Lompat ke isi

Airlangga: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Rakehino (bicara | kontrib)
regnal name of sri lokeswara airlangga
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(154 revisi perantara oleh 32 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{redirect|Erlangga|penerbit|Erlangga (penerbit)|pemain sepak bola|Airlangga Sucipto|universitas|Universitas Airlangga}}
{{redirect|Erlangga|penerbit|Erlangga (penerbit)|museum|Museum Airlangga|universitas|Universitas Airlangga}}{{infobox royalty

'''Airlangga''' ([[Bali]], 990 - [[Candi Belahan]], 1049) atau sering ditulis dengan '''Erlangga''', adalah pendiri [[Kerajaan Kahuripan]] di [[Jawa Timur]], yang memerintah tahun 1009-1042 dengan nama gelar ''abhiseka'' '''Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa'''. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan [[Mpu Kanwa]] untuk menggubah [[Kakawin Arjunawiwaha]] yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibagi menjadi dua [[Kerajaan Kadiri]] dan [[Kerajaan Janggala]]
untuk kedua putranya. Nama Airlangga hingga saat ini masih dikenang dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di [[Indonesia]].

{{infobox royalty
|name = Airlangga
|name = Airlangga
|image = [[Berkas:Airlangga.jpg|jmpl|200px|lurus|Arca perwujudan Airlangga sebagai [[Wisnu|Dewa Wisnu]] mengendarai [[Garuda]]. Koleksi Museum [[Trowulan]], [[Jawa Timur]].]]
|image = Airlangga.jpg
|caption = Arca perwujudan Airlangga sebagai ''[[Wisnu|Dewa Wisnu]]'' mengendarai [[Garuda]]. Koleksi Museum [[Trowulan]], [[Jawa Timur]].
|title = Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa
|title = Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa
|birth_date = 990
|birth_date = 990
|birth_place = [[Bali]]
|birth_place = [[Pulau Bali]]
|death_date = 1049
|death_date = 1049
|death_place = [[Candi Belahan]]
|death_place = [[Candi Belahan]]
Baris 16: Baris 12:
|issue = *[[Sanggramawijaya Tunggadewi]]
|issue = *[[Sanggramawijaya Tunggadewi]]
*[[Sri Samarawijaya]]
*[[Sri Samarawijaya]]
*[[Mapanji Garasakan]]
*[[Mapanji Garasakan|Sri Mapanji Garasakan]]
*[[Samarotsaha|Sri Samarotsaha]]
| succession = Raja Kerajaan Kahuripan
| succession = Raja [[Kerajaan Kahuripan|Medang-Kahuripan]]
| reign = 1009 - 1042
| reign = 1019 1043
| successor = [[Sanggramawijaya Tunggadewi]]
| father = [[Udayana]]
| father = [[Udayana]]
| mother = [[Mahendradatta]]
| mother = [[Mahendradatta]]
|religion = [[Hindu]]
|religion = [[Waisnawa|Hindu Waisnawa]]
|regnal name = Śrī Mahārāja Rake Halu Śrī Lokeśwara Dharmmawaṅsa Airlanggānantawikramotunggadewa
}}
}}
'''Airlangga''' ([[Bali]], 990 – [[Petirtaan Belahan]], 1049) sering ditulis dengan '''Erlangga''' adalah pendiri kerajaan [[Kerajaan Kahuripan|Medang Kahuripan]], [[Panjalu]] dan [[Janggala]] di [[Jawa Timur]] yang memerintah pada sekitar tahun ([[1019]]-[[1043]]). Airlangga naik takhta dengan bergelar ''abhiseka'' sebagai '''Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa'''.


Airlangga menyatukan kembali bekas [[kerajaan Medang]] setelah jatuh di bawah serangan ''[[Haji (gelar)|Haji Wurawari]]'' dari Lwaram. Ia kemudian memerintahkan [[Mpu Kanwa]] untuk menggubah [[kakawin Arjunawiwaha]] yang menggambarkan keberhasilannya di dalam medan peperangan. Pada akhir masa pemerintahannya Airlangga membagi kerajaannya tersebut menjadi dua untuk kedua putranya yaitu [[kerajaan Panjalu]] dan [[kerajaan Janggala]].
== Asal usul ==
Nama Airlangga berarti "''Air yang melompat''" dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari bencana ''Mahapralaya'' atau '''kematian besar''' yang dianggap seperti air bah, sehingga Airlangga juga adalah julukan bermakna sebagai ''Air yang melompat''. Ia lahir tahun [[1000]]. Ayahnya bernama [[Udayana]], raja [[Kerajaan Bedahulu]] dari [[Wangsa Warmadewa]]. Ibunya bernama [[Mahendradatta]], seorang putri [[Wangsa Isyana]] dari [[Kerajaan Medang]]. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.


== Asal-usul ==
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu [[Marakata Pangkaja|Marakata]] (menjadi raja [[Bali]] sepeninggal ayah mereka) dan [[Anak Wungsu]] (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari [[Mpu Sindok]] dari [[Wangsa Isyana]] dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Hingga saat ini nama raja Airlangga masih dikenang di dalam ingatan masyarakat [[suku Jawa|Jawa]] dan di berbagai cerita rakyat juga [[literatur]], serta sering diabadikan namanya di berbagai tempat di [[Indonesia]]. Airlangga bermakna ''"air yang melompat"'', dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari peristiwa '''''Mahapralaya''''' atau ("bencana besar") yang dianggap bagai air bah. Sehingga Airlangga juga adalah julukan bermakna sebagai ''air yang melompat''. Ia lahir tahun [[990]]. Ayahnya bernama [[Udayana]], raja [[kerajaan Bedahulu]] dari [[wangsa Warmadewa]]. Ibunya bernama [[Mahendradatta]], seorang putri [[wangsa Isyana]] dari [[kerajaan Medang]]. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke [[Bali]], mendirikan koloni di [[Kalimantan Barat]], serta mengadakan serangan ke [[Sriwijaya]].

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu [[Marakata Pangkaja]] (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan [[Anak Wungsu]] (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari raja [[Mpu Sindok]] dari wangsa Isyana yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari ''bhumi Mataram'' di [[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Timur]], atau lazim disebut dengan Medang periode Jawa Timur.


== Masa pelarian ==
== Masa pelarian ==
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu [[Dharmawangsa Teguh]] (saudara ibunya [[Mahendradatta]]) di Wwatan, ibu kota [[Kerajaan Medang]] (sekarang sekitar [[Maospati, Maospati, Magetan|Maospati, Magetan]], Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa [[Ngloram, Cepu, Blora]]), yang merupakan sekutu dari [[Kerajaan Sriwijaya]]. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau ''Calcutta Stone''). Yang dianggap sebagai bencana ''Mahapralaya'' layaknya air bah yang mematikan, pembacaan '''Kern''' atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.<ref>de Casparis, J.G., ''[https://iias.asia/iiasn/18/regions/se8.html Airlangga, The Threshold of the Second Millennium]'', IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).</ref>
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu [[Dharmawangsa Teguh]] (saudara ibunya [[Mahendradatta]]) di Wwatan, ibu kota [[Kerajaan Medang]] (sekarang sekitar [[Maospati, Maospati, Magetan|Maospati, Magetan]], Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu '''Raja Wurawari''' yang berasal dari Lwaram (diperkirakan sekarang adalah sekitar [[Ngloram, Cepu, Blora]]), yang merupakan sekutu dari [[Kerajaan Sriwijaya]] yang mendapat dukungan kuat dari [[wangsa Syailendra]] untuk memberontak. Kejadian tersebut tercatat dalam [[prasasti Pucangan]] (atau ''Calcutta Stone''). Yang dianggap sebagai bencana ''Mahapralaya'' layaknya air bah yang mematikan, pembacaan [[Johan Hendrik Caspar Kern|Kern]] atas prasasti tersebut yang juga dikuatkan oleh [[Johannes Gijsbertus de Casparis|de Casparis]], menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 938 [[Saka]], atau sekitar 1016 M.<ref>de Casparis, J.G., ''[https://iias.asia/iiasn/18/regions/se8.html Airlangga, The Threshold of the Second Millennium]'', IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).</ref>


Dalam serangan itu, [[Dharmawangsa Teguh]] dan seluruh kerabat raja tewas, istana '''Wwatan''' turut dibakar, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke hutan pegunungan (''Vanagiri'') [[Wonogiri]] ditemani pembantunya yang bernama [[Mpu Narotama]]. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, [[Kudu, Jombang]], Jawa Timur.
Dalam serangan itu, [[Dharmawangsa Teguh]] dan seluruh kerabat raja tewas, istana Wwatan turut dibakar, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke hutan pegunungan (''Vana giri'') [[Wonogiri]] ditemani pembantunya yang bernama [[Mpu Narotama]]. Saat itu ia berusia 26 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, [[Kudu, Jombang]], Jawa Timur.


== Pendirian kerajaan ==
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali [[Kerajaan Medang]]. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama '''Watan Mas''' di dekat [[Gunung Penanggungan]].<ref>Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).</ref> Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa [[Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto|Wotan Mas Jedong]]) di Kecamatan [[Ngoro, Mojokerto|Ngoro]], [[Kabupaten Mojokerto]]. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah [[Sidoarjo]] dan [[Pasuruan]] saja, karena sepeninggal [[Dharmawangsa Teguh]], banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta [[senopati]] yang masih setia, menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan [[Mataram Kuno|Medang]]. Atas dukungan dari para pendeta dari ketiga Aliran ''([[Hindu]]'', ''[[Buddha]]'', dan ''[[Brahmana|Mahabrahmana]]'') ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut.


{{Quote box|quote= 15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya:“perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”|source= (''Prasasti Pucangan'') |width=30%|}} Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di lereng [[Gunung Penanggungan]].<ref>Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).</ref> Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa [[Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto|Wotan Mas Jedong]]) di Kecamatan [[Ngoro, Mojokerto|Ngoro]], [[Kabupaten Mojokerto]]. Ketika Airlangga naik takhta, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah [[Mojokerto]], [[Sidoarjo]] dan [[Pasuruan]] saja, karena sepeninggal raja Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, [[Kerajaan Sriwijaya]] yang merupakan musuh besar [[wangsa Isyana]] dikalahkan Rajendra Coladewa raja dari Colamandala [[Kerajaan Chola]] [[India]]. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan tanah Jawa.


Pada tahun 1025, [[Kedatuan Sriwijaya]] di [[Sumatra]] yang merupakan musuh besar dari [[wangsa Isyana]] dikalahkan oleh [[Rajendra Chola|Rajendra Coladewa]] raja dari Colamandala [[Kerajaan Chola]], [[India]]. Hal ini menjadi sebuah kesempatan dan membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.
== Masa perluasan wilayah kekuasaan ==
Sejak tahun [[1025]], Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan [[Wangsa Isyana]] atas [[pulau Jawa]]. Usaha ini penuh dengan perjuangan berat dan tidak selalu berjalan dengan mulus peperangan demi peperangan dilaluinya.


==Perluasan wilayah==
Airlangga pertama-tama mengalahkan '''Raja Hasin''' dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, [[Trenggalek]]), menurut sumber lain berada di Jawa Tengah di wilayah bernama desa Masin sekitar [[Batang]] hingga [[Pekalongan]]. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan '''Wisnuprabhawa''' raja Wuratan, selanjutnya '''Wijayawarma''' raja Wengker, kemudian '''Panuda''' raja Lewa. Pada tahun 1031 putra '''Panuda''' mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Sejak tahun 1029, periode antara tahun 1029 sampai dengan tahun 1037 adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, maupun selatan. Berita pada [[prasasti pucangan]] (1041 M) memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut. Airlangga mulai memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya [[Sriwijaya]] akibat serangan [[kerajaan Chola]], dari [[Pesisir Koromandel|Coromandel]], [[India]].


Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan [[wangsa Isyana]] atas [[Pulau Jawa]]. Airlangga pertama-tama mengalahkan ''Raja Hasin'' dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, [[Trenggalek]]), menurut sumber lain berada di [[Jawa Tengah]] di wilayah bernama desa Masin sekitar [[Batang]] hingga [[Pekalongan]].
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Lodoyong [[Tulungagung]] '''Ratu Dyah Tulodong''' berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan pusat kekuasaan di istana Watan Mas. Memaksa Airlangga untuk melarikan diri ke desa Patakan, Sambeng, [[Lamongan]] ditemani '''Mapanji Tumanggala'''. Peristiwa ini diceritakan dalam [[prasasti Terep]] (1032), Dari sini, ia menyusun kekuatan kembali sambil mendirikan istana baru di [[Kahuripan]]. Berdasarkan [[prasasti Kamalagyan]] (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke [[Kahuripan]] (daerah [[Sidoarjo]] sekarang).


Pada tahun 1029 (951 Saka). Airlangga mengalahkan ''Wisnuprabhawa'' raja Wuratan, yang merupakan putra dari raja bawahan lain yang ikut menyerang [[Dharmawangsa Teguh]] sebelumnya, selanjutnya mengalahkan ''Wijayawarmma'' raja [[Wengker]], dan kemudian ''Panuda'' raja Lewa.
Raja wanita yang merusak istana Watan Mas pada akhirnya dapat dikalahkannya pada penghujung tahun 1032, Airlangga dan [[Mpu Narotama]] lalu dapat mengalahkan '''Raja Wurawari''', dan membalaskan dendam [[wangsa Isyana]]. Terakhir, tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan '''Wijayawarma''', raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. '''Wijayawarma''' melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.


Pada tahun 1031 (953 Saka) putra Panuda, raja Lewa, mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
== Masa pembangunan ==
Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari [[Kabupaten Pasuruan|Pasuruan]] di timur hingga [[Kabupaten Madiun|Madiun]] di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka (wisuda) '''Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa'''. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut [[prasasti Pamwatan]] (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke [[Daha]] (daerah [[Kediri]] sekarang).


Pada tahun 1031, seorang raja wanita dari daerah Lodoyong (sekarang daerah [[Tulungagung]]), bernama ''Ratu Dyah Tulodong'' berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan pusat kekuasaan di istana Watan Mas dan memaksa Airlangga untuk melarikan diri ke Desa Patakan, [[Sambeng, Lamongan]] ditemani abdinya ''Mapanji Tumanggala'', peristiwa ini diceritakan dalam [[prasasti Terep]] (1032). Airlangga kemudian menyusun kekuatan kembali dengan mendirikan ibu kota dan istana baru bernama [[Kahuripan]] (di daerah [[Sidoarjo]] sekarang). Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga dan dikenal sekarang dengan kerajaan '''Medang Koripan''' atau '''Medang Kahuripan'''.
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1032 (954 Saka) Ratu Lodoyong yang menghancurkan istana Watan Mas akhirnya dapat dikalahkan. Kemudian, pada penghujung tahun 1032 Airlangga bersama [[Mpu Narotama]] lalu mengalahkan ''Raja Wurawari'' dan membalaskan dendam keluarga [[wangsa Isyana]].

Terakhir, tahun 1035 (957 Saka) Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarmma, raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dahulu pada tahun 1029. Wijayawarmma melarikan diri dari Kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri, peristiwa ini ditulis pada [[prasasti Kamalagyan]] (1037).

== Masa pemerintahan ==
Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari [[Kabupaten Pasuruan|Pasuruan]] di timur hingga [[Kabupaten Madiun|Madiun]] di barat. Pantai utara Jawa, terutama [[Surabaya]] dan [[Tuban]], menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik takhta dengan gelar abhiseka (wisuda) ''Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa''. Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
* Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
* Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
* Membangun bendungan [[Waringin Sapta]] tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
* Membangun [[bendungan|bendungan Waringin Sapta]] tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
* Memperbaiki pelabuhan [[Hujung Galuh]], yang letaknya di muara [[Kali Brantas]], dekat [[Surabaya]] sekarang.
* Memperbaiki pelabuhan [[Ujung Galuh]], yang letaknya di muara [[Sungai Brantas]], dekat [[Surabaya]] sekarang.
* Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
* Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
* Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
* Meresmikan pertapaan [[Gunung Pucangan]] tahun 1041.
* Memindahkan ibu kota dari [[Kahuripan]] ke [[Daha]].
* Menurut [[prasasti Pamwatan]] (1042), memindahkan pusat kerajaan dari [[Kahuripan]] ke [[Daha]] (daerah [[Kediri]] sekarang).


Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 [[Mpu Kanwa]] menulis ''[[Arjuna Wiwaha]]'' yang diadaptasi dari epik ''[[Mahabharata]]''. Kitab tersebut menceritakan perjuangan [[Arjuna]] mengalahkan [[Niwatakawaca]], sebagai kiasan Airlangga mengalahkan ''Haji Wurawari''.
Ketika itu, [[Airlangga]] dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama [[Hindu]] Syiwa dan [[Buddha]].


Selama masa pemerintahannya, Airlangga banyak melakukan perbaikan di empat sektor kehidupan bernegara: politik, ekonomi, agama, dan masyarakat. Di bidang politik, ia berhasil membuat raja-raja bawahannya mengakui kembali kedaulatannya. Ia memperluas wilayah kekuasaaannya hingga ke Bali. Bahkan [[Johannes Gijsbertus de Casparis|De Casparis]] menduga bahwa ia mempunyai jaringan dengan raja-raja di kawasan [[Asia Tenggara]]. Di bidang ekonomi, ia memiliki ambisi untuk menggantikan posisi [[Sriwijaya]] sebagai pelabuhan transit internasional. Dengan memanfaatkan kondisi Sriwijaya yang lemah karena serangan Raja [[Rajendra Chola I]], kesempatan ini dimanfaatkan dengan membangun pelabuhan transit di Kambang Putih dan membenahi pelabuhan regional di Hujung Galuh untuk memperkuat perdagangan lewat laut. Di bidang agama, Airlangga menempatkan para pendeta menjadi orang terdekat raja yang mendampingi raja di upacara penting. Selain itu, agama dan sekte agama lain diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Di bidang sosial, Airlangga mengembangkan pemberian hak-hak istimewa pada orang-orang yang pernah berjasa kepadanya.<ref>{{Cite journal|last=Susanti|first=Ninie|date=2013|title=Airlangga: His Relations to Kings in South and South-East Asia|url=https://scholarhub.ui.ac.id/paradigma/vol4/iss1/1|journal=Paradigma: Jurnal Kajian Budaya|volume=4|issue=1|pages=1-14|doi=10.17510/paradigma.v4i1.155|issn=2503-0868}}</ref>
[[Airlangga]] juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 [[Mpu Kanwa]] menulis ''[[Arjuna Wiwaha]]'' yang diadaptasi dari epik ''[[Mahabharata]]''. Kitab tersebut menceritakan perjuangan [[Arjuna]] mengalahkan [[Niwatakawaca]], sebagai kiasan [[Airlangga]] mengalahkan [[raja Wurawari]].


== Pembagian kerajaan ==
== Pembagian kerajaan ==
Di dalam [[Kakawin]] [[Nagarakretagama]] yang ditulis oleh [[Empu Prapañca|Mpu Prapañca]], seorang [[pujangga]] dan bekas pembesar [[Buddhisme|agama Buddha]] di istana [[Majapahit]]. Menyebutkan Airlangga yang telah berpindah ibu kota dan memerintah dari [[Daha]] di wilayah [[Panjalu]] serta menyinggung tentang peristiwa pembelahan kerajaan.<ref>http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html</ref>
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'' ia kemudian bergelar '''Resi Erlangga Jatiningrat''', sedangkan menurut ''[[Babad Tanah Jawi]]'' ia bergelar '''Resi Gentayu'''. Namun yang paling dapat dipercaya adalah [[prasasti Gandhakuti]] (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah '''Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana'''.
:<blockquote>... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...</blockquote>


:<blockquote>... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...<br>— (''Kakawin Nagarakretagama'', ''Pupuh 68'').</blockquote>
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama [[Dewi Kili Suci]]. Nama asli putri tersebut dalam [[Prasasti Cane]] (1021) sampai [[Prasasti Turun Hyang]] (1035) adalah [[Sanggramawijaya Tunggadewi]]. Menurut ''[[Serat Calon Arang]]'', Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja [[Bali]], maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama [[Mpu Bharada]] berangkat ke [[Bali]] mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan [[Udayana]] digantikan putra keduanya yang bernama [[Marakata Pangkaja]] sebagai raja [[Bali]], dan '''Marakata''' kemudian digantikan adik yang lain yaitu [[Anak Wungsu]].
Pada tahun 1042, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya. Pendeta [[Mpu Bharada]] ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam ''[[Nagarakretagama]]'', [[Serat Calon Arang]], [[prasasti Wurare]] dan [[Prasasti Turun Hyang|prasasti Turun Hyang II]]. Maka berdiri dan terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat di wilayah [[Panjalu]] berpusat di ibu kota yang baru didirikan, yaitu [[Daha]], diberikan kepada [[Sri Samarawijaya]]. Sedangkan kerajaan timur di wilayah [[Janggala]] berpusat di ibu kota lama, yaitu [[Kahuripan]], diberikan kepada [[Mapanji Garasakan]].


Dalam [[prasasti Pamwatan]] yang bertanggal 20 November 1042, Airlangga masih bergelar sebagai Maharaja, sedangkan dalam [[prasasti Gandhakuti]], 24 November 1042, ia sudah bergelar ''Resi Aji Paduka Mpungku''. Dengan demikian, peristiwa pembagian kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Kemudian pada tahun 1042 pula, Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar ''Resi Erlangga Jatiningrat'', sedangkan menurut [[Babad Tanah Jawi]] ia bergelar ''Resi Gentayu''. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan prabu Airlangga adalah ''Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana''.
Pada tahun 1042, Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. [[Mpu Bharada]] ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam ''[[Serat Calon Arang]]'', ''[[Nagarakretagama]]'', dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut [[Kadiri]] berpusat di kota baru, yaitu [[Daha]], diperintah oleh [[Sri Samarawijaya]]. Sedangkan kerajaan timur disebut [[Janggala]] berpusat di kota lama, yaitu [[Kahuripan]], diperintah oleh [[Mapanji Garasakan]].


Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama [[Dewi Kili Suci]]. Nama asli putri tersebut dalam [[prasasti Cane]] (1021) sampai [[prasasti Pasar Legi]] (1043) adalah [[Sanggramawijaya Tunggadewi]]. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja [[Bali]], maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan [[Udayana]] digantikan putra keduanya yang bernama [[Marakata Pangkaja]] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu [[Anak Wungsu]].
Dalam [[Prasasti Pamwatan]], 20 November 1042, [[Airlangga]] masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar ''Resi Aji Paduka Mpungku''. Dengan demikian, peristiwa pembagian kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.


Menurut prasasti Pasar Legi, baik Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan. Mengikuti gelar kependetaan Airlangga yaitu ''Resi Aji'' yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.<ref name=":1">{{Cite book|last=Wignjosoebroto|first=Wiranto|url=https://books.google.com/books?id=kKpgEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA27&dq=medang+koripan&hl=en|title=MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa|publisher=Penerbit K-Media|isbn=978-602-6287-19-9|language=id}}</ref>
== Akhir hayat ==
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. [[Prasasti Sumengka]] (1059) peninggalan [[Kerajaan Janggala]] hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di ''tirtha'' atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah [[Candi Belahan]] di lereng [[Gunung Penanggungan]]. Pada kolam tersebut ditemukan arca [[Wisnu]] disertai dua dewi. Berdasarkan [[prasasti Pucangan]] (1041) diketahui Airlangga adalah penganut [[Hindu Wisnu]] yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu [[Sri Samarawijaya]] dan ibu [[Mapanji Garasakan]].


== Akhir hayat ==
Pada [[Candi Belahan]] ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Pada [[prasasti Sumengka]] (1059) peninggalan [[kerajaan Janggala]] hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di ''tirtha'' atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita dalam prasasti Sumengka adalah [[Petirtaan Belahan]] di lereng [[Gunung Penanggungan]]. Pada kolam tersebut ditemukan arca dewa [[Wisnu]] disertai dua dewi. Berdasarkan [[prasasti Pucangan]] (1041) diketahui Airlangga adalah penganut [[Hindu Wisnu]] yang taat. Maka, ketiga patung tersebut diduga sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu [[Sri Samarawijaya]] dan ibu [[Mapanji Garasakan]].


Pada [[Petirtaan Belahan]] ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
== Kahuripan, Daha, atau Panjalu ==
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut [[Kerajaan Kahuripan]]. Padahal sesungguhnya, [[Kahuripan]] hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah ''[[Serat Calon Arang]]'' yang menyebut Airlangga sebagai raja [[Daha]]. Bahkan, ''[[Nagarakretagama]]'' juga menyebut Airlangga sebagai raja [[Panjalu]] yang berpusat di [[Daha]].


== Silsilah ==
== Silsilah ==
Baris 107: Baris 118:
* Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka.
* Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. ''Sejarah Nasional Indonesia Jilid II''. Jakarta: Balai Pustaka.
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara

== Keturunan ==
{{kotak mulai}}
{{s-reg}}
{{kotak suksesi|jabatan=Raja Medang (Kahuripan)|tahun=[[1019]] — [[1043]]|pendahulu=[[Dharmawangsa Teguh]]|pengganti=[[Sri Samarawijaya]] dan [[Mapanji Garasakan]]}}
{{kotak selesai}}


== Referensi ==
== Referensi ==


{{reflist}}
{{reflist}}

{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=Raja Kahuripan|tahun=1009-1042|pendahulu=[[Dharmawangsa Teguh]]|pengganti=[[Sri Samarawijaya]] [[dan]] [[Mapanji Garasakan]]}}
{{kotak selesai}}

[[Kategori:Raja Medang]]
[[Kategori:Kerajaan Kahuripan]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]


==Pranala luar==
==Pranala luar==
Baris 126: Baris 134:
{{lifetime|990|1049|}}
{{lifetime|990|1049|}}


[[Kategori:Raja Kahuripan]]
[[Kategori:Raja Medang]]
[[Kategori:Kerajaan Kahuripan]]
[[Kategori:Kerajaan Kahuripan]]
[[Kategori:Wangsa Isyana]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Raja Kahuripan]]
[[Kategori:Wangsa Isyana]]

Revisi terkini sejak 2 November 2024 14.55

Airlangga
Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa
Arca perwujudan Airlangga sebagai Dewa Wisnu mengendarai Garuda. Koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
Raja Medang-Kahuripan
Berkuasa1019 – 1043
PenerusSanggramawijaya Tunggadewi
Kelahiran990
Pulau Bali
Kematian1049
Candi Belahan
Pemakaman
Keturunan
Nama takhta
Śrī Mahārāja Rake Halu Śrī Lokeśwara Dharmmawaṅsa Airlanggānantawikramotunggadewa
WangsaWangsa Isyana
AyahUdayana
IbuMahendradatta
AgamaHindu Waisnawa

Airlangga (Bali, 990 – Petirtaan Belahan, 1049) sering ditulis dengan Erlangga adalah pendiri kerajaan Medang Kahuripan, Panjalu dan Janggala di Jawa Timur yang memerintah pada sekitar tahun (1019-1043). Airlangga naik takhta dengan bergelar abhiseka sebagai Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Airlangga menyatukan kembali bekas kerajaan Medang setelah jatuh di bawah serangan Haji Wurawari dari Lwaram. Ia kemudian memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya di dalam medan peperangan. Pada akhir masa pemerintahannya Airlangga membagi kerajaannya tersebut menjadi dua untuk kedua putranya yaitu kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala.

Asal-usul

[sunting | sunting sumber]

Hingga saat ini nama raja Airlangga masih dikenang di dalam ingatan masyarakat Jawa dan di berbagai cerita rakyat juga literatur, serta sering diabadikan namanya di berbagai tempat di Indonesia. Airlangga bermakna "air yang melompat", dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari peristiwa Mahapralaya atau ("bencana besar") yang dianggap bagai air bah. Sehingga Airlangga juga adalah julukan bermakna sebagai air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja kerajaan Bedahulu dari wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri wangsa Isyana dari kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata Pangkaja (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari raja Mpu Sindok dari wangsa Isyana yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari bhumi Mataram di Jawa Tengah ke Jawa Timur, atau lazim disebut dengan Medang periode Jawa Timur.

Masa pelarian

[sunting | sunting sumber]

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara ibunya Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (diperkirakan sekarang adalah sekitar Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya yang mendapat dukungan kuat dari wangsa Syailendra untuk memberontak. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Yang dianggap sebagai bencana Mahapralaya layaknya air bah yang mematikan, pembacaan Kern atas prasasti tersebut yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 938 Saka, atau sekitar 1016 M.[1]

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh dan seluruh kerabat raja tewas, istana Wwatan turut dibakar, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke hutan pegunungan (Vana giri) Wonogiri ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 26 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Pendirian kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia, menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Atas dukungan dari para pendeta dari ketiga Aliran (Hindu, Buddha, dan Mahabrahmana) ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut.

15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya:“perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”

(Prasasti Pucangan)

Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan.[2] Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Ketika Airlangga naik takhta, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal raja Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Pada tahun 1025, Kedatuan Sriwijaya di Sumatra yang merupakan musuh besar dari wangsa Isyana dikalahkan oleh Rajendra Coladewa raja dari Colamandala Kerajaan Chola, India. Hal ini menjadi sebuah kesempatan dan membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Perluasan wilayah

[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1029, periode antara tahun 1029 sampai dengan tahun 1037 adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, maupun selatan. Berita pada prasasti pucangan (1041 M) memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut. Airlangga mulai memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya akibat serangan kerajaan Chola, dari Coromandel, India.

Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan wangsa Isyana atas Pulau Jawa. Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, Trenggalek), menurut sumber lain berada di Jawa Tengah di wilayah bernama desa Masin sekitar Batang hingga Pekalongan.

Pada tahun 1029 (951 Saka). Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, yang merupakan putra dari raja bawahan lain yang ikut menyerang Dharmawangsa Teguh sebelumnya, selanjutnya mengalahkan Wijayawarmma raja Wengker, dan kemudian Panuda raja Lewa.

Pada tahun 1031 (953 Saka) putra Panuda, raja Lewa, mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1031, seorang raja wanita dari daerah Lodoyong (sekarang daerah Tulungagung), bernama Ratu Dyah Tulodong berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan pusat kekuasaan di istana Watan Mas dan memaksa Airlangga untuk melarikan diri ke Desa Patakan, Sambeng, Lamongan ditemani abdinya Mapanji Tumanggala, peristiwa ini diceritakan dalam prasasti Terep (1032). Airlangga kemudian menyusun kekuatan kembali dengan mendirikan ibu kota dan istana baru bernama Kahuripan (di daerah Sidoarjo sekarang). Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga dan dikenal sekarang dengan kerajaan Medang Koripan atau Medang Kahuripan.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1032 (954 Saka) Ratu Lodoyong yang menghancurkan istana Watan Mas akhirnya dapat dikalahkan. Kemudian, pada penghujung tahun 1032 Airlangga bersama Mpu Narotama lalu mengalahkan Raja Wurawari dan membalaskan dendam keluarga wangsa Isyana.

Terakhir, tahun 1035 (957 Saka) Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarmma, raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dahulu pada tahun 1029. Wijayawarmma melarikan diri dari Kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri, peristiwa ini ditulis pada prasasti Kamalagyan (1037).

Masa pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik takhta dengan gelar abhiseka (wisuda) Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa. Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Haji Wurawari.

Selama masa pemerintahannya, Airlangga banyak melakukan perbaikan di empat sektor kehidupan bernegara: politik, ekonomi, agama, dan masyarakat. Di bidang politik, ia berhasil membuat raja-raja bawahannya mengakui kembali kedaulatannya. Ia memperluas wilayah kekuasaaannya hingga ke Bali. Bahkan De Casparis menduga bahwa ia mempunyai jaringan dengan raja-raja di kawasan Asia Tenggara. Di bidang ekonomi, ia memiliki ambisi untuk menggantikan posisi Sriwijaya sebagai pelabuhan transit internasional. Dengan memanfaatkan kondisi Sriwijaya yang lemah karena serangan Raja Rajendra Chola I, kesempatan ini dimanfaatkan dengan membangun pelabuhan transit di Kambang Putih dan membenahi pelabuhan regional di Hujung Galuh untuk memperkuat perdagangan lewat laut. Di bidang agama, Airlangga menempatkan para pendeta menjadi orang terdekat raja yang mendampingi raja di upacara penting. Selain itu, agama dan sekte agama lain diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Di bidang sosial, Airlangga mengembangkan pemberian hak-hak istimewa pada orang-orang yang pernah berjasa kepadanya.[3]

Pembagian kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapañca, seorang pujangga dan bekas pembesar agama Buddha di istana Majapahit. Menyebutkan Airlangga yang telah berpindah ibu kota dan memerintah dari Daha di wilayah Panjalu serta menyinggung tentang peristiwa pembelahan kerajaan.[4]

... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...

... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).

Pada tahun 1042, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya. Pendeta Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Nagarakretagama, Serat Calon Arang, prasasti Wurare dan prasasti Turun Hyang II. Maka berdiri dan terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat di wilayah Panjalu berpusat di ibu kota yang baru didirikan, yaitu Daha, diberikan kepada Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur di wilayah Janggala berpusat di ibu kota lama, yaitu Kahuripan, diberikan kepada Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan yang bertanggal 20 November 1042, Airlangga masih bergelar sebagai Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembagian kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Kemudian pada tahun 1042 pula, Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan prabu Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Pasar Legi (1043) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Menurut prasasti Pasar Legi, baik Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan. Mengikuti gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.[5]

Akhir hayat

[sunting | sunting sumber]

Pada prasasti Sumengka (1059) peninggalan kerajaan Janggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita dalam prasasti Sumengka adalah Petirtaan Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca dewa Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut diduga sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Petirtaan Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Pemakaian nama Airlangga

[sunting | sunting sumber]

Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:

  1. Nama sebuah kelurahan di Surabaya.
  2. Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia.
  3. Di Kota Kediri terdapat Museum Airlangga.
  4. Di Jakarta terdapat Penerbit Erlangga.
  5. Sebuah layanan kereta api penumpang yang dioperasikan oleh Kereta Api Indonesia untuk rute Surabaya-Jakarta.
  6. Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Keturunan

[sunting | sunting sumber]
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Dharmawangsa Teguh
Raja Medang (Kahuripan)
10191043
Diteruskan oleh:
Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ de Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).
  2. ^ Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).
  3. ^ Susanti, Ninie (2013). "Airlangga: His Relations to Kings in South and South-East Asia". Paradigma: Jurnal Kajian Budaya. 4 (1): 1–14. doi:10.17510/paradigma.v4i1.155. ISSN 2503-0868. 
  4. ^ http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html
  5. ^ Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]