Lompat ke isi

Mahāyāna: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Faredoka (bicara | kontrib)
Argumen terhadap keaslian: -nirwana +Nirwana +("pengotor batin")
 
(57 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Astasahasrika_Prajnaparamita_Maitreya_Detail.jpeg|jmpl|289x289px| Ilustrasi dalam manuskrip ''[[Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā Sūtra]]'' dari [[Nalanda]], menggambarkan Bodhisatwa [[Metteyya|Maitreya]], tokoh penting dalam Mahāyāna.]]
{{Buddhisme Mahayana}}
{{Buddhisme Mahayana}}{{Buddhisme|aliran}}
{{buddhisme}}
[[Berkas:Shishoin_temple_shibamata_Five_Tathagatas_2020.jpg|jmpl|260x260px| [[Lima Buddha Kebijaksanaan|Lima Tathāgata]] di Kuil Shishoin (Tokyo). Ciri unik Mahāyāna adalah kepercayaan bahwa ada banyak Buddha yang saat ini mengajarkan Dharma.]]
'''Mahayana''' (berasal dari bahasa [[Sanskerta]]: महायान, mahāyāna yang secara harafiah ali oncom lily nawawi berarti 'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama [[Agama Buddha]] dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran [[Buddha Gautama|Sang Buddha]]. Mahayana, yang dilahirkan di [[India]], digunakan atas tiga pengertian utama:
'''Mahāyāna''' ({{IPAc-en|ˌ|m|ɑː|h|ə|ˈ|j|ɑː|n|ə}} {{Respell|MAH|hə|YAH|nə}}; {{Lang-sa|महायान}}, {{Terjemahan harfiah|Kendaraan Besar}}) adalah istilah untuk sekelompok besar tradisi, [[Kitab Buddhis|teks]], [[Filsafat Buddhis|filsafat]], dan praktik [[Buddhisme]] yang dikembangkan di [[Sejarah India|India kuno]] ({{Kira-kira|abad ke-1 SM}} dan seterusnya). Mahāyāna dianggap sebagai salah satu dari tiga aliran utama Buddhisme yang ada, yang lainnya adalah [[Theravāda]] dan [[Vajrayana|Vajrayāna]].<ref name="Harvey-2013a">Harvey (2013), p. 189.</ref> Mahāyāna menerima kitab suci dan ajaran utama [[Aliran Buddhis awal|Buddhisme awal]], tetapi juga mengakui berbagai ajaran dan kitab yang tidak dianggap asli oleh Buddhisme Theravāda. Kitab-kitab tersebut termasuk [[Sutra Mahayana|sutra Mahāyāna]] dan penekanannya pada jalan [[Bodhisatwa]] dan [[Pradnyaparamita|Prajñāpāramitā]].<ref>Harvey (2013), pp. 108-109.</ref> Aliran Vajrayāna atau tradisi Mantra merupakan bagian dari aliran Mahāyāna yang menggunakan sejumlah metode [[Tantrisme|tantra]] yang diyakini oleh para penganut Vajrayāna untuk membantu mencapai [[Kebuddhaan]].<ref name="Harvey-2013a" />
# Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah [[Theravada]]. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok.
# Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motivasi spiritual<ref>{{en}}Harvey, ''Introduction to Buddhism'', Cambridge University Press, 1990, page 94</ref> (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana <ref>{{en}} The Mahayana, 'Great Vehicle' or 'Great Carriage' (for carrying all beings to nirvana), is also, and perhaps more correctly and accurately, known as the Bodhisattvayana, the bodhisattva's vehicle. ''Indian Buddhism'', A. K. Warder, 3rd edition, 1999, p.338</ref>) Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.<ref>Peter Harvey, "An Introduction to Buddhist Ethics." Cambridge University Press, 2000, page 123.</ref>
# Menurut susunan Ajaran [[Vajrayana]] mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.


Mahāyāna juga merujuk pada jalan [[Bodhisatwa]] yang berjuang untuk menjadi seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan demi manfaat semua makhluk hidup, dan dengan demikian juga disebut "Kendaraan Bodhisatwa" (''Bodhisattvayāna'').<ref name="autogenerated38">[[Damien Keown]] (2003), ''[https://books.google.com/books?id=985a1M7L1NcC&pg=PA38 A Dictionary of Buddhism]'', [[Oxford University Press]], p. 38</ref>{{refn|"Mahayana, 'Kendaraan Agung' atau 'Kereta Agung' (untuk membawa semua makhluk menuju nirwana), juga, dan mungkin lebih tepat dan akurat, dikenal sebagai Bodhisattvayana, 'Kendaraan Bodhisatwa'." Warder, A.K. (edisi ke-3, 1999). ''Buddhisme India'': hlm. 338|group=note}} Buddhisme Mahāyāna secara umum memandang tujuan menjadi seorang Buddha melalui jalan Bodhisatwa sebagai sesuatu yang dapat dicapai oleh semua orang dan memandang tingkat [[arahat]] sebagai sesuatu yang tidak lengkap.<ref>Harvey (2013), p. 111.</ref> Mahāyāna juga meyakini banyak sosok Buddha dan Bodhisatwa yang tidak ditemukan dalam aliran Theravāda (seperti [[Amitābha]] dan [[Vairocana]]).<ref name="Williams-2008f">Williams, Paul, ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations,'' Routledge, 2008, p. 21.</ref> Filosofi Buddhisme Mahāyāna juga mengenalkan teori-teori khas, seperti teori kekosongan [[Madhyamaka]] (''[[śūnyatā]]''), ''[[Yogacara|Vijñānavāda]]'' ("ajaran kesadaran" yang juga disebut "hanya pikiran"), dan ajaran [[Tathāgatagarbha|benih Kebuddhaan]] (keyakinan bahwa semua makhluk hidup sudah memiliki hakikat Kebuddhaan yang murni di dalam diri mereka).
Walaupun asal usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada [[abad ke 1]],<ref>{{en}} ''The Mahayana movement claims to have been founded by the Buddha himself. Scholars however, think that it originated in South India in the 1st century CE’'' – Indian Buddhism, AK Warder, 3rd edition, 1999, p. 335.</ref>, atau abad ke 1 SM.<ref>{{en}}''Buddhist Saints in India'', Reginald A. Ray, 1994, p.404</ref><ref>{{en}}''A History of Indian Buddhism'' - Hirakawa Akira (translated and edited by Paul Groner) - Motilal Banarsidass Publishers, Delhi, 1993, p. 252</ref> Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India.<ref>{{en}}''Certainly, we have for this period an extensive body of inscriptions from virtually all parts of India. ... But nowhere in this extensive body of material is there any reference, prior to the fifth century, to a named Mahayana. There are, on the other hand, scores of references to what used to be called Hinayana groups'' — the Sarvastivadins, Mahasamghikas, and so on. From this point of view, at least, this was not “the period of the Mahayana,” but “the period of the Hinayana.”, Macmillan Encyclopedia of Buddhism, 2004, page 493</ref> Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.


Meskipun awalnya merupakan gerakan kecil di India, Mahāyāna akhirnya tumbuh menjadi kekuatan berpengaruh dalam [[Sejarah Buddhisme di India|Buddhisme India]].<ref name="Woodhead">{{Cite book|date=2016|title=Religions in the modern world: traditions and transformations|location=Abingdon, Oxon|publisher=Routledge|isbn=978-0-415-85880-9|editor-last=Woodhead|editor-first=Linda|edition=Third|oclc=916409066|editor-last2=Partridge|editor-first2=Christopher Hugh|editor-last3=Kawanami|editor-first3=Hiroko}}</ref> Pusat-pusat akademis besar yang berhubungan dengan Mahāyāna, seperti [[Nalanda]] dan Vikramashila. berkembang pesat antara abad ke-7 dan ke-12.<ref name="Woodhead" /> Dalam perjalanan sejarahnya, Buddhisme Mahāyāna menyebar dari [[Asia Selatan]] ke [[Asia Timur]], [[Asia Tenggara]], dan [[Pegunungan Himalaya|wilayah Himalaya]]. Berbagai tradisi dari aliran Mahāyāna merupakan bentuk dominan dari Buddhisme yang ditemukan di [[Tiongkok]], [[Korea]], [[Jepang]], [[Taiwan]], [[Singapura]], [[Vietnam]], [[Filipina]], dan [[Malaysia]].<ref>{{Cite book|last=Foltz|first=Richard|date=2013|url=https://books.google.com/books?id=sZRGAQAAQBAJ&q=buddhist+viharas+found+in+modern+day+iran&pg=PA95|title=Religions of Iran:From Prehistory to the Present|publisher=Oneworld Publications|isbn=978-1-78074-309-7|page=95|quote=In the centuries before the Arab conquests Buddhism was spread throughout the eastern Iranian world. Buddhist sites have been found in Afghanistan, Turkmenistan, Uzbekistan, and Tajikistan, as well as within Iran itself.|access-date=2017-12-18}}</ref> Oleh karena [[Vajrayana|Vajrayāna]] adalah bentuk [[Tantrisme|tantra]] dari Mahāyāna, Buddhisme Mahāyāna juga dominan di [[Tibet]], [[Mongolia]], [[Bhutan]], dan wilayah Himalaya lainnya. Aliran ini juga secara tradisional hadir di tempat lain di Asia sebagai agama minoritas di antara komunitas Buddhis di [[Nepal]], [[Malaysia]], [[Indonesia]], dan wilayah-wilayah dengan komunitas diaspora Asia.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar ke seluruh [[Asia Timur]]. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah [[Tiongkok]], [[Jepang]], [[Korea]] dan [[Vietnam]] dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis [[Himalaya]] yang diakibatkan oleh invasi Tiongkok ke [[Tibet]]). Aliran Agama Buddha Mahayana sekarang ini adalah "Pure Land", [[Zen]], [[Nichiren]], [[Singon]], [[Tibetan]] dan [[Tendai]]. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.


Pada tahun 2010, aliran Mahāyāna merupakan aliran [[Buddhisme]] dengan penganut terbanyak, dengan 53% Buddhis menganut [[Buddhisme di Asia Timur|Mahāyāna Asia Timur]] dan 6% menganut [[Vajrayana|Vajrayāna]], dibandingkan dengan 36% yang menganut [[Theravāda|Theravada]].<ref>{{Cite book|last=Johnson|first=Todd M.|last2=Grim|first2=Brian J.|year=2013|url=http://media.johnwiley.com.au/product_data/excerpt/47/04706745/0470674547-196.pdf|title=The World's Religions in Figures: An Introduction to International Religious Demography|location=Hoboken, NJ|publisher=Wiley-Blackwell|page=36|access-date=2 September 2013|archive-url=https://web.archive.org/web/20131020100448/http://media.johnwiley.com.au/product_data/excerpt/47/04706745/0470674547-196.pdf|archive-date=20 October 2013}}</ref>
== Latar Belakang ==
[[Buddha]] lahir pada [[abad ke-6 SM]]. Setelah mencapai Penerangan Sempurna pada umur 35 sampai Mahaparinibbana pada umur 80, Dia menghabiskan seumur hidupnya untuk berkhotbah dan menyebarkan ajarannya. Selama 44 tahun, ia mengajar dan berkhotbah siang dan malam, hanya tidur 2 jam sehari.


== Sejarah ==
Buddha berbicara dengan semua kalangan manusia: raja dan pangeran, brahmana, petani, pengemis, kaum terpelajar dan orang biasa. Ajarannya disesuaikan dengan pengalaman, tingkat pemahaman dan kapasitas mental pendengarnya. Apa yang diajarkannya dinamakan Buddha Vacana. Saat itu tidak dikenal dengan apa yang dinamakan Theravada atau Mahayana.
[[Berkas:Seated_Avalokiteshvara._Gandharan,_from_Loriyan_Tangai._Kushan_period,_1st_-_3d_century_AD._Indian_Museum,_Calcutta_ei05-31.jpg|jmpl| Bodhisatwa [[Awalokiteswara]] yang sedang duduk. [[Buddhisme Gandhāra|Gandharan]], dari Loriyan Tangai. Periode [[Kekaisaran Kushan|Kushan]], abad ke-1 – ke-3 Masehi. Museum India, [[Kolkata|Kalkuta]]]]
[[Berkas:Karla_chaitya_stupa.JPG|jmpl| Kompleks gua yang terkait dengan aliran [[Mahāsāṁghika|Mahāsāṃghika]]. Gua Karla, [[Maharashtra|Mahārāṣtra]], India,]]


=== Asal-usul ===
Setelah terbentuknya persekutuan Biku dan Bikuni, Buddha menggariskan aturan-aturan disiplin tertentu yang disebut Vinaya sebagai pedoman bagi persekutuan tersebut. Semua ajarannya disebut Dhamma, termasuk juga wacana, sutra, khotbah kepada Biku, Bikuni dan orang biasa.
Asal-usul Mahāyāna masih belum sepenuhnya dipahami dan terdapat banyak teori yang saling bersaing.<ref name="Hirakawa Akira 1993, p. 260">Akira, Hirakawa (translated and edited by Paul Groner) (1993. ''A History of Indian Buddhism''. Delhi: Motilal Banarsidass: p. 260.</ref> Pandangan Barat yang paling awal tentang Mahāyāna berasumsi bahwa ia ada sebagai aliran terpisah yang bersaing dengan apa yang disebut aliran "[[Hinayana|Hīnayāna]]" ("Kendaraan Hina"; "Kendaraan Kecil"). Beberapa teori utama tentang asal usul Mahāyāna meliputi hal berikut:


'''Teori asal usul umat awam''' pertama kali dikemukakan oleh Jean Przyluski dan kemudian dipertahankan oleh Étienne Lamotte dan Akira Hirakawa. Pandangan ini menyatakan bahwa [[Upasaka-upasika|umat awam]] sangat penting dalam pengembangan Mahāyāna dan sebagian didasarkan pada beberapa teks seperti Vimalakirti Sūtra, yang memuji umat awam dengan mengorbankan kaum biksu.{{Sfn|Hirakawa|1990|p=271}} Teori ini tidak lagi diterima secara luas karena banyak karya Mahāyāna awal yang mempromosikan monastisisme dan asketisme.<ref name="Drewes-2010a">Drewes, David, ''Early Indian Mahayana Buddhism I: Recent Scholarship'', Religion Compass 4/2 (2010): 55–65, {{Doi|10.1111/j.1749-8171.2009.00195.x}}</ref><ref>"One of the most frequent assertions about the Mahayana is that it was a lay-influenced, or even lay-inspired and dominated, movement that arose in response to the increasingly closed, cold, and scholastic character of monastic Buddhism. This, however, now appears to be wrong on all counts...much of its [Hinayana's] program being in fact intended and designed to allow laymen and women and donors the opportunity and means to make religious merit." ''Macmillan Encyclopedia of Buddhism'' (2004): p. 494</ref>
== Persamuan Agung Pertama ==
Tiga bulan setelah Buddha Mahaparinibbana, pengikut terdekatnya menyelenggarakan persamuan di Rajagaha. Maha Kassapa, Biku yang paling dihormati dan dituakan, memimpin persamuan tersebut. Hadir pula, dua orang pengikut yang berkemampuan istimewa pada dua ajaran – Dhamma dan Vinaya(disiplin, etika). Satunya adalah Ananda, teman terdekat dan pengikut Buddha selama 25 tahun. Dikaruniai ingatan yang luar biasa, Ananda mampu mengulangi apa yang disampaikan oleh Buddha. Lainnya adalah Upali yang mengingat semua aturan-aturan Vinaya.
Aliiii oncon lily nawawi
Hanya dua ajaran tersebut – Dhamma dan Vinaya – yang dibawakan dalam Persamuan Pertama. Walaupun tidak ada perbedaan pendapat mengenai Dhamma (tidak termasuk Abhidhamma), terdapat beberapa diskusi mengenai aturan-aturan Vinaya. Sebelum Buddha parinibbana, ia memberitahu Ananda bahwa apabila Sangha ingin memperbaiki atau mengubah beberapa aturan tidak mendasar, mereka dapat melakukannya. Akan tetapi pada saat itu, Ananda sedang sangat berduka karena Buddha akan segera parinibbana sehingga Ia tidak menanyakan kepada Buddha aturan-aturan mana yang dimaksudnya tersebut. Karena anggota-anggota dari persamuan tidak mencapai kata sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan aturan-aturan tidak mendasar, Maha Kassapa akhirnya menetapkan bahwa aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Buddha tidak diubah dan tidak ada aturan baru yang ditambahkan. Tidak ada alasan-alasan yang diberikan untuk itu. Maha Kassapa mengatakan sesuatu, bahwa: “ Bila kita mengubah aturan-aturan, orang-orang akan berkata bahwa pengikut Yang Mulia Gautama telah mengubah aturan-aturan bahkan sebelum api pemakaman dinyalakan”.


'''Teori asal-usul Mahāsāṃghika''', yang menyatakan bahwa Mahāyāna berkembang dalam tradisi [[Mahāsāṁghika|Mahāsāṃghika]].<ref name="Drewes-2010a"/> Hal ini dibela oleh beberapa sarjana, seperti [[Johan Hendrik Caspar Kern|Hendrik Kern]], AK Warder, dan Paul Williams yang berpendapat bahwa setidaknya beberapa elemen Mahāyāna berkembang di antara komunitas Mahāsāṃghika (sejak abad ke-1 SM dan seterusnya), mungkin di daerah sepanjang [[Sungai Krishna|Sungai Kṛṣṇa]] di wilayah [[Andhra Pradesh|Āndhra]] di India selatan.<ref name="Xing65-66">Guang Xing. ''The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory.'' 2004. pp. 65–66 "Several scholars have suggested that the Prajñāpāramitā probably developed among the Mahasamghikas in Southern India, in the Andhra country, on the Krishna River."</ref><ref name="Williams-2009">Williams, Paul. ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations 2nd edition.'' Routledge, 2009, p. 47.</ref><ref name="Hirakawa Akira 1993, p. 263">Akira, Hirakawa (translated and edited by Paul Groner) (1993. ''A History of Indian Buddhism''. Delhi: Motilal Banarsidass: pp. 253, 263, 268</ref><ref name="Warder-1999">"The south (of India) was then vigorously creative in producing Mahayana Sutras"&nbsp;– Warder, A.K. (3rd edn. 1999). ''Indian Buddhism'': p. 335.</ref> Ajaran Mahāsāṃghika mengenai hakikat adiduniawi (''lokottara'') Buddha terkadang dianggap sebagai cikal bakal pandangan Mahāyāna mengenai Buddha.<ref name="Williams-2008f">Williams, Paul, ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations,'' Routledge, 2008, p. 21.</ref> Beberapa sarjana juga melihat tokoh-tokoh Mahāyāna, seperti [[Nagarjuna|Nāgārjuna]], Dignaga, [[Candrakirti|Candrakīrti]], Āryadeva, dan [[Bhavaviveka]] memiliki hubungan dengan aliran Mahāsāṃghika dari Āndhra.<ref>Padma, Sree. Barber, Anthony W. ''Buddhism in the Krishna River Valley of Andhra.'' SUNY Press 2008, p. 1.</ref> Namun, beberapa ilmuwan lain juga menyebutkan beberapa wilayah penting, seperti [[Gandhara]] dan India barat laut.<ref name="Karashima-2013">Karashima, 2013.</ref>{{Refn|Warder: "The sudden appearance of large numbers of (Mahayana) teachers and texts (in North India in the second century AD) would seem to require some previous preparation and development, and this we can look for in the South." Warder, A.K. (3rd edn. 1999). ''Indian Buddhism'': p. 335.}}<ref>Walser, Joseph, ''Nagarjuna in Context: Mahayana Buddhism and Early Indian Culture,'' Columbia University Press, 2005, p. 25.</ref>
Dalam persamuan, Dhamma terbagi atas beberapa bagian dan masing-masing bagian diserahkan kepada pengikut senior dan murid-muridnya untuk dihafalkan. Kemudian, Dhamma diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya secara lisan. Dhamma dibaca setiap hari oleh sekelompok murid yang sering memeriksa ulang satu sama lain untuk meyakinkan tidak ada yang terlewatkan atau ditambahkan. Para ahli sejarah sepakat bahwa tradisi penuturan lisan lebih akurat daripada tulisan yang dibuat oleh seseorang menurut apa yang diingatnya setelah beberapa tahun kejadian.


Seiring berjalannya waktu, teori asal usul Mahāsāṃghika juga terbukti bermasalah oleh para ilmuwan yang mengungkapkan bagaimana sutra-sutra Mahāyāna tertentu menunjukkan jejak-jejak yang berkembang di antara ''[[Sekolah Nikaya|nikāya-nikāya]]'' atau aliran monastik lain (seperti [[Dharmaguptaka]]).<ref>Williams, Paul, ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations,'' Routledge, 2008, p. 6.</ref> Oleh karena bukti-bukti tersebut, para sarjana, seperti Paul Harrison dan Paul Williams, berpendapat bahwa gerakan ini bukan gerakan sektarian dan mungkin bersifat pan-Buddhis.<ref name="Drewes-2010a"/><ref>Williams, Paul, ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations,'' Routledge, 2008, p. 16.</ref> Tidak ada bukti bahwa Mahāyāna pernah merujuk pada sebuah aliran atau sekte formal Buddhisme yang terpisah, namun lebih tepatnya bahwa aliran ini ada sebagai sekumpulan cita-cita tertentu, dan ajaran-ajaran selanjutnya, dengan penekanan pada jalan Bodhisatwa.<ref name="Nattier, Jan 2003 p. 193-1942">Nattier, Jan (2003), ''A few good men: the Bodhisattva path according to the Inquiry of Ugra'': pp. 193–194</ref>
== Persamuan Agung Kedua ==
Seratus tahun kemudian, persamuan kedua diadakan untuk mendiskusikan aturan-aturan Vinaya. Tidak ada kebutuhan untuk mengubah aturan-aturan tiga bulan setelah parinibbana-nya Buddha karena kecilnya perubahan politik, ekonomi atau sosial dalam periode sesingkat ini pada masa itu. Tetapi 100 tahun kemudian, beberapa biku melihat kebutuhan untuk mengubah beberapa aturan tidak mendasar. Biku yang ortodoks mengatakan bahwa tidak ada yang perlu diubah sedangkan lainnya ingin mengubah aturan-aturan tersebut. Akhirnya, sekelompok Biku meninggalkan persamuan dan mendirikan Mahasanghika – Kelompok Besar. Saat ketika masih dinamakan Mahasanghika, tidak dikenal yang namanya Mahayana. Dan pada persamuan kedua, hanya hal berhubungan dengan Vinaya yang yang didiskusikan dan tidak ada perdebatan mengenai Dhamma.


Sementara itu, '''"hipotesis hutan"''' menyatakan bahwa Mahāyāna muncul terutama di kalangan "[[Asketisisme|para petapa]] garis keras, anggota sayap penganut ajaran Buddha yang tinggal di hutan (''aranyavasin'')", yang berusaha meniru kehidupan Buddha di hutan.<ref>Drewes, David, The Forest Hypothesis in Paul Harrison, ed., ''Setting Out on the Great Way''. Equinox, 2018.</ref> Hal ini telah dipertahankan oleh Paul Harrison, Jan Nattier, dan Reginald Ray. Teori ini didasarkan pada sutra-sutra tertentu seperti Ugraparipṛcchā Sūtra dan Mahāyāna Rāṣṭrapālapaṛiprcchā yang mempromosikan praktik pertapaan di alam liar sebagai jalan yang unggul dan elit. Teks-teks ini mengkritik para biksu yang tinggal di kota dan merendahkan kehidupan di hutan.<ref name="Nattier, Jan 2003 p. 193-1942" /><ref>Williams (2008), pp. 33-34.</ref>
== Persamuan Agung Ketiga ==
Pada abad ke-3 SM masa pemerintahan Raja Asoka, persamuan ketiga diadakan untuk mendiskusikan perbedaan pendapat di antara Biku dari aliran-aliran berbeda. Pada persamuan ini, perbedaan-perbedaan tidak hanya dibatasi pada Vinaya tetapi juga berhubungan dengan Dhamma. Pada akhir dari persamuan ini, ketua persamuan, Monggaliputta Tissa, menulis satu buku berjudul Kathavatthu. Buku ini membuktikan adanya kesalahan mendasar serta pandangan dan teori yang salah yang dianut beberapa aliran. Ajarannya ini disetujui dan diterima persamuan ini sebagai Theravada. Abhidhamma Pitaka telah dimasukkan saat persamuan ini.


Kajian Jan Nattier tentang Ugraparipṛcchā Sūtra'', A few good men'' (2003), menyatakan bahwa sutra ini merupakan bentuk paling awal dari Mahāyāna, yang menyajikan jalan [[Bodhisatwa]] sebagai 'usaha yang sangat sulit' dari asketisme hutan monastik elit.<ref name="Drewes-2010a" /> Penelitian Boucher tentang ''Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra'' (2008) adalah karya terbaru lainnya tentang subjek ini.<ref>Boucher, Daniel, Bodhisattvas of the Forest and the Formation of the Mahāyāna: A Study and Translation of the.Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra. University of Hawaii Press, 2008</ref>
Setelah persamuan ketiga, anak Asoka, Biku Mahinda, membawa Tripitaka beserta penjelasan yang telah dibahas dalam persamuan ketiga ini ke Sri Lanka. Teks yang dibawa ini masih tersimpan sampai saat ini di Sri Lanka tanpa kehilangan satu halaman-pun. Teks tersebut ditulis dalam Pali. Teks ini berpedoman pada bahasa Magadhi yang digunakan Buddha. Belum dikenal dengan apa yang dinamakan Mahayana hingga periode ini.


'''Teori pemujaan kitab''', yang dibela oleh [[Gregory Schopen]], menyatakan bahwa Mahāyāna muncul di antara sejumlah kelompok biksu penyembah kitab yang saling terkait, yang mempelajari, menghafal, menyalin, dan memuja sutra-sutra Mahāyāna tertentu. Schopen berpendapat bahwa hal tersebut terinspirasi oleh tempat pemujaan yang menjadi tempat penyimpanan sutra Mahāyāna.<ref name="Drewes-2010a" /> Schopen juga berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini sebagian besar menolak pemujaan [[stupa]], atau pemujaan relik suci.
Beberapa sumber mengatakan bahwa diadakan persamuan Agung tandingan di pihak aliran bakal calon-Mahayana. Namun faktanya aliran tersebut di kemudian hari termasuk ke dalam aliran-aliran yang "kurang" mendukung Mahayana, bahkan dapat dikatakan bersaing dengan Mahayana di India utara.


David Drewes belakangan juga mengemukakan argumen yang menentang semua teori utama yang diuraikan di atas. Dia menunjukkan bahwa tidak ada bukti nyata atas keberadaan tempat pemujaan kitab, bahwa praktik pemujaan sutra bersifat pan-Buddhis dan tidak khas Mahāyāna. Lebih jauh, Drewes berpendapat bahwa "sutra-sutra Mahāyāna lebih sering menganjurkan praktik-praktik mnemik/lisan/pendengaran daripada yang tertulis."<ref name="Drewes-2010a" /> Mengenai hipotesis hutan, ia menunjukkan bahwa hanya sedikit sutra Mahāyāna yang secara langsung menganjurkan tinggal di hutan, sementara yang lain tidak menyebutkannya atau melihatnya sebagai hal yang tidak membantu, mempromosikan praktik-praktik yang lebih mudah seperti "hanya mendengarkan sutra, atau memikirkan Buddha-Buddha tertentu, yang mereka klaim dapat memungkinkan seseorang untuk terlahir kembali di '[[Buddhisme Tanah Murni|tanah suci]]' yang istimewa dan mewah di mana seseorang akan mampu membuat kemajuan yang mudah dan cepat di jalan Bodhisatwa dan mencapai Kebuddhaan setelah hanya satu kehidupan."<ref name="Drewes-2010a" />
== Munculnya Mahayana ==
Antara abad 1 SM hingga 1 M, kedua istilah Mahayana dan Hinayana muncul di Sutra Saddharma Pundarika atau Sutra Teratai Ajaran Kebajikan.


Drewes menyatakan bahwa bukti-bukti yang ada hanya menunjukkan bahwa "Mahāyāna pada dasarnya adalah sebuah gerakan tekstual, yang berfokus pada pewahyuan, pengajaran, dan penyebaran [[Sutra Mahayana|sutra-sutra Mahāyāna]], yang berkembang dalam, dan tidak pernah benar-benar meninggalkan, struktur sosial dan kelembagaan Buddhis tradisional."<ref name="Drewes-2010">Drewes, David, Early Indian Mahayana Buddhism II: New Perspectives, ''Religion Compass'' 4/2 (2010): 66–74, {{Doi|10.1111/j.1749-8171.2009.00193.x}}</ref> Drewes menunjukkan pentingnya ''dharmabhanaka'' (ahli dharma, pembaca sutra-sutra ini) dalam sutra-sutra Mahāyāna awal. Tokoh ini banyak dipuji sebagai sosok yang harus dihormati, dipatuhi ('bagaikan seorang hamba melayani tuannya'), dan diberi sumbangan, sehingga mungkin saja orang-orang ini merupakan agen utama gerakan Mahāyāna.<ref name="Drewes-2010" />
Kira-kira pada abad ke-2 M, Mahayana barulah didefinisikan secara jelas. Nagarjuna mengembangkan filosofi “kekosongan” Mahayana dan membuktikan bahwa segala sesuatunya adalah “Kosong” dalam buku kecil “Madhyamika-karika”. Kira-kira pada abad ke-4, Asanga dan Vasubandhu banyak menulis buku-buku Mahayana. Setelah abad ke-1 M, kaum Mahayana meneguhkan pendiriannya dan setelahnya istilah Mahayana dan Hinayana mulai dikenal.


== Pandangan dunia ==
Pada abad ke-7, bhiksu asal Tiongkok, I-Tsing, menggambarkan situasi di India saat itu dengan kata-kata, "... Siapapun yang memuja Bodhisattva dan mempelajari sutra Mahayana disebut Mahayanist, sedangkan yang tidak disebut Hinayanist..." sedemikian sederhananya. Maka pada dasarnya dapat kita simpulkan bahwa istilah Hinayana tidak merujuk pada suatu aliran tertentu.
[[Berkas:Ming_Bronze_Vairocana_Buddha.jpg|jmpl| Patung perunggu Buddha [[Vairocana|Mahāvairocana]] dari Dinasti Ming yang menggambarkan tubuhnya tersusun dari banyak Buddha lainnya.]]
[[Berkas:Prajnaparamita_with_Devotees,_Folio_from_a_Shatasahasrika_Prajnaparamita_(The_Perfection_of_Wisdom_in_100,000_Verses)_LACMA_M.81.90.6_(3_of_6).jpg|jmpl| Bodhisatwa wanita bernama Prajñaparamita Devi.]]
=== Benih Kebuddhaan ===
[[Berkas:Reliquary,_Kamakura_period,_13th-14th_century,_cintamani_(sacred_jewel)_in_flame_type,_gilt_bronze_-_Tokyo_National_Museum_-_DSC05173.JPG|jmpl| Sebuah relikui dari periode Kamakura yang dihiasi dengan [[cintamani]] (permata pengabul keinginan). Teks tentang benih Kebuddhaan sering kali menggunakan metafora tentang permata (yakni benih Kebuddhaan) yang dimiliki oleh semua makhluk, namun tidak mereka sadari.]]
Ajaran ''embrio [[Tathāgata]]'' atau ''rahim Tathāgata ([[Tathāgatagarbha]]),'' juga dikenal sebagai ''benih Kebuddhaan'' dan ''matriks atau prinsip Kebuddhaan'' ([[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]] : ''Buddha-dhātu''), merupakan suatu ajaran penting dalam semua aliran Mahāyāna modern, meskipun ditafsirkan dalam banyak cara yang berbeda. Secara umum, hakikat Kebuddhaan berkaitan dengan penjelasan terkait sesuatu yang menjadikan makhluk-makhluk hidup menjadi seorang Buddha.<ref name="Williams and Tribe 2002, p. 160">Williams and Tribe (2002), p. 160.</ref> Sumber paling awal untuk gagasan ini mungkin termasuk [[Sūtra Tathāgatagarbha|Tathāgatagarbha Sūtra]] dan [[Mahāyāna Mahāparinirvāṇa Sūtra]].<ref>Paul Williams, ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations'', Second Edition, Routledge, Oxford, 2009, p. 317</ref><ref name="Williams and Tribe 2002, p. 160" /> Teks Mahāparinirvāṇa Mahāyāna mengacu pada "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha",<ref>Kevin Trainor, ''Buddhism: The Illustrated Guide'', Oxford University Press, 2004, p. 207</ref> dan juga menggambarkannya sebagai 'Diri' (''[[Atman (Buddhisme)|ātman]]'').<ref name="web.archive.org">Zimmermann, Michael (2002), [https://web.archive.org/web/20131111023508/http://iriab.soka.ac.jp/orc/Publications/BPPB/pdf/BPPB-06.pdf ''A Buddha Within: The Tathāgatagarbhasūtra''], Biblotheca Philologica et Philosophica Buddhica VI, The International Research Institute for Advanced Buddhology, Soka University, pp. 82–83</ref>


David Seyfort Ruegg menjelaskan konsep ini sebagai dasar atau pendukung bagi praktik sang Jalan, dan dengan demikian merupakan "penyebab" (''hetu'') bagi buah Kebuddhaan.<ref name="Williams and Tribe 2002, p. 160" /> Sutra Tathāgatagarbha menyatakan bahwa di dalam kekotoran-kekotoran ditemukan "kebijaksanaan Sang ''[[Tathāgata]]'', penglihatan Sang ''Tathāgata'', dan tubuh Sang ''Tathāgata''...yang tidak pernah ternoda, dan...penuh dengan kebajikan-kebajikan yang tidak berbeda dengan milikku...para ''tathagatagarbha'' dari semua makhluk adalah abadi dan tidak berubah".<ref name="Williams and Tribe 2002, p. 162">Williams and Tribe (2002), p. 162.</ref>
Hinayana dan Theravada bukanlah suatu istilah yang sama. Theravada mengacu pada Buddhisme yang masuk ke Sri Lanka menjelang abad ke-3 SM di saat belum ada Mahayana pada masa itu. Aliran Hinayana dikembangkan di India dan terlepas eksistensi dari aliran Buddhisme yang ada di Sri Lanka. Saat sekarang tidak ada lagi aliran Hinayana di belahan dunia manapun. Oleh karena itu, pada tahun 1950 World Fellowship of Buddhists yang dibentuk di Kolombo secara mutlak memutuskan bahwa istilah Hinaya harus dikeluarkan bila mengacu pada Buddhisme yang ada sekarang di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan lainnya. Inilah sejarah singkat mengenai Theravada, Mahayana dan Hinayana.


Gagasan-gagasan yang ditemukan dalam literatur tentang benih-benih Kebuddhaan merupakan sumber dari banyak perdebatan dan perselisihan di antara para filsuf Buddhisme Mahāyāna serta akademisi modern.<ref>Williams, Paul, Buddhist Thought: A Complete Introduction to the Indian Tradition, 2002, pp. 103, 108.</ref> Beberapa cendekiawan melihat hal ini sebagai pengaruh dari tradisi Brahmana [[Agama Hindu|Hinduisme]], dan beberapa sutra ini mengakui bahwa penggunaan istilah 'Diri' (''ātman'') sebagian dilakukan untuk memenangkan hati para prtapa non-Buddhis (dengan kata lain, ini adalah ''upaya-kausalya'' atau ''cara yang terampil'').<ref>Williams, Paul, Buddhist Thought: A Complete Introduction to the Indian Tradition, 2002, p. 109.</ref><ref>Shiro Matsumoto, Critiques of Tathagatagarbha Thought and Critical Buddhism</ref> Menurut beberapa cendekiawan, hakikat Kebuddhaan yang dibahas dalam beberapa sutra Mahāyāna tidak mewakili suatu diri substansial (''[[Atman|ātman]]'') yang dikritik oleh Sang Buddha; sebaliknya, hakikat Buddha merupakan suatu ekspresi positif dari [[Śūnyatā|kekosongan]] (''śūnyatā'') dan mewakili potensi untuk mencapai Kebuddhaan melalui praktik-praktik Buddhis.<ref>{{Cite web|date=October 23, 2007|title=The Significance Of 'Tathagatagarbha' --|url=http://zencomp.com/greatwisdom/ebud/ebdha191.htm|archive-url=https://web.archive.org/web/20071023073728/http://zencomp.com/greatwisdom/ebud/ebdha191.htm|archive-date=2007-10-23}}</ref> Williams juga berpendapat bahwa ajaran ini pada awalnya tidak membahas masalah ontologis, tetapi membahas "masalah keagamaan tentang realisasi potensi spiritual seseorang, dorongan, dan semangat."<ref name="Williams and Tribe 2002, p. 162" />
== Mahayana dan Theravada ==
Perlu dicatat bahwa tidak ada perbedaan mendasar di antara ajaran Mahayana dan Theravada. Hal ini bisa dicermati dari ajaran yang sama persis mengenai:
* Diakuinya Buddha Sakyamuni sebagai Guru
* Empat Kesunyataan Mulia
* Delapan Jalan Tengah
* Paticca-Samuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan
* Keduanya tidak mengakui adanya mahluk yang menciptakan atau mengatur dunia ini
* Keduanya menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna


Genre sutra yang mengulas "benih Kebuddhaan" dapat dilihat sebagai usaha untuk menyatakan ajaran Buddha dengan menggunakan bahasa positif, namun tetap mempertahankan jalan tengah, untuk mencegah orang menjauh dari Buddhisme karena kesan keliru tentang nihilisme.<ref>King, Sallie B. [https://web.archive.org/web/20070927131119/http://www.nanzan-u.ac.jp/SHUBUNKEN/publications/nlarc/pdf/Pruning%20the%20bodhi%20tree/Pruning%209.pdf ''The Doctrine of Buddha-Nature is impeccably Buddhist'']. In: Jamie Hubbard (ed.), Pruning the Bodhi Tree: The Storm Over Critical Buddhism, Univ of Hawaii Press 1997, pp. 174–179. {{ISBN|0-8248-1949-7}}</ref> Inilah posisi yang dianut di [[Sutra Lankawatara|Sūtra Laṅkāvatāra]], yang menyatakan bahwa para Buddha mengajarkan ajaran ''tathāgatagarbha'' (yang terdengar mirip dengan ''ātman'') untuk membantu makhluk-makhluk yang terikat pada gagasan ''anātman''. Namun, sutra tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa ''tathāgatagarbha'' adalah kosong dan sebenarnya bukan suatu diri yang substansial.<ref>Daisetz T. Suzuki, tr. ''The 'Lankavatara Sutra','' Parajna Press, Boulder, 1978, pp.69.</ref><ref>Williams and Tribe (2002), p. 164.</ref>
Ajaran di atas adalah ajaran paling mendasar dalam Buddhisme.


Pandangan berbeda dipertahankan oleh berbagai sarjana modern seperti Michael Zimmermann. Pandangan ini adalah gagasan bahwa sutra-sutra dengan penjelasan terkait benih-benih Kebuddhaan, seperti Sūtra [[Mahāyāna Mahāparinirvāṇa Sūtra|Mahāparinirvāṇa]] dan Tathāgatagarbha, mengajarkan visi afirmatif tentang Diri Kebuddhaan yang kekal dan tidak dapat dihancurkan.<ref name="web.archive.org" /> Shenpen Hookham, seorang sarjana dan lama barat melihat benih Kebuddhaan sebagai Diri Sejati yang nyata dan permanen.<ref>Hookham, Shenpen (1991). ''The Buddha Within''. State University of New York Press: p.&nbsp;104, p.&nbsp;353</ref> Demikian pula, CD Sebastian memahami pandangan [[Ratnagotravibhāga]] tentang topik ini sebagai diri transendental yang merupakan "esensi unik dari alam semesta".<ref>Sebastian, C.D. (2005), ''Metaphysics and Mysticism in Mahayana Buddhism''. Delhi: Sri Satguru Publications: p. 151; cf. also p. 110</ref>
Terdapat beberapa hal yang membuat keduanya berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa Mahayana adalah untuk mencapai Bodhisattva yang membuka jalan menuju Kebuddhaan, di mana Theravada adalah untuk mencapai Arahat. Perlu digarisbawahi bahwa Buddha adalah juga seorang Arahat. Pacceka Buddha juga adalah Arahat. Seseorang pengikut bisa juga menjadi Arahat. Teks Mahayana tidak pernah menggunakan istilah Arahant-yana, jalan Arahat. Tetapi menggunakan tiga istilah: Boddhisattvayana, Prateka-Buddhayana dan Sravakayana. Dalam tradisi Theravada, ketiganya dikenal sebagai Bodhi.


=== Argumen terhadap keaslian ===
Ada yang berpendapat bahwa Theravada adalah egois karena mengajarkan orang untuk menyelamatkan diri sendiri. Apakah orang egois bisa mencapai Penerangan? Kedua aliran sama-sama menganut tiga yana atau bodhi tetapi menganggap Boddhisattva sebagai pencapaian tertinggi. Mahayana menciptakan Bodhisattva-Bodhisattva sedangkan Theravada menganggap seorang Bodhisattva adalah salah satu di antara kita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencapai kesempurnaan, yang tujuan utamanya adalah Penerangan Sempurna untuk kebahagiaan mahluk di dunia. Teks-teks Mahayana sendiri menyebutkan bahwa tujuan para Bodhisattva ialah mencapai ke-Buddha-an demi menolong semua mahkluk, karena hanya dengan menjadi Buddha yang sempurna maka seseorang memiliki kemampuan mencerahkan mahkluk lain. Tanpa diri sendiri mencapai pencerahan terlebih dahulu, bagaimana mungkin dapat mencerahkan mahkluk lain?
Umat Buddha Mahāyāna India menghadapi berbagai kritik dari non-Mahāyānis mengenai keaslian ajaran mereka. Kritik utama yang mereka hadapi adalah bahwa ajaran Mahāyāna tidak diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi diciptakan oleh tokoh-tokoh belakangan.<ref name="Sree Padma 2008. p. 68">Sree Padma. Barber, Anthony W. ''Buddhism in the Krishna River Valley of Andhra.'' 2008. p. 68.</ref><ref>Werner et al. (2013). ''The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana.'' pp. 89, 93. Buddhist Publication Society.</ref> Banyak kitab Mahāyāna membahas masalah ini dan mencoba membela kebenaran dan keaslian Mahāyāna dengan berbagai cara.<ref name="Werner-2013">Werner et al. (2013). ''The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana.'' pp. 89-90, 211-212, 227. Buddhist Publication Society.</ref>


Salah satu gagasan yang dikemukakan oleh kitab-kitab Mahāyāna adalah bahwa ajaran-ajaran Mahāyāna diajarkan kemudian karena kebanyakan orang tidak mampu memahami sutra-sutra Mahāyāna pada masa Sang Buddha dan bahwa orang-orang baru siap mendengarkan Mahāyāna pada masa-masa berikutnya.<ref>"Though the Buddha had taught [the Mahayana sutras] they were not in circulation in the world of men at all for many centuries, there being no competent teachers and no intelligent enough students: the sutras were however preserved in the Dragon World and other non-human circles, and when in the 2nd century AD adequate teachers suddenly appeared in India in large numbers the texts were fetched and circulated. ... However, it is clear that the historical tradition here recorded belongs to North India and for the most part to Nalanda (in Magadha)." AK Warder, ''Indian Buddhism'', 3rd edition, 1999</ref> Beberapa catatan tradisional menyatakan bahwa sutra Mahāyāna disembunyikan atau dijaga dengan aman oleh makhluk-makhluk suci seperti [[Naga (mitologi India)|Naga]] atau Bodhisatwa hingga tiba saatnya untuk disebarkan.<ref>{{Cite book|last=Li|first=Rongxi|year=2002|title=Lives of Great Monks and Nuns|location=Berkeley, California|publisher=BDK|pages=23–4}}</ref><ref>{{Cite book|last=Tārānātha|date=2010|title=Tāranātha's History of Buddhism in India.|publisher=Motilal Banarsidass Publ|isbn=978-81-208-0696-2|page=90|oclc=1073573698}}</ref>
Dengan makin terbukanya informasi, saat ini makin banyak teks-teks Pali yang dapat diakses. Dan terbukti dalam tradisi Pali pun dapat ditemukan teks-teks mengenai jalan Bodhisattva dalam kumpulan cerita Jataka dan kitab komentar yang menyebutkan mengenai berbagai jenis Bodhi. Jadi, Theravada juga mengenal jalan Bodhisatta, jalan Sammasambodhi, setidaknya dalam bentuk kisah penyempurnaan 10 Parami. Ketidakpopuleran ide sammasambodhi ini tidaklah serta merta berarti Theravada tidak mengenal jalan Bodhisatta.


Demikian pula, beberapa sumber juga menyatakan bahwa ajaran Mahāyāna diungkapkan oleh Buddha, Bodhisatwa, dan [[Dewa (Buddhisme)|dewa]] lain kepada sejumlah individu terpilih (sering kali melalui penglihatan atau mimpi).<ref name="Werner-2013" /> Beberapa ilmuwan melihat adanya hubungan antara gagasan ini dengan praktik meditasi Mahāyāna yang melibatkan visualisasi para Buddha dan tanah suci para Buddha.<ref>Williams, (2008), pp. 40–41.</ref>
Para guru besar berbagai aliran saat ini juga mengajarkan bahwa semua aliran Buddhis memiliki pendekatan berbeda, tetapi pada akhirnya akan mencapai realisasi yang sama. Bila debat filosofis terus dilanjutkan tentu semua aliran akan terus berpegang pada pandangan masing-masing. Akan tetapi saat semua melihat ke dalam realita, pengalaman langsung yang didapat dari praktik meditasi, maka semua akan mengalami realita yang demikian tak terbantahkan, anicca-anatta, pandangan terang yang mengakhiri dukkha.


Argumen lain yang digunakan Buddhis Mahāyāna India dalam mendukung Mahāyāna adalah bahwa ajarannya benar dan menuntun pada pencerahan karena sejalan dengan Dharma. Oleh karena itu, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan “diucapkan dengan baik” (''subhasita)'', dan dengan demikian, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan sebagai sabda Sang Buddha dalam pengertian ini. Gagasan bahwa apa pun yang “diucapkan dengan baik” adalah sabda Sang Buddha dapat ditelusuri kembali ke kitab-kitab Buddhis paling awal, namun gagasan ini ditafsirkan lebih luas dalam Mahāyāna.<ref>Williams, (2008), pp. 41-42.</ref> Dari sudut pandang Mahāyāna, sebuah ajaran adalah “sabda Sang Buddha” karena ajaran tersebut sesuai dengan [[Dharma]], bukan karena ajaran tersebut diucapkan oleh seorang individu tertentu (misalnya [[Siddhattha Gotama|Gautama]]).<ref>Hsuan Hua. ''The Buddha speaks of Amitabha Sutra: A General Explanation.'' 2003. p. 2</ref> Gagasan ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan [[Shantideva]] (abad ke-8), yang berpendapat bahwa sebuah “ucapan yang diilhami” adalah sabda Buddha jika ucapan tersebut “berhubungan dengan kebenaran”, “berhubungan dengan Dharma”, “menimbulkan pelepasan ''[[Kilesa|klesha]]'' ("pengotor batin"), bukan peningkatannya” dan “menunjukkan kualitas-kualitas terpuji dari [[Nirwana]], bukan kualitas-kualitas [[samsara]]”.<ref>Williams, (2008), p. 41.</ref>
== Tiga jenis Kebuddhaan ==
Terdapat tiga jenis Buddha, yaitu: Samma Sambuddha yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri, Pacceka Buddha pada tingkat lebih rendah daripada Samma Sambuddha, dan Savaka Buddha yang adalah Arahat. Pencapaian Nibbana di antara ketiganya adalah sama. Hanya ada perbedaan untuk Samma Sambuddha yang mempunyai tingkatan dan kemampuan lebih dibanding keduanya.


Sarjana Buddhis Zen Jepang modern, [[D.T. Suzuki|DT Suzuki]], berpendapat serupa bahwa, meskipun sutra Mahāyāna mungkin tidak diajarkan secara langsung oleh Buddha historis, "semangat dan gagasan utama" Mahāyāna berasal dari Buddha sendiri. Menurut Suzuki, Mahāyāna berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman dengan mengembangkan ajaran dan berbagai kitab baru, sambil mempertahankan semangat Sang Buddha.<ref>Daisetz Teitaro Suzuki (1907). ''Outlines of Mahaŷâna Buddhism'', pp. 13-16.</ref>
Beberapa orang berpikiran bahwa “Kosong” atau Sunyata yang diajarkan oleh Nagarjuna adalah murni ajaran Mahayana. Ide ini pada dasarnya muncul dari konsep Anatta atau “Tanpa-Aku”, dalam Patticasamuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan, yang ditemukan dalam teks asli Pali Theravada. Suatu ketika Ananda bertanya kepada Buddha, “Orang-orang mengatakan kata Sunya. Apakah Sunya itu?” Buddha menjawab, ”Ananda, artinya adalah tiada aku, atau apapun yang berhubungan dengan aku di dunia ini. Oleh karena itu, dunia adalah kosong.” Ajaran ini diambil oleh Nagarjuna ketika ia menulis karya luar biasanya, “Madhyamika Karika”. Di samping ajaran Sunyata adalah konsep penyimpanan-kesadaran dari Mahayana yang berakar dari teks Theravada. Kaum Mahayana telah mengembangkannya ke dalam psikologi dan filosofi yang dalam.


=== Klaim keunggulan ===
Penelusuran teks-teks karya Nagarjuna menunjukkan bahwa motivasi Nagarjuna mengembangkan ajaran Sunyata adalah demi menegaskan kembali ajaran Buddha. Ajaran Sunyata Nagarjuna disebut juga filosofi Jalan Tengah (Madhyamika), karena Nagarjuna menekankan bahwa Sunyata (Anatta) itu bebas dari ekstrem pandangan nihilisme dan eternalisme. Nagarjuna mengajarkan pentingnya memahami Sunyata dan Patticasamuppada sebagai satu kesatuan dalam filosofi Dua Kebenaran yang tak terpisahkan, yaitu kebenaran relatif dan mutlak.
Mahāyāna sering melihat dirinya sebagai suatu aliran yang menembus lebih jauh dan lebih mendalam ke dalam [[Dharma]] dari Sang Buddha. Sebuah komentar India untuk Mahāyānasaṃgraha memberikan klasifikasi ajaran Buddha menurut kemampuan pendengarnya:<ref>Hamar, Imre. ''Reflecting Mirrors: Perspectives on Huayan Buddhism.'' 2007. p. 94</ref>
{{Blockquote|Menurut tingkatan murid, Dharma diklasifikasikan menjadi rendah dan tinggi. Misalnya, tingkat rendah diajarkan kepada para pedagang [[Trapusa dan Bahalika|Trapuṣa dan Ballika]] karena mereka adalah orang biasa; tingkat menengah diajarkan kepada kelompok lima karena mereka berada pada tahap orang suci; delapan ''Prajñāpāramitā'' diajarkan kepada para bodhisatwa, dan [''Prajñāpāramitā''] lebih tinggi dalam melenyapkan bentuk-bentuk yang dibayangkan secara konseptual.|source=Vivṛtaguhyārthapiṇḍavyākhyā}}
Ada pula kecenderungan dalam sutra-sutra Mahāyāna untuk menganggap kepatuhan terhadap sutra-sutra ini akan menghasilkan manfaat-manfaat spiritual yang lebih besar daripada manfaat-manfaat yang muncul karena menjadi pengikut pendekatan-pendekatan non-Mahāyāna. Demikian pula halnya dengan [[Śrīmālādevī Siṃhanāda Sūtra|Sutra Siṃhanāda Śrīmālādevī]] yang menyatakan bahwa Sang Buddha berkata bahwa pengabdian kepada Mahāyāna pada hakikatnya lebih unggul dalam hal kebajikan dibandingkan mengikuti jalan [[Sāvaka|''śrāvaka'']] atau ''pratyekabuddha''.<ref>Hookham, Dr. Shenpen, trans. (1998). ''The Shrimaladevi Sutra''. Oxford: Longchen Foundation: p. 27</ref>


Komentar atas kitab [[Abhidharmasamuccaya]] memberikan tujuh alasan berikut untuk "kebesaran" atau "keunggulan" Mahayana:<ref>Werner, Karel; Samuels, Jeffrey; Bhikkhu Bodhi; Skilling, Peter; Bhikkhu Anālayo, McMahan, David (2013) ''The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana,'' p. 97. Buddhist Publication Society.</ref>
== Referensi ==

{{reflist}}
# Keagungan dukungan (''ālambana''): jalan Bodhisatwa didukung oleh ajaran tak terbatas dari ''Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam Seratus Ribu Syair'' dan kitab lainnya;
# Keagungan praktik (''pratipatti''): praktik komprehensif untuk memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain (''sva-para-artha'');
# Keagungan pemahaman (''jñāna''): dari pemahaman akan ketiadaan diri dalam diri orang dan fenomena (''pudgala-dharma-nairātmya'');
# Keagungan energi (''vīrya''): dari pengabdian kepada ratusan ribu tugas sulit selama tiga aeon besar yang tak terhitung (''mahākalpa'');
# Keagungan akal budi (''upāyakauśalya''): karena tidak mengambil pendirian dalam Saṃsāra atau Nirvāṇa;
# Keagungan pencapaian (''prāpti''): karena pencapaian kekuatan tak terukur dan tak terhitung (''bala''), keyakinan (''vaiśāradya''), dan dharma yang unik bagi para Buddha (''āveṇika-buddhadharma'');
# Keagungan perbuatan (''karma''): karena berkehendak melakukan perbuatan seorang Buddha hingga akhir samsara dengan memperlihatkan pencerahan, dsb.

== Hubungannya dengan Theravāda ==

=== Peran Bodhisatwa ===
Dalam [[Kitab Buddhis awal|kitab-kitab Buddhis awal]], dan seperti diajarkan oleh aliran [[Theravāda|Theravada]] modern, tujuan menjadi seorang Buddha yang mengajar di kehidupan mendatang dipandang sebagai tujuan sekelompok kecil individu yang berusaha memberi manfaat bagi generasi mendatang setelah ajaran Buddha saat ini telah hilang, tetapi di masa sekarang ini tidak ada kebutuhan bagi sebagian besar praktisi untuk bercita-cita mencapai tujuan ini. Namun, kitab-kitab Theravada menyatakan bahwa tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang lebih berbudi luhur.<ref>Harvey, Peter (2000). ''An Introduction to Buddhist Ethics''. Cambridge University Press: p. 123.</ref>

Paul Williams menulis bahwa beberapa guru meditasi Theravada modern di [[Thailand]] secara populer dianggap sebagai Bodhisatwa oleh masyarakat awam.<ref>Paul Williams, ''Mahāyāna Buddhism: The Doctrinal Foundations.'' Taylor & Francis, 1989, p. 328.</ref>

{{Blockquote|Cholvijarn mengamati bahwa tokoh-tokoh terkemuka yang terkait dengan [[Gerakan Dhammakaya|gerakan Dhammakaya]] di Thailand sering kali terkenal di luar kalangan akademis, di antara masyarakat luas, sebagai guru meditasi Buddhis dan sumber keajaiban, serta [[jimat]] suci. Seperti mungkin beberapa biksu pertapa hutan Mahāyāna awal, atau Tantra Buddha kemudian, mereka telah menjadi orang-orang yang berkuasa melalui pencapaian meditasi mereka. Mereka sangat dihormati, dipuja, dan dianggap sebagai arahat atau (perlu dicatat!) bodhisatwa.}}

=== Theravāda dan Hīnayāna ===
Pada abad ke-7, biksu Buddhis Tiongkok, [[Xuanzang]], menjelaskan keberadaan tradisi Mahāvihara dan Abhayagiri Vihara yang hadir bersama-sama di [[Sri Lanka]]. Ia menyebut para biksu Mahāvihara sebagai "Hīnayāna Sthavira" (''Thera''), dan para biksu Abhayagiri Vihara sebagai "Mahāyāna Sthavira".<ref>{{Cite book|last=Baruah|first=Bibhuti|date=2000|url=https://archive.org/details/bub_gb_s1PZAMD13SMC|title=Buddhist Sects and Sectarianism|publisher=Sarup & Sons|isbn=978-81-7625-152-5|page=[https://archive.org/details/bub_gb_s1PZAMD13SMC/page/n61 53]}}</ref> Xuanzang lebih lanjut menulis:<ref>Hirakawa, Akira. Groner, Paul. ''A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna.'' 2007. p. 121</ref>
{{Blockquote|Penganut tradisi Mahāvihāravāsin menolak ajaran Mahāyāna dan mempraktikkan ajaran Hīnayāna, sedangkan penganut tradisi Abhayagirivihāravāsin mempelajari ajaran Hīnayāna dan Mahāyāna serta menyebarkan ''[[Tripiṭaka]]''.}}
Aliran Theravāda modern biasanya digambarkan sebagai Hīnayāna.<ref>{{Cite book|last=Monier-Williams|first=Sir Monier|year=1889|url=https://books.google.com/books?id=uiUVAAAAYAAJ&q=Buddhism|title=Buddhism in Its Connexion with Brāhmanism and Hindūism: And in Its Contrast with Christianity|publisher=John Murray}}</ref><ref name="gombrich">{{Cite book|last=Gombrich|first=Richard Francis|year=2006|url=https://books.google.com/books?id=n44jqZP8y7wC&pg=PA83|title=Theravāda Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo|publisher=Psychology Press|isbn=978-0-415-07585-5|page=83}}</ref><ref>Collins, Steven. 1990. ''Selfless Persons: Imagery and Thought in Theravāda Buddhism''. p. 21</ref><ref name="gellner">{{Cite book|last=LeVine|first=Sarah|last2=Gellner|first2=David N.|date=2005|title=Rebuilding Buddhism: The Theravada Movement in Twentieth-Century Nepal|publisher=Harvard University Press|isbn=978-0-674-04012-0|page=14}}</ref><ref>Swearer, Donald (2006). Theravada Buddhist Societies. In: Juergensmeyer, Mark (ed.) ''The Oxford Handbook of Global Religions'': p. 83</ref> Beberapa penulis berpendapat bahwa Theravāda seharusnya tidak dianggap sebagai Hīnayāna dari sudut pandang Mahāyāna. Pandangan mereka didasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang konsep Hīnayāna. Daripada menganggap istilah ini merujuk pada aliran Buddhisme yang tidak menerima kanon dan ajaran Mahāyāna, seperti yang berkaitan dengan peran Bodhisatwa,<ref name="gombrich" /><ref name="gellner" /> para penulis ini berpendapat bahwa penggolongan aliran "Hīnayāna" harus bergantung pada kepatuhan pada posisi fenomenologis tertentu. Mereka menunjukkan bahwa, tidak seperti aliran [[Sarvāstivāda]] yang sekarang sudah punah yang merupakan objek utama kritik oleh Mahāyāna, Theravāda tidak mengklaim keberadaan [[Dharma|entitas]] independen (''dharma''); dalam hal ini, Theravāda mempertahankan sikap Buddhisme awal.<ref>Hoffman, Frank J. and Mahinda, Deegalle (1996). ''Pali Buddhism.'' Routledge Press: p. 192.</ref><ref>King, Richard (1999). ''Indian Philosophy: An Introduction to Hindu and Buddhist Thought.'' Edinburgh University Press: p. 86.</ref><ref>Nyanaponika, Nyaponika Thera, Nyanaponika, Bhikkhu Bodhi (1998). ''Abhidhamma Studies: Buddhist Explorations of Consciousness and Time.'' Wisdom Publications: p. 42.</ref>

Penganut Buddhisme Mahāyāna tidak setuju dengan pemikiran substansialis dari para Sarvāstivādin dan Sautrāntika, dan dalam menekankan ajaran [[Śūnyatā|kekosongan]], Kalupahana berpendapat bahwa mereka berusaha untuk melestarikan ajaran awal.<ref>Kalupahana, David (2006). ''Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna.'' Motilal Banarsidass: p. 6.</ref> Kaum Theravādin pun membantah kaum Sarvāstivādin dan Sautrāntika (serta aliran-aliran lain) dengan alasan bahwa teori-teori mereka bertentangan dengan non-substansialisme dari Kanon. Argumen Theravāda dipertahankan dalam kitab [[Kathāvatthu]].<ref>Kalupahana, David (2006). ''Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna.'' Motilal Banarsidass: p. 24.</ref>

Beberapa tokoh Theravādin kontemporer telah menunjukkan sikap simpatik terhadap filsafat Mahāyāna yang ditemukan dalam teks-teks seperti [[Sutra Hati]] (Sanskerta: ''Prajñāpāramitā Hṛdaya'') dan ''[[Mulamadhyamakakarika|Bait-Bait Dasar Nāgārjuna tentang Jalan Tengah]]'' (Sanskerta: ''Mūlamadhyamakakārikā'').<ref>Lopez, Donald S. and Dge-ʼdun-chos-ʼphel (2006). ''The Madman's Middle Way: Reflections on Reality of the Tibetan Monk Gendun Chopel.'' University of Chicago Press: p. 24.</ref><ref>{{Cite web|last=Fronsdal|first=Gil|date=8 November 2007|title=Tricycle Q & A: Gil Fronsdal|url=http://www.tricycle.com/issues/web_exclusive/4218-1.html|website=Tricycle|archive-url=https://web.archive.org/web/20080225132521/http://www.tricycle.com/issues/web_exclusive/4218-1.html|archive-date=25 February 2008|access-date=10 October 2008}}</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Agama Buddha]]
:* [[Theravada|Theravada - Hinayana]]
:* [[Vajrayana|Tantrayana - Vajrayana]]
* [http://www.fpmt.org/teachers/zopa/advice/goldenlight.asp Golden Light Sutra]
{{Buddhisme-topik}}


* [[Kebuddhaan]]
[[Kategori:Buddhisme]]
* [[Sutra Teratai]]
* [[Awalokiteswara]]
* [[Amitabha]]

== Catatan ==
<references group="note" responsive="1"></references>
== Referensi ==
<references />
== Daftar pustaka ==
{{refbegin}}
* {{Citation|last1=Hirakawa|first1=Akira|title=A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna|date=1990|publisher=[[University of Hawaii Press]]|hdl=10125/23030|others=Edited and translated by Paul Groner|url=https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/23030|isbn=0-8248-1203-4|access-date=17 January 2021|archive-date=8 March 2021|archive-url=https://web.archive.org/web/20210308145824/https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/23030|url-status=live}}
* {{cite encyclopedia|encyclopedia=Encyclopædia Britannica|year=2002|title=Mahayana}}
* Beal (1871). ''Catena of Buddhist Scriptures from the Chinese''China, Trübner
* Harvey, Peter (2013). ''An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices''
* Karashima, Seishi, "[http://iriab.soka.ac.jp/content/pdf/aririab/Vol.%20XVI%20(2013).pdf Was the ''Așțasāhasrikā Prajñāparamitā'' Compiled in Gandhāra in Gandhārī?] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180903182947/http://iriab.soka.ac.jp/content/pdf/aririab/Vol.%20XVI%20(2013).pdf|date=2018-09-03}}" ''Annual Report of the International Research Institute for Advanced Buddhology'', Soka University, vol. XVI (2013).
* Lowenstein, Tom (1996). ''The Vision of the Buddha'', Boston: Little Brown, {{ISBN|1-903296-91-9}}
* Schopen, G. "The inscription on the Kusan image of Amitabha and the character of the early Mahayana in India", ''Journal of the International Association of Buddhist Studies 10'', 1990
* Suzuki, D.T. (1918). [https://archive.org/details/the-development-of-mahayana-buddhism-the-monist-1914-10 "The Development of Mahayana Buddhism"], ''[[The Monist]]'' Volume 24, Issue 4, 1914, pp.&nbsp;565–581
* Suzuki, D.T. (1999). [https://archive.org/details/outlinesmahayan00suzugoog ''Outline of Mahayana Buddhism''], Open Court, Chicago
* Walser, Joseph (2025). ''Nagarjuna in Context: Mahayana Buddhism and Early Indian Culture'', Columbia University Press.
* Williams, Paul (2009). ''Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundation'', Routledge.
* Williams, Paul (with Anthony Tribe) (2002)'' Buddhist Thought: A Complete Introduction to the Indian Tradition.'' Routledge.
* {{cite book|author1=Karel Werner|author2=Jeffrey Samuels|author3=Bhikkhu Bodhi|author4=Peter Skilling|author5=Bhikkhu Anālayo|author6=David McMahan|date=2013|url=https://bps.lk/olib/bp/bp625s_The-Bodhisatva-Ideal.pdf|title=The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana|publisher=Buddhist Publication Society|isbn=978-955-24-0396-5|access-date=2023-03-21|archive-url=https://web.archiveorg/web/20230401201516/https://www.bps.lk/olib/bp/bp625s_The-Bodhisatva-Ideal.pdf|archive-date=2023-04-01|url-status=live}}
{{refend}}

== Pranala luar ==

* [http://www.buddhism-dict.net/ddb/ Kamus Digital Agama Buddha]
* [http://studybuddhism.com/web/x/nav/n.html_505172737.html Perbandingan Tradisi Buddha (Mahayana – Therevada – Tibet)]
* [https://www.samyeling.org/buddhism-and-meditation/mahayana/ Pengantar Mahayana] di situs web Kagyu Samye Ling
* [https://nirvanasutranet.com/ Sutra Mahayana Mahaparinirvana: teks lengkap dan analisis]
* [http://www.cttbusa.org/buddhas_bodhisattvas.asp Buddha dan Bodhisattva dalam Buddhisme Mahayana]
* [http://info-buddhism.com/Arahants-Buddhas-Bodhisattvas_Bhikkhu_Bodhi.html Arahat, Buddha dan Bodhisattva] oleh Bhikkhu Bodhi
* [http://info-buddhism.com/Bodhisattva-Ideal-Theravada_JeffreySamuels.html Cita-cita Bodhisattva dalam Teori dan Praktik Theravāda] oleh Jeffrey Samuel
{{Topik Buddhisme}}
[[Kategori:Budaya India]]
[[Kategori:Konsep filosofi Buddha]]
[[Kategori:Mahayana]]
[[Kategori:Webarchive template wayback links]]
[[Kategori:Halaman dengan terjemahan tak tertinjau]]

Revisi terkini sejak 28 Oktober 2024 09.01

Ilustrasi dalam manuskrip Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā Sūtra dari Nalanda, menggambarkan Bodhisatwa Maitreya, tokoh penting dalam Mahāyāna.
Lima Tathāgata di Kuil Shishoin (Tokyo). Ciri unik Mahāyāna adalah kepercayaan bahwa ada banyak Buddha yang saat ini mengajarkan Dharma.

Mahāyāna (/ˌmɑːhəˈjɑːnə/ MAH-hə-YAH-nə; Sanskerta: महायान, terj. har.'Kendaraan Besar') adalah istilah untuk sekelompok besar tradisi, teks, filsafat, dan praktik Buddhisme yang dikembangkan di India kuno (ca abad ke-1 SM dan seterusnya). Mahāyāna dianggap sebagai salah satu dari tiga aliran utama Buddhisme yang ada, yang lainnya adalah Theravāda dan Vajrayāna.[1] Mahāyāna menerima kitab suci dan ajaran utama Buddhisme awal, tetapi juga mengakui berbagai ajaran dan kitab yang tidak dianggap asli oleh Buddhisme Theravāda. Kitab-kitab tersebut termasuk sutra Mahāyāna dan penekanannya pada jalan Bodhisatwa dan Prajñāpāramitā.[2] Aliran Vajrayāna atau tradisi Mantra merupakan bagian dari aliran Mahāyāna yang menggunakan sejumlah metode tantra yang diyakini oleh para penganut Vajrayāna untuk membantu mencapai Kebuddhaan.[1]

Mahāyāna juga merujuk pada jalan Bodhisatwa yang berjuang untuk menjadi seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan demi manfaat semua makhluk hidup, dan dengan demikian juga disebut "Kendaraan Bodhisatwa" (Bodhisattvayāna).[3][note 1] Buddhisme Mahāyāna secara umum memandang tujuan menjadi seorang Buddha melalui jalan Bodhisatwa sebagai sesuatu yang dapat dicapai oleh semua orang dan memandang tingkat arahat sebagai sesuatu yang tidak lengkap.[4] Mahāyāna juga meyakini banyak sosok Buddha dan Bodhisatwa yang tidak ditemukan dalam aliran Theravāda (seperti Amitābha dan Vairocana).[5] Filosofi Buddhisme Mahāyāna juga mengenalkan teori-teori khas, seperti teori kekosongan Madhyamaka (śūnyatā), Vijñānavāda ("ajaran kesadaran" yang juga disebut "hanya pikiran"), dan ajaran benih Kebuddhaan (keyakinan bahwa semua makhluk hidup sudah memiliki hakikat Kebuddhaan yang murni di dalam diri mereka).

Meskipun awalnya merupakan gerakan kecil di India, Mahāyāna akhirnya tumbuh menjadi kekuatan berpengaruh dalam Buddhisme India.[6] Pusat-pusat akademis besar yang berhubungan dengan Mahāyāna, seperti Nalanda dan Vikramashila. berkembang pesat antara abad ke-7 dan ke-12.[6] Dalam perjalanan sejarahnya, Buddhisme Mahāyāna menyebar dari Asia Selatan ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan wilayah Himalaya. Berbagai tradisi dari aliran Mahāyāna merupakan bentuk dominan dari Buddhisme yang ditemukan di Tiongkok, Korea, Jepang, Taiwan, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Malaysia.[7] Oleh karena Vajrayāna adalah bentuk tantra dari Mahāyāna, Buddhisme Mahāyāna juga dominan di Tibet, Mongolia, Bhutan, dan wilayah Himalaya lainnya. Aliran ini juga secara tradisional hadir di tempat lain di Asia sebagai agama minoritas di antara komunitas Buddhis di Nepal, Malaysia, Indonesia, dan wilayah-wilayah dengan komunitas diaspora Asia.

Pada tahun 2010, aliran Mahāyāna merupakan aliran Buddhisme dengan penganut terbanyak, dengan 53% Buddhis menganut Mahāyāna Asia Timur dan 6% menganut Vajrayāna, dibandingkan dengan 36% yang menganut Theravada.[8]

Bodhisatwa Awalokiteswara yang sedang duduk. Gandharan, dari Loriyan Tangai. Periode Kushan, abad ke-1 – ke-3 Masehi. Museum India, Kalkuta
Kompleks gua yang terkait dengan aliran Mahāsāṃghika. Gua Karla, Mahārāṣtra, India,

Asal-usul

[sunting | sunting sumber]

Asal-usul Mahāyāna masih belum sepenuhnya dipahami dan terdapat banyak teori yang saling bersaing.[9] Pandangan Barat yang paling awal tentang Mahāyāna berasumsi bahwa ia ada sebagai aliran terpisah yang bersaing dengan apa yang disebut aliran "Hīnayāna" ("Kendaraan Hina"; "Kendaraan Kecil"). Beberapa teori utama tentang asal usul Mahāyāna meliputi hal berikut:

Teori asal usul umat awam pertama kali dikemukakan oleh Jean Przyluski dan kemudian dipertahankan oleh Étienne Lamotte dan Akira Hirakawa. Pandangan ini menyatakan bahwa umat awam sangat penting dalam pengembangan Mahāyāna dan sebagian didasarkan pada beberapa teks seperti Vimalakirti Sūtra, yang memuji umat awam dengan mengorbankan kaum biksu.[10] Teori ini tidak lagi diterima secara luas karena banyak karya Mahāyāna awal yang mempromosikan monastisisme dan asketisme.[11][12]

Teori asal-usul Mahāsāṃghika, yang menyatakan bahwa Mahāyāna berkembang dalam tradisi Mahāsāṃghika.[11] Hal ini dibela oleh beberapa sarjana, seperti Hendrik Kern, AK Warder, dan Paul Williams yang berpendapat bahwa setidaknya beberapa elemen Mahāyāna berkembang di antara komunitas Mahāsāṃghika (sejak abad ke-1 SM dan seterusnya), mungkin di daerah sepanjang Sungai Kṛṣṇa di wilayah Āndhra di India selatan.[13][14][15][16] Ajaran Mahāsāṃghika mengenai hakikat adiduniawi (lokottara) Buddha terkadang dianggap sebagai cikal bakal pandangan Mahāyāna mengenai Buddha.[5] Beberapa sarjana juga melihat tokoh-tokoh Mahāyāna, seperti Nāgārjuna, Dignaga, Candrakīrti, Āryadeva, dan Bhavaviveka memiliki hubungan dengan aliran Mahāsāṃghika dari Āndhra.[17] Namun, beberapa ilmuwan lain juga menyebutkan beberapa wilayah penting, seperti Gandhara dan India barat laut.[18][19][20]

Seiring berjalannya waktu, teori asal usul Mahāsāṃghika juga terbukti bermasalah oleh para ilmuwan yang mengungkapkan bagaimana sutra-sutra Mahāyāna tertentu menunjukkan jejak-jejak yang berkembang di antara nikāya-nikāya atau aliran monastik lain (seperti Dharmaguptaka).[21] Oleh karena bukti-bukti tersebut, para sarjana, seperti Paul Harrison dan Paul Williams, berpendapat bahwa gerakan ini bukan gerakan sektarian dan mungkin bersifat pan-Buddhis.[11][22] Tidak ada bukti bahwa Mahāyāna pernah merujuk pada sebuah aliran atau sekte formal Buddhisme yang terpisah, namun lebih tepatnya bahwa aliran ini ada sebagai sekumpulan cita-cita tertentu, dan ajaran-ajaran selanjutnya, dengan penekanan pada jalan Bodhisatwa.[23]

Sementara itu, "hipotesis hutan" menyatakan bahwa Mahāyāna muncul terutama di kalangan "para petapa garis keras, anggota sayap penganut ajaran Buddha yang tinggal di hutan (aranyavasin)", yang berusaha meniru kehidupan Buddha di hutan.[24] Hal ini telah dipertahankan oleh Paul Harrison, Jan Nattier, dan Reginald Ray. Teori ini didasarkan pada sutra-sutra tertentu seperti Ugraparipṛcchā Sūtra dan Mahāyāna Rāṣṭrapālapaṛiprcchā yang mempromosikan praktik pertapaan di alam liar sebagai jalan yang unggul dan elit. Teks-teks ini mengkritik para biksu yang tinggal di kota dan merendahkan kehidupan di hutan.[23][25]

Kajian Jan Nattier tentang Ugraparipṛcchā Sūtra, A few good men (2003), menyatakan bahwa sutra ini merupakan bentuk paling awal dari Mahāyāna, yang menyajikan jalan Bodhisatwa sebagai 'usaha yang sangat sulit' dari asketisme hutan monastik elit.[11] Penelitian Boucher tentang Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra (2008) adalah karya terbaru lainnya tentang subjek ini.[26]

Teori pemujaan kitab, yang dibela oleh Gregory Schopen, menyatakan bahwa Mahāyāna muncul di antara sejumlah kelompok biksu penyembah kitab yang saling terkait, yang mempelajari, menghafal, menyalin, dan memuja sutra-sutra Mahāyāna tertentu. Schopen berpendapat bahwa hal tersebut terinspirasi oleh tempat pemujaan yang menjadi tempat penyimpanan sutra Mahāyāna.[11] Schopen juga berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini sebagian besar menolak pemujaan stupa, atau pemujaan relik suci.

David Drewes belakangan juga mengemukakan argumen yang menentang semua teori utama yang diuraikan di atas. Dia menunjukkan bahwa tidak ada bukti nyata atas keberadaan tempat pemujaan kitab, bahwa praktik pemujaan sutra bersifat pan-Buddhis dan tidak khas Mahāyāna. Lebih jauh, Drewes berpendapat bahwa "sutra-sutra Mahāyāna lebih sering menganjurkan praktik-praktik mnemik/lisan/pendengaran daripada yang tertulis."[11] Mengenai hipotesis hutan, ia menunjukkan bahwa hanya sedikit sutra Mahāyāna yang secara langsung menganjurkan tinggal di hutan, sementara yang lain tidak menyebutkannya atau melihatnya sebagai hal yang tidak membantu, mempromosikan praktik-praktik yang lebih mudah seperti "hanya mendengarkan sutra, atau memikirkan Buddha-Buddha tertentu, yang mereka klaim dapat memungkinkan seseorang untuk terlahir kembali di 'tanah suci' yang istimewa dan mewah di mana seseorang akan mampu membuat kemajuan yang mudah dan cepat di jalan Bodhisatwa dan mencapai Kebuddhaan setelah hanya satu kehidupan."[11]

Drewes menyatakan bahwa bukti-bukti yang ada hanya menunjukkan bahwa "Mahāyāna pada dasarnya adalah sebuah gerakan tekstual, yang berfokus pada pewahyuan, pengajaran, dan penyebaran sutra-sutra Mahāyāna, yang berkembang dalam, dan tidak pernah benar-benar meninggalkan, struktur sosial dan kelembagaan Buddhis tradisional."[27] Drewes menunjukkan pentingnya dharmabhanaka (ahli dharma, pembaca sutra-sutra ini) dalam sutra-sutra Mahāyāna awal. Tokoh ini banyak dipuji sebagai sosok yang harus dihormati, dipatuhi ('bagaikan seorang hamba melayani tuannya'), dan diberi sumbangan, sehingga mungkin saja orang-orang ini merupakan agen utama gerakan Mahāyāna.[27]

Pandangan dunia

[sunting | sunting sumber]
Patung perunggu Buddha Mahāvairocana dari Dinasti Ming yang menggambarkan tubuhnya tersusun dari banyak Buddha lainnya.
Bodhisatwa wanita bernama Prajñaparamita Devi.

Benih Kebuddhaan

[sunting | sunting sumber]
Sebuah relikui dari periode Kamakura yang dihiasi dengan cintamani (permata pengabul keinginan). Teks tentang benih Kebuddhaan sering kali menggunakan metafora tentang permata (yakni benih Kebuddhaan) yang dimiliki oleh semua makhluk, namun tidak mereka sadari.

Ajaran embrio Tathāgata atau rahim Tathāgata (Tathāgatagarbha), juga dikenal sebagai benih Kebuddhaan dan matriks atau prinsip Kebuddhaan (Sanskerta : Buddha-dhātu), merupakan suatu ajaran penting dalam semua aliran Mahāyāna modern, meskipun ditafsirkan dalam banyak cara yang berbeda. Secara umum, hakikat Kebuddhaan berkaitan dengan penjelasan terkait sesuatu yang menjadikan makhluk-makhluk hidup menjadi seorang Buddha.[28] Sumber paling awal untuk gagasan ini mungkin termasuk Tathāgatagarbha Sūtra dan Mahāyāna Mahāparinirvāṇa Sūtra.[29][28] Teks Mahāparinirvāṇa Mahāyāna mengacu pada "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha",[30] dan juga menggambarkannya sebagai 'Diri' (ātman).[31]

David Seyfort Ruegg menjelaskan konsep ini sebagai dasar atau pendukung bagi praktik sang Jalan, dan dengan demikian merupakan "penyebab" (hetu) bagi buah Kebuddhaan.[28] Sutra Tathāgatagarbha menyatakan bahwa di dalam kekotoran-kekotoran ditemukan "kebijaksanaan Sang Tathāgata, penglihatan Sang Tathāgata, dan tubuh Sang Tathāgata...yang tidak pernah ternoda, dan...penuh dengan kebajikan-kebajikan yang tidak berbeda dengan milikku...para tathagatagarbha dari semua makhluk adalah abadi dan tidak berubah".[32]

Gagasan-gagasan yang ditemukan dalam literatur tentang benih-benih Kebuddhaan merupakan sumber dari banyak perdebatan dan perselisihan di antara para filsuf Buddhisme Mahāyāna serta akademisi modern.[33] Beberapa cendekiawan melihat hal ini sebagai pengaruh dari tradisi Brahmana Hinduisme, dan beberapa sutra ini mengakui bahwa penggunaan istilah 'Diri' (ātman) sebagian dilakukan untuk memenangkan hati para prtapa non-Buddhis (dengan kata lain, ini adalah upaya-kausalya atau cara yang terampil).[34][35] Menurut beberapa cendekiawan, hakikat Kebuddhaan yang dibahas dalam beberapa sutra Mahāyāna tidak mewakili suatu diri substansial (ātman) yang dikritik oleh Sang Buddha; sebaliknya, hakikat Buddha merupakan suatu ekspresi positif dari kekosongan (śūnyatā) dan mewakili potensi untuk mencapai Kebuddhaan melalui praktik-praktik Buddhis.[36] Williams juga berpendapat bahwa ajaran ini pada awalnya tidak membahas masalah ontologis, tetapi membahas "masalah keagamaan tentang realisasi potensi spiritual seseorang, dorongan, dan semangat."[32]

Genre sutra yang mengulas "benih Kebuddhaan" dapat dilihat sebagai usaha untuk menyatakan ajaran Buddha dengan menggunakan bahasa positif, namun tetap mempertahankan jalan tengah, untuk mencegah orang menjauh dari Buddhisme karena kesan keliru tentang nihilisme.[37] Inilah posisi yang dianut di Sūtra Laṅkāvatāra, yang menyatakan bahwa para Buddha mengajarkan ajaran tathāgatagarbha (yang terdengar mirip dengan ātman) untuk membantu makhluk-makhluk yang terikat pada gagasan anātman. Namun, sutra tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa tathāgatagarbha adalah kosong dan sebenarnya bukan suatu diri yang substansial.[38][39]

Pandangan berbeda dipertahankan oleh berbagai sarjana modern seperti Michael Zimmermann. Pandangan ini adalah gagasan bahwa sutra-sutra dengan penjelasan terkait benih-benih Kebuddhaan, seperti Sūtra Mahāparinirvāṇa dan Tathāgatagarbha, mengajarkan visi afirmatif tentang Diri Kebuddhaan yang kekal dan tidak dapat dihancurkan.[31] Shenpen Hookham, seorang sarjana dan lama barat melihat benih Kebuddhaan sebagai Diri Sejati yang nyata dan permanen.[40] Demikian pula, CD Sebastian memahami pandangan Ratnagotravibhāga tentang topik ini sebagai diri transendental yang merupakan "esensi unik dari alam semesta".[41]

Argumen terhadap keaslian

[sunting | sunting sumber]

Umat Buddha Mahāyāna India menghadapi berbagai kritik dari non-Mahāyānis mengenai keaslian ajaran mereka. Kritik utama yang mereka hadapi adalah bahwa ajaran Mahāyāna tidak diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi diciptakan oleh tokoh-tokoh belakangan.[42][43] Banyak kitab Mahāyāna membahas masalah ini dan mencoba membela kebenaran dan keaslian Mahāyāna dengan berbagai cara.[44]

Salah satu gagasan yang dikemukakan oleh kitab-kitab Mahāyāna adalah bahwa ajaran-ajaran Mahāyāna diajarkan kemudian karena kebanyakan orang tidak mampu memahami sutra-sutra Mahāyāna pada masa Sang Buddha dan bahwa orang-orang baru siap mendengarkan Mahāyāna pada masa-masa berikutnya.[45] Beberapa catatan tradisional menyatakan bahwa sutra Mahāyāna disembunyikan atau dijaga dengan aman oleh makhluk-makhluk suci seperti Naga atau Bodhisatwa hingga tiba saatnya untuk disebarkan.[46][47]

Demikian pula, beberapa sumber juga menyatakan bahwa ajaran Mahāyāna diungkapkan oleh Buddha, Bodhisatwa, dan dewa lain kepada sejumlah individu terpilih (sering kali melalui penglihatan atau mimpi).[44] Beberapa ilmuwan melihat adanya hubungan antara gagasan ini dengan praktik meditasi Mahāyāna yang melibatkan visualisasi para Buddha dan tanah suci para Buddha.[48]

Argumen lain yang digunakan Buddhis Mahāyāna India dalam mendukung Mahāyāna adalah bahwa ajarannya benar dan menuntun pada pencerahan karena sejalan dengan Dharma. Oleh karena itu, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan “diucapkan dengan baik” (subhasita), dan dengan demikian, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan sebagai sabda Sang Buddha dalam pengertian ini. Gagasan bahwa apa pun yang “diucapkan dengan baik” adalah sabda Sang Buddha dapat ditelusuri kembali ke kitab-kitab Buddhis paling awal, namun gagasan ini ditafsirkan lebih luas dalam Mahāyāna.[49] Dari sudut pandang Mahāyāna, sebuah ajaran adalah “sabda Sang Buddha” karena ajaran tersebut sesuai dengan Dharma, bukan karena ajaran tersebut diucapkan oleh seorang individu tertentu (misalnya Gautama).[50] Gagasan ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Shantideva (abad ke-8), yang berpendapat bahwa sebuah “ucapan yang diilhami” adalah sabda Buddha jika ucapan tersebut “berhubungan dengan kebenaran”, “berhubungan dengan Dharma”, “menimbulkan pelepasan klesha ("pengotor batin"), bukan peningkatannya” dan “menunjukkan kualitas-kualitas terpuji dari Nirwana, bukan kualitas-kualitas samsara”.[51]

Sarjana Buddhis Zen Jepang modern, DT Suzuki, berpendapat serupa bahwa, meskipun sutra Mahāyāna mungkin tidak diajarkan secara langsung oleh Buddha historis, "semangat dan gagasan utama" Mahāyāna berasal dari Buddha sendiri. Menurut Suzuki, Mahāyāna berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman dengan mengembangkan ajaran dan berbagai kitab baru, sambil mempertahankan semangat Sang Buddha.[52]

Klaim keunggulan

[sunting | sunting sumber]

Mahāyāna sering melihat dirinya sebagai suatu aliran yang menembus lebih jauh dan lebih mendalam ke dalam Dharma dari Sang Buddha. Sebuah komentar India untuk Mahāyānasaṃgraha memberikan klasifikasi ajaran Buddha menurut kemampuan pendengarnya:[53]

Menurut tingkatan murid, Dharma diklasifikasikan menjadi rendah dan tinggi. Misalnya, tingkat rendah diajarkan kepada para pedagang Trapuṣa dan Ballika karena mereka adalah orang biasa; tingkat menengah diajarkan kepada kelompok lima karena mereka berada pada tahap orang suci; delapan Prajñāpāramitā diajarkan kepada para bodhisatwa, dan [Prajñāpāramitā] lebih tinggi dalam melenyapkan bentuk-bentuk yang dibayangkan secara konseptual.

— Vivṛtaguhyārthapiṇḍavyākhyā

Ada pula kecenderungan dalam sutra-sutra Mahāyāna untuk menganggap kepatuhan terhadap sutra-sutra ini akan menghasilkan manfaat-manfaat spiritual yang lebih besar daripada manfaat-manfaat yang muncul karena menjadi pengikut pendekatan-pendekatan non-Mahāyāna. Demikian pula halnya dengan Sutra Siṃhanāda Śrīmālādevī yang menyatakan bahwa Sang Buddha berkata bahwa pengabdian kepada Mahāyāna pada hakikatnya lebih unggul dalam hal kebajikan dibandingkan mengikuti jalan śrāvaka atau pratyekabuddha.[54]

Komentar atas kitab Abhidharmasamuccaya memberikan tujuh alasan berikut untuk "kebesaran" atau "keunggulan" Mahayana:[55]

  1. Keagungan dukungan (ālambana): jalan Bodhisatwa didukung oleh ajaran tak terbatas dari Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam Seratus Ribu Syair dan kitab lainnya;
  2. Keagungan praktik (pratipatti): praktik komprehensif untuk memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain (sva-para-artha);
  3. Keagungan pemahaman (jñāna): dari pemahaman akan ketiadaan diri dalam diri orang dan fenomena (pudgala-dharma-nairātmya);
  4. Keagungan energi (vīrya): dari pengabdian kepada ratusan ribu tugas sulit selama tiga aeon besar yang tak terhitung (mahākalpa);
  5. Keagungan akal budi (upāyakauśalya): karena tidak mengambil pendirian dalam Saṃsāra atau Nirvāṇa;
  6. Keagungan pencapaian (prāpti): karena pencapaian kekuatan tak terukur dan tak terhitung (bala), keyakinan (vaiśāradya), dan dharma yang unik bagi para Buddha (āveṇika-buddhadharma);
  7. Keagungan perbuatan (karma): karena berkehendak melakukan perbuatan seorang Buddha hingga akhir samsara dengan memperlihatkan pencerahan, dsb.

Hubungannya dengan Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Peran Bodhisatwa

[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab-kitab Buddhis awal, dan seperti diajarkan oleh aliran Theravada modern, tujuan menjadi seorang Buddha yang mengajar di kehidupan mendatang dipandang sebagai tujuan sekelompok kecil individu yang berusaha memberi manfaat bagi generasi mendatang setelah ajaran Buddha saat ini telah hilang, tetapi di masa sekarang ini tidak ada kebutuhan bagi sebagian besar praktisi untuk bercita-cita mencapai tujuan ini. Namun, kitab-kitab Theravada menyatakan bahwa tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang lebih berbudi luhur.[56]

Paul Williams menulis bahwa beberapa guru meditasi Theravada modern di Thailand secara populer dianggap sebagai Bodhisatwa oleh masyarakat awam.[57]

Cholvijarn mengamati bahwa tokoh-tokoh terkemuka yang terkait dengan gerakan Dhammakaya di Thailand sering kali terkenal di luar kalangan akademis, di antara masyarakat luas, sebagai guru meditasi Buddhis dan sumber keajaiban, serta jimat suci. Seperti mungkin beberapa biksu pertapa hutan Mahāyāna awal, atau Tantra Buddha kemudian, mereka telah menjadi orang-orang yang berkuasa melalui pencapaian meditasi mereka. Mereka sangat dihormati, dipuja, dan dianggap sebagai arahat atau (perlu dicatat!) bodhisatwa.

Theravāda dan Hīnayāna

[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-7, biksu Buddhis Tiongkok, Xuanzang, menjelaskan keberadaan tradisi Mahāvihara dan Abhayagiri Vihara yang hadir bersama-sama di Sri Lanka. Ia menyebut para biksu Mahāvihara sebagai "Hīnayāna Sthavira" (Thera), dan para biksu Abhayagiri Vihara sebagai "Mahāyāna Sthavira".[58] Xuanzang lebih lanjut menulis:[59]

Penganut tradisi Mahāvihāravāsin menolak ajaran Mahāyāna dan mempraktikkan ajaran Hīnayāna, sedangkan penganut tradisi Abhayagirivihāravāsin mempelajari ajaran Hīnayāna dan Mahāyāna serta menyebarkan Tripiṭaka.

Aliran Theravāda modern biasanya digambarkan sebagai Hīnayāna.[60][61][62][63][64] Beberapa penulis berpendapat bahwa Theravāda seharusnya tidak dianggap sebagai Hīnayāna dari sudut pandang Mahāyāna. Pandangan mereka didasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang konsep Hīnayāna. Daripada menganggap istilah ini merujuk pada aliran Buddhisme yang tidak menerima kanon dan ajaran Mahāyāna, seperti yang berkaitan dengan peran Bodhisatwa,[61][63] para penulis ini berpendapat bahwa penggolongan aliran "Hīnayāna" harus bergantung pada kepatuhan pada posisi fenomenologis tertentu. Mereka menunjukkan bahwa, tidak seperti aliran Sarvāstivāda yang sekarang sudah punah yang merupakan objek utama kritik oleh Mahāyāna, Theravāda tidak mengklaim keberadaan entitas independen (dharma); dalam hal ini, Theravāda mempertahankan sikap Buddhisme awal.[65][66][67]

Penganut Buddhisme Mahāyāna tidak setuju dengan pemikiran substansialis dari para Sarvāstivādin dan Sautrāntika, dan dalam menekankan ajaran kekosongan, Kalupahana berpendapat bahwa mereka berusaha untuk melestarikan ajaran awal.[68] Kaum Theravādin pun membantah kaum Sarvāstivādin dan Sautrāntika (serta aliran-aliran lain) dengan alasan bahwa teori-teori mereka bertentangan dengan non-substansialisme dari Kanon. Argumen Theravāda dipertahankan dalam kitab Kathāvatthu.[69]

Beberapa tokoh Theravādin kontemporer telah menunjukkan sikap simpatik terhadap filsafat Mahāyāna yang ditemukan dalam teks-teks seperti Sutra Hati (Sanskerta: Prajñāpāramitā Hṛdaya) dan Bait-Bait Dasar Nāgārjuna tentang Jalan Tengah (Sanskerta: Mūlamadhyamakakārikā).[70][71]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Mahayana, 'Kendaraan Agung' atau 'Kereta Agung' (untuk membawa semua makhluk menuju nirwana), juga, dan mungkin lebih tepat dan akurat, dikenal sebagai Bodhisattvayana, 'Kendaraan Bodhisatwa'." Warder, A.K. (edisi ke-3, 1999). Buddhisme India: hlm. 338

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Harvey (2013), p. 189.
  2. ^ Harvey (2013), pp. 108-109.
  3. ^ Damien Keown (2003), A Dictionary of Buddhism, Oxford University Press, p. 38
  4. ^ Harvey (2013), p. 111.
  5. ^ a b Williams, Paul, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Routledge, 2008, p. 21.
  6. ^ a b Woodhead, Linda; Partridge, Christopher Hugh; Kawanami, Hiroko, ed. (2016). Religions in the modern world: traditions and transformations (edisi ke-Third). Abingdon, Oxon: Routledge. ISBN 978-0-415-85880-9. OCLC 916409066. 
  7. ^ Foltz, Richard (2013). Religions of Iran:From Prehistory to the Present. Oneworld Publications. hlm. 95. ISBN 978-1-78074-309-7. Diakses tanggal 2017-12-18. In the centuries before the Arab conquests Buddhism was spread throughout the eastern Iranian world. Buddhist sites have been found in Afghanistan, Turkmenistan, Uzbekistan, and Tajikistan, as well as within Iran itself. 
  8. ^ Johnson, Todd M.; Grim, Brian J. (2013). The World's Religions in Figures: An Introduction to International Religious Demography (PDF). Hoboken, NJ: Wiley-Blackwell. hlm. 36. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 October 2013. Diakses tanggal 2 September 2013. 
  9. ^ Akira, Hirakawa (translated and edited by Paul Groner) (1993. A History of Indian Buddhism. Delhi: Motilal Banarsidass: p. 260.
  10. ^ Hirakawa 1990, hlm. 271.
  11. ^ a b c d e f g Drewes, David, Early Indian Mahayana Buddhism I: Recent Scholarship, Religion Compass 4/2 (2010): 55–65, DOI:10.1111/j.1749-8171.2009.00195.x
  12. ^ "One of the most frequent assertions about the Mahayana is that it was a lay-influenced, or even lay-inspired and dominated, movement that arose in response to the increasingly closed, cold, and scholastic character of monastic Buddhism. This, however, now appears to be wrong on all counts...much of its [Hinayana's] program being in fact intended and designed to allow laymen and women and donors the opportunity and means to make religious merit." Macmillan Encyclopedia of Buddhism (2004): p. 494
  13. ^ Guang Xing. The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory. 2004. pp. 65–66 "Several scholars have suggested that the Prajñāpāramitā probably developed among the Mahasamghikas in Southern India, in the Andhra country, on the Krishna River."
  14. ^ Williams, Paul. Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations 2nd edition. Routledge, 2009, p. 47.
  15. ^ Akira, Hirakawa (translated and edited by Paul Groner) (1993. A History of Indian Buddhism. Delhi: Motilal Banarsidass: pp. 253, 263, 268
  16. ^ "The south (of India) was then vigorously creative in producing Mahayana Sutras" – Warder, A.K. (3rd edn. 1999). Indian Buddhism: p. 335.
  17. ^ Padma, Sree. Barber, Anthony W. Buddhism in the Krishna River Valley of Andhra. SUNY Press 2008, p. 1.
  18. ^ Karashima, 2013.
  19. ^ Warder: "The sudden appearance of large numbers of (Mahayana) teachers and texts (in North India in the second century AD) would seem to require some previous preparation and development, and this we can look for in the South." Warder, A.K. (3rd edn. 1999). Indian Buddhism: p. 335.
  20. ^ Walser, Joseph, Nagarjuna in Context: Mahayana Buddhism and Early Indian Culture, Columbia University Press, 2005, p. 25.
  21. ^ Williams, Paul, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Routledge, 2008, p. 6.
  22. ^ Williams, Paul, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Routledge, 2008, p. 16.
  23. ^ a b Nattier, Jan (2003), A few good men: the Bodhisattva path according to the Inquiry of Ugra: pp. 193–194
  24. ^ Drewes, David, The Forest Hypothesis in Paul Harrison, ed., Setting Out on the Great Way. Equinox, 2018.
  25. ^ Williams (2008), pp. 33-34.
  26. ^ Boucher, Daniel, Bodhisattvas of the Forest and the Formation of the Mahāyāna: A Study and Translation of the.Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra. University of Hawaii Press, 2008
  27. ^ a b Drewes, David, Early Indian Mahayana Buddhism II: New Perspectives, Religion Compass 4/2 (2010): 66–74, DOI:10.1111/j.1749-8171.2009.00193.x
  28. ^ a b c Williams and Tribe (2002), p. 160.
  29. ^ Paul Williams, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Second Edition, Routledge, Oxford, 2009, p. 317
  30. ^ Kevin Trainor, Buddhism: The Illustrated Guide, Oxford University Press, 2004, p. 207
  31. ^ a b Zimmermann, Michael (2002), A Buddha Within: The Tathāgatagarbhasūtra, Biblotheca Philologica et Philosophica Buddhica VI, The International Research Institute for Advanced Buddhology, Soka University, pp. 82–83
  32. ^ a b Williams and Tribe (2002), p. 162.
  33. ^ Williams, Paul, Buddhist Thought: A Complete Introduction to the Indian Tradition, 2002, pp. 103, 108.
  34. ^ Williams, Paul, Buddhist Thought: A Complete Introduction to the Indian Tradition, 2002, p. 109.
  35. ^ Shiro Matsumoto, Critiques of Tathagatagarbha Thought and Critical Buddhism
  36. ^ "The Significance Of 'Tathagatagarbha' --". October 23, 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-23. 
  37. ^ King, Sallie B. The Doctrine of Buddha-Nature is impeccably Buddhist. In: Jamie Hubbard (ed.), Pruning the Bodhi Tree: The Storm Over Critical Buddhism, Univ of Hawaii Press 1997, pp. 174–179. ISBN 0-8248-1949-7
  38. ^ Daisetz T. Suzuki, tr. The 'Lankavatara Sutra', Parajna Press, Boulder, 1978, pp.69.
  39. ^ Williams and Tribe (2002), p. 164.
  40. ^ Hookham, Shenpen (1991). The Buddha Within. State University of New York Press: p. 104, p. 353
  41. ^ Sebastian, C.D. (2005), Metaphysics and Mysticism in Mahayana Buddhism. Delhi: Sri Satguru Publications: p. 151; cf. also p. 110
  42. ^ Sree Padma. Barber, Anthony W. Buddhism in the Krishna River Valley of Andhra. 2008. p. 68.
  43. ^ Werner et al. (2013). The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana. pp. 89, 93. Buddhist Publication Society.
  44. ^ a b Werner et al. (2013). The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana. pp. 89-90, 211-212, 227. Buddhist Publication Society.
  45. ^ "Though the Buddha had taught [the Mahayana sutras] they were not in circulation in the world of men at all for many centuries, there being no competent teachers and no intelligent enough students: the sutras were however preserved in the Dragon World and other non-human circles, and when in the 2nd century AD adequate teachers suddenly appeared in India in large numbers the texts were fetched and circulated. ... However, it is clear that the historical tradition here recorded belongs to North India and for the most part to Nalanda (in Magadha)." AK Warder, Indian Buddhism, 3rd edition, 1999
  46. ^ Li, Rongxi (2002). Lives of Great Monks and Nuns. Berkeley, California: BDK. hlm. 23–4. 
  47. ^ Tārānātha (2010). Tāranātha's History of Buddhism in India. Motilal Banarsidass Publ. hlm. 90. ISBN 978-81-208-0696-2. OCLC 1073573698. 
  48. ^ Williams, (2008), pp. 40–41.
  49. ^ Williams, (2008), pp. 41-42.
  50. ^ Hsuan Hua. The Buddha speaks of Amitabha Sutra: A General Explanation. 2003. p. 2
  51. ^ Williams, (2008), p. 41.
  52. ^ Daisetz Teitaro Suzuki (1907). Outlines of Mahaŷâna Buddhism, pp. 13-16.
  53. ^ Hamar, Imre. Reflecting Mirrors: Perspectives on Huayan Buddhism. 2007. p. 94
  54. ^ Hookham, Dr. Shenpen, trans. (1998). The Shrimaladevi Sutra. Oxford: Longchen Foundation: p. 27
  55. ^ Werner, Karel; Samuels, Jeffrey; Bhikkhu Bodhi; Skilling, Peter; Bhikkhu Anālayo, McMahan, David (2013) The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana, p. 97. Buddhist Publication Society.
  56. ^ Harvey, Peter (2000). An Introduction to Buddhist Ethics. Cambridge University Press: p. 123.
  57. ^ Paul Williams, Mahāyāna Buddhism: The Doctrinal Foundations. Taylor & Francis, 1989, p. 328.
  58. ^ Baruah, Bibhuti (2000). Buddhist Sects and Sectarianism. Sarup & Sons. hlm. 53. ISBN 978-81-7625-152-5. 
  59. ^ Hirakawa, Akira. Groner, Paul. A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna. 2007. p. 121
  60. ^ Monier-Williams, Sir Monier (1889). Buddhism in Its Connexion with Brāhmanism and Hindūism: And in Its Contrast with Christianity. John Murray. 
  61. ^ a b Gombrich, Richard Francis (2006). Theravāda Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo. Psychology Press. hlm. 83. ISBN 978-0-415-07585-5. 
  62. ^ Collins, Steven. 1990. Selfless Persons: Imagery and Thought in Theravāda Buddhism. p. 21
  63. ^ a b LeVine, Sarah; Gellner, David N. (2005). Rebuilding Buddhism: The Theravada Movement in Twentieth-Century Nepal. Harvard University Press. hlm. 14. ISBN 978-0-674-04012-0. 
  64. ^ Swearer, Donald (2006). Theravada Buddhist Societies. In: Juergensmeyer, Mark (ed.) The Oxford Handbook of Global Religions: p. 83
  65. ^ Hoffman, Frank J. and Mahinda, Deegalle (1996). Pali Buddhism. Routledge Press: p. 192.
  66. ^ King, Richard (1999). Indian Philosophy: An Introduction to Hindu and Buddhist Thought. Edinburgh University Press: p. 86.
  67. ^ Nyanaponika, Nyaponika Thera, Nyanaponika, Bhikkhu Bodhi (1998). Abhidhamma Studies: Buddhist Explorations of Consciousness and Time. Wisdom Publications: p. 42.
  68. ^ Kalupahana, David (2006). Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass: p. 6.
  69. ^ Kalupahana, David (2006). Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass: p. 24.
  70. ^ Lopez, Donald S. and Dge-ʼdun-chos-ʼphel (2006). The Madman's Middle Way: Reflections on Reality of the Tibetan Monk Gendun Chopel. University of Chicago Press: p. 24.
  71. ^ Fronsdal, Gil (8 November 2007). "Tricycle Q & A: Gil Fronsdal". Tricycle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 February 2008. Diakses tanggal 10 October 2008. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]