[[pulau]]"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke [[Bahasa Indonesia]] dari [[Bahasa Inggris]]): |
Dalam ''JIAEA'' volume IV tahun [[1850]], halaman 66-74, Earl menulis artikel ''On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations'' ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (''a distinctive name''), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: ''Indunesia'' atau ''Malayunesia'' ("''nesos''" dalam [[bahasa Yunani]] berarti "[[pulau]]"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke [[Bahasa Indonesia]] dari [[Bahasa Inggris]]): |
||
:"''... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"''". |
:"''... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"''". |
||
<!-- |
<!--:"''... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians''". --> |
||
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan [[Srilanka]] saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan [[Maladewa]]). Earl berpendapat juga bahwa [[bahasa Melayu]] dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. |
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan [[Srilanka]] saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan [[Maladewa]]). Earl berpendapat juga bahwa [[bahasa Melayu]] dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. |
||
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The ''Ethnology of the Indian Archipelago'' ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah '''Indian Archipelago''' ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf '''u''' digantinya dengan huruf '''o''' agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah '''Indonesia'''. |
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The ''Ethnology of the Indian Archipelago'' ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah '''Indian Archipelago''' ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf '''u''' digantinya dengan huruf '''o''' agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah '''Indonesia'''.<ref name="uhpress">. [https://web.archive.org/web/20040625134846/http://www.uhpress.hawaii.edu/books/seasiatext/excerpt.html#names David Chandler, et al. 2005. "''The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History''", disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai‘i Press, 2005)]</ref> Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. |
||
</ref> Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa. |
|||
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): |
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia): |
||
:"''Mr Earl menyarankan istilah [[etnografi]] "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah [[geografis]] murni "Indonesia", yang hanya [[sinonim]] yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia''" |
:"''Mr Earl menyarankan istilah [[etnografi]] "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah [[geografis]] murni "Indonesia", yang hanya [[sinonim]] yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia''" |
||
<!-- |
<!--:"''Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago''". --> |
||
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang [[etnologi]] dan [[geografi]].<ref name="uhpress"/> |
|||
Pada tahun [[1884]] guru besar [[etnologi]] di [[Universitas Berlin]] yang bernama |
Pada tahun [[1884]] guru besar [[etnologi]] di [[Universitas Berlin]] yang bernama [[Adolf Bastian]] ([[1826]]-[[1905]]) menerbitkan buku ''Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel'' ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun [[1864]] sampai [[1880]]. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam ''Encyclopedie van Nederlandsch-Indië'' tahun [[1918]]. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. |
||
[[Inlanders|Pribumi]] yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat ([[Ki Hajar Dewantara]]). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun [[1913]] ia mendirikan sebuah biro [[pers]] dengan nama ''[[Indonesische Persbureau]]''. Nama '''Indonesisch''' (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti ''Indisch'' ("Hindia") oleh Prof [[Cornelis van Vollenhoven]] (1917). Sejalan dengan itu, ''[[inlander]]'' ("pribumi") diganti dengan ''Indonesiër'' ("orang Indonesia").. |
[[Inlanders|Pribumi]] yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat ([[Ki Hajar Dewantara]]). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun [[1913]] ia mendirikan sebuah biro [[pers]] dengan nama ''[[Indonesische Persbureau]]''. Nama '''Indonesisch''' (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti ''Indisch'' ("Hindia") oleh Prof [[Cornelis van Vollenhoven]] (1917). Sejalan dengan itu, ''[[inlander]]'' ("pribumi") diganti dengan ''Indonesiër'' ("orang Indonesia").. |
||
== Politik == |
== Politik == |
||
Pada dasawarsa [[1920-an]], nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. |
Pada dasawarsa [[1920-an]], nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.<ref name="uhpress"/> |
||
Pada tahun [[1922]] atas inisiatif [[Mohammad Hatta]], seorang mahasiswa ''Handels Hoogeschool'' (Sekolah Tinggi Ekonomi) di [[Rotterdam]], organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama [[Indische Vereeniging]]) berubah nama menjadi ''[[Indonesische Vereeniging]]'' atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, ''Hindia Poetra'', berganti nama menjadi ''Indonesia Merdeka''. |
Pada tahun [[1922]] atas inisiatif [[Mohammad Hatta]], seorang mahasiswa ''Handels Hoogeschool'' (Sekolah Tinggi Ekonomi) di [[Rotterdam]], organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama [[Indische Vereeniging]]) berubah nama menjadi ''[[Indonesische Vereeniging]]'' atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, ''Hindia Poetra'', berganti nama menjadi ''Indonesia Merdeka''. |
||
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, |
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, |
||
{{quote|"''Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (''de toekomstige vrije Indonesische staat'') mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (''een politiek doel''), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.''"}} |
|||
Di Indonesia Dr. [[Sutomo]] mendirikan ''[[Indonesische Studie Club]]'' pada tahun [[1924]]. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Pada tahun [[1925]] [[Jong Islamieten Bond]] membentuk kepanduan ''[[Nationaal Indonesische Padvinderij]]'' (''Natipij''). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal [[28 Oktober]] [[1928]], yang kini dikenal dengan sebutan [[Sumpah Pemuda]]. |
Di Indonesia Dr. [[Sutomo]] mendirikan ''[[Indonesische Studie Club]]'' pada tahun [[1924]]. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Pada tahun [[1925]] [[Jong Islamieten Bond]] membentuk kepanduan ''[[Nationaal Indonesische Padvinderij]]'' (''Natipij''). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal [[28 Oktober]] [[1928]], yang kini dikenal dengan sebutan [[Sumpah Pemuda]]. |
||
Baris 43: | Baris 47: | ||
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal [[8 Maret]] [[1942]], lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada tanggal [[17 Agustus]] [[1945]], menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah [[Republik Indonesia]]. |
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal [[8 Maret]] [[1942]], lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada tanggal [[17 Agustus]] [[1945]], menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah [[Republik Indonesia]]. |
||
== |
== Linguistik == |
||
Sebelum [[bahasa Indonesia]] ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada [[Sumpah Pemuda]], maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia" alih-alih "[[bahasa Melayu]]" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, [[Hindia Belanda]] (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi [[ejaan Van Ophuijsen]], sedangkan pada tahun 1904 [[Persekutuan Tanah Melayu]] (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah [[Inggris]] mengadopsi [[ejaan Wilkinson]].<ref name="indodic">[http://www.indodic.com/Interlang.htm Interlang: Best of the Best (Crème de la Crème)] dari indodic.com</ref> Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan [[Kitab Logat Melayu]] (dimulai tahun 1896) [[van Ophuijsen]], dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. |
Sebelum [[bahasa Indonesia]] ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada [[Sumpah Pemuda]], maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia" alih-alih "[[bahasa Melayu]]" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, [[Hindia Belanda]] (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi [[ejaan Van Ophuijsen]], sedangkan pada tahun 1904 [[Persekutuan Tanah Melayu]] (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah [[Inggris]] mengadopsi [[ejaan Wilkinson]].<ref name="indodic">[http://www.indodic.com/Interlang.htm Interlang: Best of the Best (Crème de la Crème)] dari indodic.com</ref> Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan [[Kitab Logat Melayu]] (dimulai tahun 1896) [[van Ophuijsen]], dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. |
||
Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, [[Renward Brandstetter]] (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa [[bahasa Austronesia|Austronesia]]. |
Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, [[Renward Brandstetter]] (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa [[bahasa Austronesia|Austronesia]].<ref name="Mahdi">[http://www.academia.edu/8979024/Renward_Brandstetter_s_comparative_analysis_of_the_Indonesian_Mind_ Waruno Mahdi: Renward Brandstetter's Comparative Analysis of the "Indonesian Mind"]</ref>, yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai ''indonesischer Sprachforscher'' (peneliti bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya ''Malaio-polynesische Forschungen'' (studi [bahasa] Melayu Polinesia), mulai 1908 dinamai ulang menjadi ''Monographien zur indonesischen Sprachforschung'' (monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian, "bahasa Indonesia" yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas daripada sekadar bahasa di Hindia Belanda saja, melainkan juga mencakup [[Daftar bahasa di Filipina|bahasa-bahasa Filipina]], [[bahasa Madagaskar]], "mulai dari [[Taiwan|Formosa]] hingga ke [[Madagaskar]]",<ref name="Mahdi"/> oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang, melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau Austronesia Barat.<ref>Wilhelm Schmidt,</ref> Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai<ref>''Wurzel und Wort in den indonesischen Sprachen'' (1910, ''Root and Word in the Indonesian Languages''); ''Gemeninindonesisch und Urindonesisch'' (1911, ''Common Indonesian and Original Indonesian''), diterjemahkan dengan judul ''Bahasa Indonesia Umum dan Bahasa Indonesia Purba'', ''Das Verbum'' (1911, ''The Indonesian Verb''), dan ''Di Lauterscheinungen in den indonesischen Sprachen'' (1915, ''Phonetic Phenomena in the Indonesian Languages'') [http://books.google.co.id/books?id=4MBTBQAAQBAJ&pg=PA18&lpg=PA18&dq=Brandstetter&source=bl&ots=YVo0uc_9_b&hl=id&sa=X&redir_esc=y]</ref>), dan satu di antaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956.<ref name="mawardi">[https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/renward-brandstetter/ Bandung Mawardi: Rendward Brandstetter]</ref> Esai-esai itu mempengaruhi perkembangan ilmu linguistik Austronesia.<ref>Dempwolf 1934:7</ref> Tentang ketertarikannya, ia menyebutkan pengaruh [[Karel Niemann|Niemann]], [[Snouck Hurgronje|Hurgronje]], [[Adriani]], dan Conant: <br />''"... Dengan begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje, Adriani dan Conant."''<ref name="mawardi"/> |
||
Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan ''Congres International Pour la Paix'' di Paris (1926)<ref>Jones 1973:110</ref> |
Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan ''Congres International Pour la Paix'' di Paris (1926)<ref>Jones 1973:110</ref> |
||
Baris 55: | Baris 59: | ||
== Rujukan == |
== Rujukan == |
||
* [ |
* [https://web.archive.org/web/20040625134846/http://www.uhpress.hawaii.edu/books/seasiatext/excerpt.html#names David Chandler, et al. 2005. "''The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History''", disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai‘i Press, 2005)] |
||
Linguistik: |
Linguistik: |
||
* Dempwolff, Otto (1923): ''Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. Erster Band: Induktiver Aufbau einer indonesischen Ursprache.'' (Beihefter zur Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen 15). Berlin: Dietrich Reimer /Andrews & Steiner and hamburg: Friederichsen, De Gruyter |
* Dempwolff, Otto (1923): ''Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. Erster Band: Induktiver Aufbau einer indonesischen Ursprache.'' (Beihefter zur Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen 15). Berlin: Dietrich Reimer /Andrews & Steiner and hamburg: Friederichsen, De Gruyter |
||
* Jones, Russel (1973): Earl, Logan and "Indonesia", '' |
* Jones, Russel (1973): ''[https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1973_num_6_1_1130 Earl, Logan and "Indonesia"]'', ''Archipel'' 6, 93-118 |
||
* Schmidt, Wilhelm (1899): Die sprachlichen Verhaltnisse Oceaniens (Melanesiens, Polynesiens, Mikronesiens und Indonesiens) in ihrer Bedeutung fur die Ethnologie.''Mittheilungen der Anthropologischen Gesellschaft in Wien'' 29, 245-258 |
* Schmidt, Wilhelm (1899): Die sprachlichen Verhaltnisse Oceaniens (Melanesiens, Polynesiens, Mikronesiens und Indonesiens) in ihrer Bedeutung fur die Ethnologie.''Mittheilungen der Anthropologischen Gesellschaft in Wien'' 29, 245-258 |
||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
||
* {{id}} [http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/ Menapaki Nama Indonesia] |
* {{id}} [http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/ Menapaki Nama Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110420125901/http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/ |date=2011-04-20 }} |
||
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/16/0802.htm Asal |
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/16/0802.htm Asal-usul Nama Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20061215190155/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/16/0802.htm |date=2006-12-15 }} |
||
* {{id}} [http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html Asal-usul Kata Indonesia] |
* {{id}} [http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html Asal-usul Kata Indonesia] |
||
* {{id}} [http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/laman/index.php?info=praktis&action=detail&kataistilahid=3 Pusatbahasa: Nama Indonesia] |
* {{id}} [http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/laman/index.php?info=praktis&action=detail&kataistilahid=3 Pusatbahasa: Nama Indonesia]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} |
||
* {{en}} [http://www.geonames.de/couid.html Nama Indonesia, Jakarta, dan Jawa dalam berbagai bahasa] |
* {{en}} [http://www.geonames.de/couid.html Nama Indonesia, Jakarta, dan Jawa dalam berbagai bahasa] |
||
Baris 75: | Baris 79: | ||
[[Kategori:Sejarah Indonesia| ]] |
[[Kategori:Sejarah Indonesia| ]] |
||
[[Kategori: |
[[Kategori:Etimologi nama negara]] |
||
[[Kategori:Budaya Indonesia|Nama Indonesia, Sejarah]] |
[[Kategori:Budaya Indonesia|Nama Indonesia, Sejarah]] |
Revisi terkini sejak 17 Agustus 2024 16.37
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Nama "Indonesia" berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani yaitu, Indus (Ἰνδός) yang berarti "India" dan kata Nesos (νῆσος) yang berarti pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan India".[1]
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatra), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan Asia Tenggara Daratan dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
- "... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.[2] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
- "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.[2]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.[2]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Linguistik
Sebelum bahasa Indonesia ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia" alih-alih "bahasa Melayu" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[3] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, Renward Brandstetter (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa Austronesia.[4], yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai indonesischer Sprachforscher (peneliti bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya Malaio-polynesische Forschungen (studi [bahasa] Melayu Polinesia), mulai 1908 dinamai ulang menjadi Monographien zur indonesischen Sprachforschung (monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian, "bahasa Indonesia" yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas daripada sekadar bahasa di Hindia Belanda saja, melainkan juga mencakup bahasa-bahasa Filipina, bahasa Madagaskar, "mulai dari Formosa hingga ke Madagaskar",[4] oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang, melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau Austronesia Barat.[5] Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai[6]), dan satu di antaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956.[7] Esai-esai itu mempengaruhi perkembangan ilmu linguistik Austronesia.[8] Tentang ketertarikannya, ia menyebutkan pengaruh Niemann, Hurgronje, Adriani, dan Conant:
"... Dengan begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje, Adriani dan Conant."[7]
Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan Congres International Pour la Paix di Paris (1926)[9]
Lihat pula
Rujukan
Linguistik:
- Dempwolff, Otto (1923): Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. Erster Band: Induktiver Aufbau einer indonesischen Ursprache. (Beihefter zur Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen 15). Berlin: Dietrich Reimer /Andrews & Steiner and hamburg: Friederichsen, De Gruyter
- Jones, Russel (1973): Earl, Logan and "Indonesia", Archipel 6, 93-118
- Schmidt, Wilhelm (1899): Die sprachlichen Verhaltnisse Oceaniens (Melanesiens, Polynesiens, Mikronesiens und Indonesiens) in ihrer Bedeutung fur die Ethnologie.Mittheilungen der Anthropologischen Gesellschaft in Wien 29, 245-258
Pranala luar
- (Indonesia) Menapaki Nama Indonesia Diarsipkan 2011-04-20 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Asal-usul Nama Indonesia Diarsipkan 2006-12-15 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Asal-usul Kata Indonesia
- (Indonesia) Pusatbahasa: Nama Indonesia[pranala nonaktif permanen]
- (Inggris) Nama Indonesia, Jakarta, dan Jawa dalam berbagai bahasa
Referensi
- ^ Tomascik, T.; Mah, J.A.; Nontji, A.; Moosa, M.K. (1996). The Ecology of the Indonesian Seas – Part One. Hong Kong: Periplus Editions. ISBN 962-593-078-7.
- ^ a b c . David Chandler, et al. 2005. "The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History", disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai‘i Press, 2005)
- ^ Interlang: Best of the Best (Crème de la Crème) dari indodic.com
- ^ a b Waruno Mahdi: Renward Brandstetter's Comparative Analysis of the "Indonesian Mind"
- ^ Wilhelm Schmidt,
- ^ Wurzel und Wort in den indonesischen Sprachen (1910, Root and Word in the Indonesian Languages); Gemeninindonesisch und Urindonesisch (1911, Common Indonesian and Original Indonesian), diterjemahkan dengan judul Bahasa Indonesia Umum dan Bahasa Indonesia Purba, Das Verbum (1911, The Indonesian Verb), dan Di Lauterscheinungen in den indonesischen Sprachen (1915, Phonetic Phenomena in the Indonesian Languages) [1]
- ^ a b Bandung Mawardi: Rendward Brandstetter
- ^ Dempwolf 1934:7
- ^ Jones 1973:110