Lompat ke isi

Keyakinan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat: dan Nawayāna: sudah selesai disunting. Barangkali perlu sunting dari awal lagi biar lebih bagus.
Faredoka (bicara | kontrib)
-nibbana +nirwana (b indo)
 
(176 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{short description|unsur penting dari ajaran Buddha}}
{{short description|unsur penting dari ajaran Buddha}}
{{about|kualitas mental dari keyakinan dalam agama Buddha|deskripsi praktik bakti Buddhis|Bakti Buddhis}}
{{about|kualitas mental dari keyakinan dalam Buddhisme|penjelasan dari praktik bakti Buddhis|Bakti Buddhis}}
[[Berkas:Buddhist Altar in Indonesia.jpg|jmpl|Altar di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhūmi, [[Tangerang]], [[Jawa Barat]], [[Indonesia]]. [[Rupang Buddha]] sebagai simbol [[Buddha]], [[Dharmacakra]] di belakang kepala Buddha sebagai simbol [[Dhamma]], dan dua murid teladan-Nya ([[Sariputta]] dan [[Moggallana]]) di kedua sisi sebagai simbol [[Sangha|Saṅgha]].|300x300px]]
[[Berkas:九天禅院 释迦牟尼佛.jpg|jmpl|Murid [[Ananda|Ānanda]] (kiri) adalah teladan tradisional untuk murid setia Buddha.|upright=1.2]]
{{Buddhist term|title=''Keyakinan''
{{Buddhist term|title=''saddhā''
|pi=saddhā
|pi=saddhā
|sa=śraddhā
|sa=śraddhā
Baris 19: Baris 19:
|th=[[:th:ศรัทธา|ศรัทธา]]
|th=[[:th:ศรัทธา|ศรัทธา]]
|th-Latn=satthaa
|th-Latn=satthaa
|en=faith, confidence|id=keyakinan, iman}}
}}
{{Buddhisme|dhamma}}{{Cetasika|indah}}


Dalam [[Buddhisme]], '''keyakinan''' ({{lang-pi|'''''saddhā'''''}}; [[Sanskerta]]: '''''śraddhā'''''), terkadang juga disebut sebagai '''iman''' meskipun dengan konsep yang sangat berbeda dari tradisi [[Agama abrahamik|agama-agama Abrahamik]], mengacu pada keyakinan terhadap [[Tiga Permata|Triratna]], yaitu [[Buddha]], [[Dhamma]], dan [[Saṅgha]]. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi [[karma dalam Buddhisme|karma]] dan kemungkinan mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]]. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran [[Buddha Gautama|Buddha]], seperti [[Dāna|bederma]] (''dāna''), [[Etika Buddhis|moralitas]] (''sīla''), dan [[Meditasi Buddhis|meditasi]] (''bhāvanā'') secara berkelanjutan.
Dalam [[agama Buddha]], '''[[Keyakinan dan kepercayaan|keyakinan]]''' ({{lang-pi|saddhā|italic=yes}}, {{lang-sa|śraddhā|italic=yes}}) mengacu kepada komitmen tulus untuk mempraktikkan ajaran [[Buddha Gautama|Buddha]] dan percaya kepada para makhluk tercerahkan atau mereka yang telah maju dalam pelatihan diri, seperti para [[Buddha]] atau ''[[bodhisatwa]]'' (mereka yang beraspirasi untuk mencapai Buddha). Umat Buddha pada umumnya mengakui beberapa objek keyakinan, tetapi beberapa umat Buddha secara khusus membaktikan diri kepada tokoh tertentu, seperti Buddha tertentu. Keyakinan tak hanya bakti kepada seseorang, tetapi bakti muncul karena adanya hubungan dengan konsep ajaran Buddha seperti efikasi [[karma dalam agama Buddha|karma]] dan kemungkinan mencapai [[pencerahan dalam agama Buddha|pencerahan]].


Dalam [[Buddhisme awal]] dan aliran [[Theravāda]], ''saddhā'' dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] Buddha (''tathāgatabodhi-saddhā'') atau, secara alternatif, terhadap Triratna (''ratanattaya-saddhā''):<ref name=":032">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2019-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=2ZQXEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-7-4|language=id}}</ref><ref name=":1">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2020-02-01|url=https://books.google.co.id/books?id=XcHsDwAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94011-0-8|language=id}}</ref><ref name=":2">{{Cite journal|last=Wichian|first=Phurapha Phramaha|date=2016|title=An investigation of the concept of Saddhā in Theravāda Buddhism and its significance in the modern world.|url=https://oaji.net/articles/2016/1707-1464942419.pdf|journal=International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS)|publisher=Ph.D. scholar, Centre for Buddhist studies, University of Hyderabad, Hyderabad, India|volume=II|issue=III|pages=17-20|issn=2394-7969}}</ref><ref name=":3">{{Cite book|last=Medhācitto|first=Tri Saputra|date=2022|url=https://syailendra.ac.id/public/uploads/buku-aspek-sosiologi-dalam-sigalovada-sutta.pdf|title=Aspek Sosiologi dalam Sigālovāda Sutta|location=Semarang|publisher=Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra|isbn=978-602-53319-9-2|pages=46-48|url-status=live}}</ref><ref name=":4">{{Cite book|last=Payutto|first=P. A.|date=2007|url=https://www.watnyanaves.net/uploads/File/books/pdf/principles_for_buddhists_starting_point_for_unity_towards_glory_thai-eng.pdf|title=The Buddhist's Tenets: A Starting Point and a Unifying Point—A Convergence for Success and Prosperity|location=Nakhon Pathom|publisher=Wat Nyanavesakavan|isbn=9749414381|pages=10-11|chapter-url=|url-status=live}}</ref><ol>
Keyakinan dalam agama [[Sejarah agama Buddha#Tahap awal agama Buddha|Buddha awal]] fokus pada [[tiga Mestika]], yang meliputi Buddha; ajarannya ([[Dharma (Buddhisme)|Dharma]]); dan terakhir, komunitas para pengikut yang maju dalam spiritual atau komunitas monastik yang berupaya mencapai pencerahan ([[Saṅgha]]). Seorang umat yang taat disebut [[upasaka dan Upasika|''upāsaka'' atau ''upāsika'']], sebuah status yang tidak membutuhkan inisiasi resmi. Agama Buddha awal menjunjung tinggi pembuktian personal atas keyakinan spiritual merupakan aspek tertinggi dalam mencapai kebenaran itu, dan menganggap kitab suci, alasan atau keyakinan kepada seorang guru bukanlah sumber otoritas utama. Keyakinan memang dianggap penting, keyakinan merupakan langkah pertama menuju [[Paññā|kebijaksanaan]] dan [[pencerahan (Buddhisme)|pencerahan]], lalu keyakinan juga akan usang atau mengalami perubahan penafsiran pada tahap akhir perjalanan spiritual. Agama Buddha awal secara moral tidak mengecam persembahan damai kepada [[Dewa#Agama Buddha|dewa-dewi]]. Sepanjang sejarah agama Buddha, penghormatan dewa-dewi, seringkali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan [[animisme|animis]], kemudian disesuaikan atau diadaptasi menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata, yang masih terus memegang peran utama.
<li> '''Keyakinan terhadap Buddha''', yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini ([[Siddhattha Gotama]]), dan kedatangan [[bodhisatwa]] masa depan; juga pencapaian [[Kebuddhaan]]-Nya di [[Nibbāna|Nirwana]].</li>
<li>'''Keyakinan terhadap Dhamma''', yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.</li>
<li>'''Keyakinan terhadap Saṅgha''', yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (''ariya-saṅgha'') atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] (''sammuti-saṅgha'').</li>
</ol>Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap [[Hukum Karma|hukum karma]] merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian [[Tripitaka|kitab suci]] juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (''kammassakatā-saddhā''), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:
<ol start=4>
<li> '''Keyakinan terhadap karma''' (''kamma-saddhā''), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.</li>
<li >'''Keyakinan terhadap buah karma''' (''vipāka-saddhā''), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.</li></ol>[[Atthakatha|Kitab komentar]] untuk [[Abhidhamma Piṭaka]] milik aliran [[Theravāda]] menjelaskan definisi ''saddhā'' sebagai suatu [[Cetasika|faktor mental]] dalam empat batasan:<ref name=":0" />
* '''Karakteristik''' (''lakkhaṇa''): meyakini (''saddahana'') atau memercayai (''okappana'') objeknya.
* '''Fungsi''' (''rasa''): untuk menjernihkan (''pasādana'') hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (''pakkhandana'') hal-hal sulit.
* '''Manifestasi''' (''paccupaṭṭhāna''): bebas dari kotoran (''akālussiya''), atau keputusan/ketetapan hati (''adhimutti'').
* '''Sebab-terdekat''' (''padaṭṭhāna''): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (''saddheyyavatthu''), yaitu Triratna, atau faktor-faktor [[Empat tingkat kesucian|Pengarungan Arus]] (''sotāpattiyaṅga'').


Keyakinan adalah [[Cetasika|faktor mental]] yang memercayai (''saddahati'') objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang sepenuhnya memerlukan kepatuhan buta (''amūlika-saddhā'') dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.<ref name=":0" />
Pada masa berikutnya dari sejarah agama Buddha, khususnya [[Buddha Mahāyāna|Mahāyāna]], keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Mahāyāna mengembangkan konsep [[sifat kebuddhaan]], karena penghormatan kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di [[Tanah Murni]] menjadi hal umum. Dengan munculnya kultus [[Sūtra Teratai]], keyakinan memegang peran utama dalam praktik agama Buddha, dan berkembangnya penghormatan kepada [[Buddha Amitābha]] dan [[Buddha Tanah Murni|agama Buddha aliran Tanah Murni]] semakin memperkuat kecenderungan ini. Agama Buddha aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh [[Hōnen]] dan [[Shinran]], meyakini bahwa [[shinjin|keyakinan penuh komitmen]] kepada Buddha Amitābha adalah bentuk praktik yang bermanfaat, karena aliran tersebut menampik selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya karena dianggap tidak efektif lagi, atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Umat Buddha Tanah Murni mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan, dengan persepsi penyangkalan diri dan kerendahan hati. Dampak keyakinan dalam religiositas Buddhis menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan [[milenarianisme|milenarian]] di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kekaisaran dan perubahan politik penting lainnya.


[[Tradisi Abhidhamma]] Theravāda juga menguraikan ''saddhā'' menjadi dua jenis:<ref name=":0" />
Dengan demikian, peran keyakinan meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, dari abad ke-19 dan seterusnya, di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang, begitu juga di dunia Barat, [[modernisme Buddhis]] cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam agama Buddha. Keyakinan dalam agama Buddha masih memiliki peran di Asia modern dan dunia Barat, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda daripada tafsiran-tafsiran tradisional, dengan nilai-nilai modern dan [[eklekstisisme|eklektisisme]] menjadi lebih penting. Komunitas [[Gerakan Buddha Dalit|Buddha ''Dalit'']], khususnya gerakan [[Nawayana]], menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, akibat adanya ketegangan antara pembaruan rasionalisme dan devosi lokal.

# '''Keyakinan awal''' (''amūlika-saddhā''), yaitu keyakinan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
# '''Keyakinan kukuh''' atau '''sempurna''' (''aveccapasāda''), yaitu keyakinan yang didasarkan pada pengalaman secara langsung.

Konsep ''saddhā'' erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (''saccānurakkhaṇa'') dan "mengalami kebenaran" (''saccānubodha''). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," sebelum mengalami kebenaran secara langsung.<ref name=":0" />

Secara tradisional, pernyataan keyakinan ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada [[Tiga Permata|Triratna]] dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):

{{Verse translation|Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi,
Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi|Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Saṅgha|attr1=Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya}}

Seorang umat awam yang berlindung kepada Triratna disebut [[upasaka dan Upasika|''upāsaka'' atau ''upāsika'']], sedangkan yang tidak berlindung kepada Triratna disebut ''[[titthiya]]''.

Sementara itu, [[Buddhisme awal]] secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada [[Brahma (Buddhisme)|brahma]] dan [[Dewa (Buddhisme)|dewa-dewi]]. Sepanjang sejarah Buddhisme, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan [[animisme|animis]], kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Triratna, yang masih terus memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dalam sejarah Buddhisme, khususnya [[Buddha Mahāyāna|Buddhisme Mahāyāna]], keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan [[Bakti Buddhis|bakti]] kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di [[Tanah Murni]]. Dengan berkembangnya bakti kepada [[Buddha Amitābha]] dan [[Buddha Tanah Murni|Buddhisme aliran Tanah Murni]], keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik Buddhisme. Buddhisme aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh [[Hōnen]] dan [[Shinran]], bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah [[shinjin|keyakinan penuh kepercayaan]] kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap [[Selibat|selibasi]], meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, Buddhis Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan [[milenarianisme|milenarian]] di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah Buddhisme. Namun, semenjak abad ke-19, [[modernisme Buddhis]] di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam Buddhisme. Keyakinan dalam Buddhisme masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan [[eklektisisme]] menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas [[Gerakan Buddha Dalit|Buddhis Dalit]], khususnya gerakan [[Nawayana]], menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.


== Peran dalam ajaran Buddha ==
== Peran dalam ajaran Buddha ==


Keyakinan diartikan sebagai kepercayaan kokoh bahwa melalui praktik ajaran Buddha maka akan membuahkan hasil.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Keyakinan adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau mereka yang sudah maju dalam spiritual, seperti para Buddha atau ''[[bodhisatwa]]'',<!--Gomez--> atau bahkan [[bhikkhu|biksu]] atau [[Lama]] tertentu yang sangat dihormati.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Kinnard|2004|p=907}}<ref>{{cite encyclopedia|last1=Melton|first1=J. Gordon|authorlink1=J. Gordon Melton|editor1-last=Melton|editor1-first=J. Gordon|editor2-first=Martin|editor1-link=J. Gordon Melton|editor2-last=Baumann|encyclopedia=Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices|title=Relics|date=2010|publisher=[[ABC-CLIO]]|location=Santa Barbara, California|isbn=978-1-59884-204-3|url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD,%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAE2WMY7?url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD%2C%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|page=2392|edition=2nd|df=}}</ref> Umat Buddha biasanya mengakui berbagai objek keyakinan, tetapi beberapa penganut secara khusus menghormati satu objek keyakinan tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}} Namun, agama Buddha tak pernah melekat pada satu otoritas sentral, baik sebagai orang maupun kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus yang berkenaan dengan praktik biasanya melalui perdebatan dan diskusi.{{sfn|Nakamura|1997|page=392}}
Keyakinan diartikan sebagai kepercayaan bahwa praktik ajaran Buddha akan membuahkan hasil.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Keyakinan adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau mereka yang dianggap sudah maju secara spiritual, seperti para Buddha atau ''[[bodhisatwa]]'',<!--Gomez--> atau bahkan [[bhikkhu|biksu]] atau [[lama]] tertentu yang sangat dihormati.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Kinnard|2004|p=907}}{{sfn|Melton|2010|p=2392}} Umat Buddha biasanya mengakui berbagai objek keyakinan, tetapi beberapa penganut secara khusus berbakti kepada satu objek keyakinan tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}} Namun, Buddhisme tidak pernah memiliki satu wewenang pusat, baik itu dalam bentuk manusia maupun kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus yang berkenaan dengan praktik biasanya dibentuk melalui perdebatan dan diskusi.{{sfn|Nakamura|1997|page=392}}


Beberapa istilah dipakai dalam agama Buddha untuk keyakinan, yang memiliki aspek kognitif dan afektif:{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}
Berikut adalah beberapa istilah dipakai dalam Buddhisme untuk mengacu kepada keyakinan, dan istilah-istilah ini memiliki aspek kognitif maupun afektif:{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}
* ''Śraddhā'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|saddhā|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''wen-hsin'') yang berarti komitmen kepada atau percayaan kepada orang lain, atau bentuk pengikatan atau komitmen untuk berpraktik.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=388–9}} Contoh-contoh tradisional dari hal ini adalah biksu [[Ananda|Ānanda]],<!--Conze only supports this part--> asisten Buddha Gautama, kemudian murid lainnya bernama Vakkali. ''Śraddhā'' seringkali dipandang sebagai agen kontra dari kehendak buruk dalam pikiran.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Ānanda, Pañcabala, Śraddhā}}{{sfn|Conze|2003|page=14}} Lawan kata ''śraddhā'' adalah ''āśraddhya'', yang merujuk kepada kurangnya kapasitas untuk mengembangkan kepercayaan kepada guru dan ajaran-ajarannya, sehingga tak dapat mengembangkan energi pada perjalanan spiritual.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Āśraddhya}} Kata ''śraddhā'' berasal dari kata ''śrat'', "memiliki keyakinan", dan ''dhā'', "mempertahankan",{{refn|group=note|Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, ''śraddhā'' dalam [[Weda]] diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".{{sfn|Rotman|2008|loc=Footnotes n.23}}}} dengan demikian, menurut Sung-bae Park, cendekiawan kajian agama, menyimpulkan bahwa "mempertahankan kelangsungan kepercayaan, tetap bertekad kuat, atau mendukung kepercayaan, dalam konteks asas kepatuhan".{{sfn|Park|1983|page=15}}
* ''Śraddhā'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|saddhā|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''wen-hsin'') yang berarti komitmen atau kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk ikrar atau komitmen untuk berpraktik.{{sfn|Gómez|2004b|p=277}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=388–9}} ''Śraddhā'' sering kali dipandang sebagai penawar niat buruk dalam pikiran.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Ānanda, Pañcabala, Śraddhā}}{{sfn|Conze|2003|page=14}} Lawan kata ''śraddhā'' adalah ''āśraddhya'', yang merujuk kepada ketiadaan kemampuan untuk mengembangkan keyakinan kepada guru dan ajaran-ajarannya, sehingga tak dapat mengembangkan energi pada perjalanan spiritual.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Āśraddhya}} Kata ''śraddhā'' berasal dari kata ''śrat'', "memiliki keyakinan", dan ''dhā'', "mempertahankan".{{refn|group=note|Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, ''śraddhā'' dalam [[Weda]] diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".{{sfn|Rotman|2008|loc=Footnotes n.23}}}} Dengan demikian, cendekiawan kajian agama Sung-bae Park menyimpulkan bahwa ''śraddhā'' berarti "mempertahankan kelangsungan kepercayaan, tetap bertekad kuat, atau menopang kepercayaan, yang berarti berpegang teguh".{{sfn|Park|1983|page=15}}
* ''Prasāda'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|pasāda|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''ching-hsin'') yang lebih afektif ketimbang ''śraddhā''. Istilah ini digunakan dalam konteks yang berkenaan dengan ritual dan seremoni, istilah tersebut merujuk kepada penerimaan diri secara khusyuk atas berkah dan keagungan objek devosi.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}} Kata ''prasāda'' berasal dari awalan ''pra'' dan ''sād'', yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam kejernihan dan kesejukan".{{sfn|Park|1983|page=15}} Dengan demikian, ''prasāda'' merujuk kepada fokus pikiran sang penganut, komitmennya dan kualitas yang telah mengalami peningkatan.{{sfn|Findly|2003|page=200}} Istilah tersebut dideskripsikan dalam nuansa lebih spontan ketimbang ''śraddhā''.{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing}}
* ''Prasāda'' ([[Sansekerta|Sanskerta]]; {{lang-pi|pasāda|italics=yes}}; [[Tionghoa klasik]]: ''ching-hsin'') yang lebih afektif ketimbang ''śraddhā''. Istilah ini digunakan dalam konteks yang berkenaan dengan ritual dan upacara. Istilah tersebut merujuk kepada penerimaan diri secara khusyuk atas berkah dan keagungan objek bakti.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}} Kata ''prasāda'' berasal dari awalan ''pra'' dan ''sād'', yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam kejernihan dan kesejukan".{{sfn|Park|1983|page=15}} Dengan demikian, ''prasāda'' merujuk kepada fokus pikiran sang penganut, komitmennya, dan kualitasnya yang telah mengalami peningkatan.{{sfn|Findly|2003|page=200}}<!-- Istilah tersebut dideskripsikan dengan pemaknaan yang lebih spontan ketimbang ''śraddhā''.{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing}}-->


Keyakinan biasanya dikaitkan dengan [[Tiga Mestika]], yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] (ajarannya) dan [[sangha|Saṅgha]] (komunitasnya). Sehingga keyakinan seringkali adalah individual tertentu sebagai objeknya, tetapi berbeda dengan devosi dalam agama-agama India lainnya (''[[bhakti]]''), ini berhubungan dengan objek-objek impersonal seperti kerja karma dan efikasi dari [[pelimpahan jasa]].{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing, Getting and Giving}} Keyakinan tampaknya berfokus pada atau bermuara pada [[Jalan Utama Berunsur Delapan#Pengertian Benar|pandangan benar]] atau pemahaman atas aspek-aspek utama ajaran Buddha, seperti bagaimana sistem kerja [[karma (Buddha)|hukum karma]], [[Kebajikan (Buddha)|kebajikan]] dan [[kelahiran kembali (Buddha)|kelahiran kembali]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Terkait dengan Tiga Mestika, keyakinan berfokus pada dan bersukacita atas karakteristik Buddha, Dharma dan Saṅgha.{{sfn|Barua|1931|pages=332–3}} Berkaitan dengan hukum karma, keyakinan merujuk kepada anggapan bahwa perbuatan memiliki dampak, perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.{{sfn|Findly|2003|pp=205–6}} Dengan demikian, keyakinan memberikan panduan dalam menuju kehidupan kedermawanan, moralitas dan kualitas religius.{{sfn|Barua|1931|page=333}} Keyakinan juga meliputi gagasan seperti alam eksistensi, [[Tiga Corak Umum|ketidakkekalan dan hakikat pengkondisian]], dan pada akhirnya, [[Buddhabhāva|pencerahan]] sempurna Buddha atau [[Nirwana]] dan metode praktik menuju Nirwana.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Keyakinan mencakup kepercayaan bahwa sudah ada orang yang telah mencapai Nirwana dan dapat mengajarkannya.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|page=35}}
Keyakinan biasanya dikaitkan dengan [[Tiga Mestika]], yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] (ajarannya), dan [[sangha|Saṅgha]] (komunitasnya). Oleh sebab itu, keyakinan sering kali menjadikan individu tertentu sebagai objeknya. Walaupun begitu, keyakinan dalam Buddhisme berbeda dengan bakti dalam agama-agama India lainnya (''[[bhakti]]''), karena keyakinan tersebut berhubungan dengan objek-objek impersonal seperti kerja karma dan efikasi dari [[pelimpahan jasa]].{{sfn|Rotman|2008|loc=Seeing and Knowing, Getting and Giving}} Keyakinan tampaknya berfokus pada atau bermuara pada [[Jalan Utama Berunsur Delapan#Pengertian Benar|pandangan benar]] atau pemahaman atas aspek-aspek utama ajaran Buddha, seperti bagaimana sistem kerja [[karma (Buddha)|hukum karma]], [[Kebajikan (Buddha)|kebajikan]], dan [[kelahiran kembali (Buddha)|kelahiran kembali]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Terkait dengan Tiga Mestika, keyakinan berfokus pada dan bersukacita atas karakteristik Buddha, Dharma, dan Saṅgha.{{sfn|Barua|1931|pages=332–3}} Berkaitan dengan hukum karma, keyakinan merujuk kepada anggapan bahwa segala perbuatan memiliki dampak: perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.{{sfn|Findly|2003|pp=205–6}} Dengan demikian, keyakinan memberikan panduan dalam menuju kehidupan kedermawanan, moralitas, dan sifat religius.{{sfn|Barua|1931|page=333}} Keyakinan juga meliputi gagasan seperti keberadaan, [[Tiga Corak Umum|ketidakkekalan dan hakikat pengondisian]], dan pada akhirnya, [[Buddhabhāva|pencerahan]] sempurna Buddha atau [[Nirwana]] dan metode praktik menuju Nirwana.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin}}{{sfn|Conze|2003|p=78}}{{sfn|Findly|2003|p=203}} Keyakinan berarti harus percaya bahwa sudah ada orang yang telah mencapai Nirwana dan mereka dapat mengajarkan cara untuk mewujudkan hal yang sama.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|page=35}}


== Sejarah ==
== Sejarah ==
[[Hajime Nakamura]] membedakan dua arus dalam agama Buddha, yang ia sebut sebagai pendekatan devosional dan pendekatan "pengetahuan internal".{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Antropolog [[Melford Spiro]] memaparkan bahwa ''[[bhakti#Buddha|bhakti]]'' (devosi) di satu sisi dan ''[[magga]]'' (cara penyampaian) di sisi lainnya.{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}} Dalam agama Buddha, perihal perkembangan pemahaman keyakinan, ada dua lapisan sejarah: agama Buddha awal dan Buddha aliran Mahāyāna yang berkembang pada periode berikutnya. Beberapa cendekiawan awal abad ke-20, seperti [[Louis de La Vallée-Poussin]], [[Arthur Berriedale Keith]] dan [[Caroline Rhys Davids]], dikritik oleh para cendekiawan dari Sri Lanka karena tak membedakan dengan jelas dua hal tersebut.{{sfn|Suvimalee|2005|p=601}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=384–5}}
<!--[[Hajime Nakamura]] membedakan dua arus dalam Buddhisme, yang ia sebut sebagai pendekatan bakti dan pendekatan "pengetahuan batin".{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Sementara itu, antropolog [[Melford Spiro]] membedakan antara bakti dengan ''[[magga]]'' (jalan menuju pembebasan).{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}} -->Dalam Buddhisme, perihal perkembangan pemahaman keyakinan, ada dua tahapan sejarah, yaitu tahapan Buddhisme awal dan tahapan Buddha aliran Mahāyāna yang berkembang pada periode berikutnya. Beberapa cendekiawan awal abad ke-20, seperti [[Louis de La Vallée-Poussin]], [[Arthur Berriedale Keith]], dan [[Caroline Rhys Davids]], dikritik oleh para cendekiawan dari Sri Lanka karena tak membedakan dengan jelas dua tahapan tersebut.{{sfn|Suvimalee|2005|p=601}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=384–5}}


=== Agama Buddha awal ===
=== Buddhisme awal ===
{{utama|Sejarah Buddhisme#Tahap awal Buddhisme|Aliran Buddhis awal}}


Dalam teks-teks Buddhisme awal, seperti teks-teks dalam [[bahasa Pāli]], ''saddhā'' biasanya diterjemahkan sebagai "keyakinan", tetapi dengan makna tambahan yang berbeda ketimbang istilah Inggris-nya.{{sfn|De Silva|2002|p=214}} Istilah tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan", dalam hal kepercayaan akan doktrin.{{sfn|Findly|2003|p=203}}{{sfn|Gombrich|1995|pages=69–70}} Menurut cendekiawan John Bishop, keyakinan dalam Buddhisme awal pada dasarnya "religius tanpa nuansa teistik".{{sfn|Bishop|2016}} Keyakinan Buddhis awal tidaklah menjadikan [[teosentrisme|Tuhan sebagai pusat dari agama]].{{sfn|Gombrich|1995|page=71}} Berlawanan dengan [[Brahmanisme Weda]], yang mendahului Buddhisme, gagasan keyakinan dalam Buddhisme lebih berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dipelajari dan dipraktikkan, ketimbang berfokus pada dewa-dewi.{{sfn|Findly|1992|p=258}} Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan realitas menurut Buddhisme tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat Buddhisme berkembang, beberapa komunitas agama India sudah mengajarkan pendekatan kritis dalam memahami kebenaran.{{sfn|Jayatilleke|1963|page=277}}
{{utama|Sejarah agama Buddha#Tahap awal agama Buddha|Mazhab-mazhab Buddhis awal}}
Dalam teks-teks agama Buddha awal, seperti teks [[Pāli]], ''saddhā'' biasanya diterjemahkan sebagai "keyakinan", tetapi dengan konotasi berbeda ketimbang istilah Inggris-nya.{{sfn|De Silva|2002|p=214}} Kata tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "percaya", dalam hal percaya akan doktrin.{{sfn|Findly|2003|p=203}}{{sfn|Gombrich|1995|pages=69–70}} Menurut cendekiawan John Bishop, keyakinan dalam agama Buddha awal secara esensial merupakan "religius tanpa nuansa teistik".<ref>{{cite encyclopedia|url=https://plato.stanford.edu/entries/faith/|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADVlHDt?url=https://plato.stanford.edu/entries/faith/|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|encyclopedia=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|edition=Winter 2016|title=Faith|date=30 March 2016|access-date=17 August 2017|first=John|last=Bishop|editor-first=Edward N.|editor-last=Zalta|publisher=Metaphysics Research Lab, [[Stanford University]]|df=}}</ref> Ini tidaklah menjadikan [[teosentrisme|Tuhan sebagai pusat dari agama]].{{sfn|Gombrich|1995|page=71}} Berlawanan dengan [[Brahmanisme Weda]], yang mendahului agama Buddha, gagasan agama Buddha awal atas keyakinan lebih berkaitan dengan ajaran-ajaran untuk memahami dan menerapkan, ketimbang berfokus pada dewa-dewi sebagai makhluk eksternal.{{sfn|Findly|1992|p=258}} Ini tak berarti bahwa kesepakatan agama Buddha terhadap realitas tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat agama Buddha berkembang, beberapa komunitas agama India mengajarkan kesepakatan kritikal dalam memahami kebenaran.{{sfn|Jayatilleke|1963|page=277}}


Keyakinan tak sekadar komitmen mental atas serangkaian prinsip,{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} namun juga memiliki kualitas afektif.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|Werner|2013|page=45}} Para cendekiawan dalam agama Buddha awal membedakan antara keyakinan sebagai [[Pīti|kebahagiaan]] dan keyakinan sebagai ketenangan, memperluas pikiran menuju tingkat yang lebih tinggi;{{sfn|Werner|2013|page=45}} dan keyakinan sebagai sebuah [[Vīrya|energi]] yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|De Silva|2002|p=216}} Karena keyakinan membantu mengurangi kebingungan, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganutnya.{{sfn|Barua|1931|page=332}}
Keyakinan bukan sekadar komitmen batin atas sejumlah prinsip,{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} tetapi juga memiliki sifat afektif.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|Werner|2013|page=45}} Para cendekiawan dalam Buddhisme awal membedakan antara keyakinan sebagai [[Pīti|kebahagiaan]] dan keyakinan sebagai ketenangan, memperluas pikiran menuju tingkat yang lebih tinggi;{{sfn|Werner|2013|page=45}} dan keyakinan sebagai sebuah [[Vīrya|energi]] yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}}{{sfn|De Silva|2002|p=216}} Karena keyakinan membantu mengurangi kebingungan, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganutnya.{{sfn|Barua|1931|page=332}}


Penganut Buddha kemudian mencurahkan keyakinan kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] dan Saṅgha, serta kedisiplinan. Namun, dalam teks agama Buddha awal, keyakinan tak mengartikan tanggapan berlawanan atau kurangnya pengakuan atas dewa-dewi lainnya. Meskipun Buddha menolak pengurbanan secara kejam atas hewan, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, tetapi menganggap hal tersebut kurang berguna ketimbang persembahan amal kepada saṅgha monastik.<ref>{{cite journal|last=Giustarini|first=G.|year=2006|archive-url=https://web.archive.org/web/20140918115715/http://www.fupress.net/index.php/rss/article/view/2451/2286|url=http://www.fupress.net/index.php/rss/article/view/2451/2286|archive-date=18 September 2014|title=Faith and renunciation in Early Buddhism: ''saddhā'' and ''nekkhamma''|journal=Rivista di Studi Sud-Asiatici|issue=I|p=162}}</ref>{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} Sehingga, setiap hal diberi tempat sesuai dengan hierarki azas manfaat, yang mana bahwa perilaku moral lebih dihargai daripada upacara atau ritual.{{sfn|Lamotte|1988|p=81}}
Seorang penganut Buddha berkeyakinan kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, [[Dharma (Buddha)|Dharma]] dan Saṅgha, serta kedisiplinan. Namun, dalam teks Buddhisme awal, keyakinan bukan berarti bermusuhan atau menyangkal keberadaan dewa-dewi lainnya. Meskipun Buddha menolak pengurbanan hewan, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, tetapi menganggap hal tersebut kurang bermanfaat bila dibandingkan dengan persembahan amal kepada saṅgha biksu.{{sfn|Giustarini|2006|p=162}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=74–5}} Oleh sebab itu, segala hal memiliki kodratnya tersendiri terkait dengan kemanfaatannya, dan perilaku moral lebih dihargai dibandingkan upacara atau ritual.{{sfn|Lamotte|1988|p=81}}


Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar atas penderitaan (''[[dukkha]]''). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan menuntun para penganut merasakan [[samvega|takut dan agitasi]] ({{lang-pi|saṃvega|italic=yes}}), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil.{{sfn|Trainor|1989|pages=185–6}} Kemudian, keyakinan pada gilirannya mengantarkan kepada beberapa kualitas mental penting lainnya sepanjang jalan menuju ''[[Nirwana]]'', seperti sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Harvey|first1=Peter|author-link=Peter Harvey|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=''Dukkha'', non-self, and the "Four Noble Truths"|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/A%20Companion%20to%20Buddhist%20Philosophy_Emmanuel.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADr7eR4?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/A%20Companion%20to%20Buddhist%20Philosophy_Emmanuel.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|pages=31, 49|df=}}</ref> Namun, hanya berbekal keyakinan saja tak pernah dianggap cukup untuk mencapai ''Nirwana''.{{sfn|Thomas|1953|p=258}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}}
Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar atas penderitaan (''[[dukkha]]''). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan menuntun para penganut merasakan [[samvega|takut dan agitasi]] ({{lang-pi|saṃvega|italic=yes}}), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil.{{sfn|Trainor|1989|pages=185–6}} Kemudian, keyakinan pada gilirannya mengantarkan kepada beberapa kualitas mental penting lainnya sepanjang jalan menuju ''[[Nirwana]]'', seperti sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan.{{sfn|Harvey|2013a|pp=31, 49}} Namun, hanya berbekal keyakinan saja tak pernah dianggap cukup untuk mencapai ''Nirwana''.{{sfn|Thomas|1953|p=258}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}}


[[Berkas:Terenuri cultivate în lângă Orheiul Vechi.JPG|alt=Green plains.|jmpl|[[sangha|Saṅgha]] dideskripsikan sebagai "[[ladang kasih]]", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.{{sfn|Harvey|2013|p=246}}]]
[[Berkas:Terenuri cultivate în lângă Orheiul Vechi.JPG|alt=Green plains.|jmpl|[[sangha|Saṅgha]] dideskripsikan sebagai "[[ladang kasih]]", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.{{sfn|Harvey|2013b|p=246}}]]


Umat Buddha awam laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur disebut ''[[upasaka dan Upasika|upāsaka atau upāsika]]''. Untuk menjadi umat Buddha, tak ada ritual formal yang diwajibkan.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Tremblay|first1=Xavier|editor1-last=Heirman|editor1-first=Ann|editor2-last=Bumbacher|editor2-first=Stephan Peter|encyclopedia=The spread of Buddhism|title=The spread of Buddhism in Serindia|date=2007|publisher=[[Brill Publishers]]|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADtlDZJ?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Spread%20of%20Buddhism_HDO_Vol.16_2007.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|location=Leiden|isbn=9789004158306|edition=online|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Spread%20of%20Buddhism_HDO_Vol.16_2007.pdf|page=87|df=}}</ref>{{sfn|Lamotte|1988|p=247}} Beberapa ayat dalam [[Kitab Pāli]], serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti [[Buddhaghosa]], menyatakan bahwa umat awam Buddhis dapat mencapai surga hanya dengan memperkuat keyakinan mereka dan kasih sayang kepada Buddha, demikian juga dalam ayat lainnya, menyatakan bahwa keyakinan disandingkan dengan kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai penyebab yang menuntun penganutnya terlahir ke surga.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Thomas|1953|pp=56, 117}} Terlepas dari semua itu, keyakinan adalah bagian penting dari cara pandang umat awam Buddhis, karena keyakinan diwujudkan dalam bentuk kebiasaan bertemu dengan saṅgha, menyimak ajarannya, dan yang terpenting, memberikan dana kepada saṅgha. ''Saddhā'' dalam kehidupan awam berkaitan erat dengan [[dana (Buddha)|''dāna'' (kedermawanan)]]: Pemberian tulus adalah pemberian spritual yang paling penting.{{sfn|Findly|2003|pp=200, 202}}
Umat Buddha awam laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur disebut ''[[upasaka dan Upasika|upāsaka atau upāsika]]''. Untuk menjadi umat Buddha, tak ada ritual formal yang diwajibkan.{{sfn|Tremblay|2007|p=87}}{{sfn|Lamotte|1988|p=247}} Beberapa ayat dalam [[Kitab Pāli]], serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti [[Buddhaghosa]], menyatakan bahwa umat awam Buddhis dapat mencapai surga hanya dengan memperkuat keyakinan mereka dan kasih sayang kepada Buddha, demikian juga dalam ayat lainnya, menyatakan bahwa keyakinan disandingkan dengan kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai penyebab yang menuntun penganutnya terlahir ke surga.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Thomas|1953|pp=56, 117}} Terlepas dari semua itu, keyakinan adalah bagian penting dari cara pandang umat awam Buddhis, karena keyakinan diwujudkan dalam bentuk kebiasaan bertemu dengan saṅgha, menyimak ajarannya, dan yang terpenting, memberikan dana kepada saṅgha. ''Saddhā'' dalam kehidupan awam berkaitan erat dengan [[dana (Buddha)|''dāna'' (kedermawanan)]]: Pemberian tulus adalah pemberian spritual yang paling penting.{{sfn|Findly|2003|pp=200, 202}}


Keyakinan termasuk dalam daftar kebajikan untuk umat awam, sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para umat Buddha, karena umat yang baru masuk agama Buddha memiliki ciri-ciri "hijau dalam devosi".{{sfn|Findly|2003|p=202}} Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan yang mana keyakinan diikutsertakan,{{sfn|Lamotte|1988|p=74}}{{sfn|De Silva|2002|p=215}} dan tradisi Buddhis awal lainnya juga menekankan betapa pentingnya peranan keyakinan, seperti tradisi [[Sarwāstiwāda]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Selain itu, agama Buddha awal mendeskripsikan keyakinan sebagai kualitas berpengaruh dalam [[Sotāpanna|pemasuk arus]], sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013|pp=85, 237}}{{sfn|De Silva|2002}} Dalam deskripsi standar dari mereka yang [[Pabbajja|meninggalkan rumah]] (menerima penahbisan biksu), keyakinan disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti [[André Bareau]] dan Lily De Silva meyakini bahwa agama Buddha awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "agama Buddha tak memiliki keyakinan murni sebagai padanannya dalam agama Kristen, ... Pandangan tentang kepercayaan membuta, keyakinan absolut akan firman seorang master, secara terang-terangan berbertolak belakang dengan semangat agama Buddha awal."{{sfn|De Silva|2002|pp=214–5}}<ref>{{cite book|last1=Ergardt|first1=Jan T.|title=Faith and knowledge in early Buddhism : an analysis of the contextual structures of an arahant-formula in the Majjhima-Nikāya|date=1977|publisher=Brill (penerbit )|location=Leiden|isbn=9004048413|doi=10.2307/2054272|page=1|quote=Der Buddhismus kennt keinen dem des Christentums vergleichbaren reinen Glauben, ... Die Idee eines blinden Glaubens, eines absoluten Vertrauens in die Worte eines Meisters ist dem Geist des alten Buddhismus ganz entgegengesetzt.}}</ref> Namun, penerjemah [[Caroline Rhys Davids]] tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "keyakinan sama pentingnya bagi semua penganut agama karena itulah yang disebut sebagai penganut agama".{{sfn|Jayatilleke|1963|p=383}}{{sfn|Findly|2003|p=201}} Indologis [[Richard Gombrich]] berpendapat bahwa agama Buddha tak menentukan [[credo quia absurdum|percaya akan seseorang atau sesuatu sampai taraf berlawanan dengan penalaran]].<!--pp=119-20--> Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada devosi kepada dirinya, meskipun ia mengakui bahwa devosi semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.{{sfn|Gombrich|2006|pages=119–22}}{{sfn|Gombrich|2009|p=199}} Gombrich menyatakan bahwa ada banyak catatan dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan betapa pentingya pengaruh keyakinan tersebut,{{sfn|Gombrich|2006|pages=120–22}} namun ia juga berpendapat bahwa "perkembangan seremoni dan liturgi Buddhis benar-benar sebuah [[konsekuensi tanpa tujuan|konsekuensi tanpa disengaja]] secara keseluruhan kotbah dari Buddha".{{sfn|Gombrich|2009|p=200}}
Keyakinan termasuk dalam daftar kebajikan untuk umat awam, sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para umat Buddha, karena umat yang baru masuk Buddhisme memiliki ciri-ciri "hijau dalam bakti".{{sfn|Findly|2003|p=202}} Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan yang mana keyakinan diikutsertakan,{{sfn|Lamotte|1988|p=74}}{{sfn|De Silva|2002|p=215}} dan tradisi Buddhis awal lainnya juga menekankan betapa pentingnya peranan keyakinan, seperti tradisi [[Sarwāstiwāda]].{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Selain itu, Buddhisme awal mendeskripsikan keyakinan sebagai kualitas berpengaruh dalam [[Sotāpanna|pemasuk arus]], sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013b|pp=85, 237}}{{sfn|De Silva|2002}} Dalam deskripsi standar dari mereka yang [[Pabbajja|meninggalkan rumah]] (menerima penahbisan biksu), keyakinan disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti [[André Bareau]] dan Lily De Silva meyakini bahwa Buddhisme awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "Buddhisme tak memiliki keyakinan murni sebagai padanannya dalam agama Kristen, ... Pandangan tentang kepercayaan membuta, keyakinan absolut akan firman seorang master, secara terang-terangan berbertolak belakang dengan semangat Buddhisme awal."{{sfn|De Silva|2002|pp=214–5}}{{sfn|Ergardt|1977|p=1}} Namun, penerjemah [[Caroline Rhys Davids]] tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "keyakinan sama pentingnya bagi semua penganut agama karena itulah yang disebut sebagai penganut agama".{{sfn|Jayatilleke|1963|p=383}}{{sfn|Findly|2003|p=201}} Indologis [[Richard Gombrich]] berpendapat bahwa Buddhisme tak menentukan [[credo quia absurdum|percaya akan seseorang atau sesuatu sampai taraf berlawanan dengan penalaran]].<!--pp=119-20--> Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada bakti kepada dirinya, meskipun ia mengakui bahwa bakti semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.{{sfn|Gombrich|2006a|pages=119–22}}{{sfn|Gombrich|2009|p=199}} Gombrich menyatakan bahwa ada banyak catatan dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan betapa pentingya pengaruh keyakinan tersebut,{{sfn|Gombrich|2006a|pages=120–22}} namun ia juga berpendapat bahwa "perkembangan seremoni dan liturgi Buddhis benar-benar sebuah [[konsekuensi tanpa tujuan|konsekuensi tanpa disengaja]] secara keseluruhan khotbah dari Buddha".{{sfn|Gombrich|2009|p=200}}


==== Mengambil perlindungan ====
==== Mengambil perlindungan ====
Baris 63: Baris 96:
{{Main|Perlindungan (Buddha)}}
{{Main|Perlindungan (Buddha)}}
[[Berkas:Luang Prabang Takuhatsu ルアンパバーン 托鉢僧 DSCF6990.JPG|jmpl|Dalam [[Kitab Pāli]], [[biksu Buddha]] memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan keyakinan di kalangan [[Upāsaka dan Upāsikā|kaum awam]].{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}]]
[[Berkas:Luang Prabang Takuhatsu ルアンパバーン 托鉢僧 DSCF6990.JPG|jmpl|Dalam [[Kitab Pāli]], [[biksu Buddha]] memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan keyakinan di kalangan [[Upāsaka dan Upāsikā|kaum awam]].{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}]]
Sejak agama Buddha awal, para penganut menyatakan keyakinannya melalui mengambil perlindungan, yang terdiri dari [[tiga perlindungan|tiga lapisan]]. Dalam hal ini berpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang telah tercerahkan sepenuhnya, dengan menempatkan peran Buddha sebagai guru umat manusia dan para ''[[dewa (Buddha)|dewā]]'' (makhluk surgawi). Perlinungan ini juga mencakup para Buddha dari masa lampau, dan Buddha yang belum hadir di dunia ini. Kedua, mengambil perlindungan dengan cara menghormati kebenaran dan efikasi [[Dharma (Buddha)|ajaran spiritual]] Buddha, yang mencakup karakteristik [[saṅkhāra|fenomena]] ({{lang-pi|saṅkhāra|italic=yes}}) seperti [[anicca|ketidakkekalan]] ({{lang-pi|anicca|italic=yes}}) fenomena, dan jalan menuju pembebasan.{{sfn|Harvey|2013|p=245}}<ref name="Kariyawasam">{{cite book|last=Kariyawasam|first=A.G.S.|year=1995|title=Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka|series=The Wheel Publication|location=Kandy, Sri Lanka|publisher=[[Buddhist Publication Society]]|accessdate=23 October 2007|url=http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/kariyawasam/wheel402.html|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20130328021534/http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/kariyawasam/wheel402.html|archivedate=28 March 2013|df=}}</ref> Mengambil perlindungan terakhir yaitu dengan menerima [[sangha (Buddha)|komunitas para praktisi yang telah berkembang secara spiritual]] (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain itu juga meliputi kaum awam dan bahkan para ''dewā'' dengan anggapan bahwa mereka sudah hampir atau sepenuhnya mencapai [[empat tahap pencerahan|pencerahan]].{{sfn|Harvey|2013|p=246}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Agama Buddha awal tak mengikutsertakan elemen ''[[bodhisatwa]]'' dalam Tiga Perlindungan, karena para bodhisatwa dianggap masih berada dalam perjalanan menuju pencerahan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Paramatthasaṅgha}}
Sejak Buddhisme awal, para penganut menyatakan keyakinannya melalui mengambil perlindungan, yang terdiri dari [[tiga perlindungan|tiga lapisan]]. Dalam hal ini berpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang telah tercerahkan sepenuhnya, dengan menempatkan peran Buddha sebagai guru umat manusia dan para ''[[dewa (Buddha)|dewā]]'' (makhluk surgawi). Perlinungan ini juga mencakup para Buddha dari masa lampau, dan Buddha yang belum hadir di dunia ini. Kedua, mengambil perlindungan dengan cara menghormati kebenaran dan efikasi [[Dharma (Buddha)|ajaran spiritual]] Buddha, yang mencakup karakteristik [[saṅkhāra|fenomena]] ({{lang-pi|saṅkhāra|italic=yes}}) seperti [[anicca|ketidakkekalan]] ({{lang-pi|anicca|italic=yes}}) fenomena, dan jalan menuju pembebasan.{{sfn|Harvey|2013b|p=245}}{{sfn|Kariyawasam|1995}} Mengambil perlindungan terakhir yaitu dengan menerima [[sangha (Buddha)|komunitas para praktisi yang telah berkembang secara spiritual]] (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain itu juga meliputi kaum awam dan bahkan para ''dewā'' dengan anggapan bahwa mereka sudah hampir atau sepenuhnya mencapai [[empat tahap pencerahan|pencerahan]].{{sfn|Harvey|2013b|p=246}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Buddhisme awal tak mengikutsertakan elemen ''[[bodhisatwa]]'' dalam Tiga Perlindungan, karena para bodhisatwa dianggap masih berada dalam perjalanan menuju pencerahan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Paramatthasaṅgha}}


Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "[[ladang kasih|ladang kebajikan]]", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka sehingga bisa mendatangkan karma baik.{{sfn|Harvey|2013|p=246}} Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, mereka yakin dengan cara demikian akan menghasilkan kebajikan dan membawa mereka semakin dekat dengan pencerahan.{{sfn|Werner|2013|page=39}} Sementara itu, biksu Buddhis memberikan peran signifikan dalam meningkatkan dan mempertahankan keyakinan umat awam. Meskipun ada banyakcontoh dalam kitab suci menyebutkan perilaku baik para monastik, tetapi ada juga kasus para biksu berperilaku buruk. Kasus biksu berperilaku buruk ditanggapi dengan hati-hati sebagaimana reaksi dari para umat, hal demikian disebutkan dalam kitab suci. Saat Buddha mulai menetapkan aturan baru dalam [[Vinaya|peraturan monastik]] untuk menangani perilaku buruk monastiknya, Beliau menyatakan bahwa perilaku demikian hendaknya dihentikan, karena tak akan "menyakinkan umat lain" dan "umat sendiri akan menjauh". Beliau mengharapkan para biksu, biksuni dan [[samanera]]-samaneri untuk hidup bukan hanya demi memberikan manfaat untuk diri sendiri saja, tetapi juga menopang keyakinan masyarakat. Di sisi lain, tugas menginspirasi keyakinan umat bukanlah demi menyuburkan kemunafikan atau hal yang tidak sepantasnya, sebagai contohnya, monastik yang tidak menjalankan tugas sebagai monastik malahan berprofesi lain, atau memberikan oleh-oleh kepada umat awam dengan harapan untuk meminta bantuannya.{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}
Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "[[ladang kasih|ladang kebajikan]]", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka sehingga bisa mendatangkan karma baik.{{sfn|Harvey|2013b|p=246}} Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, mereka yakin dengan cara demikian akan menghasilkan kebajikan dan membawa mereka semakin dekat dengan pencerahan.{{sfn|Werner|2013|page=39}} Sementara itu, biksu Buddhis memberikan peran signifikan dalam meningkatkan dan mempertahankan keyakinan umat awam. Meskipun ada banyakcontoh dalam kitab suci menyebutkan perilaku baik para monastik, tetapi ada juga kasus para biksu berperilaku buruk. Kasus biksu berperilaku buruk ditanggapi dengan hati-hati sebagaimana reaksi dari para umat, hal demikian disebutkan dalam kitab suci. Saat Buddha mulai menetapkan aturan baru dalam [[Vinaya|peraturan monastik]] untuk menangani perilaku buruk monastiknya, Beliau menyatakan bahwa perilaku demikian hendaknya dihentikan, karena tak akan "menyakinkan umat lain" dan "umat sendiri akan menjauh". Beliau mengharapkan para biksu, biksuni dan [[samanera]]-samaneri untuk hidup bukan hanya demi memberikan manfaat untuk diri sendiri saja, tetapi juga menopang keyakinan masyarakat. Di sisi lain, tugas menginspirasi keyakinan umat bukanlah demi menyuburkan kemunafikan atau hal yang tidak sepantasnya, sebagai contohnya, monastik yang tidak menjalankan tugas sebagai monastik malahan berprofesi lain, atau memberikan oleh-oleh kepada umat awam dengan harapan untuk meminta bantuannya.{{sfn|Wijayaratna|1990|pages=130–1}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Kuladūșaka}}


Dengan demikian, mengambil perlindungan merupakan sebuah bentuk aspirasi untuk menjadikan Tiga Mestika sebagai pedoman inti kehidupan. Mengambil perlindungan dilakukan lewat formula singkat, seseorang menyebutkan Buddha, Dharma dan Saṅgha sebagai perlindungan.{{sfn|Irons|2008|p=403}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Pada naskah-naskah Buddhis awal, mengambil perlindungan adalah sebuah pernyataan tekad untuk mengikuti petunjuk dari Buddha, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab.<ref name="Kariyawasam" />
Dengan demikian, mengambil perlindungan merupakan sebuah bentuk aspirasi untuk menjadikan Tiga Mestika sebagai pedoman inti kehidupan. Mengambil perlindungan dilakukan lewat formula singkat, seseorang menyebutkan Buddha, Dharma dan Saṅgha sebagai perlindungan.{{sfn|Irons|2008|p=403}}{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=43}} Pada naskah-naskah Buddhis awal, mengambil perlindungan adalah sebuah pernyataan tekad untuk mengikuti petunjuk dari Buddha, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab.{{sfn|Kariyawasam|1995}}

Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada [[Tiga Permata|Triratna]] dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):<ref>{{Cite web|title=SuttaCentral: Saraṇattaya|url=https://suttacentral.net/kp1/|website=SuttaCentral|language=en|access-date=2024-05-22}}</ref><ref>{{Cite web|title=The Threefold Refuge: tisarana|url=https://www.accesstoinsight.org/ptf/tisarana.html|website=www.accesstoinsight.org|access-date=2024-05-22}}</ref><ref>{{Cite web|title=Refuge in the Buddha|url=https://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bodhi/bps-essay_21.html|website=www.accesstoinsight.org|access-date=2024-05-22}}</ref>

{{Verse translation|Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi,
Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi|Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Saṅgha|attr1=Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya}}


==== Melalui verifikasi ====
==== Melalui verifikasi ====
[[Berkas:Kesariya.jpg|jmpl|upright=1.3|[[Stupa Kesaria|Stūpa]] Buddha di [[Kesaria|Kesariya]], [[Bihar]], India, didirikan untuk menghormati [[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]]]
[[Berkas:Kesariya.jpg|jmpl|upright=1.3|[[Stupa Kesaria|Stūpa]] Buddha di [[Kesaria|Kesariya]], [[Bihar]], India, didirikan untuk menghormati [[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]]]
Keyakinan dapat menuntun para praktisi untuk memegang teguh perlindungan kepada Tiga Mestika, hal ini juga yang membukakan jalan menuju pengalaman spiritual baru yang belum pernah mereka ketahui. Ini adalah aspek devosional atau aspek mistis dari keyakinan. Namun, ada juga aspek rasional, makna perlindungan berakar pada verifikasi pribadi.{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Dalam ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'', Buddha menegaskan bahwa Ia tidak setuju dengan prinsip seseorang mengikuti otoritas suci, tradisi, doktrin logika, atau demi menghormati seorang guru.{{sfn|Suvimalee|2005|p=604}} Pengetahuan yang datang dari sumber seperti itu berdasarkan pada [[kilesa|kesombongan, kebencian dan delusi]] dan para buddhis harus menyerap pengetahuan demikian secara berimbang dan jangan percaya begitu saja. Namun, ajaran seperti itu juga perlu dipertanyakan. Mereka perlu mencari tahu apakah ajaran itu benar melalui verifikasi pribadi atas kebenaran spiritual, membedakan apa saja yang menuntun kepada kebahagiaan dan memberikan manfaat, dan apa saja yang sebaliknya.{{sfn|Jayatilleke|1963|p=390}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.065.soma.html Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh [[Soma Thera]]]}} Setelah memberikan contoh melalui pendekatan seperti itu, Buddha menyatakan bahwa praktik yang mengurangi kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin akan bermanfaat bagi para praktisi, terlepas dari apakah retribusi karma dan kelahiran kembali itu ada atau tiada.<ref name="Blakkarly">{{cite news|last1=Blakkarly|first1=Jarni|title=The Buddhist Leap of Faith|url=http://www.abc.net.au/religion/articles/2014/11/05/4122342.htm|accessdate=24 July 2017|work=[[ABC (Australia)|ABC]]|date=5 November 2014|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170727125253/http://www.abc.net.au/religion/articles/2014/11/05/4122342.htm|archivedate=27 July 2017|df=}}</ref> Dengan demikian, pengalaman pribadi dan penilaian sangat ditekankan apabila berkenaan dengan apakah seseorang berkenan menerima Buddha dan agama Buddha. Seseorang seharusnya juga mendengarkan arahan dari para bijaksana.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}
Keyakinan dapat menuntun para praktisi untuk memegang teguh perlindungan kepada Tiga Mestika, hal ini juga yang membukakan jalan menuju pengalaman spiritual baru yang belum pernah mereka ketahui. Ini adalah aspek bakti atau aspek mistis dari keyakinan. Namun, ada juga aspek rasional, makna perlindungan berakar pada verifikasi pribadi.{{sfn|Nakamura|1997|p=392}} Dalam ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'', Buddha menegaskan bahwa Ia tidak setuju dengan prinsip seseorang mengikuti otoritas suci, tradisi, doktrin logika, atau demi menghormati seorang guru.{{sfn|Suvimalee|2005|p=604}} Pengetahuan yang datang dari sumber seperti itu berdasarkan pada [[kilesa|kesombongan, kebencian dan delusi]] dan para buddhis harus menyerap pengetahuan demikian secara berimbang dan jangan percaya begitu saja. Namun, ajaran seperti itu juga perlu dipertanyakan. Mereka perlu mencari tahu apakah ajaran itu benar melalui verifikasi pribadi atas kebenaran spiritual, membedakan apa saja yang menuntun kepada kebahagiaan dan memberikan manfaat, dan apa saja yang sebaliknya.{{sfn|Jayatilleke|1963|p=390}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di [http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.065.soma.html Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh [[Soma Thera]]]}} Setelah memberikan contoh melalui pendekatan seperti itu, Buddha menyatakan bahwa praktik yang mengurangi kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin akan bermanfaat bagi para praktisi, terlepas dari apakah retribusi karma dan kelahiran kembali itu ada atau tiada.{{sfn|Blakkarly|2014}} Dengan demikian, pengalaman pribadi dan penilaian sangat ditekankan apabila berkenaan dengan apakah seseorang berkenan menerima Buddha dan Buddhisme. Seseorang seharusnya juga mendengarkan arahan dari para bijaksana.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}


Dalam ''Canki Sutta'', Buddha menekankan bahwa cara seseorang memunculkan keyakinan terdiri dari dua bentuk: keyakinan tulus yang berlandaskan fakta dan tidak keliru atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang menganut keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, sisanya keliru," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".{{sfn|Suvimalee|2005|p=603}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di:
Dalam ''Canki Sutta'', Buddha menekankan bahwa cara seseorang memunculkan keyakinan terdiri dari dua bentuk: keyakinan tulus yang berlandaskan fakta dan tidak keliru atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang menganut keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, sisanya keliru," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".{{sfn|Suvimalee|2005|p=603}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}}{{refn|group=note|Catatan tersebut dapat ditemukan di:
{{cite web|title=Canki Sutta: With Canki|url=http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.095x.than.html|first=Thanissaro|last=Bhikkhu|author-link=Thanissaro Bhikkhu|access-date=2017-05-26}}}} Sehingga, sutta itu mengkritik [[wahyu ilahi]], tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "keyakinan tak berdasar" dan pengertian tak lengkap dari penyerapan pengetahuan atau kebenaran spiritual.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–8}} Namun dalam ''Sandaka Sutta'', Buddha juga mengkritik cara memahami kebenaran hanya lewat akal budi dan logika saja.{{sfn|Suvimalee|2005|p=603}}{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–8}} Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, kemudian pengetahuan itu tak dipengaruhi oleh sikap bias.<!--p.29-->{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–9}}{{sfn|Holder|2013|pp=225–6}} Jadi, kepercayaan dan keyakinan saja tidak mencukupi untuk memperoleh kebenaran, walaupun berkaitan dengan spiritual, para penganut agama lain menyebutnya sebagai keyakinan. Buddha tidak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.{{sfn|Suvimalee|2005|page=601}}{{sfn|Holder|2013|pp=225–6}} Dalam satu wejangan, Buddha ditanya hal apa yang menjadi landasan keabsahan ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak menggunakan tradisi, keyakinan, dan penalaran sebagai landasan keabsahan ajarannya, tetapi cenderung menggunakan pengalaman pribadi sebagai sumber otoritasnya.{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=169–71}}
{{cite web|title=Canki Sutta: With Canki|url=http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.095x.than.html|first=Thanissaro|last=Bhikkhu|author-link=Thanissaro Bhikkhu|access-date=2017-05-26}}}} Sehingga, sutta itu mengkritik [[wahyu ilahi]], tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "keyakinan tak berdasar" dan pengertian tak lengkap dari penyerapan pengetahuan atau kebenaran spiritual.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–8}} Namun dalam ''Sandaka Sutta'', Buddha juga mengkritik cara memahami kebenaran hanya lewat akal budi dan logika saja.{{sfn|Suvimalee|2005|p=603}}{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–8}} Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, kemudian pengetahuan itu tak dipengaruhi oleh sikap bias.<!--p.29-->{{sfn|Kalupahana|1976|pp=27–9}}{{sfn|Holder|2013|pp=225–6}} Jadi, kepercayaan dan keyakinan saja tidak mencukupi untuk memperoleh kebenaran, walaupun berkaitan dengan spiritual, para penganut agama lain menyebutnya sebagai keyakinan. Buddha tidak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.{{sfn|Suvimalee|2005|page=601}}{{sfn|Holder|2013|pp=225–6}} Dalam satu wejangan, Buddha ditanya hal apa yang menjadi landasan keabsahan ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak menggunakan tradisi, keyakinan, dan penalaran sebagai landasan keabsahan ajarannya, tetapi cenderung menggunakan pengalaman pribadi sebagai sumber otoritasnya.{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=169–71}}
[[Berkas:Buddha Kopf.jpg|jmpl|Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk ''Vimaṁsaka Sutta'', bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=390–3}}]]
[[Berkas:Buddha Kopf.jpg|jmpl|Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk ''Vimaṁsaka Sutta'', bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=390–3}}]]
Kesimpulannya, umat Buddha wajib memverifikasi kebenaran dan moralitas lewat pengalaman pribadi. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "mempertahankan kebenaran". Keyakinan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi pribadi dari keyakinan seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "mempertahankan" menjadi "menemukan" kebenaran.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}} Proses verifikasi melibatkan berbagai pengalaman pada umumnya, selain itu juga pengalaman [[yoga]] dari pelatihan batin.{{sfn|Hoffmann|1987|page=409}} Selain itu, Buddha menyebutkan kriteria untuk ajarannya sendiri: Dia sendiri memiliki kualifikasi untuk mengajarkan Dharmanya karena dia sendiri telah memverifikasinya, tetapi tak mempelajarinya dari orang lain atau diperoleh dari logika.{{sfn|Holder|2013|p=227}} Buddha menyatakan dalam beberapa wejangan, termasuk ''Vimaṁsaka Sutta'', bahwa para muridnya harus menyelidikinya, termasuk menyelidiki Buddha, cari tahu apakah dia sudah tercerahkan atau tindak tanduknya sudah murni, dengan cara mengamatinya dalam kurun waktu panjang.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=390–3}} Beberapa orang yang dideskripsikan dalam kanon Pali menyebutkan bahwa ada orang yang mengamati Buddha dengan sedemikian rupa sehingga dia bisa memunculkan keyakinan kokoh.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}} Hal ini bukan berarti Buddha tidak menerima sikap penghormatan dari orang lain kepada dirinya: Buddha mengajarkan tata cara devosi bisa membantu pikiran praktisi awam menjadi bersemangat, dan membantu mereka sepanjang jalan agar bisa memperoleh kelahiran yang lebih baik dan pencerahan.{{sfn|Werner|2013|pages=43–4}} Oleh karena itu, devosi merupakan topik bagi praktisi serius yang berminat untuk mendalaminya.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Tuladhar-Douglas|first1=William|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Pūjā: Buddhist pūjā|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865980-5|page=7496|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|volume=11|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302005458/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|archivedate=2017-03-02|df=}}</ref>
Kesimpulannya, umat Buddha wajib memverifikasi kebenaran dan moralitas lewat pengalaman pribadi. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "mempertahankan kebenaran". Keyakinan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi pribadi dari keyakinan seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "mempertahankan" menjadi "menemukan" kebenaran.{{sfn|De Silva|2002|p=215}}{{sfn|Fuller|2004|page=36}} Proses verifikasi melibatkan berbagai pengalaman pada umumnya, selain itu juga pengalaman [[yoga]] dari pelatihan batin.{{sfn|Hoffmann|1987|page=409}} Selain itu, Buddha menyebutkan kriteria untuk ajarannya sendiri: Dia sendiri memiliki kualifikasi untuk mengajarkan Dharmanya karena dia sendiri telah memverifikasinya, tetapi tak mempelajarinya dari orang lain atau diperoleh dari logika.{{sfn|Holder|2013|p=227}} Buddha menyatakan dalam beberapa wejangan, termasuk ''Vimaṁsaka Sutta'', bahwa para muridnya harus menyelidikinya, termasuk menyelidiki Buddha, cari tahu apakah dia sudah tercerahkan atau tindak tanduknya sudah murni, dengan cara mengamatinya dalam kurun waktu panjang.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=390–3}} Beberapa orang yang dideskripsikan dalam kanon Pali menyebutkan bahwa ada orang yang mengamati Buddha dengan sedemikian rupa sehingga dia bisa memunculkan keyakinan kokoh.{{sfn|De Silva|2002|pp=215–6}} Hal ini bukan berarti Buddha tidak menerima sikap penghormatan dari orang lain kepada dirinya: Buddha mengajarkan tata cara bakti bisa membantu pikiran praktisi awam menjadi bersemangat, dan membantu mereka sepanjang jalan agar bisa memperoleh kelahiran yang lebih baik dan pencerahan.{{sfn|Werner|2013|pages=43–4}} Oleh karena itu, bakti merupakan topik bagi praktisi serius yang berminat untuk mendalaminya.{{sfn|Tuladhar-Douglas|2005|p=7496}}


==== Langkah awal ====
==== Langkah awal ====
Baris 82: Baris 123:
Keyakinan merupakan kepercayaan kepada Buddha sebagai guru spiritual dan menerima ajaran-ajaran Buddha di tahap awal. Keyakinan dianggap bermanfaat besar bagi praktisi pemula dari ajaran Buddha.{{sfn|Nakamura|1997|p=392}}{{sfn|De Silva|2002|p=216}} Dalam ''Cula-hatthipadopama Sutta'', Buddha mendeskripsikan jalan menuuju pencerahan dimulai dari memiliki keyakinan kepadanya, namun tetap mempraktikkan kebajikan, meditasi, dan kebijaksanaan, semua itu berujung pada pencerahan. Dengan demikian, keyakinan ditahap awal mendukung kepercayaan diri untuk meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir,{{sfn|Suvimalee|2005|pp=602–3}} dan untuk alasan ini pula, dalam ajaran Buddha awal, keyakinan biasanya disebutkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.{{sfn|Findly|2003|p=202}}
Keyakinan merupakan kepercayaan kepada Buddha sebagai guru spiritual dan menerima ajaran-ajaran Buddha di tahap awal. Keyakinan dianggap bermanfaat besar bagi praktisi pemula dari ajaran Buddha.{{sfn|Nakamura|1997|p=392}}{{sfn|De Silva|2002|p=216}} Dalam ''Cula-hatthipadopama Sutta'', Buddha mendeskripsikan jalan menuuju pencerahan dimulai dari memiliki keyakinan kepadanya, namun tetap mempraktikkan kebajikan, meditasi, dan kebijaksanaan, semua itu berujung pada pencerahan. Dengan demikian, keyakinan ditahap awal mendukung kepercayaan diri untuk meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir,{{sfn|Suvimalee|2005|pp=602–3}} dan untuk alasan ini pula, dalam ajaran Buddha awal, keyakinan biasanya disebutkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.{{sfn|Findly|2003|p=202}}


Selain ''saddhā'', istilah lainnya yaitu ''pasāda'', dan sinonim-sinonim terkaitnya ''pasanna'' dan ''pasidati'', terkadang juga diterjemahkan menjadi 'keyakinan', tetapi memberi nilai yang lebih tinggi daripada ''saddhā''.<!--p=214--> ''Saddhā'' menjadi semakin mendalam ketika seseorang semakin maju dalam perjalanan spiritualnya, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai ''pasāda'',<!--p=216-->{{sfn|De Silva|2002|pp=214, 216}}{{sfn|Harvey|2013|p=31}}{{sfn|Trainor|1989|page=187}} dan terkadang sebagai ''bhakti''.{{sfn|Barua|1931|page=333}} ''Pasāda'' adalah keyakinan dan kecenderungan tertarik kepada seorang guru, tetapi dibarengi oleh kejernihan batin, kedamaian hati, dan pengertian..{{sfn|Trainor|1989|page=187}} Sang murid yang berlatih mulai mengembangkan dan menstabilkan keyakinannya berlandaskan kewawasan spiritual.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=297}} Semua ini menuntun keyakinan menjadi "tak tergoyahkan".{{sfn|Suvimalee|2005|pp=601–2}}{{sfn|De Silva|2002|p=217}}
Selain ''saddhā'', istilah lainnya yaitu ''pasāda'', dan sinonim-sinonim terkaitnya ''pasanna'' dan ''pasidati'', terkadang juga diterjemahkan menjadi 'keyakinan', tetapi memberi nilai yang lebih tinggi daripada ''saddhā''.<!--p=214--> ''Saddhā'' menjadi semakin mendalam ketika seseorang semakin maju dalam perjalanan spiritualnya, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai ''pasāda'',<!--p=216-->{{sfn|De Silva|2002|pp=214, 216}}{{sfn|Harvey|2013b|p=31}}{{sfn|Trainor|1989|page=187}} dan terkadang sebagai ''bhakti''.{{sfn|Barua|1931|page=333}} ''Pasāda'' adalah keyakinan dan kecenderungan tertarik kepada seorang guru, tetapi dibarengi oleh kejernihan batin, kedamaian hati, dan pengertian..{{sfn|Trainor|1989|page=187}} Sang murid yang berlatih mulai mengembangkan dan menstabilkan keyakinannya berlandaskan kewawasan spiritual.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=297}} Semua ini menuntun keyakinan menjadi "tak tergoyahkan".{{sfn|Suvimalee|2005|pp=601–2}}{{sfn|De Silva|2002|p=217}}

Dengan demikian, keyakinan saja belumlah cukup untuk mencapai keselamatan, tetap itu hanyalah langkah pertama menuju kebijaksanaan dan pencerahan..{{sfn|Findly|1992|page=265}} Beberapa ajaran dalam Buddhisme awal menyebut keyakinan sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.{{sfn|Harvey|2013b|p=237}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=396–7}} Pada tahap akhir jalan praktik Buddhis, untuk menuju ''[[Arhat|arahat]]'', seorang praktisi secara keseluruhan mengganti keyakinan dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, ''arahat'' tak lagi mengandalkan keyakinan,{{sfn|Barua|1931|p=336}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} walaupun sudah tiba pada tahap tersebut, kadang-kadang bentuk keyakinan komplet juga pernah dijelaskan.{{sfn|Hoffmann|1987|pages=405, 409}} Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaannya bukan keyakinannya. Pengecualian pada Bhant Vakkali, ia dipuji oleh buddha sebagai "Dia yang tertinggi dalam keyakinan diantara orang lain", Buddha juga mengajarkan muridnya agar fokus pada ajarannya, bukan pada sosok Buddha.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} Tampaknya Buddha juga menegur muridnya, Bhante Ānanda melalui cara yang serupa.{{sfn|Findly|1992|pp=268–9}}

Dalam Kitab Pali menjelaskan beberapa pendekatan berbeda berkenaan dengan keyakinan. Saat mengembangkan keyakinan kepada seseorang atau kepada Buddha, upaya ini memberikan manfaat kecil apalagi terlalu berlebihan berkaitan dengan fitur tidak signifikan seperti tampak fisik, lalu tidak terlalu fokus pada ajaran Buddha. Pendekatan keyakinan seperti ini mengarahkan kepada perasaan sayang dan marah dan juga ada kekurangan lainnya. Hal demikian merupakan penghalang dalam menyusuri jejak Buddha dan pencapaian pencerahan, serupa dengan kasus Vakkali. Keyakinan dan bakti perlu berjalan bersama-sama dengan dibarengi dengan [[upekkha|Ekuanimitas]].{{sfn|Harvey|2013b|p=28}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=388}}{{sfn|Werner|2013|page=47}}

=== Theravāda ===
Pada umumnya, praktik-pratik dalam aliran [[Theravāda]] serupa dengan praktik-praktik dalam [[Buddhisme awal|Buddhisme Awal]]. Akan tetapi, aliran Theravāda juga secara khusus membahas tentang keyakinan dalam [[Aṭṭhakathā|kitab-kitab komentarnya]].

==== Formula ====
Menurut aliran [[Theravāda]], ''saddhā'' dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] Buddha (''tathāgatabodhi-saddhā'') atau, secara alternatif, terhadap [[Triratna]] (''ratanattaya-saddhā''):<ref name=":032" /><ref name=":1" /><ref name=":2" /><ref name=":3" /><ref name=":4" />

# '''Keyakinan terhadap Buddha''', yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini ([[Siddhattha Gotama]]), dan kedatangan [[bodhisatwa]] masa depan; juga pencapaian [[Kebuddhaan]]-Nya di [[Nibbāna|Nirwana]].
# '''Keyakinan terhadap Dhamma''', yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
# '''Keyakinan terhadap Saṅgha''', yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (''ariya-saṅgha'') atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]] (''sammuti-saṅgha'').

Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap [[Hukum Karma|hukum karma]] merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian [[Tripitaka|kitab suci]] juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (''kammassakatā-saddhā''), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

<ol start=4>
<li> '''Keyakinan terhadap karma''' (''kamma-saddhā''), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.</li>
<li >'''Keyakinan terhadap buah karma''' (''vipāka-saddhā''), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.</li></ol>

==== Definisi ====
[[Atthakatha|Kitab komentar]] untuk [[Abhidhamma Piṭaka]] milik aliran [[Theravāda]] menjelaskan definisi ''saddhā'' sebagai suatu [[Cetasika|faktor mental]] dalam empat batasan:<ref name=":0">{{Cite book|last=Kheminda|first=Ashin|date=2019-09-01|url=https://books.google.co.id/books?id=2ZQXEAAAQBAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental|publisher=Yayasan Dhammavihari|isbn=978-623-94342-7-4|language=id}}</ref>
* '''Karakteristik''' (''lakkhaṇa''): meyakini (''saddahana'') atau memercayai (''okappana'') objeknya.
* '''Fungsi''' (''rasa''): untuk menjernihkan (''pasādana'') hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (''pakkhandana'') hal-hal sulit.
* '''Manifestasi''' (''paccupaṭṭhāna''): bebas dari kotoran (''akālussiya''), atau keputusan/ketetapan hati (''adhimutti'').
* '''Sebab-terdekat''' (''padaṭṭhāna''): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (''saddheyyavatthu''), yaitu [[Triratna]], atau faktor-faktor [[Empat tingkat kesucian|Pengarungan Arus]] (''sotāpattiyaṅga'').

==== Dua jenis keyakinan ====
[[Tradisi Abhidhamma]] Theravāda juga menguraikan ''saddhā'' menjadi dua jenis:<ref name=":0" />


# '''Keyakinan awal''' (''amūlika-saddhā''), yaitu keyakinan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
Dengan demikian, keyakinan saja belumlah cukup untuk mencapai keselamatan, tetap itu hanyalah langkah pertama menuju kebijaksanaan dan pencerahan..{{sfn|Findly|1992|page=265}} Beberapa ajaran dalam agama Buddha awal menyebut keyakinan sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.{{sfn|Harvey|2013|p=237}}{{sfn|Jayatilleke|1963|pp=396–7}} Pada tahap akhir jalan praktik Buddhis, untuk menuju ''[[Arhat|arahat]]'', seorang praktisi secara keseluruhan mengganti keyakinan dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, ''arahat'' tak lagi mengandalkan keyakinan,{{sfn|Barua|1931|p=336}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} walaupun sudah tiba pada tahap tersebut, kadang-kadang bentuk keyakinan komplet juga pernah dijelaskan.{{sfn|Hoffmann|1987|pages=405, 409}} Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaannya bukan keyakinannya. Pengecualian pada Bhant Vakkali, ia dipuji oleh buddha sebagai "Dia yang tertinggi dalam keyakinan diantara orang lain", Buddha juga mengajarkan muridnya agar fokus pada ajarannya, bukan pada sosok Buddha.{{sfn|De Silva|2002|p=216}}{{sfn|Lamotte|1988|pp=49–50}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=384}} Tampaknya Buddha juga menegur muridnya, Bhante Ānanda melalui cara yang serupa.{{sfn|Findly|1992|pp=268–9}}
# '''Keyakinan kukuh''' atau '''sempurna''' (''aveccapasāda''), yaitu keyakinan yang didasarkan pada pengalaman secara langsung.


Konsep ''saddhā'' erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (''saccānurakkhaṇa'') dan "mengalami kebenaran" (''saccānubodha''). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," ketika meyakini sesuatu yang didasarkan pada keyakinan tanpa dasar pengalaman langsung sebelum muncul keyakinan kukuh atau sempurna karena telah mengalami kebenaran secara langsung.<ref name=":0" />
Dalam Kitab Pali menjelaskan beberapa pendekatan berbeda berkenaan dengan keyakinan. Saat mengembangkan keyakinan kepada seseorang atau kepada Buddha, upaya ini memberikan manfaat kecil apalagi terlalu berlebihan berkaitan dengan fitur tidak signifikan seperti tampak fisik, lalu tidak terlalu fokus pada ajaran Buddha. Pendekatan keyakinan seperti ini mengarahkan kepada perasaan sayang dan marah dan juga ada kekurangan lainnya. Hal demikian merupakan penghalang dalam menyusuri jejak Buddha dan pencapaian pencerahan, serupa dengan kasus Vakkali. Keyakinan dan devosi perlu berjalan bersama-sama dengan dibarengi dengan [[upekkha|Ekuanimitas]].{{sfn|Harvey|2013|p=28}}{{sfn|Jayatilleke|1963|p=388}}{{sfn|Werner|2013|page=47}}


=== Mahāyāna ===
=== Mahāyāna ===
[[Berkas:Shakyamuni Buddha with Avadana Legend Scenes - Google Art Project.jpg|jmpl|upright=1.1|[[Buddha Gautama]] dengan adegan-adegan dari legenda [[Awadāna]]]]
[[Berkas:Shakyamuni Buddha with Avadana Legend Scenes - Google Art Project.jpg|jmpl|upright=1.1|[[Buddha Gautama]] dengan adegan-adegan dari legenda [[Awadāna]]]]
Dalam periode [[Ashoka|kaisar Ashoka]] (abad ke-3 sampai ke-2 SM), umat Buddha banyak menitikberatkan pada keyakinan, karena Ashoka membantu mengembangkan agama Buddha sebagai agama populer untuk menyatukan kekuasaanya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan ''stūpa'' dan bertambah banyaknya sastra berlandaskan keyakinan yaitu [[Awadāna]].{{sfn|Harvey|2013|p=103}}<ref>{{cite book|last1=Swearer|first1=Donald K.|title=The Buddhist world of Southeast Asia|date=2010|publisher=[[State University of New York Press]]|location=Albany|isbn=978-1-4384-3251-9|page=77|edition=2nd|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/the%20buddhist%20world%20of%20southeast%20asia_swearer.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADhQmDu?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Buddhist%20World%20of%20Southeast%20Asia_Swearer.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|df=}}</ref> Pada abad ke-2 SM, Buddha semakin lumrah digambarkan dalam bentuk lukisan, dan ada peralihan penekanan pada [[Bhakti|devosionalisme emosional]] dalam [[agama India]]. Ini menuntun pada perspektif baru dalam agama Buddha, seperti yang dirangkum oleh Peter Harvey, seorang cendekiawan studi agama Buddha, dia menyatakan bawah "welas asih, keyakinan, dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut membuka jalan lahirnya Aliran [[Mahāyāna]].<!--p=105-->{{sfn|Harvey|2013|pp=103, 105}}{{sfn|Smart|1997|page=282}}
Dalam periode [[Ashoka|kaisar Ashoka]] (abad ke-3 sampai ke-2 SM), umat Buddha banyak menitikberatkan pada keyakinan, karena Ashoka membantu mengembangkan Buddhisme sebagai agama populer untuk menyatukan kekuasaanya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan ''stūpa'' dan bertambah banyaknya sastra berlandaskan keyakinan yaitu [[Awadāna]].{{sfn|Harvey|2013b|p=103}}{{sfn|Swearer|2010|p=77}} Pada abad ke-2 SM, Buddha semakin lumrah digambarkan dalam bentuk lukisan, dan ada peralihan penekanan pada [[Bhakti|bakti emosional]] dalam [[agama India]]. Ini menuntun pada perspektif baru dalam Buddhisme, seperti yang dirangkum oleh Peter Harvey, seorang cendekiawan studi Buddhisme, dia menyatakan bawah "welas asih, keyakinan, dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut membuka jalan lahirnya Aliran [[Mahāyāna]].<!--p=105-->{{sfn|Harvey|2013b|pp=103, 105}}{{sfn|Smart|1997|page=282}}


Pada umumnya, peran keyakinan dalam Mahāyāna mirip dengan Theravāda{{sfn|Harvey|2013|p=31}}{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}}—keyakinan merupakan bagian tak terhindarkan dari praktik Mahāyāna maupun Theravāda.<ref name="Blakkarly" /> Bahkan dalam aliran Theravāda saat ini, yang bermula dari teks Pāli, keyakinan masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Penganut aliran Theravāda memandang keyakinan kepada Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan [[Sila|etika Buddhis]].{{sfn|Spiro|1982|p=15m1}} Namun, dengan kebangkitan aliran Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang keyakinan semakin intensif. Sejumlah besar ''[[bodhisatwa]]'' menjadi fokus devosi dan keyakinan, memberikan nuansa "teistik" kepada aliran Mahāyāna.{{sfn|Harvey|2013|p=172}}{{sfn|Leaman|2000|page=212}} Dalam agama Buddha awal, ada beberapa sumber tulisan yang menyatakan bahwa Buddha dan makhluk tercerahkan lainnya yang memiliki alam di luar batas dunia. Kemudian, penganut Theravāda meyakini bahwa [[Maitreya]], Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan secara hari demi hari mereka semakin menghormati Maitreya. Selain itu, penganut Mahāyāna membawa gagasan tersebut lebih lanjut.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1064}}{{sfn|Conze|2003|p=154}} Setelah [[parinirwāṇa|Buddha mangkat]], ada sebuah perasaan menyesal dari komunitas pengikut Buddha, mereka merasa Buddha sudah tiada lagi di dunia ini, dan ada keinginan untuk "bertemu" dengan Buddha ({{lang-sa|[[Darśana#Dalam Buddha Mahayana|darśana]]}}) dan menerima kekuatannya.{{sfn|Getz|2004|page=699}}{{sfn|Barber|2004|page=707}} Penganut Mahāyāna memperluas pengertian Tiga Mestika dengan mengikutsertakan para Buddha yang berdiam di surga, dan yang kemudian disebut sebagai Buddha ''[[sambhogakāya]]'' ('perwujudan dari kesenangan Dharma').{{sfn|Barber|2004|p=707}}{{sfn|Smart|1997|pp=283–4}} Seiring dengan penekanan pada para Buddha di tanah murni, Buddha yang bermanifestasi setiap waktu dan tempat, kondisi ini membuat peranan Buddha Gautama semakin kabur dalam keyakinan Buddhis.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1067}}{{sfn|Snellgrove|1987|pp=1078–9}} [[Buddha Tanah Murni]] banyak memfokuskan keyakinannya ke Buddha di alam tersebut, khususnya Buddha Amitābha.{{sfn|Harvey|2013|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}}
Pada umumnya, peran keyakinan dalam Mahāyāna mirip dengan Theravāda{{sfn|Harvey|2013b|p=31}}{{sfn|Spiro|1982|p=34 n.6}}—keyakinan merupakan bagian tak terhindarkan dari praktik Mahāyāna maupun Theravāda.{{sfn|Blakkarly|2014}} Bahkan dalam aliran Theravāda saat ini, yang bermula dari teks Pāli, keyakinan masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Penganut aliran Theravāda memandang keyakinan kepada Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan [[Sila|etika Buddhis]].{{sfn|Spiro|1982|p=15m1}} Namun, dengan kebangkitan aliran Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang keyakinan semakin intensif. Sejumlah besar ''[[bodhisatwa]]'' menjadi fokus bakti dan keyakinan, memberikan nuansa "teistik" kepada aliran Mahāyāna.{{sfn|Harvey|2013b|p=172}}{{sfn|Leaman|2000|page=212}} Dalam Buddhisme awal, ada beberapa sumber tulisan yang menyatakan bahwa Buddha dan makhluk tercerahkan lainnya yang memiliki alam di luar batas dunia. Kemudian, penganut Theravāda meyakini bahwa [[Maitreya]], Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan secara hari demi hari mereka semakin menghormati Maitreya. Selain itu, penganut Mahāyāna membawa gagasan tersebut lebih lanjut.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1064}}{{sfn|Conze|2003|p=154}} Setelah [[parinirwāṇa|Buddha mangkat]], ada sebuah perasaan menyesal dari komunitas pengikut Buddha, mereka merasa Buddha sudah tiada lagi di dunia ini, dan ada keinginan untuk "bertemu" dengan Buddha ({{lang-sa|[[Darśana#Dalam Buddha Mahayana|darśana]]}}) dan menerima kekuatannya.{{sfn|Getz|2004|page=699}}{{sfn|Barber|2004|page=707}} Penganut Mahāyāna memperluas pengertian Tiga Mestika dengan mengikutsertakan para Buddha yang berdiam di surga, dan yang kemudian disebut sebagai Buddha ''[[sambhogakāya]]'' ('perwujudan dari kesenangan Dharma').{{sfn|Barber|2004|p=707}}{{sfn|Smart|1997|pp=283–4}} Seiring dengan penekanan pada para Buddha di tanah murni, Buddha yang bermanifestasi setiap waktu dan tempat, kondisi ini membuat peranan Buddha Gautama semakin kabur dalam keyakinan Buddhis.{{sfn|Reynolds|Hallisey|1987|p=1067}}{{sfn|Snellgrove|1987|pp=1078–9}} [[Buddha Tanah Murni|Buddhisme Tanah Murni]] banyak memfokuskan keyakinannya ke Buddha di alam tersebut, khususnya Buddha Amitābha.{{sfn|Harvey|2013b|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}}


Dimulai dari devosi kepada para Buddha di tanah murni,{{sfn|Harvey|2013|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}} sosok-sosok ''bodhisatwa'' tingkat tinggi, yang merupakan gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif.{{sfn|Conze|2003|p=150}} Semenjak abad ke-6, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi buddhis menjadi suatu hal yang lumrah,{{sfn|Harvey|2013|p=175}} seperti ''bodhisatwa'' Awalokiteśwara yang mewakili welas asih, dan [[Manjusri]] manifestasi dari kebijaksanaan.{{sfn|Higham|2004|p=210}} Catatan tentang para ''bodhisatwa'' akan perbuatan baik mereka seringkali meliputi tindakan-tindakan dengan pengorbanan besar, dan para penulis tampaknya mengartikan catatan tersebut lebih condong pada praktik devosi ketimbang sebagai panutan.{{sfn|Derris|2005|page=1084}}
Dimulai dari bakti kepada para Buddha di tanah murni,{{sfn|Harvey|2013b|p=175}}{{sfn|Leaman|2000|p=215}} sosok-sosok ''bodhisatwa'' tingkat tinggi, yang merupakan gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif.{{sfn|Conze|2003|p=150}} Semenjak abad ke-6, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi buddhis menjadi suatu hal yang lumrah,{{sfn|Harvey|2013b|p=175}} seperti ''bodhisatwa'' Awalokiteśwara yang mewakili welas asih, dan [[Manjusri]] manifestasi dari kebijaksanaan.{{sfn|Higham|2004|p=210}} Catatan tentang para ''bodhisatwa'' akan perbuatan baik mereka sering kali meliputi tindakan-tindakan dengan pengorbanan besar, dan para penulis tampaknya mengartikan catatan tersebut lebih condong pada praktik bakti ketimbang sebagai panutan.{{sfn|Derris|2005|page=1084}}


Berdasarkan itulah, pada abad ke-12 dan ke-13, agama Buddha di Jepang mulai terjadi pergeseran dari tujuan akhir pencapaian pencerahan berubah menjadi praktik yang berkaitan dengan [[Sifat kebuddhaan|hakikat Buddha universal]] dan tanah murni tempat para Buddha bersemayam.{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=389–90}} Seiring dengan perkembangan sistem pemikiran [[Mādhyamaka]], Buddha Sakyamuni tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktik Buddha.<ref>{{cite book|last1=Murti|first1=T.R.V.|authorlink1=Tiruppattur_R._Venkatachala_Murthi|title=The central philosophy of Buddhism: a study of the Mādhyamika system|date=2008|orig-year=1955|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=1-135-02946-6|page=6|url=https://www.academia.edu/16004454/The_Central_Philosophy_of_Buddhism_A_Study_of_Madhyamika_System_by_T.R.V._Murti|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122120355/https://www.academia.edu/16004454/The_Central_Philosophy_of_Buddhism_A_Study_of_Madhyamika_System_by_T.R.V._Murti|archivedate=2017-11-22|df=}}</ref> Perkembangan tersebut berujung pada gerakan devosi dari agama Buddha aliran Tanah Murni, sementara dalam agama Buddha aliran Zen bertujuan menemukan [[Sifat kebuddhaan|Hakikat Buddha]] dalam dirinya sendiri.<ref>{{cite journal|last1=Kiyota|first1=Minoru|title=Tathāgatagarbha Thought: A Basis of Buddhist Devotionalism in East Asia|journal=[[Japanese Journal of Religious Studies]]|date=1985|volume=12|issue=2/3|page=222|doi=10.2307/30233958|url=http://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2311|doi-broken-date=2018-01-29|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20160320232345/https://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2311|archivedate=2016-03-20|df=}}</ref>
Berdasarkan itulah, pada abad ke-12 dan ke-13, Buddhisme di Jepang mulai terjadi pergeseran dari tujuan akhir pencapaian pencerahan berubah menjadi praktik yang berkaitan dengan [[Sifat kebuddhaan|hakikat Buddha universal]] dan tanah murni tempat para Buddha bersemayam.{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=389–90}} Seiring dengan perkembangan sistem pemikiran [[Mādhyamaka]], Buddha Sakyamuni tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktik Buddha.{{sfn|Murti|1955|p=6}} Perkembangan tersebut berujung pada gerakan bakti dari Buddhisme aliran Tanah Murni, sementara dalam Buddhisme aliran Zen bertujuan menemukan [[Sifat kebuddhaan|Hakikat Buddha]] dalam dirinya sendiri.{{sfn|Kiyota|1985|p=222}}


Istilah untuk keyakinan yang umum dipakai dalam Buddha Mahāyāna adalah ''Xin'' (Tionghoa) dan ''shin'' (Jepang):<!--only Buswell--> istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tanpa dipertanyakan atas objek devosi seseorang. Istilah itu juga dipakai tradisi [[Buddhisme Chan|Chan]] atau [[Buddhisme Zen|Zen]], yang mana berkaitan dengan keyakinan terhadap Hakikat Buddha (''tathāgatagarbha'') yang terbenam dalam pikiran seseorang, dan Hakikat Buddha akan muncul ketika seseorang berhasil menghentikan kebiasaan-kebiasaan pikiran.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}}{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Sehingga, aliran Chan atau Zen menganggap keyakinan sebagai salah satu dari ''[[Tiga Esensial]]'' dalam praktik meditasi, bersama dengan ketekunan dan keraguan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Sanyao, Zongmen huomen}}{{sfn|Powers|2013|loc=dai funshi ("great resolve")}} Di sisi lain, aliran Tanah Murni membedakan antara aspek pikiran yaitu kepercayaan, dan aspek yang disadarkan oleh praktik devosi dan kerendahan hati kepada Buddha [[Amitābha]], yang disebut sebagai ''xinji'' (Tionghoa) atau ''[[shinjin]]'' (Jepang);<!--all three--> dan sukacita dan keyakinan karena dapat bertemu dengan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai ''xinfa'' (Tionghoa) atau ''shingyō'' (Jepang).<!--Gomez and Buswell-->{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Gómez|2004b|p=279}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Xinxin}} Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan bahwa bangkitnya keyakinan merupakan pengalaman transendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013|p=255}} Ajaran dari Master Tanah Murni yaitu [[Shinran]] menyatakan bahwa pengalaman keyakinan itu disebut "Cahaya Terang" (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: kōmyō''), melibatkan perasaan sepenuh hati pada tekad dan kebijaksanaan Buddha Amitabha yang mampu menyelamatkannya, juga mengandalkan sepenuhnya kepada Amitabha karena para penganut sama sekali tidak berdaya.{{sfn|Dobbins|2002|p=29}}<ref>{{cite encyclopedia|last1=Bloom|first1=Alfred|author-link=Alfred Bloom (Buddhist)|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Shinran|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865981-3|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2012.pdf|volume=12|p=8355|deadurl=bot: unknown|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302052813/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2012.pdf|archivedate=2017-03-02|df=}}</ref>
Istilah untuk keyakinan yang umum dipakai dalam Buddhisme Mahāyāna adalah ''Xin'' (Tionghoa) dan ''shin'' (Jepang):<!--only Buswell--> istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tanpa dipertanyakan atas objek bakti seseorang. Istilah itu juga dipakai tradisi [[Buddhisme Chan|Chan]] atau [[Buddhisme Zen|Zen]], yang mana berkaitan dengan keyakinan terhadap Hakikat Buddha (''tathāgatagarbha'') yang terbenam dalam pikiran seseorang, dan Hakikat Buddha akan muncul ketika seseorang berhasil menghentikan kebiasaan-kebiasaan pikiran.{{sfn|Gómez|2004b|p=278}}{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Śraddhā}} Sehingga, aliran Chan atau Zen menganggap keyakinan sebagai salah satu dari ''Tiga Esensial'' dalam praktik meditasi, bersama dengan ketekunan dan keraguan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Sanyao, Zongmen huomen}}{{sfn|Powers|2013|loc=dai funshi ("great resolve")}} Di sisi lain, aliran Tanah Murni membedakan antara aspek pikiran yaitu kepercayaan, dan aspek yang disadarkan oleh praktik bakti dan kerendahan hati kepada Buddha [[Amitābha]], yang disebut sebagai ''xinji'' (Tionghoa) atau ''[[shinjin]]'' (Jepang);<!--all three--> dan sukacita dan keyakinan karena dapat bertemu dengan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai ''xinfa'' (Tionghoa) atau ''shingyō'' (Jepang).<!--Gomez and Buswell-->{{sfn|Bielefeldt|2004|page=390}}{{sfn|Gómez|2004b|p=279}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Xinxin}} Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan bahwa bangkitnya keyakinan merupakan pengalaman transendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.{{sfn|Harvey|2013b|p=255}} Ajaran dari Master Tanah Murni yaitu [[Shinran]] menyatakan bahwa pengalaman keyakinan itu disebut "Cahaya Terang" (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: kōmyō''), melibatkan perasaan sepenuh hati pada tekad dan kebijaksanaan Buddha Amitabha yang mampu menyelamatkannya, juga mengandalkan sepenuhnya kepada Amitabha karena para penganut sama sekali tidak berdaya.{{sfn|Dobbins|2002|p=29}}{{sfn|Bloom|1987|p=8355}}


Terlepas dari betapa pentingnya perkembangan yang terjadi pada kemunculan Buddha Mahāyāna, jika disebutkan bahwa tiada pergerakan tentang devosi sebelum Mahayana maka itu pernyataan terlalu dangkal. Devosi telah ditemukan dalam teks dan praktik yang bersamaan dengan periode ketika teks [[Abhidhamma]] mulai dikompilasi, bahkan sebelum kemunculan Mahāyāna.{{sfn|Schopen|2004|p=496}} Lebih jauh lagi, tradisi Theravada dikemudian hari mulai menekankan pada hagiografi tentang Buddha dan bodhisatwa lebih banyak lagi, dan banyak catatan menyebutkan bahwa Buddha memainkan peranan utama dalam pencerahan banyak orang.{{sfn|Derris|2005|pp=1085, 1087}}
Terlepas dari betapa pentingnya perkembangan yang terjadi pada kemunculan Buddhisme Mahāyāna, jika disebutkan bahwa tiada pergerakan tentang bakti sebelum Mahayana maka itu pernyataan terlalu dangkal. Bakti telah ditemukan dalam teks dan praktik yang bersamaan dengan periode ketika teks [[Abhidhamma]] mulai dikompilasi, bahkan sebelum kemunculan Mahāyāna.{{sfn|Schopen|2004|p=496}} Lebih jauh lagi, tradisi Theravada dikemudian hari mulai menekankan pada hagiografi tentang Buddha dan bodhisatwa lebih banyak lagi, dan banyak catatan menyebutkan bahwa Buddha memainkan peranan utama dalam pencerahan banyak orang.{{sfn|Derris|2005|pp=1085, 1087}}


==== Aliran Tiantai, Tendai, dan Nichiren ====
==== Aliran Tiantai, Tendai, dan Nichiren ====
Baris 107: Baris 179:
[[Sūtra Teratai]] merupakan satu dari sekian teks ({{lang-sa|sūtra|script=Latn}}) yang disanjung tinggi di Asia Tenggara,<!--p.512-->{{sfn|Shields|2013|p=512}} teks ini banyak mengetengahkan konsep ideal keyakinan.{{sfn|Shields|2013|pp=512, 514}} Di abad pertengahan Tiongkok dan Jepang, ada banyak legenda ajaib yang berkenaan dengan Sutra Teratai, legenda tersebut juga yang membuat sutra ini semakin populer. Para cendekiawan berpendapat bahwa dalam sutra ini menekankan pada cara pandang bahwa Buddha sebagai seorang ayah, cara pandang demikianlah yang membantu sutra tersebut menjadi populer.<!--p.515-->{{sfn|Shields|2013|pp=512, 514–5}}
[[Sūtra Teratai]] merupakan satu dari sekian teks ({{lang-sa|sūtra|script=Latn}}) yang disanjung tinggi di Asia Tenggara,<!--p.512-->{{sfn|Shields|2013|p=512}} teks ini banyak mengetengahkan konsep ideal keyakinan.{{sfn|Shields|2013|pp=512, 514}} Di abad pertengahan Tiongkok dan Jepang, ada banyak legenda ajaib yang berkenaan dengan Sutra Teratai, legenda tersebut juga yang membuat sutra ini semakin populer. Para cendekiawan berpendapat bahwa dalam sutra ini menekankan pada cara pandang bahwa Buddha sebagai seorang ayah, cara pandang demikianlah yang membantu sutra tersebut menjadi populer.<!--p.515-->{{sfn|Shields|2013|pp=512, 514–5}}


Sūtra Teratai ditulis pada abad pertama dan kedua [[Masehi]].<!--p=471--> Di bagian dari "pengkultusan dari buku itu", penganut Mahāyāna menggantikan bagian pemujaan relik dan stupa menjadi pemujaan kepada Dharma sebagai perwakilan dari sutra. Mereka menyanjung dan memuja Sutra Teratai sebagaimana mereka memuja Sutra Mahāyāna lainnya, setara dengan pemujaan kepada stupa sebelum lahirnya aliran Mahāyāna. Di antara semua sutra, mereka paling menyanjung tinggi Sutra Teratai. Sutra Teratai menjelaskan tentang berbagai bentuk devosi seperti menerima dan menjaga, membaca, melafalkan, mengajarkan dan mentranskripkan, dan juga berbagai cara untuk menyanjung tinggi sutra itu. Dalam beberapa salinan, mereka menggambarkan setiap huruf laksana Buddha, lalu ditempatkan di dalam stupa.<!--p=474-->{{sfn|Stone|2004a|pp=471, 474}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Saddharmapuṇḍarīkasūtra}}<ref>{{cite encyclopedia|last1=Gummer|first1=Natalie|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhist books and texts: Ritual uses of books|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|volume=2|p=1262|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302073830/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|archivedate=2017-03-02|df=}}</ref>
Sūtra Teratai ditulis pada abad pertama dan kedua [[Masehi]].<!--p=471--> Di bagian dari "pengkultusan dari buku itu", penganut Mahāyāna menggantikan bagian pemujaan relik dan stupa menjadi pemujaan kepada Dharma sebagai perwakilan dari sutra. Mereka menyanjung dan memuja Sutra Teratai sebagaimana mereka memuja Sutra Mahāyāna lainnya, setara dengan pemujaan kepada stupa sebelum lahirnya aliran Mahāyāna. Di antara semua sutra, mereka paling menyanjung tinggi Sutra Teratai. Sutra Teratai menjelaskan tentang berbagai bentuk bakti seperti menerima dan menjaga, membaca, melafalkan, mengajarkan dan mentranskripkan, dan juga berbagai cara untuk menyanjung tinggi sutra itu. Dalam beberapa salinan, mereka menggambarkan setiap huruf laksana Buddha, lalu ditempatkan di dalam stupa.<!--p=474-->{{sfn|Stone|2004a|pp=471, 474}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Saddharmapuṇḍarīkasūtra}}{{sfn|Gummer|2005|p=1262}}


Walaupun implikasi teoretis dari Sutra Teratai dipengaruhi oleh cendekiawan tradisional, praktik yang berkenaan dengan devosi dalam sutra tersebut semakin memberikan pengaruh kepada sutra itu sendiri.{{sfn|Stone|2004a|p=474}} Aliran [[Tiantai]] Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya adalah [[Tendai]], semakin mengedepankan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan devosi terhadap Buddha Amitābha.{{sfn|Harvey|2013|p=227}}{{sfn|Stone|2004a|p=475}} Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa ''sūtra'' tersebut merupakan ajaran tertinggi di antara semua ajaran Buddha,<!--p=475--> dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.<!--p=476-->{{sfn|Stone|2004a|pp=475–6}} Beberapa aliran dari [[periode Kamakura]] (abad ke-12 sampai ke-14) bahkan menganggap Sutra Teratai merupakan satu-satunya kendaraan atau jalur Dharma (Ekayāna),<!--p.514, 519--> lalu Nichiren (1222-1282) menyakini bahwa hanya praktik ini yang bisa menuntun masyarakat ke Tanah Buddha ideal.<!--p.521-->{{sfn|Shields|2013|pp=514, 519, 521}}
Walaupun implikasi teoretis dari Sutra Teratai dipengaruhi oleh cendekiawan tradisional, praktik yang berkenaan dengan bakti dalam sutra tersebut semakin memberikan pengaruh kepada sutra itu sendiri.{{sfn|Stone|2004a|p=474}} Aliran [[Tiantai]] Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya adalah [[Tendai]], semakin mengedepankan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan bakti terhadap Buddha Amitābha.{{sfn|Harvey|2013b|p=227}}{{sfn|Stone|2004a|p=475}} Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa ''sūtra'' tersebut merupakan ajaran tertinggi di antara semua ajaran Buddha,<!--p=475--> dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.<!--p=476-->{{sfn|Stone|2004a|pp=475–6}} Beberapa aliran dari [[periode Kamakura]] (abad ke-12 sampai ke-14) bahkan menganggap Sutra Teratai merupakan satu-satunya kendaraan atau jalur Dharma (Ekayāna),<!--p.514, 519--> lalu Nichiren (1222-1282) menyakini bahwa hanya praktik ini yang bisa menuntun masyarakat ke Tanah Buddha ideal.<!--p.521-->{{sfn|Shields|2013|pp=514, 519, 521}}


Nichiren menyampaikan bahwa keyakinan dalam dan pemujaan sutra atas alasan tersebut di atas, ia mengkritik keras aliran dan tipe pemujaan berbeda.{{sfn|Harvey|2013|pp=233–4}}{{sfn|Araki|1987|p=1244}} Ia menganggap sutra itu sebagai prediksi atas misi dari pergerakannya,{{sfn|Stone|2004a|p=476}}{{sfn|Irons|2008|p=366}} Nichiren yakin bahwa melalui devosi terhadap sutra itu maka Tanah Murni di bumi bisa direalisasikan, sebuah tanah yang merupakan penggambaran dari pencerahan ideal dalam aliran Māhayāna.{{sfn|Stone|2004a|p=477}}<ref>{{cite encyclopedia|last1=Kotatsu|translator-first=Kenneth K.|translator-last=Tanaka|first1=Fujita|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Pure and Impure Lands|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865743-8|page=7502|edition=2nd|url=http://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|volume=11|deadurl=bot: unknown|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302005458/http://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|archivedate=2017-03-02|df=}}</ref> Ia mengajarkan bahwa pemujaan kepada sutra ini akan menuntun seorang praktisi bermanunggal dengan [[Sanghyang Adi Buddha|Buddha primordial]], ia menyakini bahwa Buddha Primordial merupakan manifestasi dari semua Buddha.{{sfn|Stone|2004a|p=474}} Nichiren menyatakan bahwa melalui pelantunan judul sutra itu hanya berlandaskan "keyakinan" saja.{{sfn|Stone|1998|p=123}} Walaupun memiliki kekuatan devosi kuat kepada Sutra Teratai, Nichiren tidak begitu menekankan pada studi atas sutra itu, ia percaya bahwa hanya melafalkan judul sutra itu saja merupakan cara praktik paling efektif bagi banya orang yang hidup di "[[Kaliyuga|masa kemunduran]]".<ref>{{cite encyclopedia|last1=Cabezón|first1=José Ignacio|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Scripture|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=757|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=}}</ref> {{See below|Buddhisme Tanah Murni}}
Nichiren menyampaikan bahwa keyakinan dalam dan pemujaan sutra atas alasan tersebut di atas, ia mengkritik keras aliran dan tipe pemujaan berbeda.{{sfn|Harvey|2013b|pp=233–4}}{{sfn|Araki|1987|p=1244}} Ia menganggap sutra itu sebagai prediksi atas misi dari pergerakannya,{{sfn|Stone|2004a|p=476}}{{sfn|Irons|2008|p=366}} Nichiren yakin bahwa melalui bakti terhadap sutra itu maka Tanah Murni di bumi bisa direalisasikan, sebuah tanah yang merupakan penggambaran dari pencerahan ideal dalam aliran Māhayāna.{{sfn|Stone|2004a|p=477}}{{sfn|Kotatsu|1987|p=7502}} Ia mengajarkan bahwa pemujaan kepada sutra ini akan menuntun seorang praktisi bermanunggal dengan [[Sanghyang Adi Buddha|Buddha primordial]], ia menyakini bahwa Buddha Primordial merupakan manifestasi dari semua Buddha.{{sfn|Stone|2004a|p=474}} Nichiren menyatakan bahwa melalui pelantunan judul sutra itu hanya berlandaskan "keyakinan" saja.{{sfn|Stone|1998|p=123}} Walaupun memiliki kekuatan bakti kuat kepada Sutra Teratai, Nichiren tidak begitu menekankan pada studi atas sutra itu, ia percaya bahwa hanya melafalkan judul sutra itu saja merupakan cara praktik paling efektif bagi banya orang yang hidup di "[[Kaliyuga|masa kemunduran]]".{{sfn|Cabezón|2004|p=757}} {{See below|Buddhisme Tanah Murni}}


Saat ini, lebih dari empat puluh organisasi meneruskan tradisi Nichiren, beberapa diantaranya adalah organisasi awam.{{sfn|Stone|2004b|page=595}}
Saat ini, lebih dari empat puluh organisasi meneruskan tradisi Nichiren, beberapa diantaranya adalah organisasi awam.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Stone|first1=Jacqueline I.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Nichiren|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=595|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=}}</ref>{{sfn|Stone|2004b|page=595}}


==== Aliran Tanah Murni ====
==== Aliran Tanah Murni ====
{{Main|Aliran Tanah Murni|Shinjin}}
{{Main|Aliran Tanah Murni|Shinjin}}
[[Berkas:Chinesischer Maler des 8. Jahrhunderts 001.jpg|jmpl|Buddha [[Amitābha]]]]
[[Berkas:Chinesischer Maler des 8. Jahrhunderts 001.jpg|jmpl|Buddha [[Amitābha]]]]
Tampaknya sutra dari aliran "Tanah Murni" yang menjadi keyakinan dan devosi menjadi hal paling penting tertinggi darlam konteks [[soteriologi]]. Ketika devosi kepada emanasi para Buddha di tanah murni muali berkembang dalam Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'Setra Buddha' {{lang-sa|buddha-kṣetra|italic=yes}}), atau Tanah-Tanah Murni ({{lang-sa|sukhāwatī|italic=yes}}).{{sfn|Smart|1997|p=282}} Dalam Aliran Tanah Murni, ini adalah keyakinan seseorang dalam welas kasih dari Buddha Amitābha,{{sfn|Green|2013|p=122}} didukung dengan kombinasi permintaan tulus untuk memasuki Tanah Murni-Nya yang dijelaskan bahwa akan merealisasi pembebasan di sana. Aliran Tanah Murni tersebut mempersiapkan para penganutnya untuk merealisasi pencerahan dan Nirwana.{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Aliran Tanah Murni memiliki beberapa perbedaan dengan agama Buddha pada umumnya pada masa itu, yang mana pada zaman itu pada umumnya agama Buddha mengandalkan upaya pribadi dan teknik pengendalian diri.{{sfn|Irons|2008|p=394}}
Tampaknya sutra dari aliran "Tanah Murni" yang menjadi keyakinan dan bakti menjadi hal paling penting tertinggi dalam konteks [[soteriologi]]. Ketika bakti kepada emanasi para Buddha di tanah murni mulai berkembang dalam Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'Setra Buddha' {{lang-sa|buddha-kṣetra|italic=yes}}), atau Tanah-Tanah Murni ({{lang-sa|sukhāwatī|italic=yes}}).{{sfn|Smart|1997|p=282}} Dalam Aliran Tanah Murni, ini adalah keyakinan seseorang dalam welas kasih dari Buddha Amitābha,{{sfn|Green|2013|p=122}} didukung dengan kombinasi permintaan tulus untuk memasuki Tanah Murni-Nya yang dijelaskan bahwa akan merealisasi pembebasan di sana. Aliran Tanah Murni tersebut mempersiapkan para penganutnya untuk merealisasi pencerahan dan Nirwana.{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Aliran Tanah Murni memiliki beberapa perbedaan dengan Buddhisme pada umumnya pada masa itu, yang mana pada zaman itu pada umumnya Buddhisme mengandalkan upaya pribadi dan teknik pengendalian diri.{{sfn|Irons|2008|p=394}}


Penganut Mahāyāna menganggap Amitābha ([[Sansekerta|Sanskerta]], 'terang tanpa batas') sebagai salah satu emanasi Buddha.{{sfn|Smart|1997|page=282}}{{sfn|Gómez|2004a|p=14}} [[Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang]] mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang berpraktik di bawah bimbingan seorang Buddha pada masa sebelumnya, berkomitmen untuk menciptakan sebuah area melalui kekuatan spiritualnya. Melalui area ideal tersebut, Amitabha akan dengan mudah menuntun banyak makhluk merealisasikan pencerahan final.{{sfn|Harvey|2013|p=173}} Dengan demikian Ia bertekad seketika mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha, melalui penjapaan namanya saja akan cukup untuk terlahir ke Tanah Murni itu.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Dharmākara}} Praktik bakti kepada Amitabha tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, dan Tibet,<!--Smart--> yang mana tradisi ini awalnya berkembang di India pada permulaan Era Masehi.<!--Gomez-->{{sfn|Gómez|2004a|p=14}}{{sfn|Smart|1997|page=284}} Inti dari Aliran Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Kemunduran Dharma (''[[bahasa Tionghoa|Tionghoa:]] mofa'', ''[[bahasa Jepang|Jepang:]] mappō''), tahap akhir dari periode [[Buddha Gautama|Buddha saat ini]].{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Umat Buddha penganut Aliran Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, kemampuan rata-rata orang sangat terbatas dalam meraih pembebasan. Mereka perlu mengandalkan kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk mencapai pembebasan, dan menunda perealisasian Nirwana pada kehidupan lain (yaitu merealisasi Nirwana pada kelahiran kembali ke Tanah Murni).{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Kepercayaan serupa ini terjadi barangkali disebabkan oleh kekerasan, konflik sipil, kelaparan, kebakaran dan kehancuran institusi monastik.{{sfn|Andrews|1987|p=4119}} Namun, gagasan tentang mengandalkan kekuatan ekstenal bisa saja juga merupakan konsekuensi dari ajaran Mahāyāna tentang hakikat Buddha, yang mana konsep tersebut membedakan antara yang belum tercerahkan dan pencapaian Buddha yang lebih tinggi.{{sfn|Williams|2008|page=247}}
Penganut Mahāyāna menganggap Amitābha ([[Sansekerta|Sanskerta]], 'terang tanpa batas') sebagai salah satu emanasi Buddha.{{sfn|Smart|1997|page=282}}{{sfn|Gómez|2004a|p=14}} [[Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang]] mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang berpraktik di bawah bimbingan seorang Buddha pada masa sebelumnya, berkomitmen untuk menciptakan sebuah area melalui kekuatan spiritualnya. Melalui area ideal tersebut, Amitabha akan dengan mudah menuntun banyak makhluk merealisasikan pencerahan final.{{sfn|Harvey|2013b|p=173}} Dengan demikian Ia bertekad seketika mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha, melalui penjapaan namanya saja akan cukup untuk terlahir ke Tanah Murni itu.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Dharmākara}} Praktik bakti kepada Amitabha tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, dan Tibet,<!--Smart--> yang mana tradisi ini awalnya berkembang di India pada permulaan Era Masehi.<!--Gomez-->{{sfn|Gómez|2004a|p=14}}{{sfn|Smart|1997|page=284}} Inti dari Aliran Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Kemunduran Dharma (''[[bahasa Tionghoa|Tionghoa:]] mofa'', ''[[bahasa Jepang|Jepang:]] mappō''), tahap akhir dari periode [[Buddha Gautama|Buddha saat ini]].{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Umat Buddha penganut Aliran Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, kemampuan rata-rata orang sangat terbatas dalam meraih pembebasan. Mereka perlu mengandalkan kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk mencapai pembebasan, dan menunda perealisasian Nirwana pada kehidupan lain (yaitu merealisasi Nirwana pada kelahiran kembali ke Tanah Murni).{{sfn|Hsieh|2009|pp=236–7}}{{sfn|Green|2013|p=123}} Kepercayaan serupa ini terjadi barangkali disebabkan oleh kekerasan, konflik sipil, kelaparan, kebakaran dan kehancuran institusi monastik.{{sfn|Andrews|1987|p=4119}} Namun, gagasan tentang mengandalkan kekuatan ekstenal bisa saja juga merupakan konsekuensi dari ajaran Mahāyāna tentang hakikat Buddha, yang mana konsep tersebut membedakan antara yang belum tercerahkan dan pencapaian Buddha yang lebih tinggi.{{sfn|Williams|2008|page=247}}
[[Berkas:Two Patriarchs - Shandao (Otani University Museum).jpg|jmpl|upright=1.3|Lukisan pendeta dan penulis Tionghoa [[Shandao]]]]
[[Berkas:Two Patriarchs - Shandao (Otani University Museum).jpg|jmpl|upright=1.3|Lukisan pendeta dan penulis Tionghoa [[Shandao]]]]


Aliran Tanah Murni berdiri sebagai sebuah institusi oleh Master [[Huiyuan (Buddha)|Huiyuan]] (334–416 Masehi) di [[Gunung Liu]] dengan pendirian [[Sekte Teratai Putih]].{{sfn|Barber|2004|p=707}} [[Shandao]] (613–681) mulai menekankan pada penjapaan mantra-mantra untuk menyanjung Buddha Amitābha (''[[bahasa Tionghoa|Tionghoa]]'': ''[[nianfo]]''; ''[[bahasa Jepang|Jepang]]'': ''[[nembutsu]]''), dipadukan dengan beberapa praktik lainnya.{{sfn|Getz|2004|page=701}}{{sfn|Harvey|2013|p=255}} Tampaknya sejak awal, aliran ini sudah menimbulkan paradoks dalam keyakinan terhadap Tanah Murni, dua gagasan itu dibabarkan secara simultan: di satu sisi, para master dari aliran Tanah Murni mengajarkan bahwa para ''bodhisatwa'' yang menciptakan Tanah Murni-nya sendiri merupakan contoh dari upaya mereka sendiri dalam menggunakan jasa kebajikan sebagai energi untuk menciptakan Tanah Murni, menginspirasi pengikutnya untuk meneladani contoh itu. Di sisi lain, para praktisi diajarkan hanya perlu membangkitkan devosi kepada para Buddha di Tanah Murni, utamanya Amitābha, yang akan datang menyelamatkan mereka, gagasan inilah yang banyak diikuti.{{sfn|Getz|2004|pages=698–9}} Gagasan yang kedua yang berhasil menyebar di Jepang. Ternyata di Jepang juga banyak perdebatan besar tentang penekanan seperti apa yang diberikan kepada [[Jiriki|upaya-upaya {{em|aktif}} dari penganut]] di satu sisi, dan [[tariki|sikap {{em|pasif}}]] terhadap Buddha Amitābha dan tekadnya di sisi lain.<ref name="Hirota">{{cite encyclopedia|url=https://plato.stanford.edu/entries/japanese-pure-land/|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAEpCKMW?url=https://plato.stanford.edu/entries/japanese-pure-land/|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|encyclopedia=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|edition=Winter 2016|title=Japanese Pure Land Philosophy|date=19 November 2012|access-date=18 August 2017|first=Dennis|last=Hirota|editor-first=Edward N.|editor-last=Zalta|publisher=Metaphysics Research Lab, [[Stanford University]]|df=}}</ref>{{sfn|Dobbins|2002|page=19}}{{refn|group=note|Cendekiawan kajian agama Allan A. Andrews menekankan bahwa selain penganut aliran utama Buddha Tanah Murni, aliran-aliran berorientasi monastik juga berdiri. Ini menempatkan visualisasi ketimbang pengutipan kembali nama Buddha [[Amitābha]], dan mendorong pencerahan dalam kehidupan saat ini ketimbang mendatangi Tanah Murni setelah kematian.<ref>{{cite journal|last1=Andrews|first1=Allan A.|title=Lay and Monastic Forms of Pure Land Devotionalism: Typology and History|journal=[[Numen (jurnal)|Numen]]|date=1993|volume=40|issue=1|doi=10.2307/3270396|pages=passim.|nopp=yes|jstor=3270396}}</ref>}}
Aliran Tanah Murni berdiri sebagai sebuah institusi oleh Master [[Huiyuan (Buddha)|Huiyuan]] (334–416 Masehi) di [[Gunung Lu]] dengan pendirian [[Sekte Teratai Putih]].{{sfn|Barber|2004|p=707}} [[Shandao]] (613–681) mulai menekankan pada penjapaan mantra-mantra untuk menyanjung Buddha Amitābha (''[[bahasa Tionghoa|Tionghoa]]'': ''[[nianfo]]''; ''[[bahasa Jepang|Jepang]]'': ''[[nembutsu]]''), dipadukan dengan beberapa praktik lainnya.{{sfn|Getz|2004|page=701}}{{sfn|Harvey|2013b|p=255}} Tampaknya sejak awal, aliran ini sudah menimbulkan paradoks dalam keyakinan terhadap Tanah Murni, dua gagasan itu dibabarkan secara simultan: di satu sisi, para master dari aliran Tanah Murni mengajarkan bahwa para ''bodhisatwa'' yang menciptakan Tanah Murni-nya sendiri merupakan contoh dari upaya mereka sendiri dalam menggunakan jasa kebajikan sebagai energi untuk menciptakan Tanah Murni, menginspirasi pengikutnya untuk meneladani contoh itu. Di sisi lain, para praktisi diajarkan hanya perlu membangkitkan bakti kepada para Buddha di Tanah Murni, utamanya Amitābha, yang akan datang menyelamatkan mereka, gagasan inilah yang banyak diikuti.{{sfn|Getz|2004|pages=698–9}} Gagasan yang kedua yang berhasil menyebar di Jepang. Ternyata di Jepang juga banyak perdebatan besar tentang penekanan seperti apa yang diberikan kepada [[Jiriki|upaya-upaya {{em|aktif}} dari penganut]] di satu sisi, dan [[tariki|sikap {{em|pasif}}]] terhadap Buddha Amitābha dan tekadnya di sisi lain.{{sfn|Hirota|2016}}{{sfn|Dobbins|2002|page=19}}{{refn|group=note|Cendekiawan kajian agama Allan A. Andrews menekankan bahwa selain penganut aliran utama Buddha Tanah Murni, aliran-aliran berorientasi monastik juga berdiri. Ini menempatkan visualisasi ketimbang pengutipan kembali nama Buddha [[Amitābha]], dan mendorong pencerahan dalam kehidupan saat ini ketimbang mendatangi Tanah Murni setelah kematian.{{sfn|Andrews|1993}}}}


Aliran Tanah Murni sekarang masih menjadi salah satu aliran paling populer di Asia Timur, dan dipraktikkan oleh sebagian besar biksu Asia Timur.{{sfn|Hsieh|2009|p=236}}{{sfn|Welch|1967|p=396}}{{sfn|Hudson|2005|page=1293}} Pada 1990an, generasi lama dari masyarakat Tiongkok masih memakai mantra Amitābha dalam salam sehari-hari.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|page=198}}
Aliran Tanah Murni sekarang masih menjadi salah satu aliran paling populer di Asia Timur, dan dipraktikkan oleh sebagian besar biksu Asia Timur.{{sfn|Hsieh|2009|p=236}}{{sfn|Welch|1967|p=396}}{{sfn|Hudson|2005|page=1293}} Pada 1990an, generasi lama dari masyarakat Tiongkok masih memakai mantra Amitābha dalam salam sehari-hari.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|page=198}}


===== Jepang =====
===== Jepang =====
Cendekiawan aliran Tendai, Master [[Genshin]] (942–1017), pendeta Tendai [[Hōnen]] (1133–1212) dan muridnya, Shinran (1173–1262) menerapkan ajaran Shandao di Jepang, membentuk aliran Tanah Murni sebagai aliran terpisah untuk pertama kalinya.{{sfn|Abe|1997|page=689}}{{sfn|Barber|2004|p=708}}{{sfn|Andrews|1987|p=4119}} Mereka meyakini dan mengajarkan bahwa mendatas ulang ''nembutsu'' dengan penuh kewawasan (''mindfully'') akan mendorong seseorang masuk ke Tanah Murni Barat.{{sfn|Harvey|2013|p=229}}{{sfn|Green|2013|pp=121–3}} Meskipun Hōnen awalnya menyatakan bahwa menjapa mantra itu berulang-ulang akan membuat keselamatannya semakin pasti, Kemudian Shinran menyatakan bahkan hanya satu kalimat saja sudah cukup bisa menyelamatkan seseorang (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: ichinengi'').{{refn|group=note|Meskipun demikian, dalam beberapa teks, [[Shinran]] berpendapat bahwa beberapa kali ''[[nembutsu]]'' dikutip ulang, entah sekali atau beberapa kali, tak memberikan jawaban lengkap untuk pertanyaan keselamatan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Ichinengi}}}} Repetisi berikutnya akan menjadi ekspresi penghormatan kepada Buddha Amitābha, yang juga dilakukan untuk rutinitas dan praktik spiritual lainnya. Pengertian mendalam tentang ajaran Buddha, menerapkan etika dan meditasi tidak dibutuhkan, demikian kesimpulan Shinran,{{sfn|Green|2013|pp=122–3}}{{sfn|Harvey|2013|pp=230, 255}} kadang praktik sejenis meditasi dianggap kontraproduktif dengan praktik mengandalkan Buddha Amitābha.{{sfn|Hudson|2005|page=1294}}
Cendekiawan aliran Tendai, Master [[Genshin]] (942–1017), pendeta Tendai [[Hōnen]] (1133–1212) dan muridnya, Shinran (1173–1262) menerapkan ajaran Shandao di Jepang, membentuk aliran Tanah Murni sebagai aliran terpisah untuk pertama kalinya.{{sfn|Abe|1997|page=689}}{{sfn|Barber|2004|p=708}}{{sfn|Andrews|1987|p=4119}} Mereka meyakini dan mengajarkan bahwa mendatas ulang ''nembutsu'' dengan penuh kewawasan (''mindfully'') akan mendorong seseorang masuk ke Tanah Murni Barat.{{sfn|Harvey|2013b|p=229}}{{sfn|Green|2013|pp=121–3}} Meskipun Hōnen awalnya menyatakan bahwa menjapa mantra itu berulang-ulang akan membuat keselamatannya semakin pasti, Kemudian Shinran menyatakan bahkan hanya satu kalimat saja sudah cukup bisa menyelamatkan seseorang (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: ichinengi'').{{refn|group=note|Meskipun demikian, dalam beberapa teks, [[Shinran]] berpendapat bahwa beberapa kali ''[[nembutsu]]'' dikutip ulang, entah sekali atau beberapa kali, tak memberikan jawaban lengkap untuk pertanyaan keselamatan.{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Ichinengi}}}} Repetisi berikutnya akan menjadi ekspresi penghormatan kepada Buddha Amitābha, yang juga dilakukan untuk rutinitas dan praktik spiritual lainnya. Pengertian mendalam tentang ajaran Buddha, menerapkan etika dan meditasi tidak dibutuhkan, demikian kesimpulan Shinran,{{sfn|Green|2013|pp=122–3}}{{sfn|Harvey|2013b|pp=230, 255}} kadang praktik sejenis meditasi dianggap kontraproduktif dengan praktik mengandalkan Buddha Amitābha.{{sfn|Hudson|2005|page=1294}}


Konsep keyakinan yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:{{sfn|Williams|2008|page=262}} mula-mula, kepercayaan tulus pada sosok Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam atas tekad Buddha Amitābha, dan menyadari bahwa kemampuan diri sendiri yang masih lemah, dan terakhir, keinginan kuat untuk mendedikasikan tumpukan kebajikan dari berbuat kebajikan agar bisa terlahir ke Tanah Murni yang merupakan tempat Amitābha Buddha bersemayam.<!--both--> Tiga kepercayaan itu juga dikenal sebagai 'hati tanpa bentuk' (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: isshin'').<!--only Dobbins-->{{sfn|Conze|2003|p=158}}{{sfn|Dobbins|2002|pp=34–5}} Lebih jauh lagi, Shinran mengajarkan bahwa dengan membangkitkan keyakinan penuh seperti itu membuat seseorang setara dengan Maitreya (Buddha akan datang), karena sudah bisa dipastikan bahwa pencerahan yang akan mereka cara sudah tidak bisa mundur lagi.{{sfn|Dobbins|2002|pp=42–3}}{{sfn|Williams|2008|p=264}}
Konsep keyakinan yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:{{sfn|Williams|2008|page=262}} mula-mula, kepercayaan tulus pada sosok Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam atas tekad Buddha Amitābha, dan menyadari bahwa kemampuan diri sendiri yang masih lemah, dan terakhir, keinginan kuat untuk mendedikasikan tumpukan kebajikan dari berbuat kebajikan agar bisa terlahir ke Tanah Murni yang merupakan tempat Amitābha Buddha bersemayam.<!--both--> Tiga kepercayaan itu juga dikenal sebagai 'hati tanpa bentuk' (''[[bahasa Jepang|Jepang]]: isshin'').<!--only Dobbins-->{{sfn|Conze|2003|p=158}}{{sfn|Dobbins|2002|pp=34–5}} Lebih jauh lagi, Shinran mengajarkan bahwa dengan membangkitkan keyakinan penuh seperti itu membuat seseorang setara dengan Maitreya (Buddha akan datang), karena sudah bisa dipastikan bahwa pencerahan yang akan mereka cara sudah tidak bisa mundur lagi.{{sfn|Dobbins|2002|pp=42–3}}{{sfn|Williams|2008|p=264}}


Shinran menganut ajaran Hōnen sampai titik ekstrem: dia yakin bahwa dirinya akan jatuh ke dalam neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, devosi dan kepercayaan akan tekadnya Buddha Amitābha adalah jalan tunggal menuju pembebasan.{{sfn|Abe|1997|p=692}}{{sfn|Porcu|2008|page=17}} Walaupun Hōnen juga pada umumnya menitikberatkan praktik devosi kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara eksklusif berlebihan: sementara itu, Shinran hanya mengajarkan devosi tunggal kepada Buddha Amitābha.{{sfn|Irons|2008|page=258}} Kemudian, Buddha Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik tertentu, kontras dengan beberapa praktik aliran Tendai. Karakteristik agama Buddha di Jepang pada periode tersebut merupakan kondisi selektif dari keyakinan: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk agama Buddha yang merupakan jalan yang benar;<!--both refs--> bentuk agama Buddha lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Kemunduran Dharma. (Kelanjutan dari 'selektif agama Buddha', [[bahasa Jepang|Jepang]]:''senchaku bukkyō'', juga berdampak pada aliran Nichiren.<!--Bielefeldt-->{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=388–9}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=412}}) Ketiga, walaupun pada perkembangan awal agama Buddha menitikberatkan pada pelepasan sang aku yang tidak nyata melalui mempraktikkan Dharma, pada aliran Tanah Murni berikutnya diperdalam lagi melalui pernyataan bahwa setiap manusia perlu meletakkan semua "kekuatan diri" dan mengizinkan kekuatan penyembuhan Amitābha agar mereka bisa mencapai pembebasan.{{sfn|Harvey|2013|p=230}}{{sfn|Conze|2003|p=159}} Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma.<!--4934--> Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa keyakinan dapat dibangun dengan praktik ''nembutsu'', Shinran menyatakan bahwa keyakinan dibutuhkan sebagai kebutuhan awal, dan tak dapat dibangun melalui praktik.<!--4935-->{{sfn|Shōto|1987|page=4934–5}} Karakteristik keempat dari gerakan tersebut adalah hakikat demokratisnya:{{sfn|Andrews|1987|p=4119}}{{sfn|Abe|1997|page=689}} dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "[[keselamatan pendosa]]" dari agama Kristen.<ref>{{cite book|url=http://www.e-reading.club/bookreader.php/142060/An_Introduction_to_Buddhist_Ethics.pdf|last1=Harvey|first1=Peter|title=An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues|date=2000|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-511-07584-1|page=143}}</ref>{{refn|group=note|Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada [[periode Kamakura]], dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.{{sfn|Dobbins|2004a|page=414}}}}
Shinran menganut ajaran Hōnen sampai titik ekstrem: dia yakin bahwa dirinya akan jatuh ke dalam neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, bakti dan kepercayaan akan tekadnya Buddha Amitābha adalah jalan tunggal menuju pembebasan.{{sfn|Abe|1997|p=692}}{{sfn|Porcu|2008|page=17}} Walaupun Hōnen juga pada umumnya menitikberatkan praktik bakti kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara eksklusif berlebihan: sementara itu, Shinran hanya mengajarkan bakti tunggal kepada Buddha Amitābha.{{sfn|Irons|2008|page=258}} Kemudian, Buddhisme Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik tertentu, kontras dengan beberapa praktik aliran Tendai. Karakteristik Buddhisme di Jepang pada periode tersebut merupakan kondisi selektif dari keyakinan: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk Buddhisme yang merupakan jalan yang benar;<!--both refs--> bentuk Buddhisme lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Kemunduran Dharma. (Kelanjutan dari 'selektif Buddhisme', [[bahasa Jepang|Jepang]]:''senchaku bukkyō'', juga berdampak pada aliran Nichiren.<!--Bielefeldt-->{{sfn|Bielefeldt|2004|pages=388–9}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=412}}) Ketiga, walaupun pada perkembangan awal Buddhisme menitikberatkan pada pelepasan sang aku yang tidak nyata melalui mempraktikkan Dharma, pada aliran Tanah Murni berikutnya diperdalam lagi melalui pernyataan bahwa setiap manusia perlu meletakkan semua "kekuatan diri" dan mengizinkan kekuatan penyembuhan Amitābha agar mereka bisa mencapai pembebasan.{{sfn|Harvey|2013b|p=230}}{{sfn|Conze|2003|p=159}} Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma.<!--4934--> Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa keyakinan dapat dibangun dengan praktik ''nembutsu'', Shinran menyatakan bahwa keyakinan dibutuhkan sebagai kebutuhan awal, dan tak dapat dibangun melalui praktik.<!--4935-->{{sfn|Shōto|1987|page=4934–5}} Karakteristik keempat dari gerakan tersebut adalah hakikat demokratisnya:{{sfn|Andrews|1987|p=4119}}{{sfn|Abe|1997|page=689}} dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "keselamatan pendosa" dari agama Kristen.{{sfn|Harvey|2000|p=143}}{{refn|group=note|Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada [[periode Kamakura]], dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.{{sfn|Dobbins|2004a|page=414}}}}


Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai sebuah aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa ada beberapa monastik Honen bertindak tak pantas, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Andrews|1987|p=4120}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=namu Amidabutsu}} Saat Shinran mulai mengajarkan tentang ketidaksetujuannya terhadap praktik selibat, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=413}} Selain Shinran, para pendeta lain yang menunjung keyakinan dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka seringkali tak diterima otoritas aristokrat yang berkuasa.{{sfn|Dobbins|2002|page=19}}
Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai sebuah aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa ada beberapa monastik Honen bertindak tak pantas, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Andrews|1987|p=4120}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=namu Amidabutsu}} Saat Shinran mulai mengajarkan tentang ketidaksetujuannya terhadap praktik selibat, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.{{sfn|Abe|1997|pp=691–2}}{{sfn|Dobbins|2004a|page=413}} Selain Shinran, para pendeta lain yang menunjung keyakinan dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka sering kali tak diterima otoritas aristokrat yang berkuasa.{{sfn|Dobbins|2002|page=19}}


Pada abad ke-15, [[Rennyo]] (1415–99), seorang murid dari Shinran, pendiri kedua dari aliran [[Jōdo Shinshu]] pimpinan Shinran, berniat untuk mereformasi aliran tersebut. Ia menentang gagasan Shinran bahwa moralitas tak dibutuhkan untuk memasuki Tanah Murni dan bertemu dengan Buddha Amitābha. Ia meyakini bahwa moralitas harus bergandengan tangan dengan keyakinan, dan merupakan cara untuk mengekspresikan rasa terima kasih mendalam kepada Amitābha.{{sfn|Harvey|2013|p=234}}{{sfn|Porcu|2008|page=18}} Jōdo Shinshu masih menjadi sekte Buddha terbesar dan paling populer di Jepang pada saat ini,{{sfn|Green|2013|p=121}}{{sfn|Abe|1997|p=694}}{{sfn|Shōto|1987|page=4933}} yang hadir sebagai tradisi [[Hongan-ji#Nishi Hongan-ji|Nishi Hongwanji]] dan [[Hongan-ji#Higashi Hongan-ji|Higashi Hongwanji]].{{sfn|Irons|2008|p=268}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Jodo Shinshu}}
Pada abad ke-15, [[Rennyo]] (1415–99), seorang murid dari Shinran, pendiri kedua dari aliran [[Jōdo Shinshu]] pimpinan Shinran, berniat untuk mereformasi aliran tersebut. Ia menentang gagasan Shinran bahwa moralitas tak dibutuhkan untuk memasuki Tanah Murni dan bertemu dengan Buddha Amitābha. Ia meyakini bahwa moralitas harus bergandengan tangan dengan keyakinan, dan merupakan cara untuk mengekspresikan rasa terima kasih mendalam kepada Amitābha.{{sfn|Harvey|2013b|p=234}}{{sfn|Porcu|2008|page=18}} Jōdo Shinshu masih menjadi sekte Buddha terbesar dan paling populer di Jepang pada saat ini,{{sfn|Green|2013|p=121}}{{sfn|Abe|1997|p=694}}{{sfn|Shōto|1987|page=4933}} yang hadir sebagai tradisi [[Hongan-ji#Nishi Hongan-ji|Nishi Hongwanji]] dan [[Hongan-ji#Higashi Hongan-ji|Higashi Hongwanji]].{{sfn|Irons|2008|p=268}}{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Jodo Shinshu}}


==== Aliran Zen ====
==== Aliran Zen ====
{{Main|Zen}}
{{Main|Zen}}
[[Berkas:DogenP2.JPG|jmpl|Lukisan [[Dōgen]], seorang guru [[Zen]] Jepang]]
[[Berkas:DogenP2.JPG|jmpl|Lukisan [[Dōgen]], seorang guru [[Zen]] Jepang]]
Seperti Jōdo Shinshu, beberapa aliran Zen bermunculan sebagai reaksi atas aliran Tendai. Sebagaimana aliran Tanah Murni, keyakinan juga memainkan peran dalam aliran tersebut, terutama dalam [[Sōtō Zen]]. Bentuk Zen tersebut, yang juga disebut sebagai "Zen petani" karena popularitasnya di kalangan pertanian, dikembangkan oleh [[Dōgen]] (1200–53).<!--p=231--> Selain berfokus pada praktik meditasi yang umum dalam aliran Zen, Dōgen memimpin kebangkitan peminatan dalam kajian ''sūtra''-''sūtra'', apa pun yang ia ajarkan akan menginspirasi pemahaman yang berlandaskan keyakinan. Terinspirasi oleh [[Buddhisme Chan|aliran Chan]] dari Tiongkok, Dōgen berniat kembali ke kehidupan yang sederhana seperti teladan yang dilakoni oleh Buddha dalam ''sūtra''-''sūtra''. Ia juga meyakini bahwa meditasi duduk bukanlah satu-satunya jalan menuju pencerahan, tetapi juga cara untuk mewujudkan hakikat Buddha dari internal. Para Praktisi harus memiliki keyakinan bahwa hakikat Buddha sudah ada dalam masing-masing orang, berdasarkan pada yang diajarkan oleh Dōgen meskipun dia tidak meyakininya bahwa hakikat Buddha sebagai [[Atman|jiwa yang kekal]].<!--p=232-->{{sfn|Harvey|2013|pp=231–2}} Dōgen meyakini bahwa pencerahan itu memungkinkan dalam kehidupan ini—bahkan kehidupan sekuler—dan ia tak meyakini gagasan Zaman Kemerosotan Dharma.{{sfn|Araki|1987|p=1245}}
Seperti Jōdo Shinshu, beberapa aliran Zen bermunculan sebagai reaksi atas aliran Tendai. Sebagaimana aliran Tanah Murni, keyakinan juga memainkan peran dalam aliran tersebut, terutama dalam [[Sōtō Zen]]. Bentuk Zen tersebut, yang juga disebut sebagai "Zen petani" karena popularitasnya di kalangan pertanian, dikembangkan oleh [[Dōgen]] (1200–53).<!--p=231--> Selain berfokus pada praktik meditasi yang umum dalam aliran Zen, Dōgen memimpin kebangkitan peminatan dalam kajian ''sūtra''-''sūtra'', apa pun yang ia ajarkan akan menginspirasi pemahaman yang berlandaskan keyakinan. Terinspirasi oleh [[Buddhisme Chan|aliran Chan]] dari Tiongkok, Dōgen berniat kembali ke kehidupan yang sederhana seperti teladan yang dilakoni oleh Buddha dalam ''sūtra''-''sūtra''. Ia juga meyakini bahwa meditasi duduk bukanlah satu-satunya jalan menuju pencerahan, tetapi juga cara untuk mewujudkan hakikat Buddha dari internal. Para Praktisi harus memiliki keyakinan bahwa hakikat Buddha sudah ada dalam masing-masing orang, berdasarkan pada yang diajarkan oleh Dōgen meskipun dia tidak meyakininya bahwa hakikat Buddha sebagai [[Atman|jiwa yang kekal]].<!--p=232-->{{sfn|Harvey|2013b|pp=231–2}} Dōgen meyakini bahwa pencerahan itu memungkinkan dalam kehidupan ini—bahkan kehidupan sekuler—dan ia tak meyakini gagasan Zaman Kemerosotan Dharma.{{sfn|Araki|1987|p=1245}}


==== Awalokiteśwara ====
==== Awalokiteśwara ====
{{Main|Awalokiteswara}}
{{Main|Awalokiteswara}}
[[Berkas:Sculpture of Khasarpana Lokeshvara (c 11th–12th century), Indian Museum, Kolkata, India - 20150807.jpg|jmpl|Patung [[Awalokiteswara|Awalokiteśwara]], dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar]]
[[Berkas:Sculpture of Khasarpana Lokeshvara (c 11th–12th century), Indian Museum, Kolkata, India - 20150807.jpg|jmpl|Patung [[Awalokiteswara|Awalokiteśwara]], dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar]]
Dalam agama Buddha yang menyebar di Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan Bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, tetapi ia dihormati karena sifat welas asihnya di beberapa negara, seperti Tiongkok, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.{{sfn|Higham|2004|p=29}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=704}}
Dalam Buddhisme yang menyebar di Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan Bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, tetapi ia dihormati karena sifat welas asihnya di beberapa negara, seperti Tiongkok, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.{{sfn|Higham|2004|p=29}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=704}}


Teks yang disebut ''Sūtra Awalokiteśwara'' menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan penuh keyakinan, memenuhi berbagai jenis harapan, dan membangkitkan sifat welas asih Buddha setiap orang.{{sfn|Harvey|2013|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}} Awalokiteśwara berkaitan erat dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini berada di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan mereka yang menyebut nama Buddha Amitābha.{{sfn|Gómez|2004a|p=15}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}} Berfokus pada manfaat keduniawian dan keselamatan,<!--Ford--> devosi kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, terdapat satu bab tentang Awalokiteśwara,<!--Stone and Birnbaum-->{{sfn|Stone|2004a|p=474}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}}<ref>{{cite book|url=https://books.google.com/?id=ACnfqhZUgXYC|last=Ford|first=J.L.|year=2006|title=Jōkei and Buddhist Devotion in Early Medieval Japan|publisher=[[Oxford University Press]]|page=90|isbn=978-0-19-972004-0}}</ref> serta melalui ''sūtra''-''sūtra'' [[Prajnaparamita|Kesempurnaan Kebijaksanaan]].{{sfn|Powers|2013|loc=Avalokiteśvara}} Para pengikut Awalokiteśwara seringkali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai [[Guanyin]] di Tiongkok,<!--all refs--> bermula dari sebuah asosiasi dengan Istadewata [[Tara (Buddha)|Tārā]].<!--Snellgrove-->{{sfn|Harvey|2013|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}}{{sfn|Snellgrove|1987|p=1079}} Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam agama Buddha, dan Guanyin juga dipuja oleh penganut [[Taoisme]].<ref>{{cite encyclopedia|last1=Irons|first1=Edward A.|editor1-last=Melton|editor1-first=J. Gordon|editor2-first=Martin|editor1-link=J. Gordon Melton|editor2-last=Baumann|encyclopedia=Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices|title=Statues-Buddhist|date=2010|publisher=[[ABC-CLIO]]|location=Santa Barbara, California|isbn=978-1-59884-204-3|url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD,%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAE2WMY7?url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD%2C%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|page=2721|edition=2nd|df=}}</ref>
Teks yang disebut ''Sūtra Awalokiteśwara'' menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan penuh keyakinan, memenuhi berbagai jenis harapan, dan membangkitkan sifat welas asih Buddha setiap orang.{{sfn|Harvey|2013b|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}} Awalokiteśwara berkaitan erat dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini berada di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan mereka yang menyebut nama Buddha Amitābha.{{sfn|Gómez|2004a|p=15}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}} Berfokus pada manfaat keduniawian dan keselamatan,<!--Ford--> bakti kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, terdapat satu bab tentang Awalokiteśwara,<!--Stone and Birnbaum-->{{sfn|Stone|2004a|p=474}}{{sfn|Birnbaum|1987|p=705}}{{sfn|Ford|2006|p=90}} serta melalui ''sūtra''-''sūtra'' [[Prajnaparamita|Kesempurnaan Kebijaksanaan]].{{sfn|Powers|2013|loc=Avalokiteśvara}} Para pengikut Awalokiteśwara sering kali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai [[Guanyin]] di Tiongkok,<!--all refs--> bermula dari sebuah asosiasi dengan Istadewata [[Tara (Buddha)|Tārā]].<!--Snellgrove-->{{sfn|Harvey|2013b|pp=250–1, 253}}{{sfn|Irons|2008|p=98}}{{sfn|Snellgrove|1987|p=1079}} Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam Buddhisme, dan Guanyin juga dipuja oleh penganut [[Taoisme]].{{sfn|Irons|2010|p=2721}}


=== Perkembangan sejarah lain ===
=== Perkembangan sejarah lain ===
==== Dewa-dewi ====
==== Dewa-dewi ====


Dalam agama Buddha, para Buddha dan makhluk tercerahkan merupakan fokus utama penghormatan, berbeda dengan dewa-dewi dalam agama lain. Walaupun demikian, agama Buddha juga mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan makhluk tercerahkan telah terbebas dari [[samsara]] (siklus kelahiran dan kematian) oleh karena itulah dianggap berbeda dengan dewa-dewi. Hal demikian bukan berarti para dewa-dewi tidak eksis dalam agama Buddha. Namun, pemujaan para dewa-dewi sering dikaitkan dengan ketakhayulan atau bentuk upaya mahir dalam membimbing mereka yang belum tercerahkan agar memiliki kehidupan lebih baik, dan tak lebih dari itu.<!--p=466-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–6}}
Dalam Buddhisme, para Buddha dan makhluk tercerahkan merupakan fokus utama penghormatan, berbeda dengan dewa-dewi dalam agama lain. Walaupun demikian, Buddhisme juga mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan makhluk tercerahkan telah terbebas dari [[samsara]] (siklus kelahiran dan kematian) oleh karena itulah dianggap berbeda dengan dewa-dewi. Hal demikian bukan berarti para dewa-dewi tidak eksis dalam Buddhisme. Namun, pemujaan para dewa-dewi sering dikaitkan dengan ketakhayulan atau bentuk upaya mahir dalam membimbing mereka yang belum tercerahkan agar memiliki kehidupan lebih baik, dan tak lebih dari itu.<!--p=466-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–6}}


Dalam sejarah penyebaran agama Buddha, hubungan antara agama Buddha dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, tetapi umat Buddha seringkali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan kurang menaruh perhatian kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji agama Buddha, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddhis dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddhis memandang hal tersebut sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari dewa-dewi tersebut dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung Buddha. Ketika para guru besar Buddhis mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, [[kosmologi Buddha|kosmologi Buddhis]] mulai berkembang.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Glassman|first1=Hank|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Sexuality|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=762|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=}}</ref>{{sfn|Rambelli|2004|page=466}} Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan kacau berantakan, karena bertolak belakang dengan prinsip agama Buddha dan para praktisinya—ini mendekati kebenaran, karena para misionaris Buddhis seringkali berasal dari budaya tanpa kekerasan dan lebih tertata rapi. Dengan demikian, dewa-dewi seperti ular (''[[nāga]]''), [[garuda|dewa-dewi mirip burung]] dan [[yaksha|makhluk halus jahat]] yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddhis menjadi pelindung ajaran Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|page=467}} Proses adopsi para dewa-dewi menjadi bagian dari agama Buddha tampaknya terjadi ketika pada umat Buddha atau parak biksu tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan terdahulunya ketika memeluk agama Buddha.{{sfn|Snellgrove|1987|p=1076}} Ada suatu masa ketika agama Buddha harus bersaingan dengan pemujaan nāga, kejadian itu masih bisa ditemukan dalam kitab Pali dan beberapa budaya tradisional masyarakat Buddhis, tidak heran jika pemujaan itu diadopsi ke dalam agama Buddha.<ref>{{cite book|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=How Buddhism began: the conditioned genesis of the early teachings|date=2006|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-37123-6|url=http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.694.6690&rep=rep1&type=pdf|pages=72–5|edition=2nd|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122123610/http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.694.6690&rep=rep1&type=pdf|archivedate=2017-11-22|df=}}</ref>
Dalam sejarah penyebaran Buddhisme, hubungan antara Buddhisme dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, tetapi umat Buddha sering kali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan kurang menaruh perhatian kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji Buddhisme, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddhis dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddhis memandang hal tersebut sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari dewa-dewi tersebut dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung Buddha. Ketika para guru besar Buddhis mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, [[kosmologi Buddha|kosmologi Buddhis]] mulai berkembang.{{sfn|Glassman|2004}}{{sfn|Rambelli|2004|page=466}} Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan kacau berantakan, karena bertolak belakang dengan prinsip Buddhisme dan para praktisinya—ini mendekati kebenaran, karena para misionaris Buddhis sering kali berasal dari budaya tanpa kekerasan dan lebih tertata rapi. Dengan demikian, dewa-dewi seperti ular (''[[nāga]]''), [[garuda|dewa-dewi mirip burung]] dan [[yaksha|makhluk halus jahat]] yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddhis menjadi pelindung ajaran Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|page=467}} Proses adopsi para dewa-dewi menjadi bagian dari Buddhisme tampaknya terjadi ketika pada umat Buddha atau para biksu tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan terdahulunya ketika memeluk Buddhisme.{{sfn|Snellgrove|1987|p=1076}} Ada suatu masa ketika Buddhisme harus bersaingan dengan pemujaan nāga, kejadian itu masih bisa ditemukan dalam kitab Pali dan beberapa budaya tradisional masyarakat Buddhis, tidak heran jika pemujaan itu diadopsi ke dalam Buddhisme.{{sfn|Gombrich|2006b|pp=72-5}}


Di beberapa negara buddhis seperti Jepang, muncul beberapa perspektif tentang manusia di muka bumi ini merupakan mikrokosmos dari makrokosmik ranah para Buddha. Hal demikian mengizinkan tolerasi lebih lebar bagi tradisi lokal dan kepercayaan leluhur, yang mana tradisi tersebut berkaitan dengan makrokosmos tersebut, oleh karena itulah dianggap bagian dari agama Buddha.{{sfn|Bielefeldt|2004|p=390}} Semua perkembangan tersebut membuat agama Buddha memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem keyakinannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran yang merupakan bawahan dari Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–7}}{{sfn|Swearer|1987|page=3154}} Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi [[Shinto]] yang dikenal dengan ''[[kami]]'', meskipun aliran tersebut tak mengizinkan pemujaan tersebut.{{sfn|Dobbins|2002|pp=39, 58}} SLebih jauh lagi, banyak ritual di beberapa negara Buddhis dari masa pra-Buddhis juga mendapat tugas selain biksu. Tugas khusus tersebut biasanya dilakukan oleh umat awam, mereka yang menunaikan fungsi tersebut disampaing menunaikan tugas sebagai umat perumah tangga.<!--p=468-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=467–8}}<ref name="Kariyawasam" />
Di beberapa negara buddhis seperti Jepang, muncul beberapa perspektif tentang manusia di muka bumi ini merupakan mikrokosmos dari makrokosmik ranah para Buddha. Hal demikian mengizinkan tolerasi lebih lebar bagi tradisi lokal dan kepercayaan leluhur, yang mana tradisi tersebut berkaitan dengan makrokosmos tersebut, oleh karena itulah dianggap bagian dari Buddhisme.{{sfn|Bielefeldt|2004|p=390}} Semua perkembangan tersebut membuat Buddhisme memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem keyakinannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran yang merupakan bawahan dari Buddha.{{sfn|Rambelli|2004|pages=465–7}}{{sfn|Swearer|1987|page=3154}} Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi [[Shinto]] yang dikenal dengan ''[[kami]]'', meskipun aliran tersebut tak mengizinkan pemujaan tersebut.{{sfn|Dobbins|2002|pp=39, 58}} Lebih jauh lagi, banyak ritual di beberapa negara Buddhis dari masa pra-Buddhis juga mendapat tugas selain biksu. Tugas khusus tersebut biasanya dilakukan oleh umat awam, mereka yang menunaikan fungsi tersebut disampaing menunaikan tugas sebagai umat perumah tangga.<!--p=468-->{{sfn|Rambelli|2004|pages=467–8}}{{sfn|Kariyawasam|1995}}


Agama Buddha tak hanya memasukkan dewa-dewi ke dalam agama, tetapi juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para ''bodhisatwa'', pemujaan relik dan hagiografi para guru Buddhis adalah cara dari agama Buddha untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddhis dan kepercayaan [[animisme|animistik]], dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddhis. Gerakan-gerakan Buddhis Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik sejenis itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddhis juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti aliran Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.{{sfn|Swearer|1987|page=3155–6}}
Buddhisme tak hanya memasukkan dewa-dewi ke dalam agama, tetapi juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para ''bodhisatwa'', pemujaan relik dan hagiografi para guru Buddhis adalah cara dari Buddhisme untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddhis dan kepercayaan [[animisme|animistik]], dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddhis. Gerakan-gerakan Buddhis Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik sejenis itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddhis juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti aliran Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.{{sfn|Swearer|1987|page=3155–6}}


==== Milenarianisme ====
==== Milenarianisme ====


{{Main|Milenarianisme}}
{{Main|Milenarianisme}}
Agama Buddha adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.<ref name="Landes">{{cite encyclopedia|last1=Landes|first1=Richard A.|author-link=Richard Landes|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Millennialism in the Western World|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAExhb2K?url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|page=463|df=}}</ref> Dalam beberapa tradisi Buddhis ada konsep [[apokalips|periode waktu dunia akan berakhir]]. Konsep figur [[milenarian]] yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik tersebar dalam beberapa tradisi Buddhis. Dalam agama Buddha, perkembangan dan keruntuhan dunia ini diyakini terjadi dalam [[Kalpa (satuan waktu)|siklus-siklus]], dan periode kehancuran diyakini berakhir dengan kebangkitan ''[[cakrawartin]]'' dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Devosi kepada figur Buddha [[mesianisme|mesianik]] semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddhis.{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}} Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika daripada keyakinan", menurut ilmuwan politik, William Miles.<ref>{{cite journal|last1=Miles|first1=W. F. S.|title=Millenarian Movements as Cultural Resistance: The Karen and Martinican Cases|journal=Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East|date=29 March 2011|volume=30|issue=3|page=647|doi=10.1215/1089201x-2010-041|url=http://ocean.sci-hub.tw/70932cef9ffd16083cc608c774b7033f/10.1215%401089201X-2010-041.pdf|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20180127004601/http://ocean.sci-hub.tw/70932cef9ffd16083cc608c774b7033f/10.1215%401089201X-2010-041.pdf|archivedate=27 January 2018|df=}}</ref>
Buddhisme adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.{{sfn|Landes|2000|p=463}} Dalam beberapa tradisi Buddhis ada konsep [[apokalips|periode waktu dunia akan berakhir]]. Konsep figur [[milenarian]] yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik tersebar dalam beberapa tradisi Buddhis. Dalam Buddhisme, perkembangan dan keruntuhan dunia ini diyakini terjadi dalam [[Kalpa (satuan waktu)|siklus-siklus]], dan periode kehancuran diyakini berakhir dengan kebangkitan ''[[cakrawartin]]'' dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Bakti kepada figur Buddha [[mesianisme|mesianik]] semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddhis.{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}} Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika daripada keyakinan", menurut ilmuwan politik, William Miles.{{sfn|Miles|2011|p=647}}


Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan berakhirnya dunia ini dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni [[Maitreya]].<!--p=537, p=66--> Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, tetapi Maitreya banyak disebutkan dalam tradisi-tradisi Sanskerta yang berkembang belakangan seperti [[Mahāsāṃghika]]. Tiongkok, Myanmar, dan Thailand, menghormati Maitreya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk mengantarkan mereka ke era kebahagiaan yang baru.<!--p=538, p=67 (last sentence)-->{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}}{{sfn|Lazich|2000|pp=66–7}} Dari abad ke-14, sektarianisme [[Teratai Putih]] berkembang di Tiongkok, yang mencakup keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.{{sfn|DuBois|2004|p=537}} Para penganut sekte Teratai Putih mempercayai bahwa keyakinan mereka akan ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka ketika era dunia baru.<ref>{{cite book|last1=Naquin|first1=Susan|title=Millenarian Rebellion in China: The Eight Trigrams Uprising of 1813|date=1976|publisher=[[Yale University Press]]|location=New Haven|isbn=0-300-01893-2|page=13|url=http://hdl.handle.net/1811/5983}}</ref> Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten dan selamat sepanjang jalan menuju abad ke-19, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad ke-19 tak menjadi abad pertama yang mana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, keyakinan dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya seringkali menyulut pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.{{sfn|DuBois|2004|pp=537, 539}}{{sfn|Lazich|2000|pp=67–8}} Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.<ref name="Landes" /> Meskipun demikian, keyakinan akan kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, tetapi "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.<ref>{{cite book|last1=Overmyer|first1=Daniel L.|title=Folk Buddhist Religion: Dissenting Sects in Late Traditional China|date=2013|publisher=[[Harvard University Press]]|isbn=978-0-674-18316-2|pages=83–4|url=http://booksc.org/dl/44859454/58bb3f}}</ref>
Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan berakhirnya dunia ini dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni [[Maitreya]].<!--p=537, p=66--> Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, tetapi Maitreya banyak disebutkan dalam tradisi-tradisi Sanskerta yang berkembang belakangan seperti [[Mahāsāṃghika]]. Tiongkok, Myanmar, dan Thailand, menghormati Maitreya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk mengantarkan mereka ke era kebahagiaan yang baru.<!--p=538, p=67 (last sentence)-->{{sfn|DuBois|2004|pp=537–8}}{{sfn|Lazich|2000|pp=66–7}} Dari abad ke-14, sektarianisme [[Teratai Putih]] berkembang di Tiongkok, yang mencakup keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.{{sfn|DuBois|2004|p=537}} Para penganut sekte Teratai Putih mempercayai bahwa keyakinan mereka akan ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka ketika era dunia baru.{{sfn|Naquin|1976|p=13}} Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten dan selamat sepanjang jalan menuju abad ke-19, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad ke-19 tak menjadi abad pertama yang mana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, keyakinan dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya sering kali menyulut pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.{{sfn|DuBois|2004|pp=537, 539}}{{sfn|Lazich|2000|pp=67–8}} Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.{{sfn|Landes|2000|p=463}} Meskipun demikian, keyakinan akan kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, tetapi "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.{{sfn|Overmyer|2013|pp=83–4}}


Di Jepang, tren-tren milenarian dapat ditemukan dalam gagasan Zaman Kemerosotan Dharma yang banyak berpengaruh dalam aliran Nichiren. Namun, bentuk-bentuk milenarianisme yang lebih kokoh berkembang dari abad ke-19, dengan kebangkitan [[agama baru Jepang|agama-agama baru]].<ref>{{cite encyclopedia|last1=Reader|first1=Ian|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Japan|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAExhb2K?url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|pages=350–1|df=}}</ref>
Di Jepang, tren-tren milenarian dapat ditemukan dalam gagasan Zaman Kemerosotan Dharma yang banyak berpengaruh dalam aliran Nichiren. Namun, bentuk-bentuk milenarianisme yang lebih kokoh berkembang dari abad ke-19, dengan kebangkitan [[agama baru Jepang|agama-agama baru]].{{sfn|Reader|2000|pp=350-1}}


=== Perkembangan modern ===
=== Perkembangan modern ===
==== Modernisme Buddhis ====
==== Modernisme Buddhis ====
{{Main|Modernisme Buddhis}}
{{Main|Modernisme Buddhis}}
Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran agama Buddha tidak terlalu menekankan pada sisi keyakinan dalam praktik,{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Baotang zong}} peran keyakinan benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad ke-18, [[Abad Pencerahan]], para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, berseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad ke-19, pandangan tentang agama tersebut menunjukkan bagaimana dunia Barat merespons agama Buddha. Para penulis Barat seperti [[Edwin Arnold]] mulai menghadirkan agama Buddha sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan serupa.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=302}} Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad ke-19, agama Buddha di Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai [[modernisme Buddhis|"modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan"]], masyarakat Barat dan Sri Lanka bersama-sama yang berasal dari didikan Inggris mengadvokasikan agama Buddha sebagai filsafat rasional, bebas dari keyakinan dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.<!--all refs-->{{sfn|Baumann|1987|page=1187}}{{sfn|Harvey|2013|p=378}}{{sfn|Gombrich|2006|pp=196–7}} Mereka memandang praktik tradisional seperti pemujaan relik dan kegiataan devosional lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari agama Buddha,<ref>{{cite book|url=https://books.google.com/?id=ckSBgvtU42YC|last1=Trainor|first1=Kevin|title=Relics, ritual, and representation in Buddhism : rematerializing the Sri Lankan Theravāda tradition|date=1997|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=Cambridge [u.a.]|isbn=0-521-58280-6|pages=19–20|edition=digital}}</ref>{{sfn|McMahan|2008|pp=65, 69}} sementara itu mengasimilasikan nilai-nilai [[Zaman Victorian|Victorian]] dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, seringkali tidak mengetahui dari mana asal-usulnya tradisi itu.{{sfn|Gombrich|2006|pp=191–2}}
Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran Buddhisme tidak terlalu menekankan pada sisi keyakinan dalam praktik,{{sfn|Buswell|Lopez|2013|loc=Baotang zong}} peran keyakinan benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad ke-18, [[Abad Pencerahan]], para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, berseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad ke-19, pandangan tentang agama tersebut menunjukkan bagaimana dunia Barat merespons Buddhisme. Para penulis Barat seperti [[Edwin Arnold]] mulai menghadirkan Buddhisme sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan serupa.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=302}} Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad ke-19, Buddhisme di Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai [[modernisme Buddhis|"modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan"]], masyarakat Barat dan Sri Lanka bersama-sama yang berasal dari didikan Inggris mengadvokasikan Buddhisme sebagai filsafat rasional, bebas dari keyakinan dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.<!--all refs-->{{sfn|Baumann|1987|page=1187}}{{sfn|Harvey|2013b|p=378}}{{sfn|Gombrich|2006a|pp=196–7}} Mereka memandang praktik tradisional seperti pemujaan relik dan kegiatan bakti lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari Buddhisme,{{sfn|Trainor|1997|pp=19–20}}{{sfn|McMahan|2008|pp=65, 69}} sementara itu mengasimilasikan nilai-nilai [[Zaman Victorian|Victorian]] dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, sering kali tidak mengetahui dari mana asal-usulnya tradisi itu.{{sfn|Gombrich|2006a|pp=191–2}}


[[Berkas:Daisetsu Teitarō Suzuki photographed by Shigeru Tamura.jpg|kiri|jmpl|lurus|[[Daisetsu Teitarō Suzuki]], difoto oleh [[Shigeru Tamura (fotografer)|Shigeru Tamura]]]]
[[Berkas:Daisetsu Teitarō Suzuki photographed by Shigeru Tamura.jpg|kiri|jmpl|lurus|[[Daisetsu Teitarō Suzuki]], difoto oleh [[Shigeru Tamura (fotografer)|Shigeru Tamura]]]]
Di Jepang, dari [[zaman Meiji]], Jepang sangat menyerang agama Buddha sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "agam Buddha Baru" (''Jepang: [[D. T. Suzuki#Buddhisme Baru|shin bukkyo]]''), yang mengedepankan rasionalisme, modernisme, dan gagasan keprajuritan.<ref>{{cite encyclopedia|last1=Ahn|first1=Juhn|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Popular conceptions of Zen|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=924|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=}}</ref> Masih di agama Buddha Jepang, pada abad ke-20, tanggapan kritikal terhadap agama Buddha tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut [[Buddhisme Kritikal]]. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan agama Buddha Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang mendukung perkembangan masyarakat. Namun, cendekiawan [[kajian Asia Timur]] Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan agama Buddha murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.<ref name="Dennis 2005">{{cite encyclopedia|last1=Dennis|first1=Mark|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism, Schools of: East Asian Buddhism|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|page=1250|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|volume=2|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302073830/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|archivedate=2017-03-02|df=}}</ref><ref>{{cite encyclopedia|last=Gregory|first=P.N.|year=1997|title=Is Critical Buddhism Really Critical?|encyclopedia=Pruning the Bodhi Tree: The Storm Over Critical Buddhism|pages=passim|nopp=yes|url=http://www.thezensite.com/ZenEssays/CriticalZen/Critical_Buddhism_Gregory.pdf|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20160817164907/http://www.thezensite.com/ZenEssays/CriticalZen/Critical_Buddhism_Gregory.pdf|archivedate=2016-08-17|df=}}</ref> Cendekiawan lainnya juga menyatakan argumen serupa. Agama Buddha Kritikal mengkritik bahwa kepercayaan membabi buta dan kepercayaan akan hakikat Buddha, namun tidak ada tempat bagi keyakinan: Keyakinan buddhis sebagaimana yang dinyatakan oleh Noriaki adalah kapasitas kritital tanpa kompromi untuk membedakan antara agama Buddha benar dan yang keliru, dan komitmen pada agama Buddha yang benar. Noriaki mengontraskan keyakinan dengan [[Wa (budaya Jepang)|gagasan harmoni Jepang]] (''wa''), yang ia percaya bisa saling bergandengan tangan dengan penerimaan non kritikal dari ideal non Buddhis, termasuk kekerasan..{{sfn|Swanson|1993|pages=133–4}}{{sfn|Williams|2008|p=324 n.61}}
Di Jepang, dari [[zaman Meiji]], Jepang sangat menyerang Buddhisme sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "agam Buddha Baru" (''Jepang: [[D. T. Suzuki#Buddhisme Baru|shin bukkyo]]''), yang mengedepankan rasionalisme, modernisme, dan gagasan keprajuritan.{{sfn|Ahn|2004|p=924}} Masih di Buddhisme Jepang, pada abad ke-20, tanggapan kritikal terhadap Buddhisme tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut [[Buddhisme Kritikal]]. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan Buddhisme Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang mendukung perkembangan masyarakat. Namun, cendekiawan [[kajian Asia Timur]] Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan Buddhisme murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.{{sfn|Dennis|2005|p=1250}}{{sfn|Gregory|1997}} Cendekiawan lainnya juga menyatakan argumen serupa. Buddhisme Kritikal mengkritik bahwa kepercayaan membabi buta dan kepercayaan akan hakikat Buddha, namun tidak ada tempat bagi keyakinan: Keyakinan buddhis sebagaimana yang dinyatakan oleh Noriaki adalah kapasitas kritital tanpa kompromi untuk membedakan antara Buddhisme benar dan yang keliru, dan komitmen pada Buddhisme yang benar. Noriaki mengontraskan keyakinan dengan [[Wa (budaya Jepang)|gagasan harmoni Jepang]] (''wa''), yang ia percaya bisa saling bergandengan tangan dengan penerimaan non kritikal dari ideal non Buddhis, termasuk kekerasan..{{sfn|Swanson|1993|pages=133–4}}{{sfn|Williams|2008|p=324 n.61}}


Walaupun tren modernisasi di Asia semakin merebak, para cendekiawan juga menemukan bahwa rasionalisme dan kemunculan kembali ajaran dan praktik religius pra modern semakin menurun. Dari tahun 1980an dan setelah itu, mereka juga menemukan bahwa agama Buddha Sri Lanka yaitu sisi devosi religius, praktik magis, memuja dewa-dewi demikian juga kebingungan moralitas telah merebak kemana-mana, sebagai efek dari agama Buddha Protestan menjadi semakin lemah. Richard Gombrich dan antropolog [[Gananath Obeyesekere]] telah menyebutkan istilah Agama ''Buddha pasca-protestan'' untuk mendeskripsikan tren tersebut.{{sfn|Harvey|2013|p=384}}<ref>{{cite encyclopedia|url=https://www.academia.edu/1417358/Aspects_of_Esoteric_Southern_Buddhism|url-access=registration|last=Cousins|first=L.S.|year=1997|title=Aspects of Esoteric Southern Buddhism|editor1-last=Connolly|editor1-first=P.|editor2-last=Hamilton|editor2-first=S.|encyclopedia=Indian Insights: Buddhism, Brahmanism and Bhakti: Papers from the Annual Spalding Symposium on Indian Religions|publisher=Luzac Oriental|page=188|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122131255/https://www.academia.edu/1417358/Aspects_of_Esoteric_Southern_Buddhism|archivedate=2017-11-22|df=}}</ref><ref>{{cite book|last1=Gombrich|first1=Richard|last2=Obeyesekere|first2=Gananath|authorlink1=Richard Gombrich|authorlink2=Gananath Obeyesekere|title=Buddhism transformed: religious change in Sri Lanka|date=1990|publisher=[[Motilal Banarsidass]]|location=Dehli|isbn=8120807022|url=https://books.google.com/?id=rpN9atSFua0C|pages=415–7}}</ref>
Walaupun tren modernisasi di Asia semakin merebak, para cendekiawan juga menemukan bahwa rasionalisme dan kemunculan kembali ajaran dan praktik religius pra modern semakin menurun. Dari tahun 1980an dan setelah itu, mereka juga menemukan bahwa Buddhisme Sri Lanka yaitu sisi bakti religius, praktik magis, memuja dewa-dewi demikian juga kebingungan moralitas telah merebak kemana-mana, sebagai efek dari Buddhisme Protestan menjadi semakin lemah. Richard Gombrich dan antropolog [[Gananath Obeyesekere]] telah menyebutkan istilah Buddhisme ''pasca-protestan'' untuk mendeskripsikan tren tersebut.{{sfn|Harvey|2013b|p=384}}{{sfn|Cousins|1997|p=188}}{{sfn|Gombirch|1990|415–7}}


==== Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat ====
==== Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat ====
[[Berkas:Bhikku Bodhi.jpg|jmpl|lurus|[[Bhikkhu Bodhi]]|alt=Bhikkhu Bodhi]]
[[Berkas:Bhikku Bodhi.jpg|jmpl|lurus|[[Bhikkhu Bodhi]]|alt=Bhikkhu Bodhi]]
Melalui penyebaran Buddhisme di dunia Barat pada abad ke-20, praktik-praktik kebaktian masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, namun tidak begitu berperan dalam komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddhis juga terasa di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang dipimpin oleh awam sering kali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa ada kaitan dengan bakti. Para penulis seperti [[D. T. Suzuki]] mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}{{refn|group=note|Pada kenyataannya, [[D. T. Suzuki]] membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa [[Zen]] tak dapat terpisahkan dari Buddhisme.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}}} Dengan demikian, di dunia Barat, meditasi [[Buddhisme sekuler|Buddhis sekuler]] lebih diutamakan ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan tanpa ada kaitan dengan keyakinan atau bakti.{{sfn|McMahan|2008|page=5}}{{sfn|Harvey|2013b|pp=429, 444}} Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari Buddhisme banyak diutamakan di dunia Barat, karena Buddhisme sering kali dibandingkan dengan agama Kristen.{{sfn|Baumann|1987|page=1189}} Pengarang dan guru Buddhis [[Stephen Batchelor (pengarang)|Stephen Batchelor]] berupaya mendorong bentuk Buddhisme yang ia yakini adalah Buddhisme asli, Buddhisme kuno, sebelum Buddhisme menjadi "terlembagakan sebagai agama".{{sfn|McMahan|2008|page=244}}
{{periksaterjemahan|en|Faith in Buddhism}}
Melalui penyebaran agama Buddha di dunia Barat pada abad ke-20, praktik-praktik devosional masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, namun tidak begitu berperan dalam komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddhis juga terasa di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang dipimpin oleh awam seringkali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa ada kaitan dengan devosi. Para penulis seperti [[D. T. Suzuki]] mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}{{refn|group=note|Pada kenyataannya, [[D. T. Suzuki]] membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa [[Zen]] tak dapat terpisahkan dari agama Buddha.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=303}}}} Dengan demikian, di dunia Barat, meditasi [[Buddhisme sekuler|Buddhis sekuler]] lebih diutamakan ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan tanpa ada kaitan dengan keyakinan atau devosi.{{sfn|McMahan|2008|page=5}}{{sfn|Harvey|2013|pp=429, 444}} Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari agama Buddha banyak diutamakan di dunia Barat, karena agama Buddha seringkali dibandingkan dengan agama Kristen.{{sfn|Baumann|1987|page=1189}} Pengarang dan guru Buddhis [[Stephen Batchelor (pengarang)|Stephen Batchelor]] berupaya mendorong bentuk agama Buddha yang ia yakini adalah agama Buddha asali, agama Buddha kuno, sebelum agama Buddha menjadi "terinstitusionalisasi sebagai agama".{{sfn|McMahan|2008|page=244}}


Berseberangan dengan tipikal tren modernis, beberapa komunitas Buddhis barat juga tampak menunjukkan komitmen besar kepada praktik dan keyakinan mereka, dan untuk itu, akal budi menjadi lebih relijius tradisional ketimbang kebanyakan bentuk spiritualitas [[Zaman Baru]].<ref>{{cite journal|last1=Phillips|first1=Tim|last2=Aarons|first2=Haydn|title=Choosing Buddhism in Australia: towards a traditional style of reflexive spiritual engagement|journal=[[The British Journal of Sociology]]|date=June 2005|volume=56|issue=2|page=228|doi=10.1111/j.1468-4446.2005.00056.x}}</ref> Lebih jauh lagi, ada beberapa guru Buddhis telah menyuarakan ketidaksetujuan atas interpretasi agama Buddha yang menafikan keyakainan dan devosi, termasuk penerjemah dan biarawan, [[Bhikkhu Bodhi|Biksu Bodhi]]. Biksu Bodhi menyatakan bahwa banyak kalangan barat yang keliru dalam memahami ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'' {{see above|Verifikasi|mid=yes}}, sebagaimana agama Buddha mengajarkan bahwa keyakinan dan pembuktian secara personal seharusnya berjalan bersamaan, lalu keyakinana tidak seharusnya dicampakkan.{{sfn|McMahan|2008|p=248}}
Berseberangan dengan tipikal tren modernis, beberapa komunitas Buddhis barat juga tampak menunjukkan komitmen besar kepada praktik dan keyakinan mereka, dan untuk itu, akal budi menjadi lebih relijius tradisional ketimbang kebanyakan bentuk spiritualitas [[Zaman Baru]].{{sfn|Phillips|2005|p=228}} Lebih jauh lagi, ada beberapa guru Buddhis telah menyuarakan ketidaksetujuan atas interpretasi Buddhisme yang menafikan keyakinan dan bakti, termasuk penerjemah dan biarawan, [[Bhikkhu Bodhi|Biksu Bodhi]]. Biksu Bodhi menyatakan bahwa banyak kalangan barat yang keliru dalam memahami ''[[Kalama Sutta|Kalāma Sutta]]'' {{see above|Verifikasi|mid=yes}}, sebagaimana Buddhisme mengajarkan bahwa keyakinan dan pembuktian secara personal seharusnya berjalan bersamaan, lalu keyakinana tidak seharusnya dicampakkan.{{sfn|McMahan|2008|p=248}}


Dipenghujung abad ke-20 muncul keadaan unik berkaitan dengan agama Buddha di dunia barat: Untuk pertama kali sejak agama Buddha meninggalkan India, sejak itu banyak tradisi Buddhis bisa berkomunikasi dengan satu bahasa. Hal ini meningkatkan [[eklestisisme]] antar tradisi berbeda.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=307}} Lebih jauh lagi, saat penelitian saintifik semakin maju dalam menelaah metode meditasi, para penulis Buddhis terkenal juga merujuk pada bukti-bukti saintifik untuk membuktikan apakah praktik Buddhis sungguh efektif atau tidak, daripada sekadar merujuk pada naskah kitab suci atau otoritas monastik.<ref>{{cite journal |doi=10.1111/zygo.12391|title='The New Science of Health and Happiness': Investigating Buddhist Engagements with the Scientific Study Of Meditation|first=Jeff|last=Wilson|journal=[[Zygon (journal)|Zygon]]|volume=53|issue=1}}</ref>
Di penghujung abad ke-20 muncul keadaan unik berkaitan dengan Buddhisme di dunia barat: Untuk pertama kali sejak Buddhisme meninggalkan India, sejak itu banyak tradisi Buddhis bisa berkomunikasi dengan satu bahasa. Hal ini meningkatkan [[eklestisisme]] antar tradisi berbeda.{{sfn|Robinson|Johnson|1997|p=307}} Lebih jauh lagi, saat penelitian saintifik semakin maju dalam menelaah metode meditasi, para penulis Buddhis terkenal juga merujuk pada bukti-bukti saintifik untuk membuktikan apakah praktik Buddhis sungguh efektif atau tidak, daripada sekadar merujuk pada naskah kitab suci atau otoritas monastik.{{sfn|Wilson|2018}}


==== Nawayāna ====
==== Nawayāna ====
{{Main|Nawayāna|Gerakan Buddha Dalit}}
{{Main|Nawayāna|Gerakan Buddha Dalit}}
Pada 1956, ''[[Dalit]]'' (untouchable) India dan tokoh ikonik [[Babasaheb Ambedkar|Ambedkar]] (1891–1956) memimpin perpindahan agama massal ke agama Buddha, memulai [[nawayana|gerakan Buddha baru]] (''Nawayāna''). Gerakan baru tersebut berujung pada serangkaian perpindahan agama massal, beberapa diantaranya mencapai lebih dari 500,000 orang yang berpindah agama. ''Dalit'' yang terpinggirkan akibat [[sistem kasta]] India mengambil perlindungan dalam agama Buddha sebagai jalan keluar. Pada 2010an, insiden kekerasan yang dialami para ''dalit'' membuat kebangkitan perpindahan agama massal di [[Gujarat]] dan negara bagian lainnya. Beberapa orang yang berpindah agama menyatakan bahwa perpindahan agama adalah adalah pilihan politik untuk mereorganisasikan diri mereka sendiri, karena perpindahan agama dapat membantu mereka tak lagi terklasifikasi oleh sistem kasta Hindu.<ref>{{cite news|last1=Dore|first1=Bhavya|title=Rising caste-related violence pushes many Indians to new faith|url=http://www.houstonchronicle.com/life/houston-belief/article/Rising-caste-related-violence-pushes-many-Indians-9523647.php|accessdate=23 September 2017|work=[[Houston Chronicle]]|agency=[[Hearst Newspapers]]|publisher=[[Religion News Service]]|date=1 October 2016|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170924045746/http://www.houstonchronicle.com/life/houston-belief/article/Rising-caste-related-violence-pushes-many-Indians-9523647.php|archivedate=24 September 2017|df=}}</ref>
Pada 1956, ''[[Dalit]]'' (kaum tak berkasta) India dan tokoh ikonik [[Babasaheb Ambedkar|Ambedkar]] (1891–1956) memimpin perpindahan agama massal ke Buddhisme, memulai [[nawayana|gerakan Buddha baru]] (''Nawayāna''). Gerakan baru tersebut berujung pada serangkaian perpindahan agama massal, beberapa diantaranya mencapai lebih dari 500,000 orang yang berpindah agama. ''Dalit'' yang terpinggirkan akibat [[sistem kasta]] India mengambil perlindungan dalam Buddhisme sebagai jalan keluar. Pada 2010an, insiden kekerasan yang dialami para ''dalit'' membuat kebangkitan perpindahan agama massal di [[Gujarat]] dan negara bagian lainnya. Beberapa orang yang berpindah agama menyatakan bahwa perpindahan agama adalah adalah pilihan politik untuk mereorganisasikan diri mereka sendiri, karena perpindahan agama dapat membantu mereka tak lagi terklasifikasi oleh sistem kasta Hindu.{{sfn|Dore|2016}}


Para cendekiawan mendeskripsikan [[Ambedkarisme|sudut pandang Ambedkar tentang agama Buddha]] sebaga sekuler dan modernis ketimbang relijius, karena ia mengedepankan [[ateisme Buddha|aspek-aspek ateis dari agama Buddha]] dan rasionalitas, dan menyangkal hierarki dan [[soteriologi Hindu]].{{sfn|Ganguly|2006|pags=54}}<ref>{{cite journal|last1=Contursi|first1=Janet A.|title=Militant Hindus and Buddhist Dalits: Hegemony and Resistance in an Indian Slum|journal=[[American Ethnologist]]|date=1989|volume=16|issue=3|page=448|jstor=645267}}</ref> Para cendekiawan lainnya menyatakan bahwwa gerakan Ambedkarisme merupakan bentuk kritisi terhadap padnangan tradisional, Ambedkar menginterpretasikan ulang tentang berbagai konsep tradisi Hindu daripada menyangkal semuanya. Secara spesifik, cendekiawan {{ill|Gauri Vishwanathan|de}} menyatakan bahwa perpindahan agama ''Dalit'' oleh Ambedkar memberikan keyakinan yang lebih sentral, lebih berperan ketimbang sebelumnya. Namun, peneliti lintas budaya Ganguly Debjani menekankan unsur-unsur keagamaan dalam deskripsi Ambedkar tentang kehidupan dan ajaran Buddha, dan menyatakan bahwa Ambedkar men[[deifikasi]] Buddha sebagai "fondasi rasionalitas". Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Buddha dan Ambedkar dihargai oleh para pengikutnya melalui praktik devosional tradisional ({{lang-sa|bhakti|script=Latn}}), seperti pengisahan cerita, lagu dan syair, perayaan dan gambar, meskipun Ambedkar menolak praktik semacam itu.<!--pp=59-60; Gokhale-->{{sfn|Ganguly|2006|pages=54–7, 59–60}}<ref>{{cite journal|title="Bhakti" or "Vidroha": Continuity and Change in Dalit Sahitya|url=http://ocean.sci-hub.tw/c4d988922fd310f9b97bab85f5f45aec/10.1163%40156852180x00031.pdf|last=Gokhale-Tuerner|first=J.B.|year=1980|journal=[[Journal of Asian and African Studies]]|volume=15|issue=1|pp=38–9|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20180128132543/http://ocean.sci-hub.tw/c4d988922fd310f9b97bab85f5f45aec/10.1163%40156852180x00031.pdf|archivedate=2018-01-28|df=}}</ref>
Para cendekiawan mendeskripsikan [[Ambedkarisme|sudut pandang Ambedkar tentang Buddhisme]] sebagai sekuler dan modernis ketimbang relijius, karena ia mengedepankan [[ateisme Buddha|aspek-aspek ateis dari Buddhisme]] dan rasionalitas, dan menyangkal hierarki dan [[soteriologi Hindu]].{{sfn|Ganguly|2006|pags=54}}{{sfn|Contursi|1989|p=448}} Para cendekiawan lainnya menyatakan bahwwa gerakan Ambedkarisme merupakan bentuk kritis terhadap pandangan tradisional, Ambedkar menginterpretasikan ulang tentang berbagai konsep tradisi Hindu daripada menyangkal semuanya. Secara spesifik, cendekiawan {{ill|Gauri Vishwanathan|de}} menyatakan bahwa perpindahan agama ''Dalit'' oleh Ambedkar memberikan keyakinan yang lebih sentral, lebih berperan ketimbang sebelumnya. Namun, peneliti lintas budaya Ganguly Debjani menekankan unsur-unsur keagamaan dalam deskripsi Ambedkar tentang kehidupan dan ajaran Buddha, dan menyatakan bahwa Ambedkar men[[deifikasi]] Buddha sebagai "fondasi rasionalitas". Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Buddha dan Ambedkar dihargai oleh para pengikutnya melalui praktik kebaktian tradisional ({{lang-sa|bhakti|script=Latn}}), seperti pengisahan cerita, lagu dan syair, perayaan dan gambar, meskipun Ambedkar menolak praktik semacam itu.<!--pp=59-60; Gokhale-->{{sfn|Ganguly|2006|pages=54–7, 59–60}}{{sfn|Gokhale-Tuerner|1980|pp=38-9}}


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
Baris 205: Baris 276:


== Sumber ==
== Sumber ==
{{refbegin}}
{{refbegin|2}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Abe|first1=Masao|author-link=Masao Abe|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Buddhism in Japan|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=675–719}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Abe|first1=Masao|author-link=Masao Abe|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Buddhism in Japan|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=675–719}}
* {{cite encyclopedia|last1=Ahn|first1=Juhn|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Popular conceptions of Zen|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=924|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=|ref={{sfnref|Ahn|2004}}}}
* {{Citation|last1=Andrews|first1=Allen A.|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Hōnen|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865739-X|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ|volume=6|}}
* {{Citation|last1=Andrews|first1=Allen A.|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Hōnen|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865739-X|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ|volume=6|}}
* {{cite journal|last1=Andrews|first1=Allan A.|title=Lay and Monastic Forms of Pure Land Devotionalism: Typology and History|journal=[[Numen (jurnal)|Numen]]|date=1993|volume=40|issue=1|doi=10.2307/3270396|pages=passim.|nopp=yes|jstor=3270396|ref={{sfnref|Andrews|1993}}}}
* {{citation|last1=Araki|first1=Michio|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism, Schools of: Japanese Buddhism|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1241–6|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{citation|last1=Araki|first1=Michio|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism, Schools of: Japanese Buddhism|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1241–6|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{citation|last1=Barber|first1=A.W.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Pure Land Schools|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=706–9}}
* {{citation|last1=Barber|first1=A.W.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Pure Land Schools|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=706–9}}
* {{Citation|editor-last=Law|editor-first=B.C.|year=1931|encyclopedia=Buddhistic studies|title=Faith in Buddhism|last=Barua|first=B.M.|url=https://archive.org/download/in.ernet.dli.2015.279751/2015.279751.Buddhistic-Studies.pdf|publisher=[[Thacker's Indian Directory]]|oclc=701790696|pages=329–49}}
* {{Citation|editor-last=Law|editor-first=B.C.|year=1931|encyclopedia=Buddhistic studies|title=Faith in Buddhism|last=Barua|first=B.M.|url=https://archive.org/download/in.ernet.dli.2015.279751/2015.279751.Buddhistic-Studies.pdf|publisher=[[Thacker's Indian Directory]]|oclc=701790696}}
* {{citation|last1=Baumann|first1=Martin|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism: Buddhism in the West|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1186–92|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{citation|last1=Baumann|first1=Martin|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism: Buddhism in the West|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1186–92|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Bielefeldt|first1=Carl|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Japan|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=384–91}}
* {{Citation|last1=Bielefeldt|first1=Carl|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Japan|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ}}
* {{citation|last1=Birnbaum|first1=Raoul|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Avalokiteśvara|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=704–7|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{citation|last1=Birnbaum|first1=Raoul|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Avalokiteśvara|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=704–7|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{cite encyclopedia|url=https://plato.stanford.edu/entries/faith/|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADVlHDt?url=https://plato.stanford.edu/entries/faith/|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|encyclopedia=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|edition=Winter 2016|title=Faith|date=30 March 2016|access-date=17 August 2017|first=John|last=Bishop|editor-first=Edward N.|editor-last=Zalta|publisher=Metaphysics Research Lab, [[Stanford University]]|df=|ref={{sfnref|Bishop|2016}}}}
* {{cite news|last1=Blakkarly|first1=Jarni|title=The Buddhist Leap of Faith|url=http://www.abc.net.au/religion/articles/2014/11/05/4122342.htm|accessdate=24 July 2017|work=[[ABC (Australia)|ABC]]|date=5 November 2014|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170727125253/http://www.abc.net.au/religion/articles/2014/11/05/4122342.htm|archivedate=27 July 2017|df=|ref={{sfnref|Blakkarly|2014}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Bloom|first1=Alfred|author-link=Alfred Bloom (Buddhist)|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Shinran|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865981-3|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2012.pdf|volume=12|deadurl=bot: unknown|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302052813/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2012.pdf|archivedate=2017-03-02|df=|ref={{sfnref|Bloom|1987}}}}
* {{citation|last1=Buswell|first1=Robert E. Jr.|author1-link=Robert Buswell Jr.|last2=Lopez|first2=Donald S. Jr.|author2-link=Donald S. Lopez Jr.|title=Princeton Dictionary of Buddhism|date=2013|publisher=[[Princeton University Press]]|location=Princeton, NJ|isbn=978-0-691-15786-3|url=https://books.google.com/?id=DXN2AAAAQBAJ}}
* {{citation|last1=Buswell|first1=Robert E. Jr.|author1-link=Robert Buswell Jr.|last2=Lopez|first2=Donald S. Jr.|author2-link=Donald S. Lopez Jr.|title=Princeton Dictionary of Buddhism|date=2013|publisher=[[Princeton University Press]]|location=Princeton, NJ|isbn=978-0-691-15786-3|url=https://books.google.com/?id=DXN2AAAAQBAJ}}
* {{cite encyclopedia|last1=Cabezón|first1=José Ignacio|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Scripture|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=|ref={{sfnref|Cabezón|2004}}}}
* {{Citation|last1=Conze|first1=Edward|authorlink1=Edward Conze|title=Buddhism, its essence and development|date=2003|orig-year=1951|publisher=[[Dover Publications]]|location=Mineola, N.Y.|isbn=0-486-43095-2|url=https://www.scribd.com/document/86358877/Buddhism-Its-Essence-and-Development-Edward-Conze}}
* {{cite journal|last1=Contursi|first1=Janet A.|title=Militant Hindus and Buddhist Dalits: Hegemony and Resistance in an Indian Slum|journal=[[American Ethnologist]]|date=1989|volume=16|issue=3|jstor=645267|ref={{sfnref|Contursi|1989}}}}
* {{Citation|last1=Conze|first1=Edward|authorlink1=Edward Conze|title=Buddhism, its essence and development|date=2003|orig-year=1951|publisher=[[Dover Publications]]|location=Mineola, N.Y.|isbn=0-486-43095-2|url=https://www.scribd.com/document/86358877/Buddhism-Its-Essence-and-Development-Edward-Conze|accessdate=2018-08-15|archive-date=2017-11-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20171122132949/https://www.scribd.com/document/86358877/Buddhism-Its-Essence-and-Development-Edward-Conze|dead-url=yes}}
* {{cite encyclopedia|url=https://www.academia.edu/1417358/Aspects_of_Esoteric_Southern_Buddhism|url-access=registration|last=Cousins|first=L.S.|year=1997|title=Aspects of Esoteric Southern Buddhism|editor1-last=Connolly|editor1-first=P.|editor2-last=Hamilton|editor2-first=S.|encyclopedia=Indian Insights: Buddhism, Brahmanism and Bhakti: Papers from the Annual Spalding Symposium on Indian Religions|publisher=Luzac Oriental|page=188|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122131255/https://www.academia.edu/1417358/Aspects_of_Esoteric_Southern_Buddhism|archivedate=2017-11-22|df=|ref={{sfnref|Cousins|1997}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Dennis|first1=Mark|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhism, Schools of: East Asian Buddhism|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|page=1250|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|volume=2|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302073830/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|archivedate=2017-03-02|df=|ref={{sfnref|Dennis|2005}}}}
* {{Citation|last1=Derris|first1=Karen|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhas and Bodhisattvas: Ethical practices|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|page=1084|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Derris|first1=Karen|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhas and Bodhisattvas: Ethical practices|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|page=1084|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|editor1-last=Malalasekera|editor1-first=Gunapala Piyasena|editor1-link=G. P. Malalasekera|first=Lily|last=De Silva|encyclopedia=Encyclopaedia of Buddhism|title=Faith|date=2002|volume=V|publisher=Government of Ceylon|url=https://www.scribd.com/document/283215709/Enceylopaedia-of-Buddhism-Vol-V}}
* {{Citation|editor1-last=Malalasekera|editor1-first=Gunapala Piyasena|editor1-link=G. P. Malalasekera|first=Lily|last=De Silva|encyclopedia=Encyclopaedia of Buddhism|title=Faith|date=2002|volume=V|publisher=Government of Ceylon|url=https://www.scribd.com/document/283215709/Enceylopaedia-of-Buddhism-Vol-V}}{{Pranala mati|date=April 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Citation|last1=Dobbins|first1=James C.|authorlink1=James C. Dobbins|title=Jodo Shinshu: Shin Buddhism in medieval Japan|date=2002|publisher=[[University of Hawaii Press]]|location=Honolulu|isbn=0-8248-2620-5|url=https://books.google.com/?id=Xb3BImNUdRAC}}
* {{Citation|last1=Dobbins|first1=James C.|authorlink1=James C. Dobbins|title=Jodo Shinshu: Shin Buddhism in medieval Japan|date=2002|publisher=[[University of Hawaii Press]]|location=Honolulu|isbn=0-8248-2620-5|url=https://books.google.com/?id=Xb3BImNUdRAC}}
* {{citation|last1=Dobbins|first1=James C.|author1-link=James C. Dobbins|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Kamakura Buddhism, Japan|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=411–5}}
* {{citation|last1=Dobbins|first1=James C.|author1-link=James C. Dobbins|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Kamakura Buddhism, Japan|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=411–5}}
* {{cite news|last1=Dore|first1=Bhavya|title=Rising caste-related violence pushes many Indians to new faith|url=http://www.houstonchronicle.com/life/houston-belief/article/Rising-caste-related-violence-pushes-many-Indians-9523647.php|accessdate=23 September 2017|work=[[Houston Chronicle]]|agency=[[Hearst Newspapers]]|publisher=[[Religion News Service]]|date=1 October 2016|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170924045746/http://www.houstonchronicle.com/life/houston-belief/article/Rising-caste-related-violence-pushes-many-Indians-9523647.php|archivedate=24 September 2017|df=|ref={{sfnref|Dore|2016}}}}
* {{citation|last1=DuBois|first1=Thomas|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Millenarianism and millenarian movements|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=537–40}}
* {{citation|last1=DuBois|first1=Thomas|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Millenarianism and millenarian movements|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=537–40}}
* {{citation|first=Ellison Banks|last=Findly|year=1992|title=Ānanda's Hindrance: Faith (''Saddha'') in early Buddhism|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=20|issue=3|pages=253–273|doi=10.1007/bf00157758}}
* {{citation|first=Ellison Banks|last=Findly|year=1992|title=Ānanda's Hindrance: Faith (''Saddha'') in early Buddhism|journal=Journal of Indian Philosophy|volume=20|issue=3|pages=253–273|doi=10.1007/bf00157758}}
* {{cite book|last1=Ergardt|first1=Jan T.|title=Faith and knowledge in early Buddhism : an analysis of the contextual structures of an arahant-formula in the Majjhima-Nikāya|url=https://archive.org/details/faithknowledgein0000erga|date=1977|publisher=Brill (penerbit )|location=Leiden|isbn=9004048413|doi=10.2307/2054272|page=[https://archive.org/details/faithknowledgein0000erga/page/n1 1]|quote=Der Buddhismus kennt keinen dem des Christentums vergleichbaren reinen Glauben, ... Die Idee eines blinden Glaubens, eines absoluten Vertrauens in die Worte eines Meisters ist dem Geist des alten Buddhismus ganz entgegengesetzt.|ref={{sfnref|Ergardt|1977}}}}
* {{Citation|last1=Findly|first1=Ellison Banks|title=Dāna: giving and getting in Pali Buddhism|date=2003|publisher=[[Motilal Banarsidass Publishers]]|location=Delhi|isbn=81-208-1956-X|url=https://books.google.com/?id=88HcN_9muXcC|series=Buddhist Traditions|volume=52}}
* {{Citation|last1=Findly|first1=Ellison Banks|title=Dāna: giving and getting in Pali Buddhism|date=2003|publisher=[[Motilal Banarsidass Publishers]]|location=Delhi|isbn=81-208-1956-X|url=https://books.google.com/?id=88HcN_9muXcC|series=Buddhist Traditions|volume=52}}
* {{cite book|url=https://books.google.com/?id=ACnfqhZUgXYC|last=Ford|first=J.L.|year=2006|title=Jōkei and Buddhist Devotion in Early Medieval Japan|publisher=[[Oxford University Press]]|isbn=978-0-19-972004-0|ref={{sfnref|Ford|2006}}}}
* {{citation|last1=Fuller|first1=Paul|title=The notion of diṭṭhi in Theravāda Buddhism : the point of view|date=2004|publisher=[[RoutledgeCurzon]]|location=London|isbn=0-203-01043-4|url=https://books.google.nl/books?id=Ork586jWfK4C}}
* {{citation|last1=Fuller|first1=Paul|title=The notion of diṭṭhi in Theravāda Buddhism : the point of view|date=2004|publisher=[[RoutledgeCurzon]]|location=London|isbn=0-203-01043-4|url=https://books.google.nl/books?id=Ork586jWfK4C}}
* {{Citation|last1=Ganguly|first1=Debjani|title=Buddha, ''Bhakti'' and Superstition: A Post‐secular Reading of Dalit Conversion|journal=[[Postcolonial Studies]]|date=7 August 2006|volume=7|issue=1|doi=10.1080/1368879042000210621}}
* {{Citation|last1=Ganguly|first1=Debjani|title=Buddha, ''Bhakti'' and Superstition: A Post‐secular Reading of Dalit Conversion|journal=[[Postcolonial Studies]]|date=7 August 2006|volume=7|issue=1|doi=10.1080/1368879042000210621}}
* {{citation|last1=Getz|first1=Daniel A.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Pure Land Buddhism|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=698–703}}
* {{citation|last1=Getz|first1=Daniel A.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Pure Land Buddhism|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ}}
* {{cite journal|last=Giustarini|first=G.|year=2006|archive-url=https://web.archive.org/web/20140918115715/http://www.fupress.net/index.php/rss/article/view/2451/2286|url=http://www.fupress.net/index.php/rss/article/view/2451/2286|archive-date=18 September 2014|title=Faith and renunciation in Early Buddhism: ''saddhā'' and ''nekkhamma''|journal=Rivista di Studi Sud-Asiatici|issue=I|ref={{sfnref|Giustarini|2006}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Glassman|first1=Hank|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Sexuality|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|page=762|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170614204648/http://www.ahandfulofleaves.org/documents/Encyclopedia%20of%20Buddhism_2%20Vols_%20Buswell.pdf|archivedate=2017-06-14|df=|ref={{sfnref|Glassman|2004}}}}
* {{cite book|last1=Gombrich|first1=Richard|last2=Obeyesekere|first2=Gananath|authorlink1=Richard Gombrich|authorlink2=Gananath Obeyesekere|title=Buddhism transformed: religious change in Sri Lanka|date=1990|publisher=[[Motilal Banarsidass]]|location=Dehli|isbn=8120807022|url=https://books.google.com/?id=rpN9atSFua0C|pages=|ref={{sfnref|Gombrich|1990}}}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=Buddhist precept and practice: traditional Buddhism in the rural highlands of Ceylon|date=1995|publisher=[[Kegan Paul]]|location=London [u.a.]|isbn=0-7103-0444-7|url=https://books.google.com/?id=V3Z-dHpBsBsC}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=Buddhist precept and practice: traditional Buddhism in the rural highlands of Ceylon|date=1995|publisher=[[Kegan Paul]]|location=London [u.a.]|isbn=0-7103-0444-7|url=https://books.google.com/?id=V3Z-dHpBsBsC}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=Theravāda Buddhism: a social history from ancient Benares to modern Colombo|url=https://books.google.com/?id=AbJ_AgAAQBAJ|date=2006|publisher=[[Routledge]]|location=London [u.a.]|isbn=0-415-36508-2|edition=2nd}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=Theravāda Buddhism: a social history from ancient Benares to modern Colombo|url=https://books.google.com/?id=AbJ_AgAAQBAJ|date=2006|publisher=[[Routledge]]|location=London [u.a.]|isbn=0-415-36508-2|edition=2nd|ref={{sfnref|Gombrich|2006a}}}}
* {{cite book|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=How Buddhism began: the conditioned genesis of the early teachings|date=2006|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-37123-6|url=http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.694.6690&rep=rep1&type=pdf|pages=72–5|edition=2nd|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122123610/http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.694.6690&rep=rep1&type=pdf|archivedate=2017-11-22|df=|ref={{sfnref|Gombrich|2006b}}}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=What the Buddha thought|date=2009|publisher=[[Equinox Publishing (Sheffield)|Equinox Publishing]]|location=London [u.a.]|isbn=978-1-84553-612-1|url=https://books.google.com/?id=YMIlAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Gombrich|first1=Richard F.|authorlink1=Richard F. Gombrich|title=What the Buddha thought|date=2009|publisher=[[Equinox Publishing (Sheffield)|Equinox Publishing]]|location=London [u.a.]|isbn=978-1-84553-612-1|url=https://books.google.com/?id=YMIlAQAAMAAJ}}
* {{cite journal|title="Bhakti" or "Vidroha": Continuity and Change in Dalit Sahitya|last=Gokhale-Tuerner|first=J.B.|year=1980|journal=[[Journal of Asian and African Studies]]|volume=15|issue=1|deadurl=no|archivedate=2018-01-28|df=|ref={{sfnref|Gokhale-Tuerner|1980}}}}
* {{citation|last1=Gómez|first1=Luis O.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Amitābha|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=14–5}}
* {{citation|last1=Gómez|first1=Luis O.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Amitābha|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=14–5}}
* {{citation|last1=Gómez|first1=Luis O.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Faith|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004b|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=277–9}}
* {{citation|last1=Gómez|first1=Luis O.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Faith|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004b|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=277–9}}
* {{Citation|last1=Green|first1=Ronald S.|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=East Asian Buddhism|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Green|first1=Ronald S.|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=East Asian Buddhism|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{cite encyclopedia|last=Gregory|first=P.N.|year=1997|title=Is Critical Buddhism Really Critical?|encyclopedia=Pruning the Bodhi Tree: The Storm Over Critical Buddhism|pages=passim|nopp=yes|url=http://www.thezensite.com/ZenEssays/CriticalZen/Critical_Buddhism_Gregory.pdf|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20160817164907/http://www.thezensite.com/ZenEssays/CriticalZen/Critical_Buddhism_Gregory.pdf|archivedate=2016-08-17|df=|ref={{sfnref|Gregory|1997}}}}
* {{citation|last1=Harvey|first1=Peter|title=An introduction to Buddhism: teachings, history and practices|date=2013|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-521-85942-4|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=u0sg9LV_rEgC}}
* {{cite encyclopedia|last1=Gummer|first1=Natalie|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhist books and texts: Ritual uses of books|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|volume=2|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302073830/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%202.pdf|archivedate=2017-03-02|df=|ref={{sfnref|Gummer|2005}}}}
* {{Citation|last1=Higham|first1=Charles F.W.|author-link=Charles Higham (archaeologist)|title=Encyclopedia of ancient Asian civilizations|date=2004|publisher=[[Facts On File]]|location=New York|isbn=0-8160-4640-9|url=https://archive.org/download/Encyclopedia-of-ancient-asian-civilzations/encyclopedia-of-ancient-asian-civilizations1.pdf}}
* {{cite book|url=http://www.e-reading.club/bookreader.php/142060/An_Introduction_to_Buddhist_Ethics.pdf|last1=Harvey|first1=Peter|title=An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues|date=2000|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-511-07584-1|ref={{sfnref|Harvey|2000}}|access-date=2018-08-20|archive-date=2016-01-28|archive-url=https://web.archive.org/web/20160128181421/http://www.e-reading.club/bookreader.php/142060/An_Introduction_to_Buddhist_Ethics.pdf|dead-url=yes}}
* {{Citation|url=https://www.academia.edu/29254384/The_pragmatic_efficacy_of_saddh|doi=10.1007/BF00178816|url-access=registration|last=Hoffmann|first=Frank J.|year=1987|title=The pragmatic efficacy of "Saddha"|journal=[[Journal of Indian Philosophy]]|volume=15|issue=4|issn=1573-0395|pages=399–412}}
* {{cite encyclopedia|last1=Harvey|first1=Peter|author-link=Peter Harvey|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=''Dukkha'', non-self, and the "Four Noble Truths"|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/A%20Companion%20to%20Buddhist%20Philosophy_Emmanuel.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADr7eR4?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/A%20Companion%20to%20Buddhist%20Philosophy_Emmanuel.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|pages=|df=|ref={{sfnref|Harvey|2013a}}}}
* {{citation|last1=Harvey|first1=Peter|title=An introduction to Buddhism: teachings, history and practices|date=2013|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=New York|isbn=978-0-521-85942-4|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=u0sg9LV_rEgC|ref={{sfnref|Harvey|2013b}}}}
* {{Citation|last1=Higham|first1=Charles F.W.|author-link=Charles Higham (arkeolog)|title=Encyclopedia of ancient Asian civilizations|date=2004|publisher=[[Facts On File]]|location=New York|isbn=0-8160-4640-9|url=https://archive.org/download/Encyclopedia-of-ancient-asian-civilzations/encyclopedia-of-ancient-asian-civilizations1.pdf}}
* {{cite encyclopedia|url=https://plato.stanford.edu/entries/japanese-pure-land/|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAEpCKMW?url=https://plato.stanford.edu/entries/japanese-pure-land/|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|encyclopedia=The Stanford Encyclopedia of Philosophy|edition=Winter 2016|title=Japanese Pure Land Philosophy|date=19 November 2012|access-date=18 August 2017|first=Dennis|last=Hirota|editor-first=Edward N.|editor-last=Zalta|publisher=Metaphysics Research Lab, [[Stanford University]]|df=|ref={{sfnref|Hirota|2016}}}}
* {{Citation|url=https://www.academia.edu/29254384/The_pragmatic_efficacy_of_saddh|doi=10.1007/BF00178816|url-access=registration|last=Hoffmann|first=Frank J.|year=1987|title=The pragmatic efficacy of "Saddha"|journal=[[Journal of Indian Philosophy]]|volume=15|issue=4|issn=1573-0395|pages=399–412|accessdate=2018-08-15|archive-date=2017-11-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20171122133119/https://www.academia.edu/29254384/The_pragmatic_efficacy_of_saddh|dead-url=yes}}
* {{Citation|last1=Holder|first1=John J.|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|title=A survey of early Buddhist epistemology|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Holder|first1=John J.|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|title=A survey of early Buddhist epistemology|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{Citation|editor-last1=Cheng|editor-first1=Linsun|editor-last2=Brown|editor-first2=Kerry|last=Hsieh|first=Ding-hwa|encyclopedia=Berkshire encyclopedia of China|title=Buddhism, Pure Land|date=2009|publisher=[[Berkshire Publishing Group]]|location=Great Barrington, MA|isbn=978-0-9770159-4-8|url=https://books.google.com/?id=0_Z2AQAACAAJ}}
* {{Citation|editor-last1=Cheng|editor-first1=Linsun|editor-last2=Brown|editor-first2=Kerry|last=Hsieh|first=Ding-hwa|encyclopedia=Berkshire encyclopedia of China|title=Buddhism, Pure Land|date=2009|publisher=[[Berkshire Publishing Group]]|location=Great Barrington, MA|isbn=978-0-9770159-4-8|url=https://books.google.com/?id=0_Z2AQAACAAJ}}
Baris 240: Baris 333:
* {{citation|last1=Irons|first1=Edward A.|series=Encyclopedia of World Religions|title=Encyclopedia of Buddhism|date=2008|publisher=[[Facts on File]]|location=New York|isbn=978-0-8160-5459-6|url=https://books.google.com/?id=IKVKOAAACAAJ}}
* {{citation|last1=Irons|first1=Edward A.|series=Encyclopedia of World Religions|title=Encyclopedia of Buddhism|date=2008|publisher=[[Facts on File]]|location=New York|isbn=978-0-8160-5459-6|url=https://books.google.com/?id=IKVKOAAACAAJ}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=6pBTAQAAQBAJ|last1=Jayatilleke|first1=K.N.|authorlink1=K.N. Jayatilleke|title=Early Buddhist theory of knowledge|date=1963|publisher=[[George Allen & Unwin]]|isbn=1-134-54287-9}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=6pBTAQAAQBAJ|last1=Jayatilleke|first1=K.N.|authorlink1=K.N. Jayatilleke|title=Early Buddhist theory of knowledge|date=1963|publisher=[[George Allen & Unwin]]|isbn=1-134-54287-9}}
* {{cite encyclopedia|last1=Irons|first1=Edward A.|editor1-last=Melton|editor1-first=J. Gordon|editor2-first=Martin|editor1-link=J. Gordon Melton|editor2-last=Baumann|encyclopedia=Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices|title=Statues-Buddhist|date=2010|publisher=[[ABC-CLIO]]|location=Santa Barbara, California|isbn=978-1-59884-204-3|url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD,%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAE2WMY7?url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD%2C%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|edition=2nd|df=|ref={{sfnref|Irons|2010}}}}
* {{Citation|title=Buddhist Philosophy: A Historical Analysis|first=David J.|last=Kalupahana|author-link=Kalupahana|year=1976|publisher=[[University of Hawaii Press]]|location=Honolulu|url=https://books.google.com/?id=EBggX7yZkCQC|isbn=0-8248-0360-4}}
* {{Citation|title=Buddhist Philosophy: A Historical Analysis|first=David J.|last=Kalupahana|author-link=Kalupahana|year=1976|publisher=[[University of Hawaii Press]]|location=Honolulu|url=https://books.google.com/?id=EBggX7yZkCQC|isbn=0-8248-0360-4}}
* {{cite book|last=Kariyawasam|first=A.G.S.|year=1995|title=Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka|series=The Wheel Publication|location=Kandy, Sri Lanka|publisher=[[Buddhist Publication Society]]|accessdate=23 October 2007|url=http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/kariyawasam/wheel402.html|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20130328021534/http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/kariyawasam/wheel402.html|archivedate=28 March 2013|df=|ref={{sfnref|Kariyawasam|1995}}}}
* {{citation|last1=Kinnard|first1=Jacob N.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Worship|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=905–7}}
* {{citation|last1=Kinnard|first1=Jacob N.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Worship|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=905–7}}
* {{cite journal|last1=Kiyota|first1=Minoru|title=Tathāgatagarbha Thought: A Basis of Buddhist Devotionalism in East Asia|journal=[[Japanese Journal of Religious Studies]]|date=1985|volume=12|issue=2/3|doi=10.2307/30233958|url=http://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2311|doi-broken-date=2018-01-29|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20160320232345/https://nirc.nanzan-u.ac.jp/nfile/2311|archivedate=2016-03-20|df=|ref={{sfnref|Kiyota|1985}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Kotatsu|translator-first=Kenneth K.|translator-last=Tanaka|first1=Fujita|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Pure and Impure Lands|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865743-8|edition=2nd|url=http://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|volume=11|deadurl=bot: unknown|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302005458/http://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|archivedate=2017-03-02|df=|ref={{sfnref|Kotatsu|1987}}}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=sJwEAAAAYAAJ|last1=Lamotte|first1=Etienne|authorlink1=Etienne Lamotte|translator-first=Sara|translator-last=Webb-Boin|title=Histoire du Bouddhisme Indien, des origines à l'ère Śaka|language=french|trans-title=History of Indian Buddhism: from the origins to the Saka era|date=1988|publisher=[[Université catholique de Louvain]], Institut orientaliste|location=Louvain-la-Neuve|isbn=906831100X|df=}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=sJwEAAAAYAAJ|last1=Lamotte|first1=Etienne|authorlink1=Etienne Lamotte|translator-first=Sara|translator-last=Webb-Boin|title=Histoire du Bouddhisme Indien, des origines à l'ère Śaka|language=french|trans-title=History of Indian Buddhism: from the origins to the Saka era|date=1988|publisher=[[Université catholique de Louvain]], Institut orientaliste|location=Louvain-la-Neuve|isbn=906831100X|df=}}
* {{cite encyclopedia|last1=Landes|first1=Richard A.|author-link=Richard Landes|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Millennialism in the Western World|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAExhb2K?url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|page=463|df=|ref={{sfnref|Landes|2000}}}}
* {{citation|last1=Lazich|first1=Michael C.|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Asia|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=https://books.google.com/?id=NbIMmAEACAAJ|pages=64–71|}}
* {{citation|last1=Lazich|first1=Michael C.|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Asia|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=https://books.google.com/?id=NbIMmAEACAAJ|pages=64–71|}}
* {{Citation|last1=Leaman|first1=Oliver|author-link=Oliver Leaman|url=https://books.google.com/?id=FLuEAgAAQBAJ|title=Eastern philosophy: key readings|date=2000|publisher=[[Routledge]]|location=London [u.a.]|isbn=0-415-17357-4}}
* {{Citation|last1=Leaman|first1=Oliver|author-link=Oliver Leaman|url=https://books.google.com/?id=FLuEAgAAQBAJ|title=Eastern philosophy: key readings|date=2000|publisher=[[Routledge]]|location=London [u.a.]|isbn=0-415-17357-4}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Lindtner|first1=Chr.|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Nāgārjuna|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=314–33}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Lindtner|first1=Chr.|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Nāgārjuna|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=314–33}}
* {{Citation|last1=McMahan|first1=David L.|title=The Making of Buddhist Modernism|date=2008|publisher=[[Oxford University Press]]|isbn=978-0-19-972029-3|url=https://books.google.com/?id=XU6HNwlxhCAC}}
* {{Citation|last1=McMahan|first1=David L.|title=The Making of Buddhist Modernism|date=2008|publisher=[[Oxford University Press]]|isbn=978-0-19-972029-3|url=https://books.google.com/?id=XU6HNwlxhCAC}}
* {{cite encyclopedia|last1=Melton|first1=J. Gordon|authorlink1=J. Gordon Melton|editor1-last=Melton|editor1-first=J. Gordon|editor2-first=Martin|editor1-link=J. Gordon Melton|editor2-last=Baumann|encyclopedia=Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices|title=Relics|date=2010|publisher=[[ABC-CLIO]]|location=Santa Barbara, California|isbn=978-1-59884-204-3|url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD,%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAE2WMY7?url=http://ebook.umaha.ac.id/E-BOOK%20OF%20RELIGIOUS%20STAUDIES/ENCYCLOPEDIAS%20_%20DICTIONARY/RELEGIONS%20OF%20THE%20WORLD%2C%20A%20COMPREHENSIF%20ENCYCLOPEDIA.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|edition=2nd|df=|ref={{sfnref|Melton|2010}}}}
* {{cite journal|last1=Miles|first1=W. F. S.|title=Millenarian Movements as Cultural Resistance: The Karen and Martinican Cases|journal=Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East|date=29 March 2011|volume=30|issue=3|doi=10.1215/1089201x-2010-041|url=http://ocean.sci-hub.tw/70932cef9ffd16083cc608c774b7033f/10.1215%401089201X-2010-041.pdf|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20180127004601/http://ocean.sci-hub.tw/70932cef9ffd16083cc608c774b7033f/10.1215%401089201X-2010-041.pdf|archivedate=27 January 2018|df=|ref={{sfnref|Miles|2011}}}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Nakamura|first1=Hajime|author-link=Hajime Nakamura|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Knowledge and reality in Buddhism|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=391–406}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Nakamura|first1=Hajime|author-link=Hajime Nakamura|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=Knowledge and reality in Buddhism|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=391–406}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=_A2QS03MP5EC|last1=Park|first1=Sung Bae|title=Buddhist faith and sudden enlightenment|date=1983|publisher=[[State University of New York Press]]|location=Albany, N.Y.|isbn=0-87395-673-7}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=_A2QS03MP5EC|last1=Park|first1=Sung Bae|title=Buddhist faith and sudden enlightenment|date=1983|publisher=[[State University of New York Press]]|location=Albany, N.Y.|isbn=0-87395-673-7}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=JaAMAQAAMAAJ|last=Porcu|first=E|year=2008|title=Pure Land Buddhism in Modern Japanese Culture|location=Leiden|publisher=[[Brill Publishers]]}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=JaAMAQAAMAAJ|last=Porcu|first=E|year=2008|title=Pure Land Buddhism in Modern Japanese Culture|location=Leiden|publisher=[[Brill Publishers]]}}
* {{cite journal|last1=Phillips|first1=Tim|last2=Aarons|first2=Haydn|title=Choosing Buddhism in Australia: towards a traditional style of reflexive spiritual engagement|journal=[[The British Journal of Sociology]]|date=June 2005|volume=56|issue=2|page=228|doi=10.1111/j.1468-4446.2005.00056.x|ref={{sfnref|Phillips|2005}}}}
* {{Citation|last1=Powers|first1=John|authorlink1=John Powers (academic)|title=A Concise Encyclopedia of Buddhism|date=2013|publisher=[[Oneworld Publications]]|isbn=978-1-78074-476-6|url=https://books.google.com/?id=kZycAwAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Powers|first1=John|authorlink1=John Powers (academic)|title=A Concise Encyclopedia of Buddhism|date=2013|publisher=[[Oneworld Publications]]|isbn=978-1-78074-476-6|url=https://books.google.com/?id=kZycAwAAQBAJ}}
* {{citation|last1=Rambelli|first1=Fabio|author-link=Fabio Rambelli|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Local divinities and Buddhism|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=465–9}}
* {{citation|last1=Rambelli|first1=Fabio|author-link=Fabio Rambelli|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Local divinities and Buddhism|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=L34YAAAAIAAJ|pages=465–9}}
* {{cite encyclopedia|last1=Reader|first1=Ian|editor1-last=Landes|editor1-first=Richard A.|editor1-link=Richard Landes|encyclopedia=Encyclopedia of Millennialism and Millennial Movements|title=Japan|date=2000|publisher=[[Taylor & Francis]]|location=Hoboken|isbn=0-203-00943-6|url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vAExhb2K?url=http://www.encyclopedias.biz/dw/Encyclopedia%20of%20Millennialism%20and%20Millennial%20Movements.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|pages=350–1|df=|ref={{sfnref|Reader|2000}}}}
* {{Citation|last1=Reynolds|first1=Frank E.|last2=Hallisey|first2=Charles|author-link2=Charles Hallisey|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddha|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1075–83|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Reynolds|first1=Frank E.|last2=Hallisey|first2=Charles|author-link2=Charles Hallisey|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddha|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1075–83|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=LhUSAQAAIAAJ|last1=Robinson|first1=Richard H.|last2=Johnson|first2=Willard L.|title=The Buddhist religion: a historical introduction|date=1997|publisher=[[Cengage]]|location=Belmont, California|isbn=0-534-20718-9|edition=4th}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=LhUSAQAAIAAJ|last1=Robinson|first1=Richard H.|last2=Johnson|first2=Willard L.|title=The Buddhist religion: a historical introduction|date=1997|publisher=[[Cengage]]|location=Belmont, California|isbn=0-534-20718-9|edition=4th}}
Baris 258: Baris 360:
* {{Citation|last1=Shields|first1=James Mark|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=Political Interpretations of the ''Lotus Sūtra''|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Shields|first1=James Mark|editor1-last=Emmanuel|editor1-first=Steven M.|encyclopedia=A companion to Buddhist philosophy|title=Political Interpretations of the ''Lotus Sūtra''|date=2013|publisher=[[Wiley-Blackwell]]|location=Chichester, West Sussex|isbn=978-0-470-65877-2|url=https://books.google.com/?id=P_lmCgAAQBAJ}}
* {{Citation|last1=Shōto|first1=Hase|editor1-last=Jones|translator-last=Becker|translator-first=Carl|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Jōdo Shinshu|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865740-3|pages=4933–6|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ|volume=7}}
* {{Citation|last1=Shōto|first1=Hase|editor1-last=Jones|translator-last=Becker|translator-first=Carl|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Jōdo Shinshu|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865740-3|pages=4933–6|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ|volume=7}}
* {{cite book|url=https://books.google.com/?id=ckSBgvtU42YC|last1=Trainor|first1=Kevin|title=Relics, ritual, and representation in Buddhism : rematerializing the Sri Lankan Theravāda tradition|date=1997|publisher=[[Cambridge University Press]]|location=Cambridge [u.a.]|isbn=0-521-58280-6|edition=digital|ref={{sfnref|Trainor|1997}}}}
* {{citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Smart|first1=Ninian|author-link=Ninian Smart|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=The Buddha|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=276–85}}
* {{citation|url=https://books.google.com/?id=KYmLokZwVG0C|last1=Smart|first1=Ninian|author-link=Ninian Smart|editor1-last=Carr|editor1-first=Brian|editor2-last=Mahalingam|editor2-first=Indira|encyclopedia=Companion encyclopedia of Asian philosophy|title=The Buddha|date=1997|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=0-415-03535-X|pages=276–85}}
* {{cite book|last1=Murti|first1=T.R.V.|authorlink1=Tiruppattur_R._Venkatachala_Murthi|title=The central philosophy of Buddhism: a study of the Mādhyamika system|date=2008|orig-year=1955|publisher=[[Routledge]]|location=London|isbn=1-135-02946-6|url=https://www.academia.edu/16004454/The_Central_Philosophy_of_Buddhism_A_Study_of_Madhyamika_System_by_T.R.V._Murti|deadurl=no|archiveurl=https://web.archive.org/web/20171122120355/https://www.academia.edu/16004454/The_Central_Philosophy_of_Buddhism_A_Study_of_Madhyamika_System_by_T.R.V._Murti|archivedate=2017-11-22|df=|ref={{sfnref|Murti|1955}}}}
* {{cite book|last1=Naquin|first1=Susan|title=Millenarian Rebellion in China: The Eight Trigrams Uprising of 1813|date=1976|publisher=[[Yale University Press]]|location=New Haven|isbn=0-300-01893-2|page=13|url=http://hdl.handle.net/1811/5983|ref={{sfnref|Naquin|1976}}}}
* {{cite book|last1=Overmyer|first1=Daniel L.|title=Folk Buddhist Religion: Dissenting Sects in Late Traditional China|date=2013|publisher=[[Harvard University Press]]|isbn=978-0-674-18316-2|url=http://booksc.org/dl/44859454/58bb3f|ref={{sfnref|Overmyer|2013}}}}
* {{Citation|last1=Snellgrove|first1=David L.|author-link=David Snellgrove|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhas and Bodhisattvas: Celestial Buddhas and Bodhisattvas|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1059–71|edition=2nd|volume=2|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Snellgrove|first1=David L.|author-link=David Snellgrove|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Buddhas and Bodhisattvas: Celestial Buddhas and Bodhisattvas|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865997-X|pages=1059–71|edition=2nd|volume=2|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=GnYou0owQ5MC|title=Buddhism and society: a great tradition and its Burmese vicissitudes|date=1982|publisher=[[University of California Press]]|isbn=0-520-04672-2|edition=2nd|location=Berkeley u.a.|last1=Spiro|first1=Melford E.|author-link=Melford Spiro}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=GnYou0owQ5MC|title=Buddhism and society: a great tradition and its Burmese vicissitudes|date=1982|publisher=[[University of California Press]]|isbn=0-520-04672-2|edition=2nd|location=Berkeley u.a.|last1=Spiro|first1=Melford E.|author-link=Melford Spiro}}
Baris 264: Baris 370:
* {{citation|last1=Stone|first1=Jacqueline I.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Lotus Sūtra (Saddharmapuṇḍarīka-Sūtra)|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=471–7}}
* {{citation|last1=Stone|first1=Jacqueline I.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Lotus Sūtra (Saddharmapuṇḍarīka-Sūtra)|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004a|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=471–7}}
* {{Citation|last1=Stone|first1=Jacqueline I.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Nichiren School|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004b|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=595–8}}
* {{Citation|last1=Stone|first1=Jacqueline I.|editor1-last=Buswell|editor1-first=Robert E.|editor1-link=Robert Buswell Jr.|title=Nichiren School|encyclopedia=Encyclopedia of Buddhism|date=2004b|publisher=Macmillan Reference USA, [[Thomson Gale]]|location=New York [u.a.]|isbn=0-02-865720-9|url=https://books.google.com/?id=5n0YAAAAIAAJ|pages=595–8}}
* {{citation|editor1-last=Malalasekera|editor1-first=Gunapala Piyasena|editor1-link=G. P. Malalasekera|first=Samaneri|last=Suvimalee|encyclopedia=Encyclopaedia of Buddhism|title=Saddhā|date=2005|volume=VII|publisher=Government of Ceylon|url=https://www.scribd.com/doc/283220451/Enceylopaedia-of-Buddhism-Vol-Vii|oclc=781859662}}
* {{citation|editor1-last=Malalasekera|editor1-first=Gunapala Piyasena|editor1-link=G. P. Malalasekera|first=Samaneri|last=Suvimalee|encyclopedia=Encyclopaedia of Buddhism|title=Saddhā|date=2005|volume=VII|publisher=Government of Ceylon|url=https://www.scribd.com/doc/283220451/Enceylopaedia-of-Buddhism-Vol-Vii|oclc=781859662}}{{Pranala mati|date=Maret 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Citation|doi=10.1163/156852793x00112|last=Swanson|first=P.L.|year=1993|title='Zen Is Not Buddhism': Recent Japanese Critiques of Buddha-Nature|journal=[[Numen (journal)|Numen]]|volume=40|issue=2|pages=115–49}}
* {{Citation|doi=10.1163/156852793x00112|last=Swanson|first=P.L.|year=1993|title='Zen Is Not Buddhism': Recent Japanese Critiques of Buddha-Nature|journal=[[Numen (journal)|Numen]]|volume=40|issue=2|pages=115–49}}
* {{Citation|last1=Swearer|first1=Donald K.|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Folk Religion: Folk Buddhism|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865738-1|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{Citation|last1=Swearer|first1=Donald K.|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Folk Religion: Folk Buddhism|date=1987|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865738-1|edition=2nd|url=https://books.google.com/?id=ODIOAQAAMAAJ}}
* {{cite book|last1=Swearer|first1=Donald K.|title=The Buddhist world of Southeast Asia|date=2010|publisher=[[State University of New York Press]]|location=Albany|isbn=978-1-4384-3251-9|edition=2nd|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/the%20buddhist%20world%20of%20southeast%20asia_swearer.pdf|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADhQmDu?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Buddhist%20World%20of%20Southeast%20Asia_Swearer.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|df=|ref={{sfnref|Swearer|2010}}}}
* {{Citation|title=The History of Buddhist Thought|first=Edward J.|last=Thomas|author-link=Edward J. Thomas|location=London|publisher=[[Routledge and Kegan Paul]]|edition=2nd|year=1953|series=History of Civilization|url=https://archive.org/download/historyofbuddhis031559mbp/historyofbuddhis031559mbp.pdf|oclc=499999025}}
* {{Citation|title=The History of Buddhist Thought|first=Edward J.|last=Thomas|author-link=Edward J. Thomas|location=London|publisher=[[Routledge and Kegan Paul]]|edition=2nd|year=1953|series=History of Civilization|url=https://archive.org/download/historyofbuddhis031559mbp/historyofbuddhis031559mbp.pdf|oclc=499999025}}
* {{Citation|last=Trainor|first=K.M.|year=1989|title=Pasanna/Pasada in the Pali Vamsa Literature |journal=Vidyodaya |issn=1391-1937|volume=3 |url=http://dr.lib.sjp.ac.lk/bitstream/123456789/451/1/Pasanna%20Pasada%20in%20the%20Pali.pdf|pages=185–90}}
* {{Citation|last=Trainor|first=K.M.|year=1989|title=Pasanna/Pasada in the Pali Vamsa Literature |journal=Vidyodaya |issn=1391-1937|volume=3 |url=http://dr.lib.sjp.ac.lk/bitstream/123456789/451/1/Pasanna%20Pasada%20in%20the%20Pali.pdf|pages=185–90}}
* {{cite encyclopedia|last1=Tremblay|first1=Xavier|editor1-last=Heirman|editor1-first=Ann|editor2-last=Bumbacher|editor2-first=Stephan Peter|encyclopedia=The spread of Buddhism|title=The spread of Buddhism in Serindia|date=2007|publisher=[[Brill Publishers]]|archive-url=https://www.webcitation.org/6vADtlDZJ?url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Spread%20of%20Buddhism_HDO_Vol.16_2007.pdf|archive-date=22 November 2017|dead-url=no|location=Leiden|isbn=9789004158306|edition=online|url=http://www.ahandfulofleaves.org/documents/The%20Spread%20of%20Buddhism_HDO_Vol.16_2007.pdf|page=87|df=|ref={{sfnref|Tremblay|2007}}}}
* {{cite encyclopedia|last1=Tuladhar-Douglas|first1=William|editor1-last=Jones|editor1-first=Lindsay|encyclopedia=Encyclopedia of religion|title=Pūjā: Buddhist pūjā|date=2005|publisher=[[Thomson Gale]]|location=Detroit|isbn=0-02-865980-5|edition=2nd|url=https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|volume=11|deadurl=yes|archiveurl=https://web.archive.org/web/20170302005458/https://www.politicalavenue.com/PDF/ENCYCLOPEDIAS/The%20Gale%20Encyclopedia%20of%20Religion%202nd%20Ed%20Vol.%2011.pdf|archivedate=2017-03-02|df=|ref={{sfnref|Tuladhar-Douglas|2005}}}}
* {{citation|last=Welch|first=Holmes|title=The Practice of Chinese Buddhism, 1900–1950|publisher=[[Harvard University Press]]|year=1967|url=https://archive.org/download/practiceofchines00welc/practiceofchines00welc_encrypted.pdf}}
* {{citation|last=Welch|first=Holmes|title=The Practice of Chinese Buddhism, 1900–1950|publisher=[[Harvard University Press]]|year=1967|url=https://archive.org/download/practiceofchines00welc/practiceofchines00welc_encrypted.pdf}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=yMxdAgAAQBAJ|editor-last=Werner|editor-first=Karel|last1=Werner|first1=Karel|authorlink1=Karel Werner|encyclopedia=Love Divine Studies in Bhakti and Devotional Mysticism|title=Love and Devotion in Buddhism|date=2013|publisher=[[Taylor and Francis]]|location=Hoboken|isbn=1-136-77461-0}}
* {{Citation|url=https://books.google.com/?id=yMxdAgAAQBAJ|editor-last=Werner|editor-first=Karel|last1=Werner|first1=Karel|authorlink1=Karel Werner|encyclopedia=Love Divine Studies in Bhakti and Devotional Mysticism|title=Love and Devotion in Buddhism|date=2013|publisher=[[Taylor and Francis]]|location=Hoboken|isbn=1-136-77461-0}}
* {{citation|last1=Wijayaratna|first1=Mohan|translator1-first=Claude|translator1-last=Grangier|translator2-first=Steven|translator2-last=Collins|title=Buddhist monastic life: according to the texts of the Theravāda tradition|date=1990|publisher=[[Cambridge University Press]]|isbn=0-521-36428-0|url=https://books.google.com/?id=ftlu5U-Mw8QC}}
* {{citation|last1=Wijayaratna|first1=Mohan|translator1-first=Claude|translator1-last=Grangier|translator2-first=Steven|translator2-last=Collins|title=Buddhist monastic life: according to the texts of the Theravāda tradition|date=1990|publisher=[[Cambridge University Press]]|isbn=0-521-36428-0|url=https://books.google.com/?id=ftlu5U-Mw8QC}}
* {{citation|last=Williams |first=Paul |author-link=Paul_Williams_(Buddhist_studies_scholar)|title=Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations |url=https://books.google.com/?id=Z3FuzkBnOxAC |year=2008 |edition=2 |publisher=[[Taylor & Francis]]|isbn=0-203-42847-1}}
* {{citation|last=Williams |first=Paul |author-link=Paul_Williams_(Buddhist_studies_scholar)|title=Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations |url=https://books.google.com/?id=Z3FuzkBnOxAC |year=2008 |edition=2 |publisher=[[Taylor & Francis]]|isbn=0-203-42847-1}}
* {{cite journal |doi=10.1111/zygo.12391|title='The New Science of Health and Happiness': Investigating Buddhist Engagements with the Scientific Study Of Meditation|first=Jeff|last=Wilson|journal=[[Zygon (journal)|Zygon]]|volume=53|issue=1|year=2018|ref={{sfnref|Wilson|2018}}}}
{{refend}}
{{refend}}


Baris 281: Baris 391:
* [https://www.youtube.com/watch?v=MuHi9Zpx7zo Debate held by the Melbourne Insight Meditation Group about being Buddhist, orthodoxy and faith], between Ajahn Brahmali and [[Stephen Batchelor (author)|Stephen Batchelor]]
* [https://www.youtube.com/watch?v=MuHi9Zpx7zo Debate held by the Melbourne Insight Meditation Group about being Buddhist, orthodoxy and faith], between Ajahn Brahmali and [[Stephen Batchelor (author)|Stephen Batchelor]]


{{topik Buddhisme}}
{{Topik Buddhisme}}


[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Kepercayaan, tradisi, dan pergerakan agama]]
[[Kategori:Buddhisme]]
[[Kategori:Buddhisme]]

Revisi terkini sejak 14 Oktober 2024 09.46

Altar di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhūmi, Tangerang, Jawa Barat, Indonesia. Rupang Buddha sebagai simbol Buddha, Dharmacakra di belakang kepala Buddha sebagai simbol Dhamma, dan dua murid teladan-Nya (Sariputta dan Moggallana) di kedua sisi sebagai simbol Saṅgha.
Terjemahan dari
saddhā
Indonesiakeyakinan, iman
Inggrisfaith, confidence
Palisaddhā
Sanskertaśraddhā
Tionghoa(T&S)
(Pinyinxìn)
Jepang
(rōmaji: shin)
Korea믿음
(RR: sin-eum)
Tibetanདད་པ
(Wylie: dad pa
THL: dat pa
)
Bengaliশ্রাদ্ধের
Thaiศรัทธา
(RTGS: satthaa)
Vietnamđức tin
Sinhalaශ්‍රද්ධ
Daftar Istilah Buddhis

Dalam Buddhisme, keyakinan (Pali: saddhā; Sanskerta: śraddhā), terkadang juga disebut sebagai iman meskipun dengan konsep yang sangat berbeda dari tradisi agama-agama Abrahamik, mengacu pada keyakinan terhadap Triratna, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi karma dan kemungkinan mencapai kecerahan. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran Buddha, seperti bederma (dāna), moralitas (sīla), dan meditasi (bhāvanā) secara berkelanjutan.

Dalam Buddhisme awal dan aliran Theravāda, saddhā dipusatkan pada keyakinan terhadap kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, terhadap Triratna (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]

  1. Keyakinan terhadap Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan bodhisatwa masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nirwana.
  2. Keyakinan terhadap Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
  3. Keyakinan terhadap Saṅgha, yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (ariya-saṅgha) atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai kecerahan (sammuti-saṅgha).

Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap hukum karma merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

  1. Keyakinan terhadap karma (kamma-saddhā), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
  2. Keyakinan terhadap buah karma (vipāka-saddhā), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.

Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka milik aliran Theravāda menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor mental dalam empat batasan:[6]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): meyakini (saddahana) atau memercayai (okappana) objeknya.
  • Fungsi (rasa): untuk menjernihkan (pasādana) hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (pakkhandana) hal-hal sulit.
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): bebas dari kotoran (akālussiya), atau keputusan/ketetapan hati (adhimutti).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu), yaitu Triratna, atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga).

Keyakinan adalah faktor mental yang memercayai (saddahati) objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang sepenuhnya memerlukan kepatuhan buta (amūlika-saddhā) dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.[6]

Tradisi Abhidhamma Theravāda juga menguraikan saddhā menjadi dua jenis:[6]

  1. Keyakinan awal (amūlika-saddhā), yaitu keyakinan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
  2. Keyakinan kukuh atau sempurna (aveccapasāda), yaitu keyakinan yang didasarkan pada pengalaman secara langsung.

Konsep saddhā erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (saccānurakkhaṇa) dan "mengalami kebenaran" (saccānubodha). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," sebelum mengalami kebenaran secara langsung.[6]

Secara tradisional, pernyataan keyakinan ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Triratna dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):

Seorang umat awam yang berlindung kepada Triratna disebut upāsaka atau upāsika, sedangkan yang tidak berlindung kepada Triratna disebut titthiya.

Sementara itu, Buddhisme awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada brahma dan dewa-dewi. Sepanjang sejarah Buddhisme, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Triratna, yang masih terus memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dalam sejarah Buddhisme, khususnya Buddhisme Mahāyāna, keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan bakti kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di Tanah Murni. Dengan berkembangnya bakti kepada Buddha Amitābha dan Buddhisme aliran Tanah Murni, keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik Buddhisme. Buddhisme aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh Hōnen dan Shinran, bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah keyakinan penuh kepercayaan kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, Buddhis Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah Buddhisme. Namun, semenjak abad ke-19, modernisme Buddhis di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam Buddhisme. Keyakinan dalam Buddhisme masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan eklektisisme menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas Buddhis Dalit, khususnya gerakan Nawayana, menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.

Peran dalam ajaran Buddha

[sunting | sunting sumber]

Keyakinan diartikan sebagai kepercayaan bahwa praktik ajaran Buddha akan membuahkan hasil.[7][8] Keyakinan adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau mereka yang dianggap sudah maju secara spiritual, seperti para Buddha atau bodhisatwa, atau bahkan biksu atau lama tertentu yang sangat dihormati.[7][9][10] Umat Buddha biasanya mengakui berbagai objek keyakinan, tetapi beberapa penganut secara khusus berbakti kepada satu objek keyakinan tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.[7] Namun, Buddhisme tidak pernah memiliki satu wewenang pusat, baik itu dalam bentuk manusia maupun kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus yang berkenaan dengan praktik biasanya dibentuk melalui perdebatan dan diskusi.[11]

Berikut adalah beberapa istilah dipakai dalam Buddhisme untuk mengacu kepada keyakinan, dan istilah-istilah ini memiliki aspek kognitif maupun afektif:[8]

  • Śraddhā (Sanskerta; Pali: saddhā; Tionghoa klasik: wen-hsin) yang berarti komitmen atau kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk ikrar atau komitmen untuk berpraktik.[7][12] Śraddhā sering kali dipandang sebagai penawar niat buruk dalam pikiran.[13][14] Lawan kata śraddhā adalah āśraddhya, yang merujuk kepada ketiadaan kemampuan untuk mengembangkan keyakinan kepada guru dan ajaran-ajarannya, sehingga tak dapat mengembangkan energi pada perjalanan spiritual.[15] Kata śraddhā berasal dari kata śrat, "memiliki keyakinan", dan dhā, "mempertahankan".[note 1] Dengan demikian, cendekiawan kajian agama Sung-bae Park menyimpulkan bahwa śraddhā berarti "mempertahankan kelangsungan kepercayaan, tetap bertekad kuat, atau menopang kepercayaan, yang berarti berpegang teguh".[17]
  • Prasāda (Sanskerta; Pali: pasāda; Tionghoa klasik: ching-hsin) yang lebih afektif ketimbang śraddhā. Istilah ini digunakan dalam konteks yang berkenaan dengan ritual dan upacara. Istilah tersebut merujuk kepada penerimaan diri secara khusyuk atas berkah dan keagungan objek bakti.[18] Kata prasāda berasal dari awalan pra dan sād, yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam kejernihan dan kesejukan".[17] Dengan demikian, prasāda merujuk kepada fokus pikiran sang penganut, komitmennya, dan kualitasnya yang telah mengalami peningkatan.[19]

Keyakinan biasanya dikaitkan dengan Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, Dharma (ajarannya), dan Saṅgha (komunitasnya). Oleh sebab itu, keyakinan sering kali menjadikan individu tertentu sebagai objeknya. Walaupun begitu, keyakinan dalam Buddhisme berbeda dengan bakti dalam agama-agama India lainnya (bhakti), karena keyakinan tersebut berhubungan dengan objek-objek impersonal seperti kerja karma dan efikasi dari pelimpahan jasa.[20] Keyakinan tampaknya berfokus pada atau bermuara pada pandangan benar atau pemahaman atas aspek-aspek utama ajaran Buddha, seperti bagaimana sistem kerja hukum karma, kebajikan, dan kelahiran kembali.[21][22][23] Terkait dengan Tiga Mestika, keyakinan berfokus pada dan bersukacita atas karakteristik Buddha, Dharma, dan Saṅgha.[24] Berkaitan dengan hukum karma, keyakinan merujuk kepada anggapan bahwa segala perbuatan memiliki dampak: perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.[25] Dengan demikian, keyakinan memberikan panduan dalam menuju kehidupan kedermawanan, moralitas, dan sifat religius.[26] Keyakinan juga meliputi gagasan seperti keberadaan, ketidakkekalan dan hakikat pengondisian, dan pada akhirnya, pencerahan sempurna Buddha atau Nirwana dan metode praktik menuju Nirwana.[21][22][23] Keyakinan berarti harus percaya bahwa sudah ada orang yang telah mencapai Nirwana dan mereka dapat mengajarkan cara untuk mewujudkan hal yang sama.[27]

Dalam Buddhisme, perihal perkembangan pemahaman keyakinan, ada dua tahapan sejarah, yaitu tahapan Buddhisme awal dan tahapan Buddha aliran Mahāyāna yang berkembang pada periode berikutnya. Beberapa cendekiawan awal abad ke-20, seperti Louis de La Vallée-Poussin, Arthur Berriedale Keith, dan Caroline Rhys Davids, dikritik oleh para cendekiawan dari Sri Lanka karena tak membedakan dengan jelas dua tahapan tersebut.[28][29]

Buddhisme awal

[sunting | sunting sumber]

Dalam teks-teks Buddhisme awal, seperti teks-teks dalam bahasa Pāli, saddhā biasanya diterjemahkan sebagai "keyakinan", tetapi dengan makna tambahan yang berbeda ketimbang istilah Inggris-nya.[30] Istilah tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan", dalam hal kepercayaan akan doktrin.[23][31] Menurut cendekiawan John Bishop, keyakinan dalam Buddhisme awal pada dasarnya "religius tanpa nuansa teistik".[32] Keyakinan Buddhis awal tidaklah menjadikan Tuhan sebagai pusat dari agama.[33] Berlawanan dengan Brahmanisme Weda, yang mendahului Buddhisme, gagasan keyakinan dalam Buddhisme lebih berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dipelajari dan dipraktikkan, ketimbang berfokus pada dewa-dewi.[34] Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan realitas menurut Buddhisme tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat Buddhisme berkembang, beberapa komunitas agama India sudah mengajarkan pendekatan kritis dalam memahami kebenaran.[35]

Keyakinan bukan sekadar komitmen batin atas sejumlah prinsip,[36] tetapi juga memiliki sifat afektif.[8][37] Para cendekiawan dalam Buddhisme awal membedakan antara keyakinan sebagai kebahagiaan dan keyakinan sebagai ketenangan, memperluas pikiran menuju tingkat yang lebih tinggi;[37] dan keyakinan sebagai sebuah energi yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.[8][38] Karena keyakinan membantu mengurangi kebingungan, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganutnya.[39]

Seorang penganut Buddha berkeyakinan kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, Dharma dan Saṅgha, serta kedisiplinan. Namun, dalam teks Buddhisme awal, keyakinan bukan berarti bermusuhan atau menyangkal keberadaan dewa-dewi lainnya. Meskipun Buddha menolak pengurbanan hewan, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, tetapi menganggap hal tersebut kurang bermanfaat bila dibandingkan dengan persembahan amal kepada saṅgha biksu.[40][36] Oleh sebab itu, segala hal memiliki kodratnya tersendiri terkait dengan kemanfaatannya, dan perilaku moral lebih dihargai dibandingkan upacara atau ritual.[41]

Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar atas penderitaan (dukkha). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan menuntun para penganut merasakan takut dan agitasi (Pali: saṃvega), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil.[42] Kemudian, keyakinan pada gilirannya mengantarkan kepada beberapa kualitas mental penting lainnya sepanjang jalan menuju Nirwana, seperti sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan.[43] Namun, hanya berbekal keyakinan saja tak pernah dianggap cukup untuk mencapai Nirwana.[44][45]

Green plains.
Saṅgha dideskripsikan sebagai "ladang kasih", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.[46]

Umat Buddha awam laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur disebut upāsaka atau upāsika. Untuk menjadi umat Buddha, tak ada ritual formal yang diwajibkan.[47][48] Beberapa ayat dalam Kitab Pāli, serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti Buddhaghosa, menyatakan bahwa umat awam Buddhis dapat mencapai surga hanya dengan memperkuat keyakinan mereka dan kasih sayang kepada Buddha, demikian juga dalam ayat lainnya, menyatakan bahwa keyakinan disandingkan dengan kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai penyebab yang menuntun penganutnya terlahir ke surga.[49][50] Terlepas dari semua itu, keyakinan adalah bagian penting dari cara pandang umat awam Buddhis, karena keyakinan diwujudkan dalam bentuk kebiasaan bertemu dengan saṅgha, menyimak ajarannya, dan yang terpenting, memberikan dana kepada saṅgha. Saddhā dalam kehidupan awam berkaitan erat dengan dāna (kedermawanan): Pemberian tulus adalah pemberian spritual yang paling penting.[51]

Keyakinan termasuk dalam daftar kebajikan untuk umat awam, sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para umat Buddha, karena umat yang baru masuk Buddhisme memiliki ciri-ciri "hijau dalam bakti".[52] Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan yang mana keyakinan diikutsertakan,[53][49] dan tradisi Buddhis awal lainnya juga menekankan betapa pentingnya peranan keyakinan, seperti tradisi Sarwāstiwāda.[8] Selain itu, Buddhisme awal mendeskripsikan keyakinan sebagai kualitas berpengaruh dalam pemasuk arus, sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.[54][55] Dalam deskripsi standar dari mereka yang meninggalkan rumah (menerima penahbisan biksu), keyakinan disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti André Bareau dan Lily De Silva meyakini bahwa Buddhisme awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "Buddhisme tak memiliki keyakinan murni sebagai padanannya dalam agama Kristen, ... Pandangan tentang kepercayaan membuta, keyakinan absolut akan firman seorang master, secara terang-terangan berbertolak belakang dengan semangat Buddhisme awal."[56][57] Namun, penerjemah Caroline Rhys Davids tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "keyakinan sama pentingnya bagi semua penganut agama karena itulah yang disebut sebagai penganut agama".[58][59] Indologis Richard Gombrich berpendapat bahwa Buddhisme tak menentukan percaya akan seseorang atau sesuatu sampai taraf berlawanan dengan penalaran. Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada bakti kepada dirinya, meskipun ia mengakui bahwa bakti semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.[60][61] Gombrich menyatakan bahwa ada banyak catatan dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan betapa pentingya pengaruh keyakinan tersebut,[62] namun ia juga berpendapat bahwa "perkembangan seremoni dan liturgi Buddhis benar-benar sebuah konsekuensi tanpa disengaja secara keseluruhan khotbah dari Buddha".[63]

Mengambil perlindungan

[sunting | sunting sumber]
Dalam Kitab Pāli, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan keyakinan di kalangan kaum awam.[64][65]

Sejak Buddhisme awal, para penganut menyatakan keyakinannya melalui mengambil perlindungan, yang terdiri dari tiga lapisan. Dalam hal ini berpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang telah tercerahkan sepenuhnya, dengan menempatkan peran Buddha sebagai guru umat manusia dan para dewā (makhluk surgawi). Perlinungan ini juga mencakup para Buddha dari masa lampau, dan Buddha yang belum hadir di dunia ini. Kedua, mengambil perlindungan dengan cara menghormati kebenaran dan efikasi ajaran spiritual Buddha, yang mencakup karakteristik fenomena (Pali: saṅkhāra) seperti ketidakkekalan (Pali: anicca) fenomena, dan jalan menuju pembebasan.[66][67] Mengambil perlindungan terakhir yaitu dengan menerima komunitas para praktisi yang telah berkembang secara spiritual (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain itu juga meliputi kaum awam dan bahkan para dewā dengan anggapan bahwa mereka sudah hampir atau sepenuhnya mencapai pencerahan.[46][68] Buddhisme awal tak mengikutsertakan elemen bodhisatwa dalam Tiga Perlindungan, karena para bodhisatwa dianggap masih berada dalam perjalanan menuju pencerahan.[69]

Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "ladang kebajikan", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka sehingga bisa mendatangkan karma baik.[46] Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, mereka yakin dengan cara demikian akan menghasilkan kebajikan dan membawa mereka semakin dekat dengan pencerahan.[70] Sementara itu, biksu Buddhis memberikan peran signifikan dalam meningkatkan dan mempertahankan keyakinan umat awam. Meskipun ada banyakcontoh dalam kitab suci menyebutkan perilaku baik para monastik, tetapi ada juga kasus para biksu berperilaku buruk. Kasus biksu berperilaku buruk ditanggapi dengan hati-hati sebagaimana reaksi dari para umat, hal demikian disebutkan dalam kitab suci. Saat Buddha mulai menetapkan aturan baru dalam peraturan monastik untuk menangani perilaku buruk monastiknya, Beliau menyatakan bahwa perilaku demikian hendaknya dihentikan, karena tak akan "menyakinkan umat lain" dan "umat sendiri akan menjauh". Beliau mengharapkan para biksu, biksuni dan samanera-samaneri untuk hidup bukan hanya demi memberikan manfaat untuk diri sendiri saja, tetapi juga menopang keyakinan masyarakat. Di sisi lain, tugas menginspirasi keyakinan umat bukanlah demi menyuburkan kemunafikan atau hal yang tidak sepantasnya, sebagai contohnya, monastik yang tidak menjalankan tugas sebagai monastik malahan berprofesi lain, atau memberikan oleh-oleh kepada umat awam dengan harapan untuk meminta bantuannya.[64][65]

Dengan demikian, mengambil perlindungan merupakan sebuah bentuk aspirasi untuk menjadikan Tiga Mestika sebagai pedoman inti kehidupan. Mengambil perlindungan dilakukan lewat formula singkat, seseorang menyebutkan Buddha, Dharma dan Saṅgha sebagai perlindungan.[71][68] Pada naskah-naskah Buddhis awal, mengambil perlindungan adalah sebuah pernyataan tekad untuk mengikuti petunjuk dari Buddha, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab.[67]

Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Triratna dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):[72][73][74]

Melalui verifikasi

[sunting | sunting sumber]
Stūpa Buddha di Kesariya, Bihar, India, didirikan untuk menghormati Kalāma Sutta

Keyakinan dapat menuntun para praktisi untuk memegang teguh perlindungan kepada Tiga Mestika, hal ini juga yang membukakan jalan menuju pengalaman spiritual baru yang belum pernah mereka ketahui. Ini adalah aspek bakti atau aspek mistis dari keyakinan. Namun, ada juga aspek rasional, makna perlindungan berakar pada verifikasi pribadi.[11] Dalam Kalāma Sutta, Buddha menegaskan bahwa Ia tidak setuju dengan prinsip seseorang mengikuti otoritas suci, tradisi, doktrin logika, atau demi menghormati seorang guru.[75] Pengetahuan yang datang dari sumber seperti itu berdasarkan pada kesombongan, kebencian dan delusi dan para buddhis harus menyerap pengetahuan demikian secara berimbang dan jangan percaya begitu saja. Namun, ajaran seperti itu juga perlu dipertanyakan. Mereka perlu mencari tahu apakah ajaran itu benar melalui verifikasi pribadi atas kebenaran spiritual, membedakan apa saja yang menuntun kepada kebahagiaan dan memberikan manfaat, dan apa saja yang sebaliknya.[76][77][note 2] Setelah memberikan contoh melalui pendekatan seperti itu, Buddha menyatakan bahwa praktik yang mengurangi kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin akan bermanfaat bagi para praktisi, terlepas dari apakah retribusi karma dan kelahiran kembali itu ada atau tiada.[78] Dengan demikian, pengalaman pribadi dan penilaian sangat ditekankan apabila berkenaan dengan apakah seseorang berkenan menerima Buddha dan Buddhisme. Seseorang seharusnya juga mendengarkan arahan dari para bijaksana.[49]

Dalam Canki Sutta, Buddha menekankan bahwa cara seseorang memunculkan keyakinan terdiri dari dua bentuk: keyakinan tulus yang berlandaskan fakta dan tidak keliru atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang menganut keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, sisanya keliru," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".[79][77][note 3] Sehingga, sutta itu mengkritik wahyu ilahi, tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "keyakinan tak berdasar" dan pengertian tak lengkap dari penyerapan pengetahuan atau kebenaran spiritual.[49][80] Namun dalam Sandaka Sutta, Buddha juga mengkritik cara memahami kebenaran hanya lewat akal budi dan logika saja.[79][80] Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, kemudian pengetahuan itu tak dipengaruhi oleh sikap bias.[81][82] Jadi, kepercayaan dan keyakinan saja tidak mencukupi untuk memperoleh kebenaran, walaupun berkaitan dengan spiritual, para penganut agama lain menyebutnya sebagai keyakinan. Buddha tidak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.[28][82] Dalam satu wejangan, Buddha ditanya hal apa yang menjadi landasan keabsahan ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak menggunakan tradisi, keyakinan, dan penalaran sebagai landasan keabsahan ajarannya, tetapi cenderung menggunakan pengalaman pribadi sebagai sumber otoritasnya.[83]

Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[84][85]

Kesimpulannya, umat Buddha wajib memverifikasi kebenaran dan moralitas lewat pengalaman pribadi. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "mempertahankan kebenaran". Keyakinan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi pribadi dari keyakinan seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "mempertahankan" menjadi "menemukan" kebenaran.[49][77] Proses verifikasi melibatkan berbagai pengalaman pada umumnya, selain itu juga pengalaman yoga dari pelatihan batin.[86] Selain itu, Buddha menyebutkan kriteria untuk ajarannya sendiri: Dia sendiri memiliki kualifikasi untuk mengajarkan Dharmanya karena dia sendiri telah memverifikasinya, tetapi tak mempelajarinya dari orang lain atau diperoleh dari logika.[87] Buddha menyatakan dalam beberapa wejangan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikinya, termasuk menyelidiki Buddha, cari tahu apakah dia sudah tercerahkan atau tindak tanduknya sudah murni, dengan cara mengamatinya dalam kurun waktu panjang.[84][85] Beberapa orang yang dideskripsikan dalam kanon Pali menyebutkan bahwa ada orang yang mengamati Buddha dengan sedemikian rupa sehingga dia bisa memunculkan keyakinan kokoh.[84] Hal ini bukan berarti Buddha tidak menerima sikap penghormatan dari orang lain kepada dirinya: Buddha mengajarkan tata cara bakti bisa membantu pikiran praktisi awam menjadi bersemangat, dan membantu mereka sepanjang jalan agar bisa memperoleh kelahiran yang lebih baik dan pencerahan.[88] Oleh karena itu, bakti merupakan topik bagi praktisi serius yang berminat untuk mendalaminya.[89]

Langkah awal

[sunting | sunting sumber]

Keyakinan merupakan kepercayaan kepada Buddha sebagai guru spiritual dan menerima ajaran-ajaran Buddha di tahap awal. Keyakinan dianggap bermanfaat besar bagi praktisi pemula dari ajaran Buddha.[11][38] Dalam Cula-hatthipadopama Sutta, Buddha mendeskripsikan jalan menuuju pencerahan dimulai dari memiliki keyakinan kepadanya, namun tetap mempraktikkan kebajikan, meditasi, dan kebijaksanaan, semua itu berujung pada pencerahan. Dengan demikian, keyakinan ditahap awal mendukung kepercayaan diri untuk meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir,[90] dan untuk alasan ini pula, dalam ajaran Buddha awal, keyakinan biasanya disebutkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.[52]

Selain saddhā, istilah lainnya yaitu pasāda, dan sinonim-sinonim terkaitnya pasanna dan pasidati, terkadang juga diterjemahkan menjadi 'keyakinan', tetapi memberi nilai yang lebih tinggi daripada saddhā. Saddhā menjadi semakin mendalam ketika seseorang semakin maju dalam perjalanan spiritualnya, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai pasāda,[91][92][93] dan terkadang sebagai bhakti.[26] Pasāda adalah keyakinan dan kecenderungan tertarik kepada seorang guru, tetapi dibarengi oleh kejernihan batin, kedamaian hati, dan pengertian..[93] Sang murid yang berlatih mulai mengembangkan dan menstabilkan keyakinannya berlandaskan kewawasan spiritual.[38][94] Semua ini menuntun keyakinan menjadi "tak tergoyahkan".[95][96]

Dengan demikian, keyakinan saja belumlah cukup untuk mencapai keselamatan, tetap itu hanyalah langkah pertama menuju kebijaksanaan dan pencerahan..[97] Beberapa ajaran dalam Buddhisme awal menyebut keyakinan sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.[98][99] Pada tahap akhir jalan praktik Buddhis, untuk menuju arahat, seorang praktisi secara keseluruhan mengganti keyakinan dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, arahat tak lagi mengandalkan keyakinan,[100][101][45] walaupun sudah tiba pada tahap tersebut, kadang-kadang bentuk keyakinan komplet juga pernah dijelaskan.[102] Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaannya bukan keyakinannya. Pengecualian pada Bhant Vakkali, ia dipuji oleh buddha sebagai "Dia yang tertinggi dalam keyakinan diantara orang lain", Buddha juga mengajarkan muridnya agar fokus pada ajarannya, bukan pada sosok Buddha.[38][101][45] Tampaknya Buddha juga menegur muridnya, Bhante Ānanda melalui cara yang serupa.[103]

Dalam Kitab Pali menjelaskan beberapa pendekatan berbeda berkenaan dengan keyakinan. Saat mengembangkan keyakinan kepada seseorang atau kepada Buddha, upaya ini memberikan manfaat kecil apalagi terlalu berlebihan berkaitan dengan fitur tidak signifikan seperti tampak fisik, lalu tidak terlalu fokus pada ajaran Buddha. Pendekatan keyakinan seperti ini mengarahkan kepada perasaan sayang dan marah dan juga ada kekurangan lainnya. Hal demikian merupakan penghalang dalam menyusuri jejak Buddha dan pencapaian pencerahan, serupa dengan kasus Vakkali. Keyakinan dan bakti perlu berjalan bersama-sama dengan dibarengi dengan Ekuanimitas.[104][105][106]

Theravāda

[sunting | sunting sumber]

Pada umumnya, praktik-pratik dalam aliran Theravāda serupa dengan praktik-praktik dalam Buddhisme Awal. Akan tetapi, aliran Theravāda juga secara khusus membahas tentang keyakinan dalam kitab-kitab komentarnya.

Menurut aliran Theravāda, saddhā dipusatkan pada keyakinan terhadap kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, terhadap Triratna (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]

  1. Keyakinan terhadap Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan bodhisatwa masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nirwana.
  2. Keyakinan terhadap Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
  3. Keyakinan terhadap Saṅgha, yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (ariya-saṅgha) atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai kecerahan (sammuti-saṅgha).

Pada jenis klasifikasi di atas, keyakinan terhadap hukum karma merupakan bagian dari keyakinan terhadap Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan keyakinan terhadap kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

  1. Keyakinan terhadap karma (kamma-saddhā), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
  2. Keyakinan terhadap buah karma (vipāka-saddhā), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.

Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka milik aliran Theravāda menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor mental dalam empat batasan:[6]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): meyakini (saddahana) atau memercayai (okappana) objeknya.
  • Fungsi (rasa): untuk menjernihkan (pasādana) hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (pakkhandana) hal-hal sulit.
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): bebas dari kotoran (akālussiya), atau keputusan/ketetapan hati (adhimutti).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu), yaitu Triratna, atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga).

Dua jenis keyakinan

[sunting | sunting sumber]

Tradisi Abhidhamma Theravāda juga menguraikan saddhā menjadi dua jenis:[6]

  1. Keyakinan awal (amūlika-saddhā), yaitu keyakinan tanpa dasar pengalaman secara langsung.
  2. Keyakinan kukuh atau sempurna (aveccapasāda), yaitu keyakinan yang didasarkan pada pengalaman secara langsung.

Konsep saddhā erat kaitannya dengan konsep "menjaga atau melestarikan kebenaran" (saccānurakkhaṇa) dan "mengalami kebenaran" (saccānubodha). Penjagaan atau pelestarian kebenaran dilakukan dengan tidak menyimpulkan "hanya ini saja yang benar, yang lainnya salah," ketika meyakini sesuatu yang didasarkan pada keyakinan tanpa dasar pengalaman langsung sebelum muncul keyakinan kukuh atau sempurna karena telah mengalami kebenaran secara langsung.[6]

Mahāyāna

[sunting | sunting sumber]
Buddha Gautama dengan adegan-adegan dari legenda Awadāna

Dalam periode kaisar Ashoka (abad ke-3 sampai ke-2 SM), umat Buddha banyak menitikberatkan pada keyakinan, karena Ashoka membantu mengembangkan Buddhisme sebagai agama populer untuk menyatukan kekuasaanya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan stūpa dan bertambah banyaknya sastra berlandaskan keyakinan yaitu Awadāna.[107][108] Pada abad ke-2 SM, Buddha semakin lumrah digambarkan dalam bentuk lukisan, dan ada peralihan penekanan pada bakti emosional dalam agama India. Ini menuntun pada perspektif baru dalam Buddhisme, seperti yang dirangkum oleh Peter Harvey, seorang cendekiawan studi Buddhisme, dia menyatakan bawah "welas asih, keyakinan, dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut membuka jalan lahirnya Aliran Mahāyāna.[109][110]

Pada umumnya, peran keyakinan dalam Mahāyāna mirip dengan Theravāda[92][111]—keyakinan merupakan bagian tak terhindarkan dari praktik Mahāyāna maupun Theravāda.[78] Bahkan dalam aliran Theravāda saat ini, yang bermula dari teks Pāli, keyakinan masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Penganut aliran Theravāda memandang keyakinan kepada Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan etika Buddhis.[112] Namun, dengan kebangkitan aliran Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang keyakinan semakin intensif. Sejumlah besar bodhisatwa menjadi fokus bakti dan keyakinan, memberikan nuansa "teistik" kepada aliran Mahāyāna.[113][114] Dalam Buddhisme awal, ada beberapa sumber tulisan yang menyatakan bahwa Buddha dan makhluk tercerahkan lainnya yang memiliki alam di luar batas dunia. Kemudian, penganut Theravāda meyakini bahwa Maitreya, Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan secara hari demi hari mereka semakin menghormati Maitreya. Selain itu, penganut Mahāyāna membawa gagasan tersebut lebih lanjut.[115][116] Setelah Buddha mangkat, ada sebuah perasaan menyesal dari komunitas pengikut Buddha, mereka merasa Buddha sudah tiada lagi di dunia ini, dan ada keinginan untuk "bertemu" dengan Buddha (Sanskerta: darśana) dan menerima kekuatannya.[117][118] Penganut Mahāyāna memperluas pengertian Tiga Mestika dengan mengikutsertakan para Buddha yang berdiam di surga, dan yang kemudian disebut sebagai Buddha sambhogakāya ('perwujudan dari kesenangan Dharma').[118][119] Seiring dengan penekanan pada para Buddha di tanah murni, Buddha yang bermanifestasi setiap waktu dan tempat, kondisi ini membuat peranan Buddha Gautama semakin kabur dalam keyakinan Buddhis.[120][121] Buddhisme Tanah Murni banyak memfokuskan keyakinannya ke Buddha di alam tersebut, khususnya Buddha Amitābha.[122][123]

Dimulai dari bakti kepada para Buddha di tanah murni,[122][123] sosok-sosok bodhisatwa tingkat tinggi, yang merupakan gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif.[124] Semenjak abad ke-6, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi buddhis menjadi suatu hal yang lumrah,[122] seperti bodhisatwa Awalokiteśwara yang mewakili welas asih, dan Manjusri manifestasi dari kebijaksanaan.[125] Catatan tentang para bodhisatwa akan perbuatan baik mereka sering kali meliputi tindakan-tindakan dengan pengorbanan besar, dan para penulis tampaknya mengartikan catatan tersebut lebih condong pada praktik bakti ketimbang sebagai panutan.[126]

Berdasarkan itulah, pada abad ke-12 dan ke-13, Buddhisme di Jepang mulai terjadi pergeseran dari tujuan akhir pencapaian pencerahan berubah menjadi praktik yang berkaitan dengan hakikat Buddha universal dan tanah murni tempat para Buddha bersemayam.[127] Seiring dengan perkembangan sistem pemikiran Mādhyamaka, Buddha Sakyamuni tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktik Buddha.[128] Perkembangan tersebut berujung pada gerakan bakti dari Buddhisme aliran Tanah Murni, sementara dalam Buddhisme aliran Zen bertujuan menemukan Hakikat Buddha dalam dirinya sendiri.[129]

Istilah untuk keyakinan yang umum dipakai dalam Buddhisme Mahāyāna adalah Xin (Tionghoa) dan shin (Jepang): istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tanpa dipertanyakan atas objek bakti seseorang. Istilah itu juga dipakai tradisi Chan atau Zen, yang mana berkaitan dengan keyakinan terhadap Hakikat Buddha (tathāgatagarbha) yang terbenam dalam pikiran seseorang, dan Hakikat Buddha akan muncul ketika seseorang berhasil menghentikan kebiasaan-kebiasaan pikiran.[18][130][8] Sehingga, aliran Chan atau Zen menganggap keyakinan sebagai salah satu dari Tiga Esensial dalam praktik meditasi, bersama dengan ketekunan dan keraguan.[131][132] Di sisi lain, aliran Tanah Murni membedakan antara aspek pikiran yaitu kepercayaan, dan aspek yang disadarkan oleh praktik bakti dan kerendahan hati kepada Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinji (Tionghoa) atau shinjin (Jepang); dan sukacita dan keyakinan karena dapat bertemu dengan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinfa (Tionghoa) atau shingyō (Jepang).[130][133][134] Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan bahwa bangkitnya keyakinan merupakan pengalaman transendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.[135] Ajaran dari Master Tanah Murni yaitu Shinran menyatakan bahwa pengalaman keyakinan itu disebut "Cahaya Terang" (Jepang: kōmyō), melibatkan perasaan sepenuh hati pada tekad dan kebijaksanaan Buddha Amitabha yang mampu menyelamatkannya, juga mengandalkan sepenuhnya kepada Amitabha karena para penganut sama sekali tidak berdaya.[136][137]

Terlepas dari betapa pentingnya perkembangan yang terjadi pada kemunculan Buddhisme Mahāyāna, jika disebutkan bahwa tiada pergerakan tentang bakti sebelum Mahayana maka itu pernyataan terlalu dangkal. Bakti telah ditemukan dalam teks dan praktik yang bersamaan dengan periode ketika teks Abhidhamma mulai dikompilasi, bahkan sebelum kemunculan Mahāyāna.[138] Lebih jauh lagi, tradisi Theravada dikemudian hari mulai menekankan pada hagiografi tentang Buddha dan bodhisatwa lebih banyak lagi, dan banyak catatan menyebutkan bahwa Buddha memainkan peranan utama dalam pencerahan banyak orang.[139]

Aliran Tiantai, Tendai, dan Nichiren

[sunting | sunting sumber]
Fragmen abad kelima dari manuskrip Sutra Teratai Sansekerta dari Rouran, Wei Utara, yang diangkat dari Hetian, provinsi Xinjiang. Disimpan di Museum Mausoleum Raja Nanyue.

Sūtra Teratai merupakan satu dari sekian teks (Sanskerta: sūtra) yang disanjung tinggi di Asia Tenggara,[140] teks ini banyak mengetengahkan konsep ideal keyakinan.[141] Di abad pertengahan Tiongkok dan Jepang, ada banyak legenda ajaib yang berkenaan dengan Sutra Teratai, legenda tersebut juga yang membuat sutra ini semakin populer. Para cendekiawan berpendapat bahwa dalam sutra ini menekankan pada cara pandang bahwa Buddha sebagai seorang ayah, cara pandang demikianlah yang membantu sutra tersebut menjadi populer.[142]

Sūtra Teratai ditulis pada abad pertama dan kedua Masehi. Di bagian dari "pengkultusan dari buku itu", penganut Mahāyāna menggantikan bagian pemujaan relik dan stupa menjadi pemujaan kepada Dharma sebagai perwakilan dari sutra. Mereka menyanjung dan memuja Sutra Teratai sebagaimana mereka memuja Sutra Mahāyāna lainnya, setara dengan pemujaan kepada stupa sebelum lahirnya aliran Mahāyāna. Di antara semua sutra, mereka paling menyanjung tinggi Sutra Teratai. Sutra Teratai menjelaskan tentang berbagai bentuk bakti seperti menerima dan menjaga, membaca, melafalkan, mengajarkan dan mentranskripkan, dan juga berbagai cara untuk menyanjung tinggi sutra itu. Dalam beberapa salinan, mereka menggambarkan setiap huruf laksana Buddha, lalu ditempatkan di dalam stupa.[143][144][145]

Walaupun implikasi teoretis dari Sutra Teratai dipengaruhi oleh cendekiawan tradisional, praktik yang berkenaan dengan bakti dalam sutra tersebut semakin memberikan pengaruh kepada sutra itu sendiri.[146] Aliran Tiantai Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya adalah Tendai, semakin mengedepankan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan bakti terhadap Buddha Amitābha.[147][148] Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa sūtra tersebut merupakan ajaran tertinggi di antara semua ajaran Buddha, dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.[149] Beberapa aliran dari periode Kamakura (abad ke-12 sampai ke-14) bahkan menganggap Sutra Teratai merupakan satu-satunya kendaraan atau jalur Dharma (Ekayāna), lalu Nichiren (1222-1282) menyakini bahwa hanya praktik ini yang bisa menuntun masyarakat ke Tanah Buddha ideal.[150]

Nichiren menyampaikan bahwa keyakinan dalam dan pemujaan sutra atas alasan tersebut di atas, ia mengkritik keras aliran dan tipe pemujaan berbeda.[151][152] Ia menganggap sutra itu sebagai prediksi atas misi dari pergerakannya,[153][154] Nichiren yakin bahwa melalui bakti terhadap sutra itu maka Tanah Murni di bumi bisa direalisasikan, sebuah tanah yang merupakan penggambaran dari pencerahan ideal dalam aliran Māhayāna.[155][156] Ia mengajarkan bahwa pemujaan kepada sutra ini akan menuntun seorang praktisi bermanunggal dengan Buddha primordial, ia menyakini bahwa Buddha Primordial merupakan manifestasi dari semua Buddha.[146] Nichiren menyatakan bahwa melalui pelantunan judul sutra itu hanya berlandaskan "keyakinan" saja.[157] Walaupun memiliki kekuatan bakti kuat kepada Sutra Teratai, Nichiren tidak begitu menekankan pada studi atas sutra itu, ia percaya bahwa hanya melafalkan judul sutra itu saja merupakan cara praktik paling efektif bagi banya orang yang hidup di "masa kemunduran".[158] (Lihat § Buddhisme Tanah Murni, di bawah.)

Saat ini, lebih dari empat puluh organisasi meneruskan tradisi Nichiren, beberapa diantaranya adalah organisasi awam.[159]

Aliran Tanah Murni

[sunting | sunting sumber]
Buddha Amitābha

Tampaknya sutra dari aliran "Tanah Murni" yang menjadi keyakinan dan bakti menjadi hal paling penting tertinggi dalam konteks soteriologi. Ketika bakti kepada emanasi para Buddha di tanah murni mulai berkembang dalam Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'Setra Buddha' Sanskerta: buddha-kṣetra), atau Tanah-Tanah Murni (Sanskerta: sukhāwatī).[110] Dalam Aliran Tanah Murni, ini adalah keyakinan seseorang dalam welas kasih dari Buddha Amitābha,[160] didukung dengan kombinasi permintaan tulus untuk memasuki Tanah Murni-Nya yang dijelaskan bahwa akan merealisasi pembebasan di sana. Aliran Tanah Murni tersebut mempersiapkan para penganutnya untuk merealisasi pencerahan dan Nirwana.[161][162] Aliran Tanah Murni memiliki beberapa perbedaan dengan Buddhisme pada umumnya pada masa itu, yang mana pada zaman itu pada umumnya Buddhisme mengandalkan upaya pribadi dan teknik pengendalian diri.[163]

Penganut Mahāyāna menganggap Amitābha (Sanskerta, 'terang tanpa batas') sebagai salah satu emanasi Buddha.[110][164] Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang berpraktik di bawah bimbingan seorang Buddha pada masa sebelumnya, berkomitmen untuk menciptakan sebuah area melalui kekuatan spiritualnya. Melalui area ideal tersebut, Amitabha akan dengan mudah menuntun banyak makhluk merealisasikan pencerahan final.[165] Dengan demikian Ia bertekad seketika mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha, melalui penjapaan namanya saja akan cukup untuk terlahir ke Tanah Murni itu.[166] Praktik bakti kepada Amitabha tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, dan Tibet, yang mana tradisi ini awalnya berkembang di India pada permulaan Era Masehi.[164][167] Inti dari Aliran Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Kemunduran Dharma (Tionghoa: mofa, Jepang: mappō), tahap akhir dari periode Buddha saat ini.[161][162] Umat Buddha penganut Aliran Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, kemampuan rata-rata orang sangat terbatas dalam meraih pembebasan. Mereka perlu mengandalkan kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk mencapai pembebasan, dan menunda perealisasian Nirwana pada kehidupan lain (yaitu merealisasi Nirwana pada kelahiran kembali ke Tanah Murni).[161][162] Kepercayaan serupa ini terjadi barangkali disebabkan oleh kekerasan, konflik sipil, kelaparan, kebakaran dan kehancuran institusi monastik.[168] Namun, gagasan tentang mengandalkan kekuatan ekstenal bisa saja juga merupakan konsekuensi dari ajaran Mahāyāna tentang hakikat Buddha, yang mana konsep tersebut membedakan antara yang belum tercerahkan dan pencapaian Buddha yang lebih tinggi.[169]

Lukisan pendeta dan penulis Tionghoa Shandao

Aliran Tanah Murni berdiri sebagai sebuah institusi oleh Master Huiyuan (334–416 Masehi) di Gunung Lu dengan pendirian Sekte Teratai Putih.[118] Shandao (613–681) mulai menekankan pada penjapaan mantra-mantra untuk menyanjung Buddha Amitābha (Tionghoa: nianfo; Jepang: nembutsu), dipadukan dengan beberapa praktik lainnya.[170][135] Tampaknya sejak awal, aliran ini sudah menimbulkan paradoks dalam keyakinan terhadap Tanah Murni, dua gagasan itu dibabarkan secara simultan: di satu sisi, para master dari aliran Tanah Murni mengajarkan bahwa para bodhisatwa yang menciptakan Tanah Murni-nya sendiri merupakan contoh dari upaya mereka sendiri dalam menggunakan jasa kebajikan sebagai energi untuk menciptakan Tanah Murni, menginspirasi pengikutnya untuk meneladani contoh itu. Di sisi lain, para praktisi diajarkan hanya perlu membangkitkan bakti kepada para Buddha di Tanah Murni, utamanya Amitābha, yang akan datang menyelamatkan mereka, gagasan inilah yang banyak diikuti.[171] Gagasan yang kedua yang berhasil menyebar di Jepang. Ternyata di Jepang juga banyak perdebatan besar tentang penekanan seperti apa yang diberikan kepada upaya-upaya aktif dari penganut di satu sisi, dan sikap pasif terhadap Buddha Amitābha dan tekadnya di sisi lain.[172][173][note 4]

Aliran Tanah Murni sekarang masih menjadi salah satu aliran paling populer di Asia Timur, dan dipraktikkan oleh sebagian besar biksu Asia Timur.[175][176][177] Pada 1990an, generasi lama dari masyarakat Tiongkok masih memakai mantra Amitābha dalam salam sehari-hari.[178]

Cendekiawan aliran Tendai, Master Genshin (942–1017), pendeta Tendai Hōnen (1133–1212) dan muridnya, Shinran (1173–1262) menerapkan ajaran Shandao di Jepang, membentuk aliran Tanah Murni sebagai aliran terpisah untuk pertama kalinya.[179][180][168] Mereka meyakini dan mengajarkan bahwa mendatas ulang nembutsu dengan penuh kewawasan (mindfully) akan mendorong seseorang masuk ke Tanah Murni Barat.[181][182] Meskipun Hōnen awalnya menyatakan bahwa menjapa mantra itu berulang-ulang akan membuat keselamatannya semakin pasti, Kemudian Shinran menyatakan bahkan hanya satu kalimat saja sudah cukup bisa menyelamatkan seseorang (Jepang: ichinengi).[note 5] Repetisi berikutnya akan menjadi ekspresi penghormatan kepada Buddha Amitābha, yang juga dilakukan untuk rutinitas dan praktik spiritual lainnya. Pengertian mendalam tentang ajaran Buddha, menerapkan etika dan meditasi tidak dibutuhkan, demikian kesimpulan Shinran,[184][185] kadang praktik sejenis meditasi dianggap kontraproduktif dengan praktik mengandalkan Buddha Amitābha.[186]

Konsep keyakinan yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:[187] mula-mula, kepercayaan tulus pada sosok Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam atas tekad Buddha Amitābha, dan menyadari bahwa kemampuan diri sendiri yang masih lemah, dan terakhir, keinginan kuat untuk mendedikasikan tumpukan kebajikan dari berbuat kebajikan agar bisa terlahir ke Tanah Murni yang merupakan tempat Amitābha Buddha bersemayam. Tiga kepercayaan itu juga dikenal sebagai 'hati tanpa bentuk' (Jepang: isshin).[188][189] Lebih jauh lagi, Shinran mengajarkan bahwa dengan membangkitkan keyakinan penuh seperti itu membuat seseorang setara dengan Maitreya (Buddha akan datang), karena sudah bisa dipastikan bahwa pencerahan yang akan mereka cara sudah tidak bisa mundur lagi.[190][191]

Shinran menganut ajaran Hōnen sampai titik ekstrem: dia yakin bahwa dirinya akan jatuh ke dalam neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, bakti dan kepercayaan akan tekadnya Buddha Amitābha adalah jalan tunggal menuju pembebasan.[192][193] Walaupun Hōnen juga pada umumnya menitikberatkan praktik bakti kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara eksklusif berlebihan: sementara itu, Shinran hanya mengajarkan bakti tunggal kepada Buddha Amitābha.[194] Kemudian, Buddhisme Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik tertentu, kontras dengan beberapa praktik aliran Tendai. Karakteristik Buddhisme di Jepang pada periode tersebut merupakan kondisi selektif dari keyakinan: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk Buddhisme yang merupakan jalan yang benar; bentuk Buddhisme lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Kemunduran Dharma. (Kelanjutan dari 'selektif Buddhisme', Jepang:senchaku bukkyō, juga berdampak pada aliran Nichiren.[195][196]) Ketiga, walaupun pada perkembangan awal Buddhisme menitikberatkan pada pelepasan sang aku yang tidak nyata melalui mempraktikkan Dharma, pada aliran Tanah Murni berikutnya diperdalam lagi melalui pernyataan bahwa setiap manusia perlu meletakkan semua "kekuatan diri" dan mengizinkan kekuatan penyembuhan Amitābha agar mereka bisa mencapai pembebasan.[197][198] Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma. Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa keyakinan dapat dibangun dengan praktik nembutsu, Shinran menyatakan bahwa keyakinan dibutuhkan sebagai kebutuhan awal, dan tak dapat dibangun melalui praktik.[199] Karakteristik keempat dari gerakan tersebut adalah hakikat demokratisnya:[168][179] dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "keselamatan pendosa" dari agama Kristen.[200][note 6]

Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai sebuah aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa ada beberapa monastik Honen bertindak tak pantas, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.[202][203][204] Saat Shinran mulai mengajarkan tentang ketidaksetujuannya terhadap praktik selibat, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.[202][205] Selain Shinran, para pendeta lain yang menunjung keyakinan dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka sering kali tak diterima otoritas aristokrat yang berkuasa.[173]

Pada abad ke-15, Rennyo (1415–99), seorang murid dari Shinran, pendiri kedua dari aliran Jōdo Shinshu pimpinan Shinran, berniat untuk mereformasi aliran tersebut. Ia menentang gagasan Shinran bahwa moralitas tak dibutuhkan untuk memasuki Tanah Murni dan bertemu dengan Buddha Amitābha. Ia meyakini bahwa moralitas harus bergandengan tangan dengan keyakinan, dan merupakan cara untuk mengekspresikan rasa terima kasih mendalam kepada Amitābha.[206][207] Jōdo Shinshu masih menjadi sekte Buddha terbesar dan paling populer di Jepang pada saat ini,[208][209][210] yang hadir sebagai tradisi Nishi Hongwanji dan Higashi Hongwanji.[211][212]

Aliran Zen

[sunting | sunting sumber]
Lukisan Dōgen, seorang guru Zen Jepang

Seperti Jōdo Shinshu, beberapa aliran Zen bermunculan sebagai reaksi atas aliran Tendai. Sebagaimana aliran Tanah Murni, keyakinan juga memainkan peran dalam aliran tersebut, terutama dalam Sōtō Zen. Bentuk Zen tersebut, yang juga disebut sebagai "Zen petani" karena popularitasnya di kalangan pertanian, dikembangkan oleh Dōgen (1200–53). Selain berfokus pada praktik meditasi yang umum dalam aliran Zen, Dōgen memimpin kebangkitan peminatan dalam kajian sūtra-sūtra, apa pun yang ia ajarkan akan menginspirasi pemahaman yang berlandaskan keyakinan. Terinspirasi oleh aliran Chan dari Tiongkok, Dōgen berniat kembali ke kehidupan yang sederhana seperti teladan yang dilakoni oleh Buddha dalam sūtra-sūtra. Ia juga meyakini bahwa meditasi duduk bukanlah satu-satunya jalan menuju pencerahan, tetapi juga cara untuk mewujudkan hakikat Buddha dari internal. Para Praktisi harus memiliki keyakinan bahwa hakikat Buddha sudah ada dalam masing-masing orang, berdasarkan pada yang diajarkan oleh Dōgen meskipun dia tidak meyakininya bahwa hakikat Buddha sebagai jiwa yang kekal.[213] Dōgen meyakini bahwa pencerahan itu memungkinkan dalam kehidupan ini—bahkan kehidupan sekuler—dan ia tak meyakini gagasan Zaman Kemerosotan Dharma.[214]

Awalokiteśwara

[sunting | sunting sumber]
Patung Awalokiteśwara, dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar

Dalam Buddhisme yang menyebar di Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan Bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, tetapi ia dihormati karena sifat welas asihnya di beberapa negara, seperti Tiongkok, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.[215][216]

Teks yang disebut Sūtra Awalokiteśwara menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan penuh keyakinan, memenuhi berbagai jenis harapan, dan membangkitkan sifat welas asih Buddha setiap orang.[217][218] Awalokiteśwara berkaitan erat dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini berada di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan mereka yang menyebut nama Buddha Amitābha.[219][220] Berfokus pada manfaat keduniawian dan keselamatan, bakti kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, terdapat satu bab tentang Awalokiteśwara,[146][220][221] serta melalui sūtra-sūtra Kesempurnaan Kebijaksanaan.[222] Para pengikut Awalokiteśwara sering kali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai Guanyin di Tiongkok, bermula dari sebuah asosiasi dengan Istadewata Tārā.[217][218][223] Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam Buddhisme, dan Guanyin juga dipuja oleh penganut Taoisme.[224]

Perkembangan sejarah lain

[sunting | sunting sumber]

Dewa-dewi

[sunting | sunting sumber]

Dalam Buddhisme, para Buddha dan makhluk tercerahkan merupakan fokus utama penghormatan, berbeda dengan dewa-dewi dalam agama lain. Walaupun demikian, Buddhisme juga mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan makhluk tercerahkan telah terbebas dari samsara (siklus kelahiran dan kematian) oleh karena itulah dianggap berbeda dengan dewa-dewi. Hal demikian bukan berarti para dewa-dewi tidak eksis dalam Buddhisme. Namun, pemujaan para dewa-dewi sering dikaitkan dengan ketakhayulan atau bentuk upaya mahir dalam membimbing mereka yang belum tercerahkan agar memiliki kehidupan lebih baik, dan tak lebih dari itu.[225]

Dalam sejarah penyebaran Buddhisme, hubungan antara Buddhisme dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, tetapi umat Buddha sering kali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan kurang menaruh perhatian kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji Buddhisme, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddhis dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddhis memandang hal tersebut sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari dewa-dewi tersebut dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung Buddha. Ketika para guru besar Buddhis mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, kosmologi Buddhis mulai berkembang.[226][227] Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan kacau berantakan, karena bertolak belakang dengan prinsip Buddhisme dan para praktisinya—ini mendekati kebenaran, karena para misionaris Buddhis sering kali berasal dari budaya tanpa kekerasan dan lebih tertata rapi. Dengan demikian, dewa-dewi seperti ular (nāga), dewa-dewi mirip burung dan makhluk halus jahat yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddhis menjadi pelindung ajaran Buddha.[228] Proses adopsi para dewa-dewi menjadi bagian dari Buddhisme tampaknya terjadi ketika pada umat Buddha atau para biksu tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan terdahulunya ketika memeluk Buddhisme.[229] Ada suatu masa ketika Buddhisme harus bersaingan dengan pemujaan nāga, kejadian itu masih bisa ditemukan dalam kitab Pali dan beberapa budaya tradisional masyarakat Buddhis, tidak heran jika pemujaan itu diadopsi ke dalam Buddhisme.[230]

Di beberapa negara buddhis seperti Jepang, muncul beberapa perspektif tentang manusia di muka bumi ini merupakan mikrokosmos dari makrokosmik ranah para Buddha. Hal demikian mengizinkan tolerasi lebih lebar bagi tradisi lokal dan kepercayaan leluhur, yang mana tradisi tersebut berkaitan dengan makrokosmos tersebut, oleh karena itulah dianggap bagian dari Buddhisme.[130] Semua perkembangan tersebut membuat Buddhisme memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem keyakinannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran yang merupakan bawahan dari Buddha.[231][232] Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi Shinto yang dikenal dengan kami, meskipun aliran tersebut tak mengizinkan pemujaan tersebut.[233] Lebih jauh lagi, banyak ritual di beberapa negara Buddhis dari masa pra-Buddhis juga mendapat tugas selain biksu. Tugas khusus tersebut biasanya dilakukan oleh umat awam, mereka yang menunaikan fungsi tersebut disampaing menunaikan tugas sebagai umat perumah tangga.[234][67]

Buddhisme tak hanya memasukkan dewa-dewi ke dalam agama, tetapi juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para bodhisatwa, pemujaan relik dan hagiografi para guru Buddhis adalah cara dari Buddhisme untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddhis dan kepercayaan animistik, dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddhis. Gerakan-gerakan Buddhis Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik sejenis itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddhis juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti aliran Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.[235]

Milenarianisme

[sunting | sunting sumber]

Buddhisme adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.[236] Dalam beberapa tradisi Buddhis ada konsep periode waktu dunia akan berakhir. Konsep figur milenarian yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik tersebar dalam beberapa tradisi Buddhis. Dalam Buddhisme, perkembangan dan keruntuhan dunia ini diyakini terjadi dalam siklus-siklus, dan periode kehancuran diyakini berakhir dengan kebangkitan cakrawartin dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Bakti kepada figur Buddha mesianik semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddhis.[237] Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika daripada keyakinan", menurut ilmuwan politik, William Miles.[238]

Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan berakhirnya dunia ini dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni Maitreya. Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, tetapi Maitreya banyak disebutkan dalam tradisi-tradisi Sanskerta yang berkembang belakangan seperti Mahāsāṃghika. Tiongkok, Myanmar, dan Thailand, menghormati Maitreya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk mengantarkan mereka ke era kebahagiaan yang baru.[237][239] Dari abad ke-14, sektarianisme Teratai Putih berkembang di Tiongkok, yang mencakup keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.[240] Para penganut sekte Teratai Putih mempercayai bahwa keyakinan mereka akan ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka ketika era dunia baru.[241] Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten dan selamat sepanjang jalan menuju abad ke-19, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad ke-19 tak menjadi abad pertama yang mana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, keyakinan dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya sering kali menyulut pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.[242][243] Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.[236] Meskipun demikian, keyakinan akan kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, tetapi "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.[244]

Di Jepang, tren-tren milenarian dapat ditemukan dalam gagasan Zaman Kemerosotan Dharma yang banyak berpengaruh dalam aliran Nichiren. Namun, bentuk-bentuk milenarianisme yang lebih kokoh berkembang dari abad ke-19, dengan kebangkitan agama-agama baru.[245]

Perkembangan modern

[sunting | sunting sumber]

Modernisme Buddhis

[sunting | sunting sumber]

Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran Buddhisme tidak terlalu menekankan pada sisi keyakinan dalam praktik,[246] peran keyakinan benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad ke-18, Abad Pencerahan, para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, berseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad ke-19, pandangan tentang agama tersebut menunjukkan bagaimana dunia Barat merespons Buddhisme. Para penulis Barat seperti Edwin Arnold mulai menghadirkan Buddhisme sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan serupa.[247] Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad ke-19, Buddhisme di Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai "modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan", masyarakat Barat dan Sri Lanka bersama-sama yang berasal dari didikan Inggris mengadvokasikan Buddhisme sebagai filsafat rasional, bebas dari keyakinan dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.[248][249][250] Mereka memandang praktik tradisional seperti pemujaan relik dan kegiatan bakti lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari Buddhisme,[251][252] sementara itu mengasimilasikan nilai-nilai Victorian dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, sering kali tidak mengetahui dari mana asal-usulnya tradisi itu.[253]

Daisetsu Teitarō Suzuki, difoto oleh Shigeru Tamura

Di Jepang, dari zaman Meiji, Jepang sangat menyerang Buddhisme sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "agam Buddha Baru" (Jepang: shin bukkyo), yang mengedepankan rasionalisme, modernisme, dan gagasan keprajuritan.[254] Masih di Buddhisme Jepang, pada abad ke-20, tanggapan kritikal terhadap Buddhisme tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut Buddhisme Kritikal. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan Buddhisme Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang mendukung perkembangan masyarakat. Namun, cendekiawan kajian Asia Timur Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan Buddhisme murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.[255][256] Cendekiawan lainnya juga menyatakan argumen serupa. Buddhisme Kritikal mengkritik bahwa kepercayaan membabi buta dan kepercayaan akan hakikat Buddha, namun tidak ada tempat bagi keyakinan: Keyakinan buddhis sebagaimana yang dinyatakan oleh Noriaki adalah kapasitas kritital tanpa kompromi untuk membedakan antara Buddhisme benar dan yang keliru, dan komitmen pada Buddhisme yang benar. Noriaki mengontraskan keyakinan dengan gagasan harmoni Jepang (wa), yang ia percaya bisa saling bergandengan tangan dengan penerimaan non kritikal dari ideal non Buddhis, termasuk kekerasan..[257][258]

Walaupun tren modernisasi di Asia semakin merebak, para cendekiawan juga menemukan bahwa rasionalisme dan kemunculan kembali ajaran dan praktik religius pra modern semakin menurun. Dari tahun 1980an dan setelah itu, mereka juga menemukan bahwa Buddhisme Sri Lanka yaitu sisi bakti religius, praktik magis, memuja dewa-dewi demikian juga kebingungan moralitas telah merebak kemana-mana, sebagai efek dari Buddhisme Protestan menjadi semakin lemah. Richard Gombrich dan antropolog Gananath Obeyesekere telah menyebutkan istilah Buddhisme pasca-protestan untuk mendeskripsikan tren tersebut.[259][260][261]

Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat

[sunting | sunting sumber]
Bhikkhu Bodhi
Bhikkhu Bodhi

Melalui penyebaran Buddhisme di dunia Barat pada abad ke-20, praktik-praktik kebaktian masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, namun tidak begitu berperan dalam komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddhis juga terasa di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang dipimpin oleh awam sering kali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa ada kaitan dengan bakti. Para penulis seperti D. T. Suzuki mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.[262][note 7] Dengan demikian, di dunia Barat, meditasi Buddhis sekuler lebih diutamakan ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan tanpa ada kaitan dengan keyakinan atau bakti.[263][264] Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari Buddhisme banyak diutamakan di dunia Barat, karena Buddhisme sering kali dibandingkan dengan agama Kristen.[265] Pengarang dan guru Buddhis Stephen Batchelor berupaya mendorong bentuk Buddhisme yang ia yakini adalah Buddhisme asli, Buddhisme kuno, sebelum Buddhisme menjadi "terlembagakan sebagai agama".[266]

Berseberangan dengan tipikal tren modernis, beberapa komunitas Buddhis barat juga tampak menunjukkan komitmen besar kepada praktik dan keyakinan mereka, dan untuk itu, akal budi menjadi lebih relijius tradisional ketimbang kebanyakan bentuk spiritualitas Zaman Baru.[267] Lebih jauh lagi, ada beberapa guru Buddhis telah menyuarakan ketidaksetujuan atas interpretasi Buddhisme yang menafikan keyakinan dan bakti, termasuk penerjemah dan biarawan, Biksu Bodhi. Biksu Bodhi menyatakan bahwa banyak kalangan barat yang keliru dalam memahami Kalāma Sutta (Lihat § Verifikasi, di atas), sebagaimana Buddhisme mengajarkan bahwa keyakinan dan pembuktian secara personal seharusnya berjalan bersamaan, lalu keyakinana tidak seharusnya dicampakkan.[268]

Di penghujung abad ke-20 muncul keadaan unik berkaitan dengan Buddhisme di dunia barat: Untuk pertama kali sejak Buddhisme meninggalkan India, sejak itu banyak tradisi Buddhis bisa berkomunikasi dengan satu bahasa. Hal ini meningkatkan eklestisisme antar tradisi berbeda.[269] Lebih jauh lagi, saat penelitian saintifik semakin maju dalam menelaah metode meditasi, para penulis Buddhis terkenal juga merujuk pada bukti-bukti saintifik untuk membuktikan apakah praktik Buddhis sungguh efektif atau tidak, daripada sekadar merujuk pada naskah kitab suci atau otoritas monastik.[270]

Nawayāna

[sunting | sunting sumber]

Pada 1956, Dalit (kaum tak berkasta) India dan tokoh ikonik Ambedkar (1891–1956) memimpin perpindahan agama massal ke Buddhisme, memulai gerakan Buddha baru (Nawayāna). Gerakan baru tersebut berujung pada serangkaian perpindahan agama massal, beberapa diantaranya mencapai lebih dari 500,000 orang yang berpindah agama. Dalit yang terpinggirkan akibat sistem kasta India mengambil perlindungan dalam Buddhisme sebagai jalan keluar. Pada 2010an, insiden kekerasan yang dialami para dalit membuat kebangkitan perpindahan agama massal di Gujarat dan negara bagian lainnya. Beberapa orang yang berpindah agama menyatakan bahwa perpindahan agama adalah adalah pilihan politik untuk mereorganisasikan diri mereka sendiri, karena perpindahan agama dapat membantu mereka tak lagi terklasifikasi oleh sistem kasta Hindu.[271]

Para cendekiawan mendeskripsikan sudut pandang Ambedkar tentang Buddhisme sebagai sekuler dan modernis ketimbang relijius, karena ia mengedepankan aspek-aspek ateis dari Buddhisme dan rasionalitas, dan menyangkal hierarki dan soteriologi Hindu.[272][273] Para cendekiawan lainnya menyatakan bahwwa gerakan Ambedkarisme merupakan bentuk kritis terhadap pandangan tradisional, Ambedkar menginterpretasikan ulang tentang berbagai konsep tradisi Hindu daripada menyangkal semuanya. Secara spesifik, cendekiawan Gauri Vishwanathan [de] menyatakan bahwa perpindahan agama Dalit oleh Ambedkar memberikan keyakinan yang lebih sentral, lebih berperan ketimbang sebelumnya. Namun, peneliti lintas budaya Ganguly Debjani menekankan unsur-unsur keagamaan dalam deskripsi Ambedkar tentang kehidupan dan ajaran Buddha, dan menyatakan bahwa Ambedkar mendeifikasi Buddha sebagai "fondasi rasionalitas". Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Buddha dan Ambedkar dihargai oleh para pengikutnya melalui praktik kebaktian tradisional (Sanskerta: bhakti), seperti pengisahan cerita, lagu dan syair, perayaan dan gambar, meskipun Ambedkar menolak praktik semacam itu.[274][275]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, śraddhā dalam Weda diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".[16]
  2. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh Soma Thera
  3. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di: Bhikkhu, Thanissaro. "Canki Sutta: With Canki". Diakses tanggal 2017-05-26. 
  4. ^ Cendekiawan kajian agama Allan A. Andrews menekankan bahwa selain penganut aliran utama Buddha Tanah Murni, aliran-aliran berorientasi monastik juga berdiri. Ini menempatkan visualisasi ketimbang pengutipan kembali nama Buddha Amitābha, dan mendorong pencerahan dalam kehidupan saat ini ketimbang mendatangi Tanah Murni setelah kematian.[174]
  5. ^ Meskipun demikian, dalam beberapa teks, Shinran berpendapat bahwa beberapa kali nembutsu dikutip ulang, entah sekali atau beberapa kali, tak memberikan jawaban lengkap untuk pertanyaan keselamatan.[183]
  6. ^ Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada periode Kamakura, dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.[201]
  7. ^ Pada kenyataannya, D. T. Suzuki membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa Zen tak dapat terpisahkan dari Buddhisme.[262]
  1. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  2. ^ a b Kheminda, Ashin (2020-02-01). KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94011-0-8. 
  3. ^ a b Wichian, Phurapha Phramaha (2016). "An investigation of the concept of Saddhā in Theravāda Buddhism and its significance in the modern world" (PDF). International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS). Ph.D. scholar, Centre for Buddhist studies, University of Hyderabad, Hyderabad, India. II (III): 17–20. ISSN 2394-7969. 
  4. ^ a b Medhācitto, Tri Saputra (2022). Aspek Sosiologi dalam Sigālovāda Sutta (PDF). Semarang: Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra. hlm. 46–48. ISBN 978-602-53319-9-2. 
  5. ^ a b Payutto, P. A. (2007). The Buddhist's Tenets: A Starting Point and a Unifying Point—A Convergence for Success and Prosperity (PDF). Nakhon Pathom: Wat Nyanavesakavan. hlm. 10–11. ISBN 9749414381. 
  6. ^ a b c d e f g Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  7. ^ a b c d Gómez 2004b, hlm. 277.
  8. ^ a b c d e f Buswell & Lopez 2013, Śraddhā.
  9. ^ Kinnard 2004, hlm. 907.
  10. ^ Melton 2010, hlm. 2392.
  11. ^ a b c Nakamura 1997, hlm. 392.
  12. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388–9.
  13. ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda, Pañcabala, Śraddhā.
  14. ^ Conze 2003, hlm. 14.
  15. ^ Buswell & Lopez 2013, Āśraddhya.
  16. ^ Rotman 2008, Footnotes n.23.
  17. ^ a b Park 1983, hlm. 15.
  18. ^ a b Gómez 2004b, hlm. 278.
  19. ^ Findly 2003, hlm. 200.
  20. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing, Getting and Giving.
  21. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin.
  22. ^ a b Conze 2003, hlm. 78.
  23. ^ a b c Findly 2003, hlm. 203.
  24. ^ Barua 1931, hlm. 332–3.
  25. ^ Findly 2003, hlm. 205–6.
  26. ^ a b Barua 1931, hlm. 333.
  27. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 35.
  28. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 601.
  29. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 384–5.
  30. ^ De Silva 2002, hlm. 214.
  31. ^ Gombrich 1995, hlm. 69–70.
  32. ^ Bishop 2016.
  33. ^ Gombrich 1995, hlm. 71.
  34. ^ Findly 1992, hlm. 258.
  35. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 277.
  36. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 74–5.
  37. ^ a b Werner 2013, hlm. 45.
  38. ^ a b c d De Silva 2002, hlm. 216.
  39. ^ Barua 1931, hlm. 332.
  40. ^ Giustarini 2006, hlm. 162.
  41. ^ Lamotte 1988, hlm. 81.
  42. ^ Trainor 1989, hlm. 185–6.
  43. ^ Harvey 2013a, hlm. 31, 49.
  44. ^ Thomas 1953, hlm. 258.
  45. ^ a b c Jayatilleke 1963, hlm. 384.
  46. ^ a b c Harvey 2013b, hlm. 246.
  47. ^ Tremblay 2007, hlm. 87.
  48. ^ Lamotte 1988, hlm. 247.
  49. ^ a b c d e De Silva 2002, hlm. 215.
  50. ^ Thomas 1953, hlm. 56, 117.
  51. ^ Findly 2003, hlm. 200, 202.
  52. ^ a b Findly 2003, hlm. 202.
  53. ^ Lamotte 1988, hlm. 74.
  54. ^ Harvey 2013b, hlm. 85, 237.
  55. ^ De Silva 2002.
  56. ^ De Silva 2002, hlm. 214–5.
  57. ^ Ergardt 1977, hlm. 1.
  58. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 383.
  59. ^ Findly 2003, hlm. 201.
  60. ^ Gombrich 2006a, hlm. 119–22.
  61. ^ Gombrich 2009, hlm. 199.
  62. ^ Gombrich 2006a, hlm. 120–22.
  63. ^ Gombrich 2009, hlm. 200.
  64. ^ a b Wijayaratna 1990, hlm. 130–1.
  65. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Kuladūșaka.
  66. ^ Harvey 2013b, hlm. 245.
  67. ^ a b c Kariyawasam 1995.
  68. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 43.
  69. ^ Buswell & Lopez 2013, Paramatthasaṅgha.
  70. ^ Werner 2013, hlm. 39.
  71. ^ Irons 2008, hlm. 403.
  72. ^ "SuttaCentral: Saraṇattaya". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-22. 
  73. ^ "The Threefold Refuge: tisarana". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  74. ^ "Refuge in the Buddha". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  75. ^ Suvimalee 2005, hlm. 604.
  76. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 390.
  77. ^ a b c Fuller 2004, hlm. 36.
  78. ^ a b Blakkarly 2014.
  79. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 603.
  80. ^ a b Kalupahana 1976, hlm. 27–8.
  81. ^ Kalupahana 1976, hlm. 27–9.
  82. ^ a b Holder 2013, hlm. 225–6.
  83. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 169–71.
  84. ^ a b c De Silva 2002, hlm. 215–6.
  85. ^ a b Jayatilleke 1963, hlm. 390–3.
  86. ^ Hoffmann 1987, hlm. 409.
  87. ^ Holder 2013, hlm. 227.
  88. ^ Werner 2013, hlm. 43–4.
  89. ^ Tuladhar-Douglas 2005, hlm. 7496.
  90. ^ Suvimalee 2005, hlm. 602–3.
  91. ^ De Silva 2002, hlm. 214, 216.
  92. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 31.
  93. ^ a b Trainor 1989, hlm. 187.
  94. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 297.
  95. ^ Suvimalee 2005, hlm. 601–2.
  96. ^ De Silva 2002, hlm. 217.
  97. ^ Findly 1992, hlm. 265.
  98. ^ Harvey 2013b, hlm. 237.
  99. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 396–7.
  100. ^ Barua 1931, hlm. 336.
  101. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 49–50.
  102. ^ Hoffmann 1987, hlm. 405, 409.
  103. ^ Findly 1992, hlm. 268–9.
  104. ^ Harvey 2013b, hlm. 28.
  105. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388.
  106. ^ Werner 2013, hlm. 47.
  107. ^ Harvey 2013b, hlm. 103.
  108. ^ Swearer 2010, hlm. 77.
  109. ^ Harvey 2013b, hlm. 103, 105.
  110. ^ a b c Smart 1997, hlm. 282.
  111. ^ Spiro 1982, hlm. 34 n.6.
  112. ^ Spiro 1982, hlm. 15m1.
  113. ^ Harvey 2013b, hlm. 172.
  114. ^ Leaman 2000, hlm. 212.
  115. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1064.
  116. ^ Conze 2003, hlm. 154.
  117. ^ Getz 2004, hlm. 699.
  118. ^ a b c Barber 2004, hlm. 707.
  119. ^ Smart 1997, hlm. 283–4.
  120. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1067.
  121. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1078–9.
  122. ^ a b c Harvey 2013b, hlm. 175.
  123. ^ a b Leaman 2000, hlm. 215.
  124. ^ Conze 2003, hlm. 150.
  125. ^ Higham 2004, hlm. 210.
  126. ^ Derris 2005, hlm. 1084.
  127. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 389–90.
  128. ^ Murti 1955, hlm. 6.
  129. ^ Kiyota 1985, hlm. 222.
  130. ^ a b c Bielefeldt 2004, hlm. 390.
  131. ^ Buswell & Lopez 2013, Sanyao, Zongmen huomen.
  132. ^ Powers 2013, dai funshi ("great resolve").
  133. ^ Gómez 2004b, hlm. 279.
  134. ^ Buswell & Lopez 2013, Xinxin.
  135. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 255.
  136. ^ Dobbins 2002, hlm. 29.
  137. ^ Bloom 1987, hlm. 8355.
  138. ^ Schopen 2004, hlm. 496.
  139. ^ Derris 2005, hlm. 1085, 1087.
  140. ^ Shields 2013, hlm. 512.
  141. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514.
  142. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514–5.
  143. ^ Stone 2004a, hlm. 471, 474.
  144. ^ Buswell & Lopez 2013, Saddharmapuṇḍarīkasūtra.
  145. ^ Gummer 2005, hlm. 1262.
  146. ^ a b c Stone 2004a, hlm. 474.
  147. ^ Harvey 2013b, hlm. 227.
  148. ^ Stone 2004a, hlm. 475.
  149. ^ Stone 2004a, hlm. 475–6.
  150. ^ Shields 2013, hlm. 514, 519, 521.
  151. ^ Harvey 2013b, hlm. 233–4.
  152. ^ Araki 1987, hlm. 1244.
  153. ^ Stone 2004a, hlm. 476.
  154. ^ Irons 2008, hlm. 366.
  155. ^ Stone 2004a, hlm. 477.
  156. ^ Kotatsu 1987, hlm. 7502.
  157. ^ Stone 1998, hlm. 123.
  158. ^ Cabezón 2004, hlm. 757.
  159. ^ Stone 2004b, hlm. 595.
  160. ^ Green 2013, hlm. 122.
  161. ^ a b c Hsieh 2009, hlm. 236–7.
  162. ^ a b c Green 2013, hlm. 123.
  163. ^ Irons 2008, hlm. 394.
  164. ^ a b Gómez 2004a, hlm. 14.
  165. ^ Harvey 2013b, hlm. 173.
  166. ^ Buswell & Lopez 2013, Dharmākara.
  167. ^ Smart 1997, hlm. 284.
  168. ^ a b c Andrews 1987, hlm. 4119.
  169. ^ Williams 2008, hlm. 247.
  170. ^ Getz 2004, hlm. 701.
  171. ^ Getz 2004, hlm. 698–9.
  172. ^ Hirota 2016.
  173. ^ a b Dobbins 2002, hlm. 19.
  174. ^ Andrews 1993.
  175. ^ Hsieh 2009, hlm. 236.
  176. ^ Welch 1967, hlm. 396.
  177. ^ Hudson 2005, hlm. 1293.
  178. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 198.
  179. ^ a b Abe 1997, hlm. 689.
  180. ^ Barber 2004, hlm. 708.
  181. ^ Harvey 2013b, hlm. 229.
  182. ^ Green 2013, hlm. 121–3.
  183. ^ Buswell & Lopez 2013, Ichinengi.
  184. ^ Green 2013, hlm. 122–3.
  185. ^ Harvey 2013b, hlm. 230, 255.
  186. ^ Hudson 2005, hlm. 1294.
  187. ^ Williams 2008, hlm. 262.
  188. ^ Conze 2003, hlm. 158.
  189. ^ Dobbins 2002, hlm. 34–5.
  190. ^ Dobbins 2002, hlm. 42–3.
  191. ^ Williams 2008, hlm. 264.
  192. ^ Abe 1997, hlm. 692.
  193. ^ Porcu 2008, hlm. 17.
  194. ^ Irons 2008, hlm. 258.
  195. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 388–9.
  196. ^ Dobbins 2004a, hlm. 412.
  197. ^ Harvey 2013b, hlm. 230.
  198. ^ Conze 2003, hlm. 159.
  199. ^ Shōto 1987, hlm. 4934–5.
  200. ^ Harvey 2000, hlm. 143.
  201. ^ Dobbins 2004a, hlm. 414.
  202. ^ a b Abe 1997, hlm. 691–2.
  203. ^ Andrews 1987, hlm. 4120.
  204. ^ Buswell & Lopez 2013, namu Amidabutsu.
  205. ^ Dobbins 2004a, hlm. 413.
  206. ^ Harvey 2013b, hlm. 234.
  207. ^ Porcu 2008, hlm. 18.
  208. ^ Green 2013, hlm. 121.
  209. ^ Abe 1997, hlm. 694.
  210. ^ Shōto 1987, hlm. 4933.
  211. ^ Irons 2008, hlm. 268.
  212. ^ Buswell & Lopez 2013, Jodo Shinshu.
  213. ^ Harvey 2013b, hlm. 231–2.
  214. ^ Araki 1987, hlm. 1245.
  215. ^ Higham 2004, hlm. 29.
  216. ^ Birnbaum 1987, hlm. 704.
  217. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 250–1, 253.
  218. ^ a b Irons 2008, hlm. 98.
  219. ^ Gómez 2004a, hlm. 15.
  220. ^ a b Birnbaum 1987, hlm. 705.
  221. ^ Ford 2006, hlm. 90.
  222. ^ Powers 2013, Avalokiteśvara.
  223. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1079.
  224. ^ Irons 2010, hlm. 2721.
  225. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–6.
  226. ^ Glassman 2004.
  227. ^ Rambelli 2004, hlm. 466.
  228. ^ Rambelli 2004, hlm. 467.
  229. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1076.
  230. ^ Gombrich 2006b, hlm. 72-5.
  231. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–7.
  232. ^ Swearer 1987, hlm. 3154.
  233. ^ Dobbins 2002, hlm. 39, 58.
  234. ^ Rambelli 2004, hlm. 467–8.
  235. ^ Swearer 1987, hlm. 3155–6.
  236. ^ a b Landes 2000, hlm. 463.
  237. ^ a b DuBois 2004, hlm. 537–8.
  238. ^ Miles 2011, hlm. 647.
  239. ^ Lazich 2000, hlm. 66–7.
  240. ^ DuBois 2004, hlm. 537.
  241. ^ Naquin 1976, hlm. 13.
  242. ^ DuBois 2004, hlm. 537, 539.
  243. ^ Lazich 2000, hlm. 67–8.
  244. ^ Overmyer 2013, hlm. 83–4.
  245. ^ Reader 2000, hlm. 350-1.
  246. ^ Buswell & Lopez 2013, Baotang zong.
  247. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 302.
  248. ^ Baumann 1987, hlm. 1187.
  249. ^ Harvey 2013b, hlm. 378.
  250. ^ Gombrich 2006a, hlm. 196–7.
  251. ^ Trainor 1997, hlm. 19–20.
  252. ^ McMahan 2008, hlm. 65, 69.
  253. ^ Gombrich 2006a, hlm. 191–2.
  254. ^ Ahn 2004, hlm. 924.
  255. ^ Dennis 2005, hlm. 1250.
  256. ^ Gregory 1997.
  257. ^ Swanson 1993, hlm. 133–4.
  258. ^ Williams 2008, hlm. 324 n.61.
  259. ^ Harvey 2013b, hlm. 384.
  260. ^ Cousins 1997, hlm. 188.
  261. ^ Gombirch & 1990 415–7.
  262. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 303.
  263. ^ McMahan 2008, hlm. 5.
  264. ^ Harvey 2013b, hlm. 429, 444.
  265. ^ Baumann 1987, hlm. 1189.
  266. ^ McMahan 2008, hlm. 244.
  267. ^ Phillips 2005, hlm. 228.
  268. ^ McMahan 2008, hlm. 248.
  269. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 307.
  270. ^ Wilson 2018.
  271. ^ Dore 2016.
  272. ^ Ganguly 2006.
  273. ^ Contursi 1989, hlm. 448.
  274. ^ Ganguly 2006, hlm. 54–7, 59–60.
  275. ^ Gokhale-Tuerner 1980, hlm. 38-9.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]