Lompat ke isi

Tari Bedaya Ketawang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan 125.160.42.176 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh InternetArchiveBot
Tag: Pengembalian
Yan29ti (bicara | kontrib)
 
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3: Baris 3:


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.<ref name="b">[http://www.karatonsurakarta.com/Teks pranala]</ref> Suatu ketika, [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] yang memerintah [[Kesultanan Mataram]] dari tahun [[1613]]-[[1645]], sedang melakukan laku ritual ''semadi''.<ref name="f">[http://www.reocities.com/Teks pranala]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara ''tetembangan'' (senandung) dari arah ''tawang'' atau langit.<ref name="f"/> Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut.<ref name="f"/> Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.<ref name="f"/> Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.<ref name="f"/> Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama ''Bedhaya Ketawang''.<ref name="f"/> Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa dalam pertapaannya, [[Panembahan Senopati|Panembahan Senapati]] bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.<ref name="b"/>
Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.<ref name="b">{{Cite web |url=http://www.karatonsurakarta.com/Teks |title=pranala |access-date=2014-05-03 |archive-date=2020-06-07 |archive-url=https://web.archive.org/web/20200607121144/http://karatonsurakarta.com/Teks/ |dead-url=yes }}</ref> Suatu ketika, [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] yang memerintah [[Kesultanan Mataram]] dari tahun [[1613]]-[[1645]], sedang melakukan laku ritual ''semadi''.<ref name="f">[http://www.reocities.com/Teks pranala]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara ''tetembangan'' (senandung) dari arah ''tawang'' atau langit.<ref name="f"/> Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut.<ref name="f"/> Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.<ref name="f"/> Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.<ref name="f"/> Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama ''Bedhaya Ketawang''.<ref name="f"/> Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa dalam pertapaannya, [[Panembahan Senopati|Panembahan Senapati]] bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.<ref name="b"/>


Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]], [[Pakubuwana III]] bersama [[Hamengkubuwana I]] melakukan pembagian harta warisan [[Kesultanan Mataram]], yang sebagian menjadi milik [[Kasunanan Surakarta]] dan sebagian lainnya menjadi milik [[Kesultanan Yogyakarta]]. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta [[Sunan Surakarta]].
Setelah [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]], [[Pakubuwana III]] bersama [[Hamengkubuwana I]] melakukan pembagian harta warisan [[Kesultanan Mataram]], yang sebagian menjadi milik [[Kasunanan Surakarta]] dan sebagian lainnya menjadi milik [[Kesultanan Yogyakarta]]. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]], dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta [[Sunan Surakarta]].
Baris 12: Baris 12:
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi [[Suku Jawa|Jawa]], sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan [[dewa]] yang disebut dengan ''Nawasanga''. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya ''caos dhahar'' di [[Keraton Surakarta|Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta]]. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.<ref name="b"/> Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.<ref name="b"/>
Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi [[Suku Jawa|Jawa]], sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan [[dewa]] yang disebut dengan ''Nawasanga''. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya ''caos dhahar'' di [[Keraton Surakarta|Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta]]. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.<ref name="b"/> Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.<ref name="b"/>


Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.<ref name="a"/> Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya<ref name="b"/>:
Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.<ref name="a"/> Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya:<ref name="b"/>
* Penari pertama disebut ''Batak'' yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari pertama disebut ''Batak'' yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari kedua disebut ''Endhel Ajeg'' yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.<ref name="b"/><ref name="f"/>
* Penari kedua disebut ''Endhel Ajeg'' yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.<ref name="b"/><ref name="f"/>
Baris 23: Baris 23:
* Penari kesembilan disebut ''Buncit'' yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari kesembilan di sini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol ''tawang'' atau langit.
* Penari kesembilan disebut ''Buncit'' yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari kesembilan di sini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol ''tawang'' atau langit.


Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah ''dodot ageng'' atau disebut juga ''basahan'', yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan [[Suku Jawa|Jawa]]. Penari juga menggunakan ''gelung bokor mengkurep'', yaitu ''gelungan'' yang berukuran lebih besar daripada ''gelungan'' gaya [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]],<ref name="e">[http://www.anneahira.com/Teks pranala]</ref> serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas ''centhung'', ''garudha mungkur'', ''sisir jeram saajar'', ''cundhuk mentul'', dan ''tiba dhadha'' (rangkaian bunga melati yang dikenakan di ''gelungan'' yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]].
Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah ''dodot ageng'' atau disebut juga ''basahan'', yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan [[Suku Jawa|Jawa]]. Penari juga menggunakan ''gelung bokor mengkurep'', yaitu ''gelungan'' yang berukuran lebih besar daripada ''gelungan'' gaya [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]],<ref name="e">{{Cite web |url=http://www.anneahira.com/Teks |title=pranala |access-date=2014-05-05 |archive-date=2014-04-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140427165054/http://www.anneahira.com/Teks |dead-url=yes }}</ref> serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas ''centhung'', ''garudha mungkur'', ''sisir jeram saajar'', ''cundhuk mentul'', dan ''tiba dhadha'' (rangkaian bunga melati yang dikenakan di ''gelungan'' yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara [[Kanjeng Ratu Kidul|Kangjeng Ratu Kidul]] dengan raja-raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]].


Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman [[Pakubuwana X]] diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut ''Gending Ketawang Gedhe'' yang bernada ''pelog''. Perangkat [[gamelan]] yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu ''kethuk'', ''kenong'', ''kendhang'', ''gong'', dan ''kemanak'', yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, ''laras'' (nada) gending berganti menjadi nada ''slendro'' selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke ''laras'' ''pelog'' hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan ''tembang'' ''Durma'', selanjutnya berganti ke ''Retnamulya''. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke [[Keraton Surakarta|Dalem Ageng Prabasuyasa]], alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan ''rebab'', ''gender'', ''gambang'', dan ''suling''. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.<ref name="Seputar Bedhaya Ketawang">[http://www.karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks pranala]</ref>
Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman [[Pakubuwana X]] diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut ''Gending Ketawang Gedhe'' yang bernada ''pelog''. Perangkat [[gamelan]] yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu ''kethuk'', ''kenong'', ''kendhang'', ''gong'', dan ''kemanak'', yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, ''laras'' (nada) gending berganti menjadi nada ''slendro'' selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke ''laras'' ''pelog'' hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan ''tembang'' ''Durma'', selanjutnya berganti ke ''Retnamulya''. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke [[Keraton Surakarta|Dalem Ageng Prabasuyasa]], alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan ''rebab'', ''gender'', ''gambang'', dan ''suling''. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.<ref name="Seputar Bedhaya Ketawang">{{Cite web |url=http://www.karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks |title=pranala |access-date=2015-05-06 |archive-date=2020-06-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20200627031424/http://karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html/Teks/ |dead-url=yes }}</ref>

'''Makna Pola Lantai Tari Bedhaya'''

Sama halnya dengan tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang mempunyai pola lantai tersendiri. Pola lantai tarian ini menggunakan pola lantai ''gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga''. Pola lantai dalam tarian tersebut juga dikenal dengan nama ''rakit lajur'' yang menggambarkan lima unsur dalam diri diri manusia, yaitu cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.

Sebagai tarian yang sakral, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penarinya, yaitu kesembilan penari harus merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan ''caos dahar'' di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta. Hal tersebut dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Ketika latihan dimulai, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar.

'''Koreografi Tari Bedhaya Ketawang'''

Sebagaimana penjelasan dalam buku ''Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX'' yang disusun oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, koreografi tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh sinden dan musik gamelan. Selanjutnya, tarian itu disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arahan penguasa (putra mahkota) untuk acara-acara penting di istana.

Perhatian yang cermat mengenai koreografi dan iringan musik tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dari bentuk seni. Koreografi yang panjang dan kompleks, serta musik gamelan dan para sinden membutuhkan kekompakan permainan seniman yang perlu latihan secara teratur agar selaras satu sama lain. Pagelaran pertunjukan besar seperti itu awalnya memang hanya ada di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saja. Namun, pertunjukan tersebut mulai diadaptasi oleh pejabat tinggi di kadipaten seiring berjalannya waktu.

Tari Bedhaya Ketawang yang paling tua dan dianggap paling sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Tarian itulah yang kemudian menjadi tarian yang menginspirasi semua bentuk koreografi Bedhaya, baik di Surakarta maupun Yogyakarta. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga keraton, sehingga para mempelai membawa seniman ''pendherek'' yang menyertainya.

'''Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang'''

Dikutip dari buku yang sama karangan Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian ini mengisahkan tentang Ratu Kidul yang secara kebetulan bertemu dengan sultan di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Sultan Mataram dan Kanjeng Kidul saling tertarik satu sama lain.

Sultan kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka hidup bersama selama beberapa waktu, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.

Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul.

Pada akhirnya, Sultan Agung kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.


== Lihat Pula ==
== Lihat Pula ==
Baris 38: Baris 62:
== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* [https://www.youtube.com/watch?v=zlpoG5urKa4 Video tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta]
* [https://www.youtube.com/watch?v=zlpoG5urKa4 Video tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta]
* [https://www.youtube.com/watch?v=86UdyOCbZX4 Film dokumenter tari Bedhaya Ketawang produksi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tahun 2009]


{{DEFAULTSORT:Bedaya Ketawang}}
{{DEFAULTSORT:Bedaya Ketawang}}
{{Tarian di wilayah pulau Jawa|state=autocollapse}}

[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Kota Surakarta]]
[[Kategori:Kota Surakarta]]

Revisi terkini sejak 19 Maret 2024 05.33

Tari Bedhaya Ketawang saat dipertunjukkan di Sasana Sewaka, Keraton Surakarta.

Tari Bedaya Ketawang (Bahasa Jawa: Bedhaya Ketawang, ꦨꦼꦝꦪꦑꦼꦠꦮꦁ) adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana.[1][2] Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.[1] Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.[1]

Ada beberapa legenda yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.[2] Suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi.[3] Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tetembangan (senandung) dari arah tawang atau langit.[3] Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut.[3] Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.[3] Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka.[3] Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama Bedhaya Ketawang.[3] Menurut versi yang lain, dikisahkan pula bahwa dalam pertapaannya, Panembahan Senapati bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan sebutan Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.[2]

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta, dan dalam perkembangannya sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta.

Seputar Tarian dan Makna Filosofis di Dalamnya

[sunting | sunting sumber]

Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja.

Menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari kesepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.[2] Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.[2]

Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing.[1] Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya:[2]

  • Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa.[2][3]
  • Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu.[2][3]
  • Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan.[2][3]
  • Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan.[2][3]
  • Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri.[2][3]
  • Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri.[2][3]
  • Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
  • Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan.[2][3]
  • Penari kesembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari kesembilan di sini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.

Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Penari juga menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang berukuran lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta,[4] serta berbagai aksesoris perhiasan yang terdiri atas centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga melati yang dikenakan di gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan). Busana penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.

Pada awalnya Bedhaya Ketawang dipertunjukkan selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Pakubuwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi berdurasi satu setengah jam. Gending atau musik yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut Gending Ketawang Gedhe yang bernada pelog. Perangkat gamelan yang digunakan untuk membawakan gending ini terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak, yang sangat mendominasi keseluruhan irama gending. Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah tarian, laras (nada) gending berganti menjadi nada slendro selama dua kali, kemudian nada gending kembali lagi ke laras pelog hingga tarian berakhir. Pada bagian pertama tarian diiringi dengan tembang Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari masuk kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa, alat gamelan yang dimainkan ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana.[5]

Makna Pola Lantai Tari Bedhaya

Sama halnya dengan tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang mempunyai pola lantai tersendiri. Pola lantai tarian ini menggunakan pola lantai gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga. Pola lantai dalam tarian tersebut juga dikenal dengan nama rakit lajur yang menggambarkan lima unsur dalam diri diri manusia, yaitu cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.

Sebagai tarian yang sakral, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penarinya, yaitu kesembilan penari harus merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, penari tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dahar di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta. Hal tersebut dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Ketika latihan dimulai, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar.

Koreografi Tari Bedhaya Ketawang

Sebagaimana penjelasan dalam buku Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX yang disusun oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, koreografi tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh sinden dan musik gamelan. Selanjutnya, tarian itu disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arahan penguasa (putra mahkota) untuk acara-acara penting di istana.

Perhatian yang cermat mengenai koreografi dan iringan musik tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dari bentuk seni. Koreografi yang panjang dan kompleks, serta musik gamelan dan para sinden membutuhkan kekompakan permainan seniman yang perlu latihan secara teratur agar selaras satu sama lain. Pagelaran pertunjukan besar seperti itu awalnya memang hanya ada di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta saja. Namun, pertunjukan tersebut mulai diadaptasi oleh pejabat tinggi di kadipaten seiring berjalannya waktu.

Tari Bedhaya Ketawang yang paling tua dan dianggap paling sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Tarian itulah yang kemudian menjadi tarian yang menginspirasi semua bentuk koreografi Bedhaya, baik di Surakarta maupun Yogyakarta. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga keraton, sehingga para mempelai membawa seniman pendherek yang menyertainya.

Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang

Dikutip dari buku yang sama karangan Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian ini mengisahkan tentang Ratu Kidul yang secara kebetulan bertemu dengan sultan di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Sultan Mataram dan Kanjeng Kidul saling tertarik satu sama lain.

Sultan kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka hidup bersama selama beberapa waktu, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.

Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul.

Pada akhirnya, Sultan Agung kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.

Lihat Pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d pranala[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n "pranala". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-07. Diakses tanggal 2014-05-03. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n pranala[pranala nonaktif permanen]
  4. ^ "pranala". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-27. Diakses tanggal 2014-05-05. 
  5. ^ "pranala". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-27. Diakses tanggal 2015-05-06. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]