Lompat ke isi

Lie Kim Hok: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
tamabah pranala dalam
 
(45 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
''{{Chinese name|[[Li (marga)|Lie]]}}''
{{periksa terjemahan|en|Lie Kim Hok}}
{{Infobox person
{{Infobox person
|name = Lie Kim Hok
|name = Lie Kim Hok
Baris 8: Baris 8:
|birth_name =
|birth_name =
|birth_date = {{Birth date|1853|11|1}}
|birth_date = {{Birth date|1853|11|1}}
|birth_place = {{flagicon|Belanda}} [[Bogor|Buitenzorg]], [[Hindia Belanda]]
|birth_place = [[Bogor|Buitenzorg]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{Death date and age|1912|5|6|1853|11|1}}
|death_date = {{Death date and age|1912|5|6|1853|11|1}}
|death_place = {{flagicon|Belanda}} [[Batavia]], Hindia Belanda
|death_place = [[Batavia]], Hindia Belanda
|death_cause = [[Tifus]]
|death_cause = [[Tifus]]
|occupation = [[Penulis]], [[jurnalis]]
|occupation = [[Penulis]], [[jurnalis]]
Baris 25: Baris 25:
}}
}}
|children = 4
|children = 4
}}
}}''{{Chinese name|[[Li (marga)|Lie]]}}''
'''Lie Kim Hok''' ({{zh|c=李金福|p='''Lǐ Jīnfú'''}}, {{lahirmati|[[Bogor]], [[Jawa Barat]]|1|11|1853|[[Jakarta|Batavia]]|6|5|1912}}), adalah seorang [[guru]], [[penulis]], dan [[pekerja sosial]] berlatar belakang [[Tionghoa peranakan]] yang aktif di [[Hindia Belanda]] dan disebut sebagai "bapak [[sastra Tionghoa Melayu]]". Lahir di Buitenzorg (sekarang [[Bogor]]), [[Jawa Barat]], Lie lalu menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah misionaris, sehingga pada dekade 1870-an, ia telah fasih untuk berbicara dalam bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu]], dan [[bahasa Belanda|Belanda]], tetapi belum dapat memahami [[bahasa Mandarin]]. Pada pertengahan dekade 1870-an, Lie menikah dan mulai bekerja sebagai editor di dua majalah yang diterbitkan oleh guru dan mentornya, yakni [[D. J. van der Linden]]. Pada tahun 1880, Lie berhenti dari pekerjaan tersebut, dan setahun kemudian, istrinya meninggal. Pada tahun 1884, Lie menerbitkan buku-buku pertamanya, termasuk [[syair]] ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]'' dan buku tata bahasa ''[[Malajoe Batawi]]''. Setelah van der Linden meninggal pada tahun 1885, Lie membeli perusahaan percetakan milik van der Linden dan mendirikan perusahaannya sendiri.
'''Lie Kim Hok''' ({{zh|c=李金福|p=Lǐ Jīnfú|poj=Lì Kim-hok}}, {{lahirmati|[[Bogor]], [[Jawa Barat]]|1|11|1853|[[Jakarta|Batavia]]|6|5|1912}}), adalah seorang [[guru]], [[penulis]], dan [[pekerja sosial]] berlatar belakang [[Orang Peranakan|Tionghoa peranakan]] yang aktif di [[Hindia Belanda]] dan disebut sebagai "bapak [[sastra Tionghoa Melayu]]". Ia lahir di Buitenzorg (sekarang [[Bogor]]), [[Jawa Barat]], lalu menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah misionaris sehingga pada dekade 1870-an, ia telah fasih untuk berbicara dalam bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu]], dan [[bahasa Belanda|Belanda]], tetapi belum dapat memahami [[bahasa Mandarin]]. Pada pertengahan dekade 1870-an, Lie menikah dan mulai bekerja sebagai editor di dua majalah yang diterbitkan oleh guru dan mentornya, yakni Dirk Johannes Van der Linden. Pada tahun 1880, Lie berhenti dari pekerjaan tersebut, dan setahun kemudian, istrinya meninggal. Pada tahun 1884, Lie menerbitkan buku-buku pertamanya, termasuk [[syair]] ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]'' dan buku tata bahasa ''[[Malajoe Batawi]]''. Setelah van der Linden meninggal pada tahun 1885, Lie membeli perusahaan percetakan milik van der Linden dan mendirikan perusahaannya sendiri.


Mulai tahun 1885 hingga 1887, Lie pun menerbitkan sejumlah buku, termasuk ''[[Tjhit Liap Seng]]'', yang dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama. Ia juga mengakuisisi hak untuk mencetak ''[[Pembrita Betawi]]'', sebuah surat kabar yang berbasis di Batavia, sehingga ia pindah ke kota tersebut. Setelah menjual perusahaan percetakannya pada tahun 1887, Lie bekerja di berbagai bidang hingga akhirnya menemukan pekerjaan tetap pada tahun 1890 di sebuah penggilingan beras yang dioperasikan oleh seorang temannya. Pada tahun 1891, Lie menikahi [[Tan Sioe Nio]] dan kemudian dikaruniai empat orang anak. Pada dekade 1890-an, Lie menerbitkan dua buku, dan pada tahun 1900, Lie menjadi anggota pendiri dari [[Tiong Hoa Hwe Koan]] (THHK). Lie lalu keluar dari THHK pada tahun 1904. Lie kemudian fokus melakukan penerjemahan dan kerja sosial hingga akhirnya meninggal akibat [[tifus]] pada usia 58 tahun.
Mulai tahun 1885 hingga 1887, Lie pun menerbitkan sejumlah buku, termasuk ''[[Tjhit Liap Seng]]'', yang dianggap sebagai novel [[Orang Tionghoa Indonesia|Tionghoa Melayu]] pertama. Ia juga mengakuisisi hak untuk mencetak ''[[Pembrita Betawi]]'', sebuah surat kabar yang berbasis di [[Batavia]] sehingga ia pindah ke kota tersebut. Setelah menjual perusahaan percetakannya pada tahun 1887, Lie bekerja di berbagai bidang hingga akhirnya menemukan pekerjaan tetap pada tahun 1890 di sebuah penggilingan [[gabah]] yang dioperasikan oleh seorang temannya. Pada tahun 1891, Lie menikahi Tan Sioe Nio dan kemudian dikaruniai empat orang anak. Pada dekade 1890-an, Lie menerbitkan dua buku dan pada tahun 1900, Lie menjadi anggota pendiri dari [[Tiong Hoa Hwee Koan]] (THHK). Lie lalu keluar dari THHK pada tahun 1904. Lie kemudian fokus melakukan penerjemahan dan kerja sosial hingga akhirnya meninggal akibat [[Penyakit Rickettsia|tifus]] pada usia 58 tahun.


Lie dianggap memberikan pengaruh pada jurnalisme, linguistik, dan sastra di Hindia Belanda, serta paling dikenal berkat karya sastranya. Sejumlah tulisannya juga telah dicetak beberapa kali. ''Sair Tjerita Siti Akbari'' bahkan telah diadaptasi menjadi drama panggung dan [[Siti Akbari|film layar lebar]]. Namun, akibat [[politik bahasa]] di Hindia Belanda dan Indonesia, karya-karyanya menjadi terpinggirkan. Saat sejumlah tulisannya terungkap sebagai adaptasi dari karya yang telah ada tanpa menyebutkan nama penulis aslinya, Lie pun mendapat kritik karena karyanya tidak asli. Walaupun begitu, kritikus lain menemukan bukti adanya inovasi dalam gaya penulisan dan penanganan alurnya.
Lie dianggap memberikan pengaruh pada jurnalisme, linguistik, dan sastra di Hindia Belanda, serta paling dikenal berkat karya sastranya. Sejumlah tulisannya juga telah dicetak beberapa kali. ''Sair Tjerita Siti Akbari'' bahkan telah diadaptasi menjadi drama panggung dan [[Siti Akbari|film layar lebar]]. Namun, akibat [[politik bahasa]] di Hindia Belanda dan Indonesia, karya-karyanya menjadi terpinggirkan. Saat sejumlah tulisannya terungkap sebagai adaptasi dari karya yang telah ada tanpa menyebutkan nama penulis aslinya, Lie pun mendapat kritik karena karyanya tidak asli. Walaupun begitu, kritikus lain menemukan bukti adanya inovasi dalam gaya penulisan dan penanganan alurnya.


<!--==Ikhtisar==
Lie Kim Hok memperoleh pendidikan bahasa [[Melayu]] dari seorang [[pendeta]] Belanda. Berkat pendidikannya tersebut, ia mampu menyajikan karya-karyanya dengan bahasa yang rapi. Bahkan, Lie mampu mendokumentasikan berbagai peraturan dan cara menggunakan bahasa Melayu Rendah, yang merupakan cikal bakal [[bahasa Indonesia]]. Karyanya tersebut diberi judul ''[[Malajoe Batawi|Malajoe Batawi: Kitab deri hal Perkataan-Perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar]]'' (1884) serta ''Kitab Eja''.<ref name="LKH2">{{id}} ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia''. Jilid 1. Penyunting Marcus A.S.; Pax Benedanto. Myra Sidharta. Sinar Harapan, 1989, Jakarta. Halaman 59.</ref>

Lie Kim Hok juga terkenal pandai melukis. Dinding rumahnya terhias gambar-gambar lukisannya, hingga menarik perhatian ahli lukis terkenal [[Raden Saleh Sjarif Bastaman]] (1914-1880) pada waktu itu tinggal di Bogor, menerima Lie Kim Hok sebagai muridnya, setelah melihat dua lukisan pemuda itu, sebuah potret sebatas dada dari Kaisar Thong Tie dan sesisir pisang emas di sebuah piring. Raden Saleh menganjurkannya untuk belajar menggambar di Eropa. Tapi ibu Lie Kim Hok berkeberatan berpisah dengan anaknya.<ref name="LKH4"> [[Tio Ie Soei]]. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 41 </ref>

Lie mendirikan perusahaan percetakan Drukkerij Loe KimHok & Co. (1885) di Bogor. Banyak buku-buku cerita Tionghoa dicetak dan diterbitkan percetakannya. Buku-buku terbitannya banyak dibicarakan oleh dan dipuji oleh segolongan kecil pembaca Melayu rendah. Ia pindah ke [[Jakarta]] bergabung sebagai wartawan pada ''Pemberita Betawi'' (1886) kemudian menjadi pemimpin redaksinya. Lie juga banyak membantu surat-surat kabar dengan menerbitkan dan membuat tulisan. Pada akhir tahun hidupnya, ia hanya membantu dua surat kabar yang terbit di [[Jakarta]], yakni ''Perniagaan'' (''Siang Po'') (1903-1942) dan ''Sin Po'' (sejak 1910).<ref name="LKH6"> Tio Ie Soei. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 49-51 </ref>

Lie juga berperan penting dalam pendirian [[Tiong Hoa Hwee Koan]] (THHK) pada 1900. Organisasi ini bertujuan menyiarkan ajaran [[Konfusius]], memperbaiki adat istiadat orang keturunan Tionghoa, dan mengembangkan sistem pendidikan baru dalam bahasa Tionghoa [[Mandarin]].<ref name="LKH5"> Tio Ie Soei. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 63 </ref>

Atas perannya yang begitu besar terhadap perkembangan kebudayaan Melayu Tionghoa, khususnya di bidang kesusastraan, ia diberi gelar Bapak Melayu-Tionghoa.<ref name="LKH2">{{id}} ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia''. Jilid 1. Penyunting Marcus A.S.; Pax Benedanto. Myra Sidharta. Sinar Harapan, 1989, Jakarta. Halaman 59.</ref>-->


== Kehidupan awal ==
== Kehidupan awal ==
Lie lahir di Buitenzorg (sekarang [[Bogor]]), [[Jawa Barat]], pada tanggal 1 November 1853 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara yang lahir dari Lie Hian Tjouw dan istri keduanya Oey Tjiok Nio. Lie tua memiliki empat anak dari pernikahan sebelumnya, dengan putra sulungnya Lie Kim Hok dari pernikahan barunya. Sebagai [[Tionghoa Indonesia|''peranakan'' Tionghoa]]{{efn|Orang campuran keturunan Tionghoa dan pribumi.}}, pasangan tersebut tinggal di [[Cianjur]] pada waktu itu namun pindah ke Buitenzorg, kampung halaman saudara sulungnya yang bernama Lie Hian Tjouw, untuk melahirkan sebuah keluarga di sana. Keluarga tersebut kemudian kembali ke Cianjur, di mana Lie Kim Hok diberikan [[homeschooling]] dalam [[budaya Tiongkok]] dan budaya dan [[bahasa Sunda|bahasa]] [[orang Sunda|Sunda]].{{sfn|Tio|1958|pp=14–15}} Pada usia tujuh tahun, ia mulai dapat membaca bacaan dalam bahasa Sunda dan [[bahasa Melayu]].{{sfn|Tio|1958|p=22}}
Lie lahir di Buitenzorg (sekarang [[Bogor]]), [[Jawa Barat]], pada tanggal 1 November 1853 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara yang lahir dari pasangan Lie Hian Tjouw dan istri keduanya, Oey Tjiok Nio. Lie Hian Tjouw juga memiliki empat orang anak dari istri pertamanya. Pasangan [[Tionghoa Indonesia|peranakan Tionghoa]]{{efn|Anak hasil pernikahan Tionghoa dan pribumi.}} tersebut awalnya tinggal di [[Cianjur]], tetapi kemudian pindah ke Buitenzorg, kampung halaman Lie Hian Tjouw, untuk melahirkan anak-anaknya karena mereka memiliki keluarga di sana. Keluarga tersebut lalu kembali ke Cianjur. Di sana, Lie Kim Hok [[Sekolah rumah|disekolahkan di rumah]] untuk mempelajari [[budaya Tiongkok]] serta budaya dan [[bahasa Sunda|bahasa]] [[orang Sunda|Sunda]].{{sfn|Tio|1958|pp=14–15}} Pada usia tujuh tahun, Lie Kim Hok pun telah dapat membaca bacaan dalam bahasa Sunda dan [[bahasa Melayu]] secara terbatas.{{sfn|Tio|1958|p=22}}


Pada pertengahan abad ke-19, penduduk beretnis Tionghoa pada koloni tersebut sangat terdidik namun tak dapat masuk sekolah orang Eropa maupun sekolah [[Pribumi Indonesia|pribumi]].{{sfn|Setiono|2008|pp=227–231}} Pada usia sepuluh tahun, Lie dimasukkan ke sekolah misionaris [[Calvinis]] yang dijalankan oleh Christiaan Albers. Sekolah ini memiliki sekitar 60&nbsp;murid laki-laki yang kebanyakan beretnis Tionghoa.{{sfnm|1a1=Suryadinata|1y=1995|1pp=81–82|2a1=Setiono|2y=2008|2pp=227–231}} Dibawah pengarahan Albers, seorang penutur bahasa Sunda yang fasih, ia mengisi pendidikan formal-nya dengan kurikulum yang meliputi ilmu pengetahuan, bahasa, dan Kekristenan&nbsp;– sekolah-sekolah tersebut memang mengenalkan Kekristenan di [[Hindia Belanda]], dan para pelajar diminta untuk berdoa sebelum pelajaran dimulai.{{sfn|Tio|1958|p=22}} Lie, seperti halnya kebanyakan pelajar, tidak berpindah agama,{{sfn|Sumardjo|2004|p=101}} meskipun ahli biografi [[Tio Ie Soei]] menyatakan bahwa pemahaman Kekristenan mungkin mempengaruhi [[pandangan dunia]]nya.{{sfn|Tio|1958|p=59}}
Pada pertengahan abad ke-19, penduduk beretnis Tionghoa di Hindia Belanda sangat kurang terdidik karena tidak dapat masuk ke sekolah orang Eropa maupun sekolah [[Pribumi Indonesia|pribumi]].{{sfn|Setiono|2008|pp=227–231}} Pada usia sepuluh tahun, Lie dimasukkan ke sekolah misionaris [[Calvinis]] yang dijalankan oleh Christiaan Albers. Sekolah tersebut memiliki sekitar 60 orang siswa laki-laki yang kebanyakan beretnis Tionghoa.{{sfnm|1a1=Suryadinata|1y=1995|1pp=81–82|2a1=Setiono|2y=2008|2pp=227–231}} Di bawah arahan Albers yang fasih berbahasa Sunda, Lie pun mendapat pendidikan formalnya dengan kurikulum yang meliputi ilmu pengetahuan, bahasa, dan kekristenan karena sekolah-sekolah tersebut memang ditujukan untuk mempromosikan kekristenan di [[Hindia Belanda]] dan para siswa diminta untuk berdoa sebelum pelajaran dimulai.{{sfn|Tio|1958|p=22}} Seperti kebanyakan siswa, Lie tidak berpindah agama.{{sfn|Sumardjo|2004|p=101}} Tetapi, ahli biografi [[Tio Ie Soei]] menulis bahwa pemahaman kekristenan kemungkinan mempengaruhi [[pandangan dunia]]nya.{{sfn|Tio|1958|p=59}}


[[Berkas:Raden Saleh.jpg|jmpl|alt=Orang Jawa mengenakan jas memegang kuas|Lie belajar melukis dengan [[Raden Saleh]].]]
[[Berkas:Raden Saleh.jpg|jmpl|alt=Orang Jawa mengenakan jas memegang kuas|Lie belajar melukis pada [[Raden Saleh]].]]


Lie dan keluarganya pulang ke Buitenzorg pada tahun 1866. Pada waktu itu, di sana tidak ada sekolah yang dijalankan dengan pendidikan bergaya Eropa, dan kemudian ia dikirim ke sebuah sekolah yang dijalankan oleh orang yang beretnis Tionghoa. Selama tiga tahun, belajar dibawah tiga kepala sekolah yang berbeda pada masa mudanya, ia mempelajari frasa [[dialek Hokkien|Hokkien]] tradisional dan [[aksara Tionghoa]] yang tidak ia pahami. Tio berpendapat bahwa Lie hanya mendapatkan sedikit ilmu pengetahuan di sekolah tersebut, dan sampai kematiannya, Lie tidak pernah memahami [[bahasa Mandarin]].{{sfn|Tio|1958|p=35}} Pada waktu di Buitenzorg, ia belajar menulis dibawah pengarahan [[Raden Saleh]], seorang teman dari ayahnya. Meskipun ia dilaporkan menunjukan kemampuannya, ia tak melanjutkan hobinya karena ibunya menentangnya. Ia juga menunjukan kemampuan dalam bentuk-bentuk sastra tradisional seperti ''[[pantun]]'' (sebuah bentuk puisi) dan gemar membuatnya sendiri.{{sfn|Tio|1958|p=41}}
Pada tahun 1866, Lie dan keluarganya kembali ke Buitenzorg. Pada saat itu, tidak ada sekolah yang menawarkan pendidikan bergaya Eropa di sana sehingga Lie kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang dijalankan oleh etnis Tionghoa. Selama tiga tahun, di bawah arahan dari tiga kepala sekolah yang berbeda, Lie diminta mengulang frasa [[dialek Hokkien|Hokkien]] tradisional dan menyalin [[aksara Tionghoa]] tanpa memahaminya. Tio pun berpendapat bahwa Lie hanya mendapat sedikit ilmu pengetahuan di sekolah tersebut sehingga sampai meninggal, Lie tidak dapat memahami [[bahasa Mandarin]].{{sfn|Tio|1958|p=35}} Selama di Buitenzorg, Lie juga belajar melukis di bawah arahan dari [[Raden Saleh]] yang merupakan teman dari ayahnya. Walaupun diberitakan memiliki keahlian dalam melukis, Lie tidak melanjutkan hobinya tersebut karena ibunya tidak setuju. Lie juga menunjukkan ketertarikan pada bentuk-bentuk sastra tradisional seperti [[pantun]] dan gemar membuat pantunnya sendiri.{{sfn|Tio|1958|p=41}}


Ketika [[Sierk Coolsma]] membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada 31 Mei 1869, Lie berada di kelas satu dari sepuluh kelas. Ia kembali belajar dengan menggunakan bahasa Sunda, subyek yang sama yang ia dapatkan waktu ia berada di Cianjur. Pada waktu itu, ia mulai mempelajari [[bahasa Belanda]]. Setelah sekolah yang dijalankan oleh pemerintah dibuka pada 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa; para pelajar Sunda, yang kebanyakan Muslim, yang ditransfer ke sekolah baru karena khawatir dimurtadkan ke agama Kristen.{{sfn|Tio|1958|pp=32–34, 36}} Pada 1873, Coolsma dikirim ke [[Sumedang]] untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Sunda dan menggantikan misionaris D. J. van der Linden.{{efn|Sumber tersebut tidak mengindikasikan nama pertama-nya.}} Pembelajarannya dilanjutkan di tanah Melayu, karena van der Linden belum dapat berbicara dalam bahasa Sunda. Hubungan Lie dan kepala sekolah baru-nya kemudian menjadi tertutup.{{sfnm|1a1=Setyautama|1a2=Mihardja|1y=2008|1pp=175–176|2a1=Adam|2y=1995|2pp=64–65}} Dua tahun kemudian, ia bekerja di sekolah van der Linden dan mendirikan rumah dan menyebarkan pemahaman mengenai teater tradisional, termasuk [[wayang]].{{sfn|Setiono|2008|pp=234–235}}
Saat [[Sierk Coolsma]] membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada tanggal 31 Mei 1869, Lie menjadi salah satu dari sepuluh siswa pertama di sekolah tersebut. Lie pun kembali belajar dalam bahasa Sunda dan mendapat pelajaran yang sama seperti yang ia dapatkan saat bersekolah di Cianjur. Pada saat itu, ia juga mulai mempelajari [[bahasa Belanda]]. Setelah sebuah [[Sekolah negeri (pemerintah)|sekolah negeri]] dibuka pada tahun 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah anak yang beretnis Tionghoa karena teman sekolahnya yang bersuku Sunda, yang kebanyakan beragama Islam, pindah ke sekolah negeri karena takut dipindah ke agama Kristen.{{sfn|Tio|1958|pp=32–34, 36}} Pada tahun 1873, Coolsma diutus ke [[Sumedang]] untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Sunda sehingga ia digantikan oleh sesama misionaris, D. J. van der Linden.{{efn|Sumber tidak menyebutkan nama depannya.}} Pembelajaran pun dilanjutkan dengan menggunakan bahasa Melayu karena van der Linden tidak dapat berbicara dalam bahasa Sunda. Hubungan Lie dan van der Linden kemudian menjadi dekat.{{sfnm|1a1=Setyautama|1a2=Mihardja|1y=2008|1pp=175–176|2a1=Adam|2y=1995|2pp=64–65}} Lie lalu bekerja di sekolah dan perusahaan percetakan milik van der Linden, serta sama-sama tertarik pada teater tradisional, termasuk [[wayang]].{{sfn|Setiono|2008|pp=234–235}}


== Guru dan penerbit ==
== Guru dan penerbit ==
Pada usia dua puluh tahun, Lie fasih berbahasa Sunda dan bahasa Melayu; ia juga fasih berbicara dalam bahasa Belanda, suatu hal yang jarang untuk etnis Tionghoa pada waktu itu.{{sfn|Setiono|2008|p=233}} Lie membantu van der Linden di sebuah sekolah misionaris, dan pada pertengahan 1870-an, ia mengoperasikan sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang miskin. Ia juga bekerja pada tempat percetakan milik misionaris, Zending Press, dengan gaji empat puluh [[gulden Hindia Belanda|gulden]] per bulan sementara ia menjabat sebagai penyunting dua majalah keagamaan, mingguan berbahasa Belanda ''De Opwekker'' dan dwiminggu berbahasa Melayu ''Bintang Djohor''.{{sfn|Suryadinata|1995|pp=81–82}} Ia menikahi Oey Pek Nio, yang berjarak tujuh tahun, pada 1876.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Tio, dalam sebuah wawancara dengan sarjana [[sastra Tionghoa Melayu]] Claudine Salmon, menyatakan bahwa Lie sebenarnya bertunangan saudara sulung Oey<!--name not recorded-->, tetapi karena ia melarikan diri pada malam hari sebelum upacara pernikahan, ia disuruh kepada orangtuanya untuk menikahi Oey Pek Nio untuk menyelamatkan muka.{{sfn|Salmon|1994|p=141}} Meskipun ia tidak senang dengan perintah tersebut, ia tetap menaatinya.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Hubungan pasangan ini semakin bertambah dekat. Tahun berikutnya, mereka melahirkan anak pertama mereka, meskipun bayi tersebut kemudian meninggal setelah lahir. Ibu Lie wafat pada 1879, dan ayahnya wafat pada tahun berikutnya.{{sfn|Tio|1958|pp=46–47}}
Pada usia 20 tahun, Lie telah fasih ber[[bahasa Sunda]] dan [[Bahasa Melayu|Melayu]]. Ia juga telah dapat berbicara dalam bahasa Belanda dengan lancar yang merupakan hal yang langka bagi [[Kelompok etnik|etnis]] Tionghoa pada masa itu.{{sfn|Setiono|2008|p=233}} Lie membantu van der Linden di sekolah misionaris dan pada pertengahan dekade 1870-an. Lie juga membuka sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang kurang mampu. Lie juga bekerja di perusahaan percetakan milik van der Linden, yakni Zending Press dengan gaji sebesar 40 [[gulden Hindia Belanda|gulden]] per bulan sembari menjadi editor di majalah keagamaan mingguan berbahasa Belanda, ''De Opwekker'' dan majalah keagamaan dwimingguan berbahasa Melayu, ''Bintang Djohor''.{{sfn|Suryadinata|1995|pp=81–82}} Pada tahun 1876, Lie menikahi Oey Pek Nio yang berusia tujuh tahun lebih muda darinya.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Tio, dalam sebuah wawancara dengan akademisi [[sastra Tionghoa Melayu]], Claudine Salmon, menyatakan bahwa Lie sebenarnya bertunangan dengan kakak dari Oey Pek Nio, tetapi kakak dari Oey Pek Nio melarikan diri semalam sebelum acara pernikahan sehingga Lie diminta oleh orang tuanya untuk menikahi Oey Pek Nio guna menyelamatkan muka keluarga.{{sfn|Salmon|1994|p=141}} Meskipun tidak senang dengan permintaan tersebut, Lie tetap menaatinya.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Hubungan Lie dan Oey Pek Nio kemudian menjadi semakin dekat. Setahun kemudian, Oey Pek Nio pun melahirkan anak pertamanya, tetapi anak tersebut meninggal tidak lama setelah lahir. Pada tahun 1879, ibu Lie meninggal, dan setahun kemudian, ayahnya juga meninggal.{{sfn|Tio|1958|pp=46–47}}


[[Berkas:Sair Tjerita Siti Akbari.jpg|jmpl|kiri|lurus|alt=Sebuah sampul buku yang tertulis "Sair Tjerita Siti Akbari"|Sampul ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]'', [[syair]] pertama yang diterbitkan oleh Lie.]]
[[Berkas:Sair Tjerita Siti Akbari.jpg|jmpl|kiri|lurus|alt=Sebuah sampul buku yang tertulis "Sair Tjerita Siti Akbari"|Sampul ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]'', [[syair]] pertama yang diterbitkan oleh Lie.]]
Ia kemudian menjual sekolahnya kepada Oey Kim Hoat dan meninggalkan posisinya sebagai Zending Press untuk mengambil pekerjaan sebagai pengawas lahan. Pada empat tahun berikutnya, ia mengambil berbagai pekerjaan.{{sfnm|1a1=Tio|1y=1958|1p=58|2a1=Suryadinata|2y=1995|2pp=81–82}} Pada 1881, Oey Pek Nio mengandung lagi. Ia [[kematian maternal|meninggal setelahnya]] dan bayi tersebut diserahkan untuk tinggal bersama kakek pihak ayah-nya di Gadog, sebuah desa yang berada di sebelah tenggara Buitenzorg, untuk dibesarkan. Anak tersebut wafat pada 1886.{{sfn|Tio|1958|pp=46–47}} Lie menerbitkan buku pertamanya pada 1884. Dua diantaranya, ''Kitab Edja'' dan ''Sobat Anak-Anak'', diterbitkan oleh Zending Press. Yang pertama adalah sebuah buku pelajaran untuk membantu para pelajar memahami penulisan Melayu, sementara yang kedua adalah kumpulan [[sastra anak-anak|cerita untuk anak-anak]] yang, menurut Aprinus Salam dari [[Universitas Gadjah Mada]], dianggap sebagai karya [[budaya populer|sastra populer]] pertama di Hindia Belanda.{{sfnm|1a1=Sumardjo|1y=2004|1p=47|2a1=Salam|2y=2002|2p=201}} Dua buku lainnya diterbitkan oleh W. Bruining&nbsp;&&nbsp;Co., yang bermarkas di ibu kota kolonial di Batavia (sekarang [[Jakarta]]). Salah satu diantaranya, ''[[Malajoe Batawi]]'', adalah buku mengenai tata bahasa Melayu yang mengatur standardisasi pengucapan bahasa.{{sfn|Tio|1958|p=114}} Karya yang lainnya adalah [[syair]] empat volume (sebuah bentuk puisi Melayu tradisional) ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]''; buku ini, yang menceritakan pasukan [[berlintas-busana|yang menyamarkan jenis kelaminnya]] pada Kesultanan Hindustan untuk melindungi suaminya, menjadi salah satu karya terbaik Lie.{{sfnm|1a1=Tio|1y=1958|1pp=46–47|2a1=Koster|2y=1998|2pp=98–99}}
Pasca kematian orang tuanya, Lie menjual sekolah umum miliknya ke Oey Kim Hoat dan keluar dari Zending Press untuk bekerja sebagai surveyor tanah. Lie kemudian bekerja di berbagai bidang hingga tahun 1884.{{sfnm|1a1=Tio|1y=1958|1p=58|2a1=Suryadinata|2y=1995|2pp=81–82}} Pada tahun 1881, Oey Pek Nio kembali melahirkan anak, tetapi ia [[kematian maternal|kemudian meninggal]] sehingga anaknya dititipkan ke kakeknya yang tinggal di [[Gadog, Megamendung, Bogor|Gadog]]. Namun, pada tahun 1886, anak tersebut juga meninggal.{{sfn|Tio|1958|pp=46–47}} Pada tahun 1884, Lie menerbitkan buku-buku pertamanya. Dua buku di antaranya, yakni ''Kitab Edja'' dan ''Sobat Anak-Anak'', diterbitkan oleh Zending Press. ''Kitab Edja'' adalah sebuah buku pelajaran untuk membantu para siswa dalam belajar menulis bahasa Melayu, sementara ''Sobat Anak-Anak'' adalah kumpulan [[sastra anak-anak|cerita anak]] yang disebut oleh Aprinus Salam dari [[Universitas Gadjah Mada]] sebagai karya [[budaya populer|sastra populer]] pertama di Hindia Belanda.{{sfnm|1a1=Sumardjo|1y=2004|1p=47|2a1=Salam|2y=2002|2p=201}} Dua buku lain karya Lie diterbitkan oleh W. Bruining & Co., yang berbasis di Batavia (sekarang [[Jakarta]]). Salah satu buku di antaranya, yakni ''[[Malajoe Batawi]]'', adalah buku mengenai tata bahasa Melayu yang dimaksudkan untuk menstandarkan pengucapan bahasa Melayu.{{sfn|Tio|1958|p=114}} Satu buku lainnya adalah [[syair]] empat volume berjudul ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]].'' Buku tersebut menceritakan seorang pejuang [[berlintas-busana|yang menyamarkan jenis kelaminnya]] dan kemudian berhasil menaklukkan [[Kekaisaran Mughal (1526–1857)|Kesultanan Hindustan]] untuk menyelamatkan suaminya. Buku tersebut pun menjadi salah satu karya Lie yang paling terkenal.{{sfnm|1a1=Tio|1y=1958|1pp=46–47|2a1=Koster|2y=1998|2pp=98–99}}


Setelah kematian van der Linden pada tahun 1885, Lie membayar para janda guru-gurunya dengan jumlah 1,000&nbsp;gulden untuk memperoleh Zending Press; dana tersebut sebagian dipinjam dari teman-temannya.{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} Ia mengganti nama pencetak menjadi Lie Kim Hok setelahnya. Ia menghabiskan banyak waktunya di tempat percetakan tersebut, dan mengembangkannya dengan cepat, mencetak karya penulis lainnya dan mencetak ulang beberapa tulisan Lie dari masa sebelumnya. Namun, tempat percetakan tersebut tidak mendapatkan keuntungan.{{sfn|Tio|1958|pp=49–50}} Pada tahun itu, ia menerbitkan syair baru, yang berisi 24&nbsp;[[kuartet]], yang berjudul ''Orang Prampoewan''.{{sfn|Tio|1958|p=125}} Ia juga menulis karya opini di berbagai surat kabar, termasuk ''Bintang Betawi'' dan ''Domingoe''.{{sfn|Tio|1958|p=51}}
Setelah van der Linden meninggal pada tahun 1885, Lie membeli Zending Press dengan harga 1.000 gulden. Sebagian dari uang tersebut berasal dari pinjaman teman-temannya.{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} Ia lalu mengubah nama perusahaan percetakan tersebut menjadi Lie Kim Hok. Ia kemudian menghabiskan sebagian besar waktunya di perusahaan percetakan tersebut dan perusahaan percetakan tersebut pun tumbuh pesat dengan mencetak karya penulis lain dan mencetak ulang sejumlah karya Lie. Walaupun begitu, perusahaan percetakan tersebut belum dapat mencetak laba.{{sfn|Tio|1958|pp=49–50}} Pada tahun 1885 juga, Lie menerbitkan sebuah syair baru berjudul ''Orang Prampoewan'' yang berisi 24 [[kuartet]].{{sfn|Tio|1958|p=125}} Lie juga menulis opini di berbagai surat kabar, termasuk di ''Bintang Betawi'' dan ''Domingoe''.{{sfn|Tio|1958|p=51}}


Pada tahun berikutnya, Lie mendapatkan hak percetakan pada surat kabar berbahasa Melayu ''[[Pembrita Betawi]]'', bermarkas di Batavia dan ditulis oleh W. Meulenhoff, dengan 1,000&nbsp;gulden. Ia lagi-lagi meminjam dari teman-temannya. Pada pertengahan 1886,{{efn|{{harvtxt|Tio|1958|p=55}} tanggalnya 1&nbsp;September, tanggal yang juga dikutip pada {{harvtxt|Adam|1995|pp=64–66}}. Namun, dalam kutipan {{harvtxt|Tio|1958|p=145}}, tanggal yang diberikan adalah 1 Juni.}} Lie membuka sebuah tempat (ketika ia pindah ke Batavia) untuk digunakan sebagai percetakan surat kabar.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Ketika bosan dengan pekerjaan pers, ia menulis atau berkontribusi dalam dunia perbukuan. Dua karya nonfiksi, satu koleksi nubuatan Tiongkok dan yang terakhir adalah uraian hukum penyewaan. Yang ketiga adalah sebagian terjemahan ''[[Seribu Satu Malam]]'', sebuah koleksi yang kemudian populer di kalangan Melayu. Yang terakhir adalah novel pertamanya, ''[[Tjhit Liap Seng]]''.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Novel tersebut menceritakan tentang sekelompok orang terdidik di daratan utama Tiongkok, ''Tjhit Liap Seng'' yang dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}
Pada tahun 1886, Lie membeli hak untuk mencetak ''[[Pembrita Betawi]]'', sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang berbasis di Batavia dan editornya dipimipin oleh W. Meulenhoff, dengan harga 1.000 gulden. Sebagian dari uang tersebut juga berasal dari pinjaman teman-temannya. Pada pertengahan tahun 1886,{{efn|{{harvtxt|Tio|1958|p=55}} menyatakan mulai 1&nbsp;September, yang juga dikutip oleh {{harvtxt|Adam|1995|pp=64–66}}. Namun, dalam sebuah kutipan, {{harvtxt|Tio|1958|p=145}} menyatakan tanggal 1 Juni.}} perusahaan percetakan milik Lie (yang telah dipindah ke Batavia) pun mulai disebut sebagai pencetak Pembrita Betawi.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Di tengah kesibukannya di perusahaan percetakan tersebut, Lie tetap menulis atau berkontribusi di empat buku. Dua buku pertama bergenre nonfiksi, yakni buku koleksi ramalan Tiongkok dan buku mengenai hukum sewa. Sementara, buku ketiga merupakan hasil terjemahan sebagian dari ''[[Seribu Satu Malam]]'', yaitu sebuah koleksi yang telah populer di kalangan Melayu. Sedangkan, buku keempat adalah novel pertama karya Lie, yakni ''[[Tjhit Liap Seng]]''.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Novel tersebut menceritakan sekelompok orang terpelajar di daratan utama Tiongkok. ''Tjhit Liap Seng'' pun dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}


Lie melanjutkan penerbitan 5 novel yang berlatar belakang Tiongkok sampai 1887. Beberapa kisahnya berdasarkan pada cerita-cerita Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.{{sfn|Tio|1958|pp=72–73}} Pelukis tersebut menjual sahamnya pada ''Pembrita Betawi'' sampai Karsseboom&nbsp;&&nbsp;Co. pada 1887, tetapi ia melanjutkan pencetakan surat kabar sampai perusahaan tersebut&nbsp;– dan cetakan surat kabar milik Lie&nbsp;– diakuisisi oleh Albrecht&nbsp;&&nbsp;Co. pada tahun berikutnya.{{sfnm|1a1=Adam|1y=1995|1pp=64–66|2a1=Tio|2y=1958|2p=55}} Lie tidak lagi bekerja sebagai penerbit, meskipun ia melanjutkan penulisan pada berbagai surat kabar, termasuk penerbitan baru Meulenhoff ''Hindia Olanda''.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Pada tiga tahun berikutnya, ia tidak memiliki pekerjaaan yang tetap, mengambil berbagai pekerjaan, meliputi penjual bambu, kontraktor, dan kasir.{{sfn|Setyautama|Mihardja|2008|pp=253–254}}
Hingga tahun 1887, Lie juga menulis lima novel lain yang berlatar belakang Tiongkok. Beberapa novel tersebut didasarkan pada kisah-kisah Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.{{sfn|Tio|1958|pp=72–73}} Pada tahun 1887, Lie menjual saham ''[[Pembrita Betawi]]'' ke Karsseboom & Co., tetapi ia tetap mencetak ''Pembrita Betawi'' hingga surat kabar tersebut dan perusahaan percetakan miliknya diakuisisi oleh Albrecht & Co. pada tahun 1888.{{sfnm|1a1=Adam|1y=1995|1pp=64–66|2a1=Tio|2y=1958|2p=55}} Lie kemudian tidak lagi berbisnis di bidang penerbitan, tetapi tetap berkontribusi di sejumlah surat kabar, termasuk di surat kabar baru milik [[Meulenhoff]], yakni ''Hindia Olanda''.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Hingga tahun 1890, Lie pun tidak memiliki pekerjaaan tetap dan melakukan berbagai pekerjaan, termasuk menjadi penjual bambu, kontraktor, dan kasir.{{sfn|Setyautama|Mihardja|2008|pp=253–254}}


== Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian ==
== Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian ==
Pada tahun 1890, Lie mulai bekerja di penggilingan yang dioperasikan oleh temannya Tan Wie Siong sebagai seorang petinggi; pekerjaan ini akan menjadi sumber utama dari pendapatannya selama sisa hidupnya. Pada tahun berikutnya, ia menikahi Tan Sioe Nio, juniornya yang berumur dua puluh tahun. Pasangan baru tersebut memiliki hidup dengan nyaman: gajinya mencukupi, dan pekerjaannya tidak menghabiskan banyak tenaga. Ia mendorong Lie agar kembali melakukan penerjemahan, bahasa Belanda ke bahasa Melayu atau sebaliknya. Terkadang ia menerjemahkan surat tanah atau dokumen sah lainnya. Di lain waktu, ia menerjemahkan karya-karya sastra.{{sfn|Tio|1958|pp=57–59}} Karya-karya tersebut meliputi ''De Graaf de Monte Cristo'', sebuah terjemahan dari ''[[The Count of Monte Cristo|Le Comte de Monte-Cristo]]'' pada tahun 1894 karya [[Alexandre Dumas]], yang ia selesaikan dalam kerjasamanya dengan jurnalis [[orang Indo|Indo]] F. Wiggers.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Dua diantaranya meliputi catatan kaki yang mendeskripsikan aspek kebudayaan Eropa yang mereka anggap sulit untuk dimengerti bagi para pembaca non-Eropa.{{sfn|Jedamski|2002|p=30}} Tiga tahun kemudian, Lie menerbitkan ''Hikajat Kong Hoe Tjoe'', sebuah buku tentang pengajaran [[Konghucu]].{{sfn|Adam|1995|p=73}} Isinya berasal dari penulisan orang Eropa mengenai [[Konfusianisme]] dan pemaparan dari teman-temannya.{{sfn|Tio|1958|p=73}}
Pada tahun 1890, Lie mulai bekerja sebagai [[penyelia]] di penggilingan gabah yang dioperasikan oleh temannya, Tan Wie Siong. Pekerjaan tersebut pun menjadi sumber pendapatan utama bagi Lie hingga meninggal. Setahun kemudian, Lie menikahi Tan Sioe Nio yang berusia 20 tahun lebih muda. Keduanya pun hidup dengan nyaman karena pekerjaan Lie tidak menghabiskan banyak tenaga dan gajinya cukup. Untuk menambah pendapatannya, Lie kemudian kembali melakukan penerjemahan, dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu ataupun sebaliknya. Terkadang ia juga menerjemahkan surat tanah atau dokumen hukum lainnya. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya-karya sastra,{{sfn|Tio|1958|pp=57–59}} termasuk ''De Graaf de Monte Cristo'' pada tahun 1894, yang merupakan hasil terjemahan dari ''[[Pangeran Monte Cristo]]'' karya [[Alexandre Dumas]]. Terjemahan tersebut ia selesaikan melalui kolaborasi dengan jurnalis [[orang Indo|Indo]], [[Ferdinand Wiggers]].{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Terjemahan tersebut juga dilengkapi dengan [[catatan kaki]] untuk mendeskripsikan aspek kebudayaan Eropa yang dianggap sulit untuk dimengerti oleh para pembaca non-Eropa.{{sfn|Jedamski|2002|p=30}} Tiga tahun kemudian, Lie menerbitkan ''Hikajat Kong Hoe Tjoe'', sebuah buku mengenai ajaran [[Konghucu]].{{sfn|Adam|1995|p=73}} Isi buku tersebut berasal dari tulisan-tulisan orang Eropa mengenai [[Konfusianisme]] dan dari penjelasan teman-teman Lie.{{sfn|Tio|1958|p=73}}


[[Berkas:Phoa Keng Hek.jpg|jmpl|alt=Sebuah foto hitam-putih seorang pria Tionghoa mengenakan jas menghadap ke depan|Bekas teman sekolah Lieyang bernama [[Phoa Keng Hek]], salah satu pendiri [[Tiong Hoa Hwe Koan]].]]
[[Berkas:Phoa Keng Hek.jpg|jmpl|alt=Sebuah foto hitam-putih seorang pria Tionghoa mengenakan jas menghadap ke depan|Bekas teman sekolah Lie yang bernama [[Phoa Keng Hek]], salah satu pendiri [[Tiong Hoa Hwe Koan]].]]
Dengan sembilan belas orang beretnis Tionghoa lainnya, termasuk bekas teman sekolah-nya yang bernama [[Phoa Keng Hek]], Lie adalah seorang pembentukan keanggotaan sistem sekolah dan organisasi sosial [[Tiong Hoa Hwe Koan]] (THHK) pada tahun 1900.{{sfn|Adam|1995|p=72}} Berusaha untuk memperjuangkan hak asasi etnis Tionghoa pada waktu itu ketika mereka [[Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia|dianggap sebagai warga kelas dua]]{{efn|Pada masa tersebut pemerintahan kolonial Belanda membagi tiga kelompok, setiap kelompok memiliki hak-hak yang berbeda. Tingkat tertinggi adalah orang-orang Eropa, diikuti dengan etnis Tionghoa dan "timur asing" lainnya. Kelompok etnis pribumi, meliputi Sunda dan [[orang Jawa|Jawa]], berada di tingkat terbawah {{harv|Tan|2008|p=15}}.}} dan menetapkan standardisasi pendidikan formal kepada para pelajar beretnis Tionghoa di mana Belanda tidak melakukannya, organisasi tersebut berdasarkan pada pengajaran Konghucu dan sekolah-sekolah yang terbuka untuk laki-laki dan perempuan. THHK bergerak cepat dan masuk ke dalam bidang-bidang yang berbeda, dan Lie membantu pembentukan kelompok debat, kelompok olahraga, dan acara amal dan konser.{{sfn|Tio|1958|pp=63–71}} Dari 1903 sampai 1904 Lie menjadi anggota pada badan tersebut, utamanya bertugas sebagai bendaharanya.{{sfn|Setyautama|Mihardja|2008|pp=253–254}}
Pada tahun 1900, bersama 19 orang etnis Tionghoa lainnya, termasuk mantan teman sekolahnya yang bernama [[Phoa Keng Hek]], Lie mendirikan organisasi sosial dan sistem sekolah [[Tiong Hoa Hwee Koan|Tiong Hoa Hwe Koan]] (THHK).{{sfn|Adam|1995|p=72}} Ditujukan untuk mempromosikan hak asasi etnis Tionghoa yang saat itu [[Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia|dianggap sebagai warga kelas dua]]{{efn|Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda mengakui tiga kelompok, masing-masing dengan hak yang berbeda. Kelompok teratas adalah orang Eropa, lalu diikuti oleh etnis Tionghoa dan etnis "timur asing" lainnya. Sementara etnis pribumi, seperti Sunda dan [[orang Jawa|Jawa]], berada di kelompok terbawah {{harv|Tan|2008|p=15}}.}} dan menyediakan pendidikan formal terstandar untuk para pelajar beretnis Tionghoa yang tidak disediakan oleh Belanda, organisasi tersebut didasarkan pada ajaran Konghucu dan membuka sekolah untuk laki-laki maupun perempuan. THHK lalu tumbuh pesat dan berkembang ke sejumlah bidang. Lie pun membantu pembentukan klub debat dan klub olahraga, serta penyelenggaraan acara dan konser amal.{{sfn|Tio|1958|pp=63–71}} Mulai tahun 1903 hingga 1904, Lie adalah pengurus THHK, dan terutama bertindak sebagai bendahara.{{sfn|Setyautama|Mihardja|2008|pp=253–254}}


Lie meninggalkan THHK pada 1904, tetapi ia tetap aktif dalam karya sosial. Meskipun kesehatannya buruk,{{sfn|Tio|1958|p=59}} ia menulis opini untuk harian ''Sin Po'' dan ''Perniagaan''.{{sfn|Tio|1958|pp=58–59, 82–83}} Ia juga melakukan penerjemahan secara ekstensif. Pada 1905, Lie menerbitkan volume pertama dari novel bertemakan Tionghoa terakhir buatannya, ''Pembalasan Dendam Hati''. Diikuti oleh ''Kapitein Flamberge'', sebuah terjemahan dari ''Le Capitaine Belle-Humeur'' karya [[Paul Saunière]], pada tiga tahun kemudian. Pada tahun-tahun setelahnya, ia menerjemahkan beberapa buku yang menampilkan karakter petualang fiktif yang bernama [[Rocambole (karakter)|Rocambole]] karya [[Pierre Alexis Ponson du Terrail]], dimulai dengan ''Kawanan Pendjahat'' pada 1910. Dua terjemahan terakhir diterbitkan di surat kabar dan diluncurkan sebagai sebuah novel setelah kematian Lie: ''Geneviève de Vadans'', dari sebuah buku yang berjudul ''De Juffrouw van Gezelschap'', dan ''Prampoean jang Terdjoewal'', dari ''Dolores, de Verkochte Vrouw'' karya Hugo Hartmann. Sisa-sisa terjemahan diselesaikan oleh seorang jurnalis bernama Lauw Giok Lan.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}}
Pada tahun 1904, Lie keluar dari THHK, tetapi ia tetap aktif melakukan kerja sosial. Meskipun kesehatannya makin buruk,{{sfn|Tio|1958|p=59}} Lie tetap menulis opini untuk harian ''[[Sin Po]]'' dan ''[[Perniagaan (surat kabar)|Perniagaan]]''.{{sfn|Tio|1958|pp=58–59, 82–83}} Ia juga melakukan penerjemahan secara ekstensif. Pada tahun 1905, Lie menerbitkan volume pertama dari novel bertemakan Tionghoa terakhirnya, yakni ''Pembalasan Dendam Hati''. Tiga tahun kemudian, novel tersebut disusul oleh ''Kapitein Flamberge'' yang merupakan hasil terjemahan dari ''Le Capitaine Belle-Humeur'' karya [[Paul Saunière]]. Lie kemudian menerjemahkan sejumlah buku yang menampilkan karakter petualang fiktif [[Rocambole (karakter)|Rocambole]] karya [[Pierre Alexis Ponson du Terrail]], dimulai dengan ''Kawanan Pendjahat'' pada tahun 1910. Dua terjemahan terakhir Lie diterbitkan di surat kabar dan diluncurkan sebagai novel setelah ia meninggal, yakni ''Geneviève de Vadans'', yang merupakan hasil terjemahan dari ''De Juffrouw van Gezelschap'' dan ''Prampoean jang Terdjoewal'', yang merupakan hasil terjemahan dari ''Dolores, de Verkochte Vrouw'' karya Hugo Hartmann. Penerjemahan ''Dolores, de Verkochte Vrouw'' sebenarnya belum selesai saat Lie meninggal sehingga dilanjutkan oleh [[Lauw Giok Lan]].{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}}


Di malam hari pada tanggal 2 Mei 1912, Lie diterpa penyakit, dan dua hari kemudian dokternya<!--W. F. Sikman--> mendiagnosanya mengidap [[tipus]]. Kondisinya semakin memburuk dan pada 6 Mei 1912, ia wafat. Ia dimakamkan di [[Petamburan, Tanah Abang|Kota Bambu, Batavia]]. Sekolah-sekolah THHK di seluruh kota tersebut mengibarkan bendera mereka dalam keadaan [[setengah tiang]]. Lie meninggalkan istrinya dan empat anak: Soan Nio (kelahiran 1892), Hong Nio (kelahiran 1896), Kok Hian (kelahiran 1898), dan Kok Hoei (kelahiran 1901). Tan Sioe Nio wafat pada tahun setelahnya.{{sfnm|1a1=Setyautama|1a2=Mihardja|1y=2008|1pp=253–254|2a1=Tio|2y=1958|2pp=58–59, 82–83}}
Pada malam hari tanggal 2 Mei 1912, Lie jatuh sakit dan dua hari kemudian, dokter mendiagnosis bahwa ia mengidap [[Penyakit Rickettsia|tifus]]. Kondisi kesehatan Lie lalu makin buruk sehingga akhirnya Lie meninggal pada tanggal 6 Mei 1912. Ia kemudian dimakamkan di [[Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat|Kota Bambu, Batavia]]. Sekolah-sekolah THHK di seantero Batavia pun sempat mengibarkan bendera mereka secara [[Bendera setengah tiang|setengah tiang]]. Lie meninggalkan seorang istri, yakni Tan Sioe Nio, dan empat orang anak, yakni Lie Soan Nio (lahir tahun 1892), Lie Hong Nio (lahir tahun 1896), Lie Kok Hian (lahir tahun 1898), dan Lie Kok Hoei (lahir tahun 1901). Lalu, istrinya juga meninggal setahun kemudian.{{sfnm|1a1=Setyautama|1a2=Mihardja|1y=2008|1pp=253–254|2a1=Tio|2y=1958|2pp=58–59, 82–83}}


== Warisan ==
== Warisan ==


Dalam karier jurnalisme-nya, Lie berusaha untuk menghindari taktik [[koran kuning]] yang digunakan oleh orang-orang sezamannya{{sfn|Setiono|2008|p=239}} dan lebih memilih untuk menghindari [[polemik]] luas dalam pers.{{sfn|Tio|1958|p=53}} Sejarawan jurnalisme Malaysia yang bernama Ahmat Adam, ditulis pada 1995, menyatakan bahwa masuknya Lie ke dalam dunia pers memicu gelombang para penulis ''peranakan'' Tionghoa menjadi penyunting surat kabar,{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} dan Sumardjo menyatakan bahwa Lie masih sangat dikenal oleh kaum pribumi Indonesia melalui karyanya di media cetak.{{sfn|Sumardjo|2004|p=100}}
Dalam karier jurnalismenya, Lie berusaha untuk menghindari taktik [[koran kuning]] yang saat itu cukup banyak digunakan{{sfn|Setiono|2008|p=239}} dan lebih memilih untuk menghindari [[polemik]] ekstensif di dunia pers.{{sfn|Tio|1958|p=53}} Sejarawan jurnalisme Malaysia, Ahmat Adam, dalam sebuah tulisan pada tahun 1995, menyatakan bahwa masuknya Lie ke dalam dunia pers memicu banyak penulis peranakan Tionghoa untuk menjadi penyunting surat kabar.{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} Sumardjo juga menyatakan bahwa Lie paling dikenal oleh kaum pribumi Indonesia melalui karyanya di dunia pers.{{sfn|Sumardjo|2004|p=100}}


Dari perspektif [[Linguistik|para linguis]], Kasijanto Sastrodinomo dari [[Universitas Indonesia]] menyatakan ''Malajoe Batawi'' sebagai buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh non-Melayu yang "luar biasa".{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Ia juga menyatakan bawa buku-buku tersebut tidak menggunakan istilah-istilah sastra yang berasal dari bahasa Inggris yang biasanya muncul dalam buku teks Indonesia pada abad ke-20.{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Linguis Waruno Mahdi menyatakan bahwa ''Malajoe Batawi'' karya Lie adalah "sebagian besar prestasi dari penulisan Tionghoa Melayu" dari titik pandangan para linguis.{{sfn|Mahdi|2006|p=95}} Dalam disertasi doktoralnya, Benitez berpendapat bahwa Lie berharap agar pengucapan dalam bahasa Melayu menjadi ''[[lingua franca]]'' di Hindia Belanda.{{sfn|Benitez|2004|p=261}} Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu-nya, [[Nio Joe Lan]] mendapati bahwa Lie, yang dipengaruhi oleh pendidikan misionaris, berusaha untuk mempertahankan penggunaan bahasa pada masa itu di mana perhatian terhadap tata bahasa tak umum dilakukan.{{sfn|Nio|1962|p=16}} Nio menyatakan Lie sebagai "satu-satunya penulis peranakan Tionghoa pada zaman itu yang memperoleh pelajaran ilmu tata bahasa Melayu secara metodis" {{efn|Asli: "''penulis Tionghoa-Peranakan satu<sup>2</sup>nja pada zaman itu jang telah memperoleh peladjaran ilmu tata-bahasa Melaju setjara metodis.''"}}{{sfn|Nio|1962|p=28}} Adam menganggap karya-karya Lie telah meninggalkan "sebuah tanda yang tak terhapuskan pada pengembangan bahasa Indonesia modern".{{sfn|Coppel|2013|p=352}}
Dari perspektif seorang [[Linguistik|linguis]], Kasijanto Sastrodinomo dari [[Universitas Indonesia]] mendeskripsikan ''Malajoe Batawi'' sebagai sebuah buku yang "luar biasa", karena merupakan buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh orang non-Melayu.{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Ia juga menyatakan bahwa buku tersebut tidak menggunakan satupun istilah sastra yang diturunkan dari bahasa Inggris, yang biasanya banyak ditemukan di buku teks Indonesia pada abad ke-20.{{sfn|Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie}} Linguis Waruno Mahdi menulis bahwa ''Malajoe Batawi'' karya Lie adalah "tulisan Tionghoa Melayu paling luar biasa" dari sudut pandang seorang linguis.{{sfn|Mahdi|2006|p=95}} Dalam disertasi doktoralnya, Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap agar bahasa Melayu dapat menjadi ''[[lingua franca]]'' di Hindia Belanda.{{sfn|Benitez|2004|p=261}} Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu, karyanya, [[Nio Joe Lan]] mendapati bahwa Lie, yang dipengaruhi oleh pendidikan misionarisnya, berusaha untuk mempertahankan penggunaan bahasa yang teratur karena perhatian terhadap tata bahasa saat itu masih sangat jarang.{{sfn|Nio|1962|p=16}} Nio pun mendeskripsikan Lie sebagai "penulis Tionghoa Peranakan satu-satunya pada zaman itu yang telah memperoleh pelajaran ilmu tata bahasa Melayu secara metodis"{{sfn|Nio|1962|p=28}} Adam menganggap karya-karya Lie telah meninggalkan "sebuah tanda yang abadi pada perkembangan bahasa Indonesia modern".{{sfn|Coppel|2013|p=352}}


[[Berkas:Poster siti akbari.jpg|jmpl|alt=Poster hitam-putih dengan pinggiran coklat; foto-foto menceritakan berbagai adegan dari sebuah film.|Salah satu lembaran ''[[Siti Akbari]]'' karya [[Wong bersaudara]], yang dikatakan berdasarkan pada puisi Lie.]]
[[Berkas:Poster siti akbari.jpg|jmpl|alt=Poster hitam-putih dengan pinggiran coklat; foto-foto menceritakan berbagai adegan dari sebuah film.|''[[Siti Akbari]]'' karya [[Wong bersaudara]], yang konon didasarkan pada puisi karya Lie.]]
Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat karena kontribusinya pada [[sastra Indonesia]]{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} dengan terbitannya diterima dengan baik oleh orang-orang sezamannya. Tio menyatakan bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya, yang dipuji gaya-bahasanya yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."{{efn|Asli: "''Tua-muda membatja dengan mesra tulisan2nja, jang dipudji gaja-bahasanja jang sederhana, berirama, djernih, hidup, segar dan kuat. Tjermat dan tepat dipilihnja kata2, tertib dan rapi disusunnja kalimat2. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tadjam terhadap bintang2 ketjil jang muram diangkasa jang gelap-gelita.''."}}{{sfn|Tio|1958|pp=3–4}} Pujian secara berkelanjutan dianugerahkan oleh orang-orang yang sezaman lainnya, baik itu etnis pribumi dan etnis Tionghoa, seperti Ibrahim gelar Marah Soetan dan [[Agus Salim]].{{sfn|Setiono|2008|p=244}} Ketika penulis beretnis Tionghoa menjadi hal umum pada 1900-an, kritikus menjuluki Lie "bapak sastra Tionghoa Melayu" karena kontribusinya, meliputi ''Siti Akbari'' and ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}
Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat atas kontribusinya pada [[sastra Indonesia]],{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} dengan karyanya yang diterima dengan baik oleh orang yang hidup pada saat itu. Tio juga menulis bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya yang dipuji gaya-bahasanya yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar, dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."{{sfn|Tio|1958|pp=3–4}} Pujian lain juga diberikan oleh orang yang hidup pada saat itu, baik dari etnis pribumi maupun etnis Tionghoa, seperti [[Ibrahim Marah Soetan|Ibrahim gelar Marah Soetan]] dan [[Agus Salim]].{{sfn|Setiono|2008|p=244}} Saat penulis etnis Tionghoa menjadi hal yang umum pada dekade 1900-an, kritikus pun menjuluki Lie sebagai "bapak sastra Tionghoa Melayu" atas kontribusinya, seperti ''Siti Akbari'' dan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}


Beberapa buku Lie, meliputi ''Sair Tjerita Siti Akbari'', ''Kitab Edja'', ''Orang Prampoewan'', dan ''Sobat Anak-anak'', telah berkali-kali dicetak, meskipun Tio sudah tidak tercatat lagi setelah 1920-an.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Pada 2000. ''Kitab Edja'' dicetak ulang dari volume perdana ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia'', sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.{{sfn|Lie|2000|p=59}} ''Sair Tjerita Siti Akbari'', yang menurutnya merupakan salah satu karya terbaik-nya, yang diadaptasi pada drama panggung selama beberapa waktu. Lie menggunakan versi sederhana dari sebuah kelompok aktor remaja, yang sukses di Jawa Barat.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada 1922, cabang [[Sukabumi]] Shiong Tih Hui menampilkan adapatasi panggung lainnya ''Pembalesan Siti Akbari'', yang ditampilkan oleh kelompok teater [[Miss Riboet]] pada 1926.{{efn|Drama panggung tersebut dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] pada 2006 menggunakan [[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]].}}<ref>{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}; {{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}}</ref> [[Wong bersaudara]] menyutradarai sebuah film yang berjudul ''[[Siti Akbari]]'', yang dibintangi [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Film 1940 tersebut dibuat berdasarkan pada puisi Lie, meskipun pengaruhnya diragukan.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}; {{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
Sejumlah buku karya Lie, seperti ''Sair Tjerita Siti Akbari'', ''Kitab Edja'', ''Orang Prampoewan'' dan ''Sobat Anak-anak'', telah dicetak berulang kali. Akan tetapi, Tio tidak mencatat adanya pencetakan ulang lagi setelah dekade 1920-an.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Pada tahun 2000, ''Kitab Edja'' dicetak ulang di volume perdana dari ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia'', sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.{{sfn|Lie|2000|p=59}} ''Sair Tjerita Siti Akbari'', yang Lie anggap sebagai salah satu karya terbaiknya, pun telah beberapa kali diadaptasi menjadi drama panggung. Lie menggunakan versi sederhana untuk sebuah rombongan aktor remaja, yang ternyata cukup sukses di Jawa Barat.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, Shiong Tih Hui cabang [[Sukabumi]] meluncurkan adaptasi panggung lain berjudul ''Pembalesan Siti Akbari'', yang kemudian ditampilkan oleh rombongan teater [[Miss Riboet]] pada tahun 1926.{{efn|Drama panggung ini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] pada tahun 2006 dengan menggunakan [[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]].}}<ref>{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}; {{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}}</ref> [[Wong bersaudara]] juga menyutradarai sebuah film berjudul ''[[Siti Akbari]]'', yang dibintangi oleh [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Film buatan tahun 1940 tersebut konon didasarkan pada puisi karya Lie, tetapi kebenarannya belum dapat dipastikan.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}; {{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>


Setelah muncul gerakan [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis]] dan pemerintah kolonial Belanda memutuskan menggunakan [[Balai Pustaka]] untuk menerbitkan karya-karya sastra untuk bacaan kaum pribumi, karya-karya Lie mulai digabungkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[bahasa Melayu|Melayu Halus]] sebagai bahasa administrasi, sebuah bahasa yang digunakan untuk sehari-hari dan diajarkan di sekolah-sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di Sumatra, sementara Melayu pasaran dikembangkan sebagai [[Bahasa kreol]] untuk digunakan dalam dalam perdagangan yang biasanya dilakukan di kepulauan Barat; Melayu pasaran lebih umum dipakai oleh golongan kelas bawah. Nasionalis Indonesia memilih Melayu Halus untuk membantu pembangunan budaya nasional, mempromosikannya ke dalam surat kabar dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", kemudian digabungkan dan dianggap berkualitas rendah.{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1pp=15–16, 82–83|2a1=Sumardjo|2y=2004|2pp=44–45}} Tio, yang menulis pada tahun 1958, menemukan bahwa generasi muda tidak mempelajari tentang Lie dan karya-karyanya,{{sfn|Tio|1958|p=3}} dan empat tahun kemudian Nio menulis bahwa Melayu pasaran "telah beralih kedalam museum."{{sfn|Nio|1962|p=158}} Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa tidak ada studi kritik dari ''Sair Tjerita Siti Akbari'' yang dilakukan antara 1939 dan 1994.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}}
Setelah munculnya gerakan [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis]] dan pemerintah kolonial Belanda berupaya menggunakan [[Balai Pustaka]] untuk menerbitkan karya sastra bagi kaum pribumi, karya Lie pun mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[bahasa Melayu|Melayu Halus]] sebagai bahasa administrasi, yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan diajarkan di sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di Sumatra, sementara Melayu pasaran berkembang menjadi [[Bahasa kreol|kreol]] yang digunakan dalam kegiatan perdagangan di sebagian Hindia Belanda bagian barat. Melayu pasaran umumnya digunakan oleh masyarakat kelas bawah. Para nasionalis Indonesia juga menggunakan Melayu Halus untuk membantu membangun budaya nasional dan mempromosikannya melalui surat kabar dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", pun makin terpinggirkan dan dianggap berkualitas rendah.{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1pp=15–16, 82–83|2a1=Sumardjo|2y=2004|2pp=44–45}} Tio, dalam sebuah tulisannya pada tahun 1958, menemukan bahwa generasi muda tidak lagi mempelajari Lie dan karyanya,{{sfn|Tio|1958|p=3}} Empat tahun kemudian, Nio juga menulis bahwa Melayu pasaran "sudah beralih ke dalam museum."{{sfn|Nio|1962|p=158}} Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert pun mengindikasikan bahwa tidak ada lagi studi kritis yang dilakukan terhadap ''Sair Tjerita Siti Akbari'' mulai tahun 1939 hingga 1994.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}}


== Kontroversi ==
== Kontroversi ==
Pada penulisan di sebuah surat kabar milik orang beretnis Tionghoa yang bernama ''Lay Po'' pada tahun 1923, Tio menyatakan bahwa ''Sair Tjerita Siti Akbari'' sebetulnya dipengaruhi oleh sebuah puisi pada tahun 1847 yang berjudul ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]'', mencantumkan nama [[Raja Ali Haji]] atau saudaranya Saleha. Ia menyatakan bahwa ''Sair Siti Akbari'', dengan dinyatakan Lie adalah karya buatannya, terlepas dari alur awal pada karya tersebut.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}} Dalam biografi-nya pada tahun 1958, Tio sebenarnya ''Tjhit Liap Seng'' karya Lie adalah sebuah amalgamasi dari dua novel Eropa: ''Klaasje Zevenster'' karya [[Jacob van Lennep]] (1865) dan ''[[Les Tribulations d'un Chinois en Chine]]'' karya [[Jules Verne]] (1879).{{sfn|Tio|1958|pp=72–73}} Tio menyatakan bahwa buku ketiga, ''Pembalasan Dendam Hati'', memiliki kesamaan yang ekstensif dengan karya [[Xavier de Montépin]] yang diterjemahkan menjadi ''De Wraak van de Koddebeier''.{{sfn|Tio|1958|p=73}} Dalam menganggapi hal-hal tersebut, kritikus sastra seperti Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng menyatakan bahwa tidak ada penulisan Lie yang asli.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}}
Pada sebuah tulisan untuk koran ''Lay Po'' pada tahun 1923, Tio menyatakan bahwa ''Sair Tjerita Siti Akbari'' sangat dipengaruhi oleh sebuah puisi tahun 1847 yang berjudul ''[[Sjair Abdoel Moeloek]]'', karya [[Raja Ali Haji]] atau saudaranya, Saleha. Tio menyatakan bahwa ''Sair Siti Akbari'', yang Lie katakan sebagai karyanya sendiri, mengikuti alur dari ''Sjair Abdoel Moeloek''.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=103}} Dalam biografinya pada tahun 1958, Tio juga menyatakan bahwa ''Tjhit Liap Seng'' karya Lie adalah gabungan dari dua novel asal Eropa, yakni ''Klaasje Zevenster'' karya [[Jacob van Lennep]] (1865) dan ''[[Les Tribulations d'un Chinois en Chine]]'' karya [[Jules Verne]] (1879).{{sfn|Tio|1958|pp=72–73}} Tio pun menyatakan bahwa ''Pembalasan Dendam Hati'' karya Lie memiliki kesamaan dengan karya [[Xavier de Montépin]] yang diterjemahkan menjadi ''De Wraak van de Koddebeier''.{{sfn|Tio|1958|p=73}} Menganggapi pernyataan Tio tersebut, kritikus sastra seperti Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng pun menyatakan bahwa tidak ada karya Lie yang asli.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}}


Dalam mengeksplorasi kesamaan antara ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'', Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa unsur-unsur alur utama dalam buku-buku tersebut sama, meskipun beberapa diantaranya memperlihatkan satu cerita dan yang lainnya tidak&nbsp;– atau diberikan lebih mendetail. Ia menemukan dua perbedaan besar dalam kehidupan mereka, khususnya gaya Lie pada deskripsi dan realisme.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=109–112}} Salmon menyatakan bahwa alur utama ''Tjhit Liap Seng'' kebanyakan menjiplak ''Klaasje Zevenster'', dengan beberapa bagian yang tampaknya merupakan terjemahan langsung. Namun, ia mendapati bahwa Lie juga menambahkan, mengurangi, dan memodifikasi isinya; ia mencatat pendekatannya lebih jarang dalam hal deskripsi dan pengenalan karakter baru, Thio Tian, yang pernah tinggal di [[Jawa]].{{sfn|Salmon|1994|pp=133–139, 141}} Kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo menyatakan bahwa Lie "Boleh dikatakan ia asli dalam gaya tetapi tidak asli dalam bahan yang digarapnya".{{sfn|Sumardjo|2004|p=99}}
Walaupun begitu, kesimpulan Tio tersebut sangat ditentang oleh penulis yang menemukan keaslian dalam karya Lie. Tio sendiri menyatakan bahwa dalam menerjemahkan ''Kapitein Flamberge'', Lie telah mengubah bagian akhirnya, yakni karakter utama tidak meninggal akibat ledakan dinamit, tetapi berhasil bertahan hidup dan menikahi wanita idamannya, yakni Hermine de Morlay.{{sfn|Tio|1958|pp=90–91}} Dalam mengeksplorasi kesamaan antara ''Sjair Abdoel Moeloek'' dan ''Siti Akbari'', Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa unsur-unsur alur utama dalam dua buku tersebut memang sama, meskipun beberapa di antaranya hanya muncul di salah satu buku atau dimunculkan secara lebih perinci di salah satu buku. Ia menemukan bahwa dua buku tersebut berbeda gaya, terutama karena penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|pp=109–112}} Salmon menyatakan bahwa alur umum ''Tjhit Liap Seng'' sebagian besar mengikuti alur umum ''Klaasje Zevenster'', dengan beberapa bagian tampak seperti terjemahan langsung. Namun, ia mendapati bahwa Lie juga menambahkan, mengurangi, dan memodifikasi isinya. Ia mencatat bahwa Lie tidak terlalu menekankan pada deskripsi dan mengenalkan karakter baru, yakni Thio Tian, yang pernah tinggal di [[Jawa]].{{sfn|Salmon|1994|pp=133–139, 141}} Kritikus sastra Indonesia, Jakob Sumardjo, pun menyatakan bahwa "boleh dikatakan ia asli dalam gaya, tetapi tidak asli dalam bahan yang digarapnya".{{sfn|Sumardjo|2004|p=99}}


== Hasil karya ==
== Bibliografi ==
[[Berkas:Malajoe Batawi.jpg|jmpl|lurus|alt=Sebuah sampul buku|''[[Malajoe Batawi]]'', 1884]]
[[Berkas:Malajoe Batawi.jpg|jmpl|lurus|alt=Sebuah sampul buku|''[[Malajoe Batawi]]'', 1884]]
[[Berkas:Hikajat Khonghoetjoe.jpg|jmpl|lurus|alt=Sebuah sampul buku|''Hikajat Khonghoetjoe'', 1897]]
[[Berkas:Hikajat Khonghoetjoe.jpg|jmpl|lurus|alt=Sebuah sampul buku|''Hikajat Khonghoetjoe'', 1897]]
Menurut Tio, Lie menerbitkan 25 buku dan pamflet.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Salmon menyatakan bahwa beberapa karya Lie, seperti ''Lok Bouw Tan'', mungkin [[karya hilang|sudah hilang]].{{sfn|Salmon|1974|p=167}} Lie juga menulis sejumlah cerita pendek, tetapi tidak dicantumkan di sini.{{sfn|Tio|1958|p=77}}
Siti Akbari yang dipentaskan dalam [[drama]] pertunjukan dengan pengaruh Komedi Bangsawan masih sangat kuat. Di awal setiap pertunjukan, nyanyian selalu ditampilkan untuk menunggu waktu dan penonton; nyanyian juga dilantunkan di tengah pementasan untuk menunggu penataan panggung dan persiapan pemain di belakang layar. Siti Akbari bisa dianggap sebagai hal khusus dalam perkembangan awal drama kita sebab ditulis berdasarkan sebuah syair dan pementasannya bisa dibayangkan hanya semacam bacaan puisi atau puisi yang didramatisasi.<ref name="LKH3">{{id}} ''Antologi Drama Indonesia. Jilid 1: 1895-1930''. Penyunting Eko Endarmoko; Sonya Sondakh. Amanah Lontar, 2006. Jakarta. Halaman xxiii.</ref>

Salmon menyatakan bahwa beberapa karyanya, seperti ''Lok Bouw Tan'', [[karya hilang|tidak bertahan lama]].{{sfn|Salmon|1974|p=167}} Lie juga menulis beberapa cerita pendek, tetapi tidak dicantumkan di sini.{{sfn|Tio|1958|p=77}}


Karya-karyanya yang lain, yakni:
=== Puisi ===
=== Puisi ===


* {{cite book|title=[[Sair Tjerita Siti Akbari]]|year=1884|publisher=W. Bruining & Co.|location=Batavia}} (200 halaman dalam 2 jilid)
* {{cite book|title=[[Sair Tjerita Siti Akbari]]|year=1884|publisher=W. Bruining & Co.|location=Batavia}} (200 halaman dalam 2 volume)
* {{cite book|title=Orang Prampoewan|year=1885|publisher=Lie Kim Hok|location=Buitenzorg}} (4 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Orang Prampoewan|year=1885|publisher=Lie Kim Hok|location=Buitenzorg}} (4 halaman dalam 1 volume)


=== Fiksi ===
=== Fiksi ===


* {{cite book|title=Sobat Anak-anak|year=1884|publisher=Zending Pers|location=Buitenzorg}} (kumpulan cerita anak-anak; 40 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Sobat Anak-anak|year=1884|publisher=Zending Pers|location=Buitenzorg}} (kumpulan cerita anak-anak; 40 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=[[Tjhit Liap Seng]]|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 500 halaman dalam 8 jilid)
* {{cite book|title=[[Tjhit Liap Seng]]|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 500 halaman dalam 8 volume)
* {{cite book|title=Dji Touw Bie|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 300 halaman dalam 4 jilid)
* {{cite book|title=Dji Touw Bie|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 300 halaman dalam 4 volume)
* {{cite book|title=Nio Thian Lay|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 300 halaman dalam 4 jilid)
* {{cite book|title=Nio Thian Lay|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 300 halaman dalam 4 volume)
* {{cite book|title=Lok Bouw Tan|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 350 halaman dalam 5 jilid)
* {{cite book|title=Lok Bouw Tan|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novel; 350 halaman dalam 5 volume)
* {{cite book|title=Ho Kioe Tan|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novelette; 80 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Ho Kioe Tan|year=1887|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (novelette; 80 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=Pembalasan Dendam Hati|year=1905|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (novel; 239 halaman dalam 3 jilid)
* {{cite book|title=Pembalasan Dendam Hati|year=1905|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (novel; 239 halaman dalam 3 volume)


=== Non-fiksi ===
=== Non-fiksi ===


* {{cite book|title=Kitab Edja|year=1884|publisher=Zending Pers|location=Buitenzorg}} (38 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Kitab Edja|year=1884|publisher=Zending Pers|location=Buitenzorg}} (38 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=[[Malajoe Batawi]]|year=1885|publisher=W. Bruining & Co.|location=Batavia}} (116 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=[[Malajoe Batawi]]|year=1885|publisher=W. Bruining & Co.|location=Batavia}} (116 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=Aturan Sewa-Menjewa|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (bersama W. Meulenhoff; 16 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Aturan Sewa-Menjewa|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}} (bersama W. Meulenhoff; 16 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=Pek Hauw Thouw|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}}
* {{cite book|title=Pek Hauw Thouw|year=1886|publisher=Lie Kim Hok|location=Batavia}}
* {{cite book|title=Hikajat Khonghoetjoe|year=1897|publisher=G. Kolff & Co.|location=Batavia}} (92 halaman dalam 1 jilid)
* {{cite book|title=Hikajat Khonghoetjoe|year=1897|publisher=G. Kolff & Co.|location=Batavia}} (92 halaman dalam 1 volume)
* {{cite book|title=Dactyloscopie|year=1907|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}}
* {{cite book|title=Dactyloscopie|year=1907|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}}


=== Terjemahan ===
=== Terjemahan ===


* {{cite book|title=[[Seribu Satu Malam|1001 Malam]]|year=1887|location=Batavia|publisher=Albrecht & Co.}} (setidaknya 41 sampai 94 malam)
* {{cite book|title=[[Seribu Satu Malam|1001 Malam]]|year=1887|location=Batavia|publisher=Albrecht & Co.}} (setidaknya malam 41 hingga 94)
* {{cite book|title=[[The Count of Monte Cristo|Graaf de Monte Cristo]]|year=1894|location=Batavia|publisher=Albrecht & Co.}} (dengan F. Wiggers; setidaknya 10 dari 25 jilid diterbitkan)
* {{cite book|title=[[The Count of Monte Cristo|Graaf de Monte Cristo]]|year=1894|location=Batavia|publisher=Albrecht & Co.}} (bersama F. Wiggers; setidaknya 10 dari 25 volume berhasil diterbitkan)
* {{cite book|title=Kapitein Flamberge|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (560 halaman dalam 7 jilid)
* {{cite book|title=Kapitein Flamberge|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (560 halaman dalam 7 volume)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Kawanan Pendjahat]]|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (560 halaman dalam 7 jilid)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Kawanan Pendjahat]]|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (560 halaman dalam 7 volume)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Kawanan Bangsat]]|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (800 halaman dalam 10 jilid)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Kawanan Bangsat]]|year=1910|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (800 halaman dalam 10 volume)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Penipoe Besar]]|year=1911|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (960 halaman dalam 12 jilid)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Penipoe Besar]]|year=1911|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (960 halaman dalam 12 volume)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Pembalasan Baccorat]]|year=1912|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (960 halaman dalam 12 jilid; anumerta)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Pembalasan Baccorat]]|year=1912|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (960 halaman dalam 12 volume; anumerta)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Rocambale Binasa]]|year=1913|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (1250 halaman dalam 16 jilid; anumerta)
* {{cite book|title=[[Rocambole (karakter)|Rocambale Binasa]]|year=1913|location=Batavia|publisher=Hoa Siang In Kiok}} (1.250 halaman dalam 16 volume; anumerta)
* {{cite book|title=Geneviere de Vadana|year=1913|location=Batavia|publisher=Sin Po}} (bersama Lauw Giok Lan; 960 halaman dalam 12 jilid; anumerta)
* {{cite book|title=Geneviere de Vadana|year=1913|location=Batavia|publisher=Sin Po}} (bersama Lauw Giok Lan; 960 halaman dalam 12 volume; anumerta)
* {{cite book|title=Prampoewan jang Terdjoeal|year=1927|publisher=Laboret|location=Surabaya}} (240 halaman dalam 3 jilid; anumerta)
* {{cite book|title=Prampoewan jang Terdjoeal|year=1927|publisher=Laboret|location=Surabaya}} (240 halaman dalam 3 volume; anumerta)


== Catatan ==
== Catatan ==
Baris 145: Baris 130:


== Referensi ==
== Referensi ==
=== Sitasi ===

{{reflist|30em}}
{{reflist|30em}}


=== Bacaan lanjutan ===
=== Sumber ===
{{refbegin|40em}}
{{refbegin|40em}}
* {{cite book
* {{cite book
Baris 219: Baris 204:
|ref = harv
|ref = harv
}}
}}
* {{cite journal
*{{cite journal
|last=Koster
|last = Koster
|first=G.
|first = G.
|title=Making it new in 1884; Lie Kim Hok's ''Syair Siti Akbari''
|title = Making it new in 1884; Lie Kim Hok's ''Syair Siti Akbari''
|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
|journal = Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
|volume=154
|volume = 154
|issue=1
|issue = 1
|year=1998
|year = 1998
|url = https://brill.com/view/journals/bki/154/1/article-p95_5.pdf
|ref=harv
|pages = 95–115
|url=http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3207/3968
|doi = 10.1163/22134379-90003906
|pages=95–115
|doi-access= free
|doi=10.1163/22134379-90003906
|ref=harv
}}{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
}}
* {{cite book
* {{cite book
|last=Lie
|last=Lie
Baris 439: Baris 425:
}}
}}
* {{cite news
* {{cite news
|title=(untitled)
|title=(tanpa judul)
|language=nl
|language=nl
|location=Batavia
|location=Batavia
Baris 468: Baris 454:
}}
}}
{{refend}}
{{refend}}

{{Authority control}}
{{Authority control}}

{{Portal bar|Biografi|Indonesia}}
{{Portal bar|Biografi|Indonesia}}

{{lifetime|1853|1912|Lie Kom Hok}}
{{lifetime|1853|1912|Lie Kom Hok}}
{{Artikel pilihan}}

[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Marga Li]]
[[Kategori:Marga Li]]

Revisi terkini sejak 14 Juni 2024 09.01

Lie Kim Hok
Lie Kim Hok, ca 1900
Lahir(1853-11-01)1 November 1853
Buitenzorg, Hindia Belanda
Meninggal6 Mei 1912(1912-05-06) (umur 58)
Batavia, Hindia Belanda
Sebab meninggalTifus
PekerjaanPenulis, jurnalis
Tahun aktif1870-an – 1912
Karya terkenal
GayaRealisme
Suami/istri
  • Oey Pek Nio (1876–1881)
  • Tan Sioe Nio (1891–meninggal)
Anak4

Lie Kim Hok (Hanzi: 李金福; Pinyin: Lǐ Jīnfú; Pe̍h-ōe-jī: Lì Kim-hok, 1 November 1853 – 6 Mei 1912), adalah seorang guru, penulis, dan pekerja sosial berlatar belakang Tionghoa peranakan yang aktif di Hindia Belanda dan disebut sebagai "bapak sastra Tionghoa Melayu". Ia lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Jawa Barat, lalu menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah misionaris sehingga pada dekade 1870-an, ia telah fasih untuk berbicara dalam bahasa Sunda, Melayu, dan Belanda, tetapi belum dapat memahami bahasa Mandarin. Pada pertengahan dekade 1870-an, Lie menikah dan mulai bekerja sebagai editor di dua majalah yang diterbitkan oleh guru dan mentornya, yakni Dirk Johannes Van der Linden. Pada tahun 1880, Lie berhenti dari pekerjaan tersebut, dan setahun kemudian, istrinya meninggal. Pada tahun 1884, Lie menerbitkan buku-buku pertamanya, termasuk syair Sair Tjerita Siti Akbari dan buku tata bahasa Malajoe Batawi. Setelah van der Linden meninggal pada tahun 1885, Lie membeli perusahaan percetakan milik van der Linden dan mendirikan perusahaannya sendiri.

Mulai tahun 1885 hingga 1887, Lie pun menerbitkan sejumlah buku, termasuk Tjhit Liap Seng, yang dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama. Ia juga mengakuisisi hak untuk mencetak Pembrita Betawi, sebuah surat kabar yang berbasis di Batavia sehingga ia pindah ke kota tersebut. Setelah menjual perusahaan percetakannya pada tahun 1887, Lie bekerja di berbagai bidang hingga akhirnya menemukan pekerjaan tetap pada tahun 1890 di sebuah penggilingan gabah yang dioperasikan oleh seorang temannya. Pada tahun 1891, Lie menikahi Tan Sioe Nio dan kemudian dikaruniai empat orang anak. Pada dekade 1890-an, Lie menerbitkan dua buku dan pada tahun 1900, Lie menjadi anggota pendiri dari Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Lie lalu keluar dari THHK pada tahun 1904. Lie kemudian fokus melakukan penerjemahan dan kerja sosial hingga akhirnya meninggal akibat tifus pada usia 58 tahun.

Lie dianggap memberikan pengaruh pada jurnalisme, linguistik, dan sastra di Hindia Belanda, serta paling dikenal berkat karya sastranya. Sejumlah tulisannya juga telah dicetak beberapa kali. Sair Tjerita Siti Akbari bahkan telah diadaptasi menjadi drama panggung dan film layar lebar. Namun, akibat politik bahasa di Hindia Belanda dan Indonesia, karya-karyanya menjadi terpinggirkan. Saat sejumlah tulisannya terungkap sebagai adaptasi dari karya yang telah ada tanpa menyebutkan nama penulis aslinya, Lie pun mendapat kritik karena karyanya tidak asli. Walaupun begitu, kritikus lain menemukan bukti adanya inovasi dalam gaya penulisan dan penanganan alurnya.

Kehidupan awal

Lie lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Jawa Barat, pada tanggal 1 November 1853 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara yang lahir dari pasangan Lie Hian Tjouw dan istri keduanya, Oey Tjiok Nio. Lie Hian Tjouw juga memiliki empat orang anak dari istri pertamanya. Pasangan peranakan Tionghoa[a] tersebut awalnya tinggal di Cianjur, tetapi kemudian pindah ke Buitenzorg, kampung halaman Lie Hian Tjouw, untuk melahirkan anak-anaknya karena mereka memiliki keluarga di sana. Keluarga tersebut lalu kembali ke Cianjur. Di sana, Lie Kim Hok disekolahkan di rumah untuk mempelajari budaya Tiongkok serta budaya dan bahasa Sunda.[1] Pada usia tujuh tahun, Lie Kim Hok pun telah dapat membaca bacaan dalam bahasa Sunda dan bahasa Melayu secara terbatas.[2]

Pada pertengahan abad ke-19, penduduk beretnis Tionghoa di Hindia Belanda sangat kurang terdidik karena tidak dapat masuk ke sekolah orang Eropa maupun sekolah pribumi.[3] Pada usia sepuluh tahun, Lie dimasukkan ke sekolah misionaris Calvinis yang dijalankan oleh Christiaan Albers. Sekolah tersebut memiliki sekitar 60 orang siswa laki-laki yang kebanyakan beretnis Tionghoa.[4] Di bawah arahan Albers yang fasih berbahasa Sunda, Lie pun mendapat pendidikan formalnya dengan kurikulum yang meliputi ilmu pengetahuan, bahasa, dan kekristenan karena sekolah-sekolah tersebut memang ditujukan untuk mempromosikan kekristenan di Hindia Belanda dan para siswa diminta untuk berdoa sebelum pelajaran dimulai.[2] Seperti kebanyakan siswa, Lie tidak berpindah agama.[5] Tetapi, ahli biografi Tio Ie Soei menulis bahwa pemahaman kekristenan kemungkinan mempengaruhi pandangan dunianya.[6]

Orang Jawa mengenakan jas memegang kuas
Lie belajar melukis pada Raden Saleh.

Pada tahun 1866, Lie dan keluarganya kembali ke Buitenzorg. Pada saat itu, tidak ada sekolah yang menawarkan pendidikan bergaya Eropa di sana sehingga Lie kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang dijalankan oleh etnis Tionghoa. Selama tiga tahun, di bawah arahan dari tiga kepala sekolah yang berbeda, Lie diminta mengulang frasa Hokkien tradisional dan menyalin aksara Tionghoa tanpa memahaminya. Tio pun berpendapat bahwa Lie hanya mendapat sedikit ilmu pengetahuan di sekolah tersebut sehingga sampai meninggal, Lie tidak dapat memahami bahasa Mandarin.[7] Selama di Buitenzorg, Lie juga belajar melukis di bawah arahan dari Raden Saleh yang merupakan teman dari ayahnya. Walaupun diberitakan memiliki keahlian dalam melukis, Lie tidak melanjutkan hobinya tersebut karena ibunya tidak setuju. Lie juga menunjukkan ketertarikan pada bentuk-bentuk sastra tradisional seperti pantun dan gemar membuat pantunnya sendiri.[8]

Saat Sierk Coolsma membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada tanggal 31 Mei 1869, Lie menjadi salah satu dari sepuluh siswa pertama di sekolah tersebut. Lie pun kembali belajar dalam bahasa Sunda dan mendapat pelajaran yang sama seperti yang ia dapatkan saat bersekolah di Cianjur. Pada saat itu, ia juga mulai mempelajari bahasa Belanda. Setelah sebuah sekolah negeri dibuka pada tahun 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah anak yang beretnis Tionghoa karena teman sekolahnya yang bersuku Sunda, yang kebanyakan beragama Islam, pindah ke sekolah negeri karena takut dipindah ke agama Kristen.[9] Pada tahun 1873, Coolsma diutus ke Sumedang untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Sunda sehingga ia digantikan oleh sesama misionaris, D. J. van der Linden.[b] Pembelajaran pun dilanjutkan dengan menggunakan bahasa Melayu karena van der Linden tidak dapat berbicara dalam bahasa Sunda. Hubungan Lie dan van der Linden kemudian menjadi dekat.[10] Lie lalu bekerja di sekolah dan perusahaan percetakan milik van der Linden, serta sama-sama tertarik pada teater tradisional, termasuk wayang.[11]

Guru dan penerbit

Pada usia 20 tahun, Lie telah fasih berbahasa Sunda dan Melayu. Ia juga telah dapat berbicara dalam bahasa Belanda dengan lancar yang merupakan hal yang langka bagi etnis Tionghoa pada masa itu.[12] Lie membantu van der Linden di sekolah misionaris dan pada pertengahan dekade 1870-an. Lie juga membuka sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang kurang mampu. Lie juga bekerja di perusahaan percetakan milik van der Linden, yakni Zending Press dengan gaji sebesar 40 gulden per bulan sembari menjadi editor di majalah keagamaan mingguan berbahasa Belanda, De Opwekker dan majalah keagamaan dwimingguan berbahasa Melayu, Bintang Djohor.[13] Pada tahun 1876, Lie menikahi Oey Pek Nio yang berusia tujuh tahun lebih muda darinya.[14] Tio, dalam sebuah wawancara dengan akademisi sastra Tionghoa Melayu, Claudine Salmon, menyatakan bahwa Lie sebenarnya bertunangan dengan kakak dari Oey Pek Nio, tetapi kakak dari Oey Pek Nio melarikan diri semalam sebelum acara pernikahan sehingga Lie diminta oleh orang tuanya untuk menikahi Oey Pek Nio guna menyelamatkan muka keluarga.[15] Meskipun tidak senang dengan permintaan tersebut, Lie tetap menaatinya.[14] Hubungan Lie dan Oey Pek Nio kemudian menjadi semakin dekat. Setahun kemudian, Oey Pek Nio pun melahirkan anak pertamanya, tetapi anak tersebut meninggal tidak lama setelah lahir. Pada tahun 1879, ibu Lie meninggal, dan setahun kemudian, ayahnya juga meninggal.[16]

Sebuah sampul buku yang tertulis "Sair Tjerita Siti Akbari"
Sampul Sair Tjerita Siti Akbari, syair pertama yang diterbitkan oleh Lie.

Pasca kematian orang tuanya, Lie menjual sekolah umum miliknya ke Oey Kim Hoat dan keluar dari Zending Press untuk bekerja sebagai surveyor tanah. Lie kemudian bekerja di berbagai bidang hingga tahun 1884.[17] Pada tahun 1881, Oey Pek Nio kembali melahirkan anak, tetapi ia kemudian meninggal sehingga anaknya dititipkan ke kakeknya yang tinggal di Gadog. Namun, pada tahun 1886, anak tersebut juga meninggal.[16] Pada tahun 1884, Lie menerbitkan buku-buku pertamanya. Dua buku di antaranya, yakni Kitab Edja dan Sobat Anak-Anak, diterbitkan oleh Zending Press. Kitab Edja adalah sebuah buku pelajaran untuk membantu para siswa dalam belajar menulis bahasa Melayu, sementara Sobat Anak-Anak adalah kumpulan cerita anak yang disebut oleh Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada sebagai karya sastra populer pertama di Hindia Belanda.[18] Dua buku lain karya Lie diterbitkan oleh W. Bruining & Co., yang berbasis di Batavia (sekarang Jakarta). Salah satu buku di antaranya, yakni Malajoe Batawi, adalah buku mengenai tata bahasa Melayu yang dimaksudkan untuk menstandarkan pengucapan bahasa Melayu.[19] Satu buku lainnya adalah syair empat volume berjudul Sair Tjerita Siti Akbari. Buku tersebut menceritakan seorang pejuang yang menyamarkan jenis kelaminnya dan kemudian berhasil menaklukkan Kesultanan Hindustan untuk menyelamatkan suaminya. Buku tersebut pun menjadi salah satu karya Lie yang paling terkenal.[20]

Setelah van der Linden meninggal pada tahun 1885, Lie membeli Zending Press dengan harga 1.000 gulden. Sebagian dari uang tersebut berasal dari pinjaman teman-temannya.[21] Ia lalu mengubah nama perusahaan percetakan tersebut menjadi Lie Kim Hok. Ia kemudian menghabiskan sebagian besar waktunya di perusahaan percetakan tersebut dan perusahaan percetakan tersebut pun tumbuh pesat dengan mencetak karya penulis lain dan mencetak ulang sejumlah karya Lie. Walaupun begitu, perusahaan percetakan tersebut belum dapat mencetak laba.[22] Pada tahun 1885 juga, Lie menerbitkan sebuah syair baru berjudul Orang Prampoewan yang berisi 24 kuartet.[23] Lie juga menulis opini di berbagai surat kabar, termasuk di Bintang Betawi dan Domingoe.[24]

Pada tahun 1886, Lie membeli hak untuk mencetak Pembrita Betawi, sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang berbasis di Batavia dan editornya dipimipin oleh W. Meulenhoff, dengan harga 1.000 gulden. Sebagian dari uang tersebut juga berasal dari pinjaman teman-temannya. Pada pertengahan tahun 1886,[c] perusahaan percetakan milik Lie (yang telah dipindah ke Batavia) pun mulai disebut sebagai pencetak Pembrita Betawi.[25] Di tengah kesibukannya di perusahaan percetakan tersebut, Lie tetap menulis atau berkontribusi di empat buku. Dua buku pertama bergenre nonfiksi, yakni buku koleksi ramalan Tiongkok dan buku mengenai hukum sewa. Sementara, buku ketiga merupakan hasil terjemahan sebagian dari Seribu Satu Malam, yaitu sebuah koleksi yang telah populer di kalangan Melayu. Sedangkan, buku keempat adalah novel pertama karya Lie, yakni Tjhit Liap Seng.[26] Novel tersebut menceritakan sekelompok orang terpelajar di daratan utama Tiongkok. Tjhit Liap Seng pun dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.[27]

Hingga tahun 1887, Lie juga menulis lima novel lain yang berlatar belakang Tiongkok. Beberapa novel tersebut didasarkan pada kisah-kisah Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.[28] Pada tahun 1887, Lie menjual saham Pembrita Betawi ke Karsseboom & Co., tetapi ia tetap mencetak Pembrita Betawi hingga surat kabar tersebut dan perusahaan percetakan miliknya diakuisisi oleh Albrecht & Co. pada tahun 1888.[29] Lie kemudian tidak lagi berbisnis di bidang penerbitan, tetapi tetap berkontribusi di sejumlah surat kabar, termasuk di surat kabar baru milik Meulenhoff, yakni Hindia Olanda.[25] Hingga tahun 1890, Lie pun tidak memiliki pekerjaaan tetap dan melakukan berbagai pekerjaan, termasuk menjadi penjual bambu, kontraktor, dan kasir.[30]

Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian

Pada tahun 1890, Lie mulai bekerja sebagai penyelia di penggilingan gabah yang dioperasikan oleh temannya, Tan Wie Siong. Pekerjaan tersebut pun menjadi sumber pendapatan utama bagi Lie hingga meninggal. Setahun kemudian, Lie menikahi Tan Sioe Nio yang berusia 20 tahun lebih muda. Keduanya pun hidup dengan nyaman karena pekerjaan Lie tidak menghabiskan banyak tenaga dan gajinya cukup. Untuk menambah pendapatannya, Lie kemudian kembali melakukan penerjemahan, dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu ataupun sebaliknya. Terkadang ia juga menerjemahkan surat tanah atau dokumen hukum lainnya. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya-karya sastra,[31] termasuk De Graaf de Monte Cristo pada tahun 1894, yang merupakan hasil terjemahan dari Pangeran Monte Cristo karya Alexandre Dumas. Terjemahan tersebut ia selesaikan melalui kolaborasi dengan jurnalis Indo, Ferdinand Wiggers.[26] Terjemahan tersebut juga dilengkapi dengan catatan kaki untuk mendeskripsikan aspek kebudayaan Eropa yang dianggap sulit untuk dimengerti oleh para pembaca non-Eropa.[32] Tiga tahun kemudian, Lie menerbitkan Hikajat Kong Hoe Tjoe, sebuah buku mengenai ajaran Konghucu.[33] Isi buku tersebut berasal dari tulisan-tulisan orang Eropa mengenai Konfusianisme dan dari penjelasan teman-teman Lie.[34]

Sebuah foto hitam-putih seorang pria Tionghoa mengenakan jas menghadap ke depan
Bekas teman sekolah Lie yang bernama Phoa Keng Hek, salah satu pendiri Tiong Hoa Hwe Koan.

Pada tahun 1900, bersama 19 orang etnis Tionghoa lainnya, termasuk mantan teman sekolahnya yang bernama Phoa Keng Hek, Lie mendirikan organisasi sosial dan sistem sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).[35] Ditujukan untuk mempromosikan hak asasi etnis Tionghoa yang saat itu dianggap sebagai warga kelas dua[d] dan menyediakan pendidikan formal terstandar untuk para pelajar beretnis Tionghoa yang tidak disediakan oleh Belanda, organisasi tersebut didasarkan pada ajaran Konghucu dan membuka sekolah untuk laki-laki maupun perempuan. THHK lalu tumbuh pesat dan berkembang ke sejumlah bidang. Lie pun membantu pembentukan klub debat dan klub olahraga, serta penyelenggaraan acara dan konser amal.[36] Mulai tahun 1903 hingga 1904, Lie adalah pengurus THHK, dan terutama bertindak sebagai bendahara.[30]

Pada tahun 1904, Lie keluar dari THHK, tetapi ia tetap aktif melakukan kerja sosial. Meskipun kesehatannya makin buruk,[6] Lie tetap menulis opini untuk harian Sin Po dan Perniagaan.[37] Ia juga melakukan penerjemahan secara ekstensif. Pada tahun 1905, Lie menerbitkan volume pertama dari novel bertemakan Tionghoa terakhirnya, yakni Pembalasan Dendam Hati. Tiga tahun kemudian, novel tersebut disusul oleh Kapitein Flamberge yang merupakan hasil terjemahan dari Le Capitaine Belle-Humeur karya Paul Saunière. Lie kemudian menerjemahkan sejumlah buku yang menampilkan karakter petualang fiktif Rocambole karya Pierre Alexis Ponson du Terrail, dimulai dengan Kawanan Pendjahat pada tahun 1910. Dua terjemahan terakhir Lie diterbitkan di surat kabar dan diluncurkan sebagai novel setelah ia meninggal, yakni Geneviève de Vadans, yang merupakan hasil terjemahan dari De Juffrouw van Gezelschap dan Prampoean jang Terdjoewal, yang merupakan hasil terjemahan dari Dolores, de Verkochte Vrouw karya Hugo Hartmann. Penerjemahan Dolores, de Verkochte Vrouw sebenarnya belum selesai saat Lie meninggal sehingga dilanjutkan oleh Lauw Giok Lan.[26]

Pada malam hari tanggal 2 Mei 1912, Lie jatuh sakit dan dua hari kemudian, dokter mendiagnosis bahwa ia mengidap tifus. Kondisi kesehatan Lie lalu makin buruk sehingga akhirnya Lie meninggal pada tanggal 6 Mei 1912. Ia kemudian dimakamkan di Kota Bambu, Batavia. Sekolah-sekolah THHK di seantero Batavia pun sempat mengibarkan bendera mereka secara setengah tiang. Lie meninggalkan seorang istri, yakni Tan Sioe Nio, dan empat orang anak, yakni Lie Soan Nio (lahir tahun 1892), Lie Hong Nio (lahir tahun 1896), Lie Kok Hian (lahir tahun 1898), dan Lie Kok Hoei (lahir tahun 1901). Lalu, istrinya juga meninggal setahun kemudian.[38]

Warisan

Dalam karier jurnalismenya, Lie berusaha untuk menghindari taktik koran kuning yang saat itu cukup banyak digunakan[39] dan lebih memilih untuk menghindari polemik ekstensif di dunia pers.[40] Sejarawan jurnalisme Malaysia, Ahmat Adam, dalam sebuah tulisan pada tahun 1995, menyatakan bahwa masuknya Lie ke dalam dunia pers memicu banyak penulis peranakan Tionghoa untuk menjadi penyunting surat kabar.[21] Sumardjo juga menyatakan bahwa Lie paling dikenal oleh kaum pribumi Indonesia melalui karyanya di dunia pers.[41]

Dari perspektif seorang linguis, Kasijanto Sastrodinomo dari Universitas Indonesia mendeskripsikan Malajoe Batawi sebagai sebuah buku yang "luar biasa", karena merupakan buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh orang non-Melayu.[42] Ia juga menyatakan bahwa buku tersebut tidak menggunakan satupun istilah sastra yang diturunkan dari bahasa Inggris, yang biasanya banyak ditemukan di buku teks Indonesia pada abad ke-20.[42] Linguis Waruno Mahdi menulis bahwa Malajoe Batawi karya Lie adalah "tulisan Tionghoa Melayu paling luar biasa" dari sudut pandang seorang linguis.[43] Dalam disertasi doktoralnya, Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap agar bahasa Melayu dapat menjadi lingua franca di Hindia Belanda.[44] Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu, karyanya, Nio Joe Lan mendapati bahwa Lie, yang dipengaruhi oleh pendidikan misionarisnya, berusaha untuk mempertahankan penggunaan bahasa yang teratur karena perhatian terhadap tata bahasa saat itu masih sangat jarang.[45] Nio pun mendeskripsikan Lie sebagai "penulis Tionghoa Peranakan satu-satunya pada zaman itu yang telah memperoleh pelajaran ilmu tata bahasa Melayu secara metodis"[46] Adam menganggap karya-karya Lie telah meninggalkan "sebuah tanda yang abadi pada perkembangan bahasa Indonesia modern".[47]

Poster hitam-putih dengan pinggiran coklat; foto-foto menceritakan berbagai adegan dari sebuah film.
Siti Akbari karya Wong bersaudara, yang konon didasarkan pada puisi karya Lie.

Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat atas kontribusinya pada sastra Indonesia,[21] dengan karyanya yang diterima dengan baik oleh orang yang hidup pada saat itu. Tio juga menulis bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya yang dipuji gaya-bahasanya yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar, dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."[48] Pujian lain juga diberikan oleh orang yang hidup pada saat itu, baik dari etnis pribumi maupun etnis Tionghoa, seperti Ibrahim gelar Marah Soetan dan Agus Salim.[49] Saat penulis etnis Tionghoa menjadi hal yang umum pada dekade 1900-an, kritikus pun menjuluki Lie sebagai "bapak sastra Tionghoa Melayu" atas kontribusinya, seperti Siti Akbari dan Tjhit Liap Seng.[50]

Sejumlah buku karya Lie, seperti Sair Tjerita Siti Akbari, Kitab Edja, Orang Prampoewan dan Sobat Anak-anak, telah dicetak berulang kali. Akan tetapi, Tio tidak mencatat adanya pencetakan ulang lagi setelah dekade 1920-an.[26] Pada tahun 2000, Kitab Edja dicetak ulang di volume perdana dari Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.[51] Sair Tjerita Siti Akbari, yang Lie anggap sebagai salah satu karya terbaiknya, pun telah beberapa kali diadaptasi menjadi drama panggung. Lie menggunakan versi sederhana untuk sebuah rombongan aktor remaja, yang ternyata cukup sukses di Jawa Barat.[52] Pada tahun 1922, Shiong Tih Hui cabang Sukabumi meluncurkan adaptasi panggung lain berjudul Pembalesan Siti Akbari, yang kemudian ditampilkan oleh rombongan teater Miss Riboet pada tahun 1926.[e][53] Wong bersaudara juga menyutradarai sebuah film berjudul Siti Akbari, yang dibintangi oleh Roekiah dan Rd. Mochtar. Film buatan tahun 1940 tersebut konon didasarkan pada puisi karya Lie, tetapi kebenarannya belum dapat dipastikan.[54]

Setelah munculnya gerakan nasionalis dan pemerintah kolonial Belanda berupaya menggunakan Balai Pustaka untuk menerbitkan karya sastra bagi kaum pribumi, karya Lie pun mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan Melayu Halus sebagai bahasa administrasi, yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan diajarkan di sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di Sumatra, sementara Melayu pasaran berkembang menjadi kreol yang digunakan dalam kegiatan perdagangan di sebagian Hindia Belanda bagian barat. Melayu pasaran umumnya digunakan oleh masyarakat kelas bawah. Para nasionalis Indonesia juga menggunakan Melayu Halus untuk membantu membangun budaya nasional dan mempromosikannya melalui surat kabar dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", pun makin terpinggirkan dan dianggap berkualitas rendah.[55] Tio, dalam sebuah tulisannya pada tahun 1958, menemukan bahwa generasi muda tidak lagi mempelajari Lie dan karyanya,[56] Empat tahun kemudian, Nio juga menulis bahwa Melayu pasaran "sudah beralih ke dalam museum."[57] Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert pun mengindikasikan bahwa tidak ada lagi studi kritis yang dilakukan terhadap Sair Tjerita Siti Akbari mulai tahun 1939 hingga 1994.[58]

Kontroversi

Pada sebuah tulisan untuk koran Lay Po pada tahun 1923, Tio menyatakan bahwa Sair Tjerita Siti Akbari sangat dipengaruhi oleh sebuah puisi tahun 1847 yang berjudul Sjair Abdoel Moeloek, karya Raja Ali Haji atau saudaranya, Saleha. Tio menyatakan bahwa Sair Siti Akbari, yang Lie katakan sebagai karyanya sendiri, mengikuti alur dari Sjair Abdoel Moeloek.[59] Dalam biografinya pada tahun 1958, Tio juga menyatakan bahwa Tjhit Liap Seng karya Lie adalah gabungan dari dua novel asal Eropa, yakni Klaasje Zevenster karya Jacob van Lennep (1865) dan Les Tribulations d'un Chinois en Chine karya Jules Verne (1879).[28] Tio pun menyatakan bahwa Pembalasan Dendam Hati karya Lie memiliki kesamaan dengan karya Xavier de Montépin yang diterjemahkan menjadi De Wraak van de Koddebeier.[34] Menganggapi pernyataan Tio tersebut, kritikus sastra seperti Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng pun menyatakan bahwa tidak ada karya Lie yang asli.[60]

Walaupun begitu, kesimpulan Tio tersebut sangat ditentang oleh penulis yang menemukan keaslian dalam karya Lie. Tio sendiri menyatakan bahwa dalam menerjemahkan Kapitein Flamberge, Lie telah mengubah bagian akhirnya, yakni karakter utama tidak meninggal akibat ledakan dinamit, tetapi berhasil bertahan hidup dan menikahi wanita idamannya, yakni Hermine de Morlay.[60] Dalam mengeksplorasi kesamaan antara Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari, Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa unsur-unsur alur utama dalam dua buku tersebut memang sama, meskipun beberapa di antaranya hanya muncul di salah satu buku atau dimunculkan secara lebih perinci di salah satu buku. Ia menemukan bahwa dua buku tersebut berbeda gaya, terutama karena penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.[61] Salmon menyatakan bahwa alur umum Tjhit Liap Seng sebagian besar mengikuti alur umum Klaasje Zevenster, dengan beberapa bagian tampak seperti terjemahan langsung. Namun, ia mendapati bahwa Lie juga menambahkan, mengurangi, dan memodifikasi isinya. Ia mencatat bahwa Lie tidak terlalu menekankan pada deskripsi dan mengenalkan karakter baru, yakni Thio Tian, yang pernah tinggal di Jawa.[62] Kritikus sastra Indonesia, Jakob Sumardjo, pun menyatakan bahwa "boleh dikatakan ia asli dalam gaya, tetapi tidak asli dalam bahan yang digarapnya".[63]

Bibliografi

Sebuah sampul buku
Malajoe Batawi, 1884
Sebuah sampul buku
Hikajat Khonghoetjoe, 1897

Menurut Tio, Lie menerbitkan 25 buku dan pamflet.[26] Salmon menyatakan bahwa beberapa karya Lie, seperti Lok Bouw Tan, mungkin sudah hilang.[64] Lie juga menulis sejumlah cerita pendek, tetapi tidak dicantumkan di sini.[65]

Puisi

  • Sair Tjerita Siti Akbari. Batavia: W. Bruining & Co. 1884.  (200 halaman dalam 2 volume)
  • Orang Prampoewan. Buitenzorg: Lie Kim Hok. 1885.  (4 halaman dalam 1 volume)

Fiksi

  • Sobat Anak-anak. Buitenzorg: Zending Pers. 1884.  (kumpulan cerita anak-anak; 40 halaman dalam 1 volume)
  • Tjhit Liap Seng. Batavia: Lie Kim Hok. 1886.  (novel; 500 halaman dalam 8 volume)
  • Dji Touw Bie. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 300 halaman dalam 4 volume)
  • Nio Thian Lay. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 300 halaman dalam 4 volume)
  • Lok Bouw Tan. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 350 halaman dalam 5 volume)
  • Ho Kioe Tan. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novelette; 80 halaman dalam 1 volume)
  • Pembalasan Dendam Hati. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1905.  (novel; 239 halaman dalam 3 volume)

Non-fiksi

  • Kitab Edja. Buitenzorg: Zending Pers. 1884.  (38 halaman dalam 1 volume)
  • Malajoe Batawi. Batavia: W. Bruining & Co. 1885.  (116 halaman dalam 1 volume)
  • Aturan Sewa-Menjewa. Batavia: Lie Kim Hok. 1886.  (bersama W. Meulenhoff; 16 halaman dalam 1 volume)
  • Pek Hauw Thouw. Batavia: Lie Kim Hok. 1886. 
  • Hikajat Khonghoetjoe. Batavia: G. Kolff & Co. 1897.  (92 halaman dalam 1 volume)
  • Dactyloscopie. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1907. 

Terjemahan

  • 1001 Malam. Batavia: Albrecht & Co. 1887.  (setidaknya malam 41 hingga 94)
  • Graaf de Monte Cristo. Batavia: Albrecht & Co. 1894.  (bersama F. Wiggers; setidaknya 10 dari 25 volume berhasil diterbitkan)
  • Kapitein Flamberge. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (560 halaman dalam 7 volume)
  • Kawanan Pendjahat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (560 halaman dalam 7 volume)
  • Kawanan Bangsat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (800 halaman dalam 10 volume)
  • Penipoe Besar. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1911.  (960 halaman dalam 12 volume)
  • Pembalasan Baccorat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1912.  (960 halaman dalam 12 volume; anumerta)
  • Rocambale Binasa. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1913.  (1.250 halaman dalam 16 volume; anumerta)
  • Geneviere de Vadana. Batavia: Sin Po. 1913.  (bersama Lauw Giok Lan; 960 halaman dalam 12 volume; anumerta)
  • Prampoewan jang Terdjoeal. Surabaya: Laboret. 1927.  (240 halaman dalam 3 volume; anumerta)

Catatan

  1. ^ Anak hasil pernikahan Tionghoa dan pribumi.
  2. ^ Sumber tidak menyebutkan nama depannya.
  3. ^ (Tio 1958, hlm. 55) menyatakan mulai 1 September, yang juga dikutip oleh (Adam 1995, hlm. 64–66). Namun, dalam sebuah kutipan, (Tio 1958, hlm. 145) menyatakan tanggal 1 Juni.
  4. ^ Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda mengakui tiga kelompok, masing-masing dengan hak yang berbeda. Kelompok teratas adalah orang Eropa, lalu diikuti oleh etnis Tionghoa dan etnis "timur asing" lainnya. Sementara etnis pribumi, seperti Sunda dan Jawa, berada di kelompok terbawah (Tan 2008, hlm. 15).
  5. ^ Drama panggung ini dicetak ulang oleh Yayasan Lontar pada tahun 2006 dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan.

Referensi

Sitasi

  1. ^ Tio 1958, hlm. 14–15.
  2. ^ a b Tio 1958, hlm. 22.
  3. ^ Setiono 2008, hlm. 227–231.
  4. ^ Suryadinata 1995, hlm. 81–82; Setiono 2008, hlm. 227–231.
  5. ^ Sumardjo 2004, hlm. 101.
  6. ^ a b Tio 1958, hlm. 59.
  7. ^ Tio 1958, hlm. 35.
  8. ^ Tio 1958, hlm. 41.
  9. ^ Tio 1958, hlm. 32–34, 36.
  10. ^ Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 175–176; Adam 1995, hlm. 64–65.
  11. ^ Setiono 2008, hlm. 234–235.
  12. ^ Setiono 2008, hlm. 233.
  13. ^ Suryadinata 1995, hlm. 81–82.
  14. ^ a b Tio 1958, hlm. 44.
  15. ^ Salmon 1994, hlm. 141.
  16. ^ a b Tio 1958, hlm. 46–47.
  17. ^ Tio 1958, hlm. 58; Suryadinata 1995, hlm. 81–82.
  18. ^ Sumardjo 2004, hlm. 47; Salam 2002, hlm. 201.
  19. ^ Tio 1958, hlm. 114.
  20. ^ Tio 1958, hlm. 46–47; Koster 1998, hlm. 98–99.
  21. ^ a b c Adam 1995, hlm. 64–66.
  22. ^ Tio 1958, hlm. 49–50.
  23. ^ Tio 1958, hlm. 125.
  24. ^ Tio 1958, hlm. 51.
  25. ^ a b Tio 1958, hlm. 55.
  26. ^ a b c d e Tio 1958, hlm. 84–86.
  27. ^ Salmon 1994, hlm. 126.
  28. ^ a b Tio 1958, hlm. 72–73.
  29. ^ Adam 1995, hlm. 64–66; Tio 1958, hlm. 55.
  30. ^ a b Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 253–254.
  31. ^ Tio 1958, hlm. 57–59.
  32. ^ Jedamski 2002, hlm. 30.
  33. ^ Adam 1995, hlm. 73.
  34. ^ a b Tio 1958, hlm. 73.
  35. ^ Adam 1995, hlm. 72.
  36. ^ Tio 1958, hlm. 63–71.
  37. ^ Tio 1958, hlm. 58–59, 82–83.
  38. ^ Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 253–254; Tio 1958, hlm. 58–59, 82–83.
  39. ^ Setiono 2008, hlm. 239.
  40. ^ Tio 1958, hlm. 53.
  41. ^ Sumardjo 2004, hlm. 100.
  42. ^ a b Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie.
  43. ^ Mahdi 2006, hlm. 95.
  44. ^ Benitez 2004, hlm. 261.
  45. ^ Nio 1962, hlm. 16.
  46. ^ Nio 1962, hlm. 28.
  47. ^ Coppel 2013, hlm. 352.
  48. ^ Tio 1958, hlm. 3–4.
  49. ^ Setiono 2008, hlm. 244.
  50. ^ Tio 1958, hlm. 87.
  51. ^ Lie 2000, hlm. 59.
  52. ^ Tio 1958, hlm. 42–43.
  53. ^ Lontar Foundation 2006, hlm. 155; De Indische Courant 1928, Untitled
  54. ^ Filmindonesia.or.id, Siti Akbari; Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari
  55. ^ Benitez 2004, hlm. 15–16, 82–83; Sumardjo 2004, hlm. 44–45.
  56. ^ Tio 1958, hlm. 3.
  57. ^ Nio 1962, hlm. 158.
  58. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 104.
  59. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 103.
  60. ^ a b Tio 1958, hlm. 90–91.
  61. ^ Zaini-Lajoubert 1994, hlm. 109–112.
  62. ^ Salmon 1994, hlm. 133–139, 141.
  63. ^ Sumardjo 2004, hlm. 99.
  64. ^ Salmon 1974, hlm. 167.
  65. ^ Tio 1958, hlm. 77.

Sumber