Lompat ke isi

Tuhan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Djoko s (bicara | kontrib)
k jelas tidak sepadan dengan distinct
Data baru tentang referensi. DOI: 10.2307/3211050.
 
(237 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{multiple image
{{arti lain|Artikel ini adalah mengenai Tuhan dalam konteks [[monoteisme]]. Untuk melihat artikel mengenai Tuhan dalam konteks [[politeisme]], lihat [[Dewa]].}}
| footer = Representasi (untuk seni atau penyembahan) Tuhan dalam (dari kiri atas, searah jarum jam) [[Kristen]], [[Atenisme]], [[Zoroastrianisme]], dan [[Hindu Bali]].
Kata '''Tuhan''' merujuk kepada suatu [[zat]] [[abadi]] dan [[supranatural]], biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah [[manusia]] dan [[alam semesta]] atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
| perrow = 2
| total_width=250
| image1 = Michelangelo, Creation of Adam 06.jpg
| image2 = Aten.svg
| image3 = Acintya Bali.jpg
| image4 = Naqshe Rostam Darafsh Ordibehesht 93 (35).JPG
}}
{{Konsep Tuhan}}
Dalam pemikiran monoteistik, '''Tuhan''' biasanya dipandang sebagai wujud tertinggi, pencipta, dan objek utama dari iman.<ref name="swinburne">{{citation| last=swinburne |first=R.G. |chapter=God |editor=Honderich, Ted |title=The Oxford Companion to Philosophy |place=Oxford | publisher=Oxford University Press |year=1995}}</ref> Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi [[teisme]], [[deisme]], [[panteisme]], dan lain-lain. Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di [[alam semesta]]. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, tetapi tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. Penganut [[monoteisme]] percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".<ref name=swinburne/> Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.<ref name="Platinga" />


Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimiliki-Nya. [[Aten]]isme pada zaman [[Mesir Kuno]], kemungkinan besar merupakan agama monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta alam semesta,<ref>{{citation| first=M. |last=Lichtheim |title=Ancient Egyptian Literature |volume=2 |year=1980 |pages=96}}</ref> yang disebut [[Aten]].<ref>{{citation| first=Jan |last=Assmann |title=Religion and Cultural Memory: Ten Studies |publiher=Stanford University Press |year=2005 |pages=59}}</ref> Kalimat "[[Keluaran 3#Ayat 14|Aku adalah Aku]]" dalam [[Alkitab Ibrani]], dan "Tetragrammaton" [[YHVH]] digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan [[Yahweh]], dan [[Yehuwa]] kadang kala digunakan dalam [[agama Kristen]] sebagai hasil vokalisasi dari YHWH. Dalam [[bahasa Arab]], nama [[Allah]] digunakan, dan karena predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat [[muslim]] mengenal [[99 Asma Allah|99 nama suci]] bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar [[Elohim]] atau [[Adonai]] (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa Mesir Kuno, ''Aten'').<ref name="freud">{{citation| first=Freud |last=Sigmund |year=1939 |title=Moses and Monotheism: Three Essays}}</ref><ref>{{citation| first=Gunther Siegmund |last=Stent |title=Paradoxes of Free Will |publisher=American Philosophical Society |publisher=DIANE |year=2002 |pages = 34-38 |isbn=0-87169-926-5}}</ref><ref>{{citation| first=Jan |last=Assmann |title=Moses the Egyptian: The Memory of Egypt in Western Monotheism |publisher=Harvard University Press |year=1997 |isbn=0-674-58739-1}}</ref><ref>{{citation| first=N. |last=Shupak |title=The Monotheism of Moses and the Monotheism of Akhenaten |publisher=Sevivot |year=1995}}</ref><ref>{{citation| first=William F. |last=Albright |title=From the Patriarchs to Moses II. Moses out of Egypt |title=The Biblical Archaeologist |volume=36, No. 2 |date=Mei 1973 |pages=48-76 | doi=10.2307/3211050| issn=0006-0895 }}</ref> Dalam [[agama Hindu]], [[Brahman]] biasanya dianggap sebagai Tuhan [[monisme|monistis]].<ref>{{citation| title=Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity |pages=136 |first=Michael P. |last=Levine |year=2002}}</ref> Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam agama [[Baha'i]],<ref>{{citation| title=A Feast for the Soul: Meditations on the Attributes of God | pages=x |chapter=Baháʾuʾlláh |first=Joyce |last=Watanabe |year=2006}}</ref> [[Waheguru]] dalam [[Sikhisme]],<ref>{{citation| title=Philosophy and Faith of Sikhism |pages=ix |first=Kartar Singh |last=Duggal |year=1988}}</ref> dan [[Ahura Mazda]] dalam [[Zoroastrianisme]].<ref>{{citation| title=The Intellectual Devotional: Revive Your Mind, Complete Your Education, and Roam Confidently With the Cultured Class |first1=David S. |last1=Kidder |first2=Noah D. |last2=Oppenheim |pages=364}}</ref>
Banyak tafsir daripada nama "[[wikt:Tuhan|Tuhan]]" ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah [[wikt:Tuan|Tuan]] juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau [[budak]].


Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal sifat, maksud, dan tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-pemikiran seperti [[omniteisme]], [[pandeisme]],<ref name="Lataster">{{cite book
Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam [[Al-Qur'an]]<ref>[http://www.dudung.net/index.php?naon=cari&pilihan=1&keyword=tuhan&awal=1025]</ref>, sementara di dalam [[Alkitab]] kata Tuhan disebutkan sebanyak 7677 kali <ref>[http://alkitab.sabda.org/search.php?search=tuhan&scope=def&exact=off]</ref>.
|author= Raphael Lataster|title= There was no Jesus, there is no God: A Scholarly Examination of the Scientific, Historical, and Philosophical Evidence & Arguments for Monotheism|url= https://archive.org/details/therewasnojesust0000lata|page= [https://archive.org/details/therewasnojesust0000lata/page/165 165]|year= 2013|ISBN= 1492234419 }}</ref><ref name="Dawe">{{cite book
|title= The God Franchise: A Theory of Everything|author = Alan H. Dawe|year = 2011|ISBN = 0473201143|page = 48 }}</ref> atau filsafat Perennial, yang menganggap adanya satu kebenaran [[teologi]]s yang mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda, maka sesungguhnya agama-agama di dunia menyembah satu Tuhan yang sama, tetapi melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya.<ref>{{citation|title=Christianity and Other Religions |first1=John |last1=Hick |first2=Brian |last2=Hebblethwaite |year=1980 |pages=178}}</ref>

== Etimologi dan terminologi ==

Kata Tuhan dalam [[bahasa Melayu]] berasal dari kata '''[[:wikt:tuan|tuan]]'''. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah ''Ensiklopedi Populer Gereja'' oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti kata ''Tuhan'' ada hubungannya dengan kata Melayu ''tuan'' yang berarti atasan/penguasa/pemilik.<ref>{{citation| first=Adolf |last=Heuken |title=Ensiklopedi Populer Gereja |year=1976}}</ref> Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya (dalam bahasa Inggris: '''''[[Lord]]'''''). Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.<ref name="KBBID">{{cite web |publisher=Pusat Bahasa Departemen Pendidikan [[Republik Indonesia]] |url=http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php |title=Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan |accessdate=2013-08-15 |archive-date=2014-05-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140527102944/http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php |dead-url=yes }}</ref>

Ahli bahasa [[Remy Sylado]] menemukan bahwa perubahan kata "tuan" yang bersifat insani, menjadi "Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari [[terjemahan Alkitab|terjemahan]] [[Alkitab]] ke dalam bahasa Melayu karya [[Melchior Leijdecker]] yang terbit pada tahun 1733.<ref name="Remy">{{citation| url=http://smystery.wordpress.com/2008/07/20/asal-kata-tuhan/ |title=Asal kata Tuhan | first=Remy |last=Sylado}}</ref><ref>{{nl}} [http://alkitab.mobi/ldkdr/Luk/1/46/ Luk 1:46 (Pujian Maria) terjemahan Leydekker/Leijdecker]</ref> Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, ''Kyrios'', dan sebutan yang diperuntukkan bagi Yesus Kristus ini diterjemahkannya menjadi "tuan". Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai "Tuan"—sama dengan [[bahasa Portugis]] ''Senhor'', [[bahasa Prancis|Prancis]] ''Seigneur'', [[bahasa Inggris|Inggris]] ''Lord'', [[bahasa Belanda|Belanda]] ''Heere''—melalui Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.<ref name="Remy"/> Di dalam [[Alkitab]] [[Terjemahan Baru]] (1974), kata Tuhan (dan keluarga katanya, mis. Tuhanku) disebutkan sebanyak 7677 kali dalam 6510 ayat di seluruh [[protokanonika]] Perjanjian Lama (Ibrani) dan Perjanjian Baru (Yunani).<ref>[http://alkitab.sabda.org/search.php?search=tuhan&tab=text&page=1&order=book&version=tb Tuhan, hasil pencarian alkitab.sabda.org]</ref> Kata ini paling sering digunakan untuk menerjemahkan kata {{Strong|Kurios|2962}} (Yunani) dan {{Strong|Adonai|0136}} (Ibrani). Selain itu, khusus untuk menerjemahkan [[Tetragrammaton|Tetragrammaton YHWH]], penerjemah TB dalam edisi cetak menggunakan huruf kapital (''smallcaps'') {{smallcaps|Tuhan}}, mengikuti tradisi terjemahan yang sudah ada,<ref>Misalnya dalam bahasa Inggris {{smallcaps|''Lord''}} {{Cite book|title=Holman Illustrated Bible Dictionary|url=https://archive.org/details/holmanillustrate0000unse_x2x0|publisher=Holman Bible Publishers|year=2003|location=Nashville, TN|page=[https://archive.org/details/holmanillustrate0000unse_x2x0/page/1046 1046]|isbn=0-8054-2836-4}}</ref> misalnya dalam Kejadian 2:4, "Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika {{smallcaps|Tuhan}} Allah ([[YHWH]] [[Elohim]]) menjadikan bumi dan langit, --".<ref>[http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=Kej&chapter=2&verse=4&version=tb Catatan Full Life Study Bible: Kejadian 2:4]</ref> (Namun untuk menulis "Adonai YHWH" digunakan "Tuhan {{smallcaps|Allah}}", misalnya dalam Yesaya 61:1, "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara,")

Dalam bahasa Indonesia modern, kata "Tuhan" pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Dzat abadi dan supernatural. Dalam konteks rumpun [[agama samawi]], kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu pada [[Allah]], yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik langit dan bumi yang disembah manusia. Dalam [[bahasa Arab]] kata ini sepadan dengan kata ''[[rabb]]''. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat.<ref>{{citation | url=http://muslim.or.id/aqidah/ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan-menguasai-alam-semesta.htmlhttp://muslim.or.id/aqidah/ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan-menguasai-alam-semesta.html | title='Ar-Rabb, Yang Maha Mengatur dan Menguasai Alam Semesta | publisher=Muslim.Or.Id }}{{Pranala mati|date=Juni 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam [[Al-Qur'an]],<ref>[http://www.dudung.net/index.php?naon=cari&pilihan=1&keyword=tuhan&awal=1025 Tuhan, hasil pencarian www.dudung.net]</ref>. Dalam [[monoteisme]], biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah [[manusia]] dan [[alam semesta]] atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Di dalam [[bahasa Melayu]] atau [[bahasa Indonesia]], dua [[konsep]] atau nama yang berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan [[dewa]]. Penganut [[monoteisme]] biasanya menolak menggunakan kata dewa, karena merujuk kepada entitas-entitas dalam agama [[politeisme|politeistis]]. Meskipun demikian, penggunaan kata dewa pernah digunakan sebelum penggunaan kata Tuhan. Dalam [[Prasasti Trengganu]], [[prasasti]] tertua di dalam [[bahasa Melayu]] yang ditulis menggunakan [[huruf Arab]] ([[huruf Jawi]]) menyebut ''Sang Dewata Mulia Raya''. Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata ''[[dewata|devata]]'', sebagai hasil [[sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|penyebaran agama Hindu-Buddha]] di [[Nusantara]]. Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal, sementara dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga cenderung mengacu kepada politeisme. Selain itu dalam teks terkadang juga digunakan kata "tuhan" dengan huruf kecil (mirip dengan kata "allah" dengan huruf kecil), terutama ketika memperbandingkan antara Tuhan Allah yang esa dengan tuhan (tuan) yang lain, misalnya dalam {{Ula|10|17}}: "Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; " {{1Kor|8|5}}, dan {{Maz|136|3}}


== Konsep tentang Tuhan ==
== Konsep tentang Tuhan ==
Konsep ketuhanan telah dikenal sejak manusia ada di dunia. Dasar dari konsep ketuhanan ini ialah adanya sesuatu yang maha gaib. Konsep ketuhanan yang paling awal ialah [[animisme]] dan [[dinamisme]]. Kedua konsep ini mulai ada sejak zaman manusia purba dan sifatnya sangat sederhana. Segala sesuatu yang sifatnya gaib dikatikan dengan keberadaan Tuhan. Kemudian, konsep ketuhanan berkembang seiring terbentuknya struktur masyarakat pada manusia. Konsep Tuhan ikut berkembang dengan terbentuknya hierarki ketuhanan. Pada masa ini, terbenuklah politeisme yang meyakini bahwa Tuhan tidak tunggal. Dalam konsep ini, Tuhan memiliki keluarga atau masyarakat seperti pada masyarakat manusia. Dari politeisme berkembang konsep ketuhanan lain, yaitu [[henoteisme]]. Dalam henotesime, Tuhan diyakini memiliki struktur pemerintahan dengan pemerintah tertinggi oleh Dewa. Perkembangan selanjutnya dari henoteisme memunculkan monoteisme dengan konsep bahwa Tuhan adalah sesuatu yang esa.<ref>{{Cite book|last=Kasno|date=2018|url=http://repository.uinsby.ac.id/id/eprint/1155/1/Kasno_Filsafat%20Agama.pdf|title=Filsafat Agama|location=Surabaya|publisher=Alpha|isbn=978-602-6681-18-8|editor-last=Salsabila|editor-first=Intan|pages=33|url-status=live}}</ref>


Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam [[agama samawi]] meliputi definisi monoteistis tentang [[Tuhan dalam agama Yahudi]], pandangan [[Kristen]] tentang [[Tritunggal]], dan konsep [[Tuhan dalam Islam]]. Agama-agama [[dharma]] juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. [[Tuhan dalam agama Hindu|Konsep ketuhanan]] dalam [[agama Hindu]] tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui oleh [[Gautama Buddha]], terutama [[Sakra (Buddhisme)|Śakra]] dan [[Brahma (Buddhisme)|Brahma]].
Secara [[filsafat]], prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik. Absolut artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain (''distinct''). Kalau Tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.


=== Monoteisme dan henoteisme ===
Dalam gagasan [[Nietzsche]], istilah "Tuhan" juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Sedang Nietzsche berpendapat tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati". "Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan" tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya (Buku:Kuliah Tauhid).
[[Berkas:Shield-Trinity-Scutum-Fidei-English.svg|ka|280px|jmpl|Hubungan antara [[Allah Bapa]], [[Allah Anak]], dan [[Roh Kudus]] dalam ''[[Scutum Fidei]]'', menjelaskan garis besar konsep [[Tritunggal]].]]
Penganut [[monoteisme]] mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa ajaran monoteistis mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja oleh semua agama dengan nama yang berbeda-beda.<!-- Simak penjelasan di kalimat berikutnya --> Pandangan bahwa seluruh pemuja Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda) sesungguhnya memuja satu Tuhan yang sama—entah disadari atau tidak disadari oleh umat tersebut—terutama diajarkan dalam [[agama Hindu]]<ref>{{citation| first=Swami |last=Bhaskarananda |title=Essentials of Hinduism |publisher=Viveka Press |year=2002 |isbn=1-884852-04-1}}</ref> dan [[Sikhisme|Sikh]].<ref>{{citation|url=http://www.srigranth.org/servlet/gurbani.gurbani?Action=Page&Param=1350&english=t&id=57718 |chapter=Sri Guru Granth Sahib |title=Sri Granth |publisher=Srigranth.org |accessdate=30 Juni 2011}}</ref>


[[Agama samawi]] atau dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena meyakini [[Abraham]]/[[Ibrahim]] sebagai nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk menunjuk [[agama Yahudi]], [[Kristen]], dan [[Islam]]. Agama-agama ini dikenal sebagai agama monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan. Yahudi dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering disebutkan yaitu: [[Yahweh]] dalam [[agama Yahudi]]; Bapa atau [[Yesus]] dalam Kristen; [[Allah]] dalam Islam.
== Perbandingan antara konsep Tuhan dengan Dewa ==


[[Agama Kristen]] mengenal konsep [[Tritunggal]], yang maksudnya Tuhan memiliki tiga pribadi: Bapa, Putra, dan [[Roh Kudus]]. Konsep ini terutama dipakai dalam [[Gereja Katolik]] dan [[Gereja Ortodoks]]. Konsep ini merupakan paham monoteistis yang dipakai sejak [[Konsili Nicea I]] pada tahun 325 M. Kata "Tritunggal" sendiri tidak ada dalam [[Alkitab]]. Di dalam {{Alkitab|Ulangan 6:4}} ditulis bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (''ekhad'') adalah "kesatuan dari berbagai satuan". Contohnya, pada {{Alkitab|Kejadian 2:24}} ditulis "keduanya (manusia dan istrinya) menjadi '''satu''' (''ekhad'') daging" berarti kesatuan dari 2 manusia. Di {{Alkitab|Kejadian 1:26}} Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti "Kita", mengandung kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi ketuhanan, tetapi terdiri dari tiga pribadi.
Di dalam [[bahasa Melayu]] atau [[bahasa Indonesia]], dua [[konsep]] atau nama yang berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan [[Dewa]]. Penganut [[monoteisme]] biasanya menolak menggunakan kata [[Dewa]] di [[Indonesia]], tetapi sebenarnya hal ini tidaklah berdasar. Sebab di [[Prasasti Trengganu]], [[prasasti]] tertua di dalam [[bahasa Melayu]] yang ditulis menggunakan [[Huruf Arab]] ([[Huruf Jawi]]) menyebut "Sang Dewata Mulia Raya". Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari istilah lokal Nusantara, sama seperti Jubata/Juata/Jata yang dikenal orang [[Dayak]] yang berarti penguasa dunia bawah (dewa air). Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal, sementara Dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga cenderung mengacu kepada [[politeisme]].


Di samping monoteisme yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada ajaran [[henoteisme]] yang meyakini dan memuja satu Tuhan, tetapi juga meyakini keberadaan [[dewa|dewa-dewi]] lainnya dan bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi istilah tersebut adalah "monoteisme inklusif" dan "politeisme monarkis", dipakai untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme mirip namun kurang eksklusif daripada [[monolatri]] (pemujaan satu Tuhan) karena monolator hanya memuja satu Tuhan (menolak keberadaan dewa-dewi untuk disembah), sedangkan penganut henoteisme dapat memuja dewa-dewi dari [[panteon]] yang mereka yakini, tergantung keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan memuja satu Tuhan saja sepanjang hidup mereka (kecuali ada konversi tertentu). Dalam beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa dalam kerangka henoteistis dapat saja terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis, bahkan politis.
Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan apresiasi masing-masing atas konsepsi Ketuhanannya. Namun secara universal keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'Yang Tak Terbantahkan'


=== Teisme, deisme, dan panteisme ===
== Konsekuensi eksistensi Tuhan ==


[[Teisme]] pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif, dan independen. Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal; mahakuasa dan kekal abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta melalui pengalaman religius dan doa-doa umat-Nya.<ref name=smart>{{cite book|last=Smart|first=Jack|authorlink= J. J. C. Smart|coauthors=John Haldane|title=Atheism and Theism|publisher=Blackwell Publishing|year=2003|isbn=0-631-23259-1|page=8}}</ref> Teisme menegaskan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan bersifat tak terbatas sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia.<ref name=lemos>{{cite book|last=Lemos|first=Ramon M.|title=A Neomedieval Essay in Philosophical Theology|publisher=Lexington Books|year=2001|isbn=0-7391-0250-8|page=34}}</ref> Meski demikian, tidak seluruh penganut teisme mengakui dalil tersebut.<ref name=smart /> Teologi Katolik menyatakan bahwa Tuhan Mahakuasa sehingga tidak akan terikat pada waktu. Banyak penganut teisme percaya bahwa Tuhan Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini memicu timbulnya pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan diri meskipun memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, menurut [[teisme terbuka]], karena adanya sifat asasi waktu, atribut Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan juga dapat memprediksikan masa depan. "Teisme" kadang kala digunakan untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan dewa/dewi secara umum, contohnya [[monoteisme]] dan [[politeisme]].<ref name="philosofrelGlossthe">{{cite web|url=http://www.philosophyofreligion.info/definitions.html|title=Philosophy of Religion.info–Glossary–Theism, Atheism, and Agonisticism|publisher=Philosophy of Religion.info|accessdate=2008-07-16|archiveurl=https://web.archive.org/web/20080424071443/http://www.philosophyofreligion.info/definitions.html|archivedate=2008-04-24|dead-url=no}}</ref><ref name="TFDtheism">{{cite web|url=http://www.thefreedictionary.com/theism|title=Theism–definition of theism by the Free Online Dictionary, Thesaurus and Encyclopedia|publisher=[[TheFreeDictionary]]|accessdate=2008-07-16}}</ref>
Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.


[[Deisme]] mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut penganut deisme, Tuhan itu ada, tetapi tidak ikut campur dalam urusan kejadian di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta.<ref name=lemos /> Menurut pandangan ini, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa umat-Nya dan tidak menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme meyakini bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu mengenai apa yang diperbuat manusia. Dua cabang deisme, [[pandeisme]] dan [[panendeisme]] mengkombinasikan deisme dengan [[panteisme]] dan [[panenteisme]].<ref name="Dawe"/><ref>{{cite book|title= The History of Science: A Beginner's Guide|url= https://archive.org/details/historyofscience0000john|author = Sean F. Johnston|year = 2009|ISBN = 1-85168-681-9|page = [https://archive.org/details/historyofscience0000john/page/90 90]}}</ref><ref>{{cite book|title= This Strange Eventful History: A Philosophy of Meaning|author = Paul Bradley|year = 2011|ISBN = 0875868762|page = 156}}</ref> Pandeisme dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam semesta kemudian mengabaikannya,<ref name="Fuller">{{cite book|title= Thought: The Only Reality|author = Allan R. Fuller|year = 2010|ISBN = 1608445909|page = 79}}</ref> sebagaimana panteisme menjelaskan asal mula dan maksud keberadaan alam semesta.<ref name="Fuller"/><ref>{{cite book|title= Ultimate Truth, Book 1|author = Peter C. Rogers|year = 2009|ISBN = 1438979681|page = 121}}</ref>
Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.


[[Panteisme]] mengajarkan bahwa Tuhan adalah alam semesta dan alam semesta itu Tuhan, sedangkan [[panenteisme]] menyatakan bahwa Tuhan meliputi alam semesta, tetapi alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan pandangan dalam ajaran [[Gereja Katolik Liberal]], [[Theosophy]], beberapa mazhab [[agama Hindu]], [[Sikhisme]], beberapa divisi [[Neopaganisme]] dan [[Taoisme]]. [[Kabbalah]], mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan yang panteistis/panenteistis—yang diterima secara luas oleh aliran [[Yahudi Hasidik]], khususnya dari pendiri mereka, [[Israel ben Eliezer|Baal Shem Tov]]—namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang menolak batas-batas persona Tuhan.
Di dunia ini banyak [[agama]] yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi si mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi Tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksistensinya itu.


== Paham-paham ketuhanan ==
=== Konsep ketuhanan lainnya ===
Sungguhpun eksistensi Tuhan dipahami mutlak adanya, tetapi setiap orang mempunyai keyakinan yang berbeda mengenai penjelasan tentang Tuhan sehingga pro-kontra tentang Tuhan dapat dibedakan sebagai berikut :
* '''[[Teisme]]''': Pemaham-paham yang meyakini adanya Tuhan
* '''[[Agnostisisme]]''': Paham-paham yang meragukan adanya Tuhan
* '''[[Ateisme]]''':Paham-paham yang menyangkal adanya Tuhan


[[Disteisme]], yang terkait dengan [[teodisi]], adalah bentuk teisme yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai konsekuensi adanya [[masalah kejahatan]]. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini berasal dari kisah karya [[Dostoevsky]], ''[[Karamazov Bersaudara]]''.<ref>{{citation| url=http://www.gutenberg.org/files/28054/28054-h/28054-h.html | title=The Project Gutenberg EBook |chapter=The Brothers Karamazov |first=Fyodor |last=Dostoyevsky |pages=259-261 |publisher=Gutenberg.org}}</ref>
Berikut paham-paham yang dapat dimasukkan ke salah satu dari kategori diatas, yaitu :
* '''[[Panteisme]]''' berarti "Tuhan adalah segalanya" dan "semuanya adalah Tuhan". Ini adalah ide hukum alam, keberadaan dan Semesta di representasikan dalam kaidah agama dengan sebutan [[Tuhan]].
* '''[[Akosmisme]]''' menyangkal realitas dari semesta, dilihat sebagai ''ultimately illusory'' ([[maya]]), dengan hanya ketidakterbatasan ''unmanifest absolute'' sebagai kenyataan.
* '''[[Dualisme]]''' sering dipergunakan bersamaan dengan [[setan]] yang muncul di dalam dunia nyata yang bersaing dengan diri dalam mencari kebenaran spiritual.
* '''[[Gnostisisme]]''' adalah sebuah istilah untuk berbagai pencapaian tujuan utama dalam hidup. Hal ini juga kadang diasosiakan dengan adanya persaingan antara kegelapan dan cahaya.


Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya [[teologi proses]] dan [[teisme terbuka]]. Filsuf Prancis kontemporer [[Michel Henry]] menyatakan suatu [[Pengertian Tuhan secara fenomenologi|pendekatan fenomenologi dan pengertian Tuhan]] sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.<ref>{{cite book|last=Henry|first=Michel|title=I Am the Truth. Toward a Philosophy of Christianity|publisher=Stanford University Press|year=2003|isbn=0-8047-3780-0|others=Translated by Susan Emanuel}}</ref>
== Teori ketuhanan ==
Paham ketuhanan yang beraneka penjelasan tersebut, berdasarkan teori atau pendekatan yang digunakan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
* '''Dalil Logik'''. Sesuatu yang tidak dapat dilihat atau kesan tidak semestinya tiada. Sekiranya kita tidak dapat melihat atau mengesan nyawa, tidak bererti nyawa itu tidak wujud. Sekiranya cetusan eletrik dalam otak diukur sebagi nyawa, [[komputer]] yang mempunyai prinsip yang sama masih tidak dianggap bernyawa.
* '''Dalil Kejahatan di Dunia'''. Tuhan telah memberi peringatan agar manusia berbuat baik sesama manusia, dengan amaran siksaan yang keras kepada mereka yang ingkar. Adanya kejahatan yang diamalkan oleh manusia di bumi adalah pilihan manusia itu sendiri. Kejahatan adalah keadaan di mana ketiadaan kebaikan. Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu.
* '''Dalil Kesempurnaan'''. Tuhan adalah sempurna dari segala sifat kecacatan. , dengan itu mengatakan Tuhan tidak mampu adalah salah, sebagai contoh "Adakah Tuhan itu berkuasa untuk mencipta satu batu yang terlalu berat, yang tidak mampu diangkat oleh dirinya sendiri?" menunjukkan keinginan meletakkan sifat manusia kepada Tuhan. Berat adalah hukum yang dicipta Tuhan, apa yang berat di bumi tidak bererti di angkasa. Berat tidak membawa apa-apa erti di alam ghaib.
* '''Dalil Kosmologikal'''. Dari segi kosmologi, Tuhan seharusnya wujud sebagai punca kepada kewujudan alam. Dengan premis "segala sesuatu itu berpunca", maka adalah tidak masuk akal untuk mengatakan alam ini wujud tanpa mempunyai punca,yakni Tuhan. Di alam ini semuanya tersusun dengan hukum-hukum yang tertentu dengan ketentuan Tuhan, yang mana dari segi sains pula dikenali sebagai hukum alam.
* '''Dalil Antropofik'''. Kewujudan manusia dan fitrahnya untuk mengenal tuhan sudah membuktikan kewujudan Tuhan.


Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang berkepribadian, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".<ref name=swinburne/> Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog [[Yahudi]], [[Kristen]] awal, dan [[muslim]], yang terkemuka di antaranya adalah: [[Maimonides]],<ref name=Edwards /> [[Agustinus dari Hippo]],<ref name=Edwards>{{citation| first=Paul |last=Edwards |chapter=God and the Philosophers |editor=[[Ted Honderich|Honderich, Ted]] |title=The Oxford Companion to Philosophy |publisher=Oxford University Press |year=1995 |isbn=978-1-61592-446-2}}</ref> dan [[Al-Ghazali]].<ref name=Platinga>{{citation| last=Platinga |first=Alvin |chapter=God, Arguments for the Existence of |title=Routledge Encyclopedia of Philosophy |publisher=Routledge |year=2000}}</ref>
== Tuhan dalam Agama Samawi ==
[[Agama samawi]] atau agama langit dimaksudkan untuk menunjuk [[agama Yahudi]], [[Nasrani]] ([[Kristen]]/[[Katolik]]) dan [[Islam]]. Diantara agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang dikarenakan perbedaan bahasa dan ajarannya.


== Keberadaan Tuhan ==
* '''[[Allah]]''', sebutan bagi Tuhan dalam [[bahasa Arab]]. Biasanya dipakai oleh umat [[Islam]]. Dalam agama Islam, Tuhan memiliki [[99 Asma Allah|99 nama suci]].


Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan induktif.
* '''[[Yahweh|Yehowa]]''' atau '''[[Yahweh]]''', salah satu istilah yang dipakai [[Alkitab]]. Istilah ini berasal dari istilah berbahasa [[bahasa Ibrani|Ibrani]] [[tetragrammaton]] YHVH (יהוה). Nama ini tidak pernah dilafalkan karena dianggap sangat suci, maka cara pengucapan YHVH yang benar tidaklah diketahui. Biasanya yang dilafalkan adalah [[Adonai]] yang berarti Tuan.


Ada banyak pendapat yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan Tuhan.<ref>{{cite book|editor-last=Kreeft|editor-first=Peter|editor-link=Peter Kreeft|title=Summa of the Summa|year=1990|publisher=Ignatius Press|page=63|first=Thomas|last=Aquinas}}</ref> Beberapa pendapat terkemuka adalah ''[[Quinque viae]]'', [[argumen dari keinginan]] yang dikemukakan oleh [[C.S. Lewis]], dan [[argumen ontologis]] yang dikemukakan oleh [[Anselmus|St. Anselmus]] dan [[Descartes]].<ref>{{cite book|editor-last=Kreeft|editor-first=Peter|editor-link=Peter Kreeft|title=Summa of the Summa|year=1990|publisher=Ignatius Press|pages=65–69|first=Thomas|last=Aquinas}}</ref> Bukti-bukti tersebut diperdebatkan dengan sengit, bahkan di antara para penganut teisme sekalipun. Beberapa di antaranya, misalnya argumen ontologis, masih sangat kontroversial di kalangan penganut teisme. [[Thomas Aquinas|Aquinas]] menulis risalah tentang Tuhan untuk menyangkal bukti-bukti yang diajukan [[Anselmus]].<ref>{{cite book|last=Aquinas|first=Thomas|title=Summa Theologica|year=1274|location=Part 1, Question 2, Article 3|url=http://www.newadvent.org/summa/}}</ref>
* Sang Hyang '''[[Tritunggal]]''' Mahasuci, yang artinya adalah Bapa, Putra, dan [[Roh Kudus]], terutama dipakai dalam [[Gereja]] [[Katolik]] dan Gereja Ortodoks. Konsep ini dipakai sejak [[Konsili]] Nicea pada tahun 325 M.

Pendekatan yang dilakukan [[Anselmus]] adalah untuk mendefinisikan Tuhan sebagai "tidak ada yang lebih besar daripada-Nya untuk bisa direnungkan". Filsuf panteis [[Baruch Spinoza]] membawa gagasan tersebut lebih ekstrem: "Melalui Tuhan aku memahami sesuatu yang mutlak tak terbatas, yaitu, suatu zat yang mengandung atribut-atribut tak terbatas, masing-masing menyiratkan esensi yang kekal dan tidak terbatas". Bagi Spinoza, seluruh alam semesta terbuat dari satu zat, yaitu Tuhan, atau padanannya, yaitu alam.<ref>{{cite book|last=Curley|first=Edwin M.|year=1985|title=The Collected Works of Spinoza|publisher=Princeton University Press|isbn=978-0-691-07222-7}}</ref> Bukti keberadaan Tuhan yang diajukannya merupakan variasi dari [[argumen ontologis]].<ref>{{citation| last=Nadler |first=Steven |chapter=Baruch Spinoza |title=The Stanford Encyclopedia of Philosophy |edition=Musim Gugur 2012 | editor=Edward N. Zalta |url =http://plato.stanford.edu/archives/fall2012/entries/spinoza/}}</ref>

Fisikawan kondang, [[Stephen Hawking]], dan penulis [[Leonard Mlodinow]] menyatakan dalam buku mereka, ''[[The Grand Design (buku)|The Grand Design]]'', bahwa merupakan hal yang wajar untuk mencari tahu siapa atau apa yang membentuk alam semesta, tetapi bila jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya berbalik menjadi siapa atau apa yang menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah terdengar bahwa ada sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu disebut Tuhan. Hal ini dikenal sebagai [[argumen kosmologis|argumen sebab pertama]] untuk mendukung keberadaan Tuhan. Akan tetapi, kedua penulis tersebut mengklaim bahwa pasti ada jawaban masuk akal secara ilmiah, tanpa mencampur keyakinan tentang hal-hal gaib.<ref>{{cite book|page=[https://archive.org/details/granddesign0000hawk_x0i7/page/172 172]|title=The Grand Design|url=https://archive.org/details/granddesign0000hawk_x0i7|author=Stephen Hawking|coauthor=Leonard Mlodinow|publisher=Bantam Books|year=2010|isbn=978-0-553-80537-6}}</ref>

Beberapa teolog, misalnya ilmuwan sekaligus teolog [[Alister McGrath|A.E. McGrath]], berpendapat bahwa keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan [[metode ilmiah]].<ref name="mcgrath2005">{{cite book|author=Alister E. McGrath|title=Dawkins' God: genes, memes, and the meaning of life|url=http://books.google.com/books?id=V9dr6167AJ8C|year=2005|publisher=Wiley-Blackwell|isbn=978-1-4051-2539-0}}</ref><ref name="barackman2001">{{cite book|author=Floyd H. Barackman|title=Practical Christian Theology: Examining the Great Doctrines of the Faith|url=http://books.google.com/books?id=Jb5aRB7OxWsC|year=2001|publisher=Kregel Academic|isbn=978-0-8254-2380-2}}</ref> [[Agnostisme|Agnostik]] [[Stephen Jay Gould]] berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.<ref>{{cite book|title=Leonardo's Mountain of Clams and the Diet of Worms|url=https://archive.org/details/leonardosmountai0000goul|last=Gould|first=Stephen J.|page=[https://archive.org/details/leonardosmountai0000goul/page/274 274]|publisher=Jonathan Cape|year=1998|isbn=0-224-05043-5}}</ref>

Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung dan menentang keberadaan Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" ([[ateisme lemah dan kuat|ateisme kuat]]); "Tuhan hampir tidak ada"<ref name="Dawkins">{{cite web| last=Dawkins| first=Richard| authorlink=Richard Dawkins| title=Why There Almost Certainly Is No God| url=http://www.huffingtonpost.com/richard-dawkins/why-there-almost-certainl_b_32164.html
| accessdate=2007-01-10| publisher=The Huffington Post}}</ref> ([[ateisme]] ''de facto''); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau tidak" ([[agnostisisme]]<ref>{{Cite book|last = Dixon|first = Thomas|title = Science and Religion: A Very Short Introduction|url = https://archive.org/details/sciencereligionv00dixo_676|publisher=Oxford University Press|year=2008|location=Oxford|page=[https://archive.org/details/sciencereligionv00dixo_676/page/63 63]|isbn=978-0-19-929551-7}}</ref>); "Tuhan ada, tetapi tidak bisa dibuktikan atau dibantah ([[teisme]] lemah); dan "Tuhan ada dan dapat dibuktikan" (teisme kuat).

== Tuhan dalam sudut pandang nonteistis ==

Menurut ajaran [[nonteisme]], alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-hal gaib atau sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep ketuhanan, sementara menurut yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-nilai dan aspirasi manusia. [[ateisme|Ateis]] asal Inggris, [[Charles Bradlaugh]] menyatakan bahwa ia menolak untuk berkata "Tuhan itu tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan untuk maksud yang tidak jelas atau tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini Tuhan menurut agama Kristen.<ref>{{citation| title=A Plea for Atheism |author=Iconoclast |place=London |publisher=Austin & Co. |year=1876 |pages=2}}</ref>

[[Stephen Jay Gould]] melakukan pendekatan dengan membagi dunia filosofi menjadi "''[[non-overlapping magisteria]]''" (NOMA). Menurut pandangan tersebut, pertanyaan seputar hal-hal gaib/[[supernatural]], seperti halnya keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih layak diulas dalam bidang [[teologi]]. Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan mengenai dunia nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan sejati dan nilai-nilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi pilihan pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.<ref>{{cite book|title=The God Delusion|url=https://archive.org/details/goddelusion0000dawk_j9i4|last=Dawkins|first=Richard|authorlink=Richard Dawkins|year=2006|publisher=Bantam Press|location=Great Britain|isbn=0-618-68000-4}}</ref>

Menurut pandangan lainnya, yang dikembangkan oleh [[Richard Dawkins]], dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah pertanyaan empiris, dengan alasan bahwa "alam semesta dengan tuhan akan sungguh berbeda dengan yang tanpa tuhan, dan itu tentu merupakan perbedaan ilmiah."<ref name="Dawkins" /> [[Carl Sagan]] berpendapat bahwa doktrin Pencipta Alam Semesta sulit dibuktikan maupun dibantahkan, dan penemuan ilmiah yang dapat menyangkal keberadaan Sang Pencipta tentu menjadi penemuan bahwa usia alam semesta tidak terbatas.<ref>{{cite book|title=The Demon Haunted World p.278|last=Sagan|first=Carl|authorlink=Carl Sagan|year=1996|publisher=Ballantine Books|location=New York|isbn=0-345-40946-9}}</ref>

=== Tuhan antropomorfis ===

[[Pascal Boyer]] berpendapat bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai konsep seputar hal gaib yang berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib tersebut cenderung bertindak selayaknya manusia. Penggambaran dewa-dewi dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia adalah ciri yang mudah dikenali dari suatu agama. Sebagai contoh, [[mitologi Yunani]], yang menurutnya cenderung menyerupai [[opera sabun]] masa kini daripada suatu sistem kepercayaan.<ref name="boyer">{{cite book|title=Religion Explained,|isbn=0-465-00696-5|year=2001|last=Boyer|first=Pascal|authorlink=Pascal Boyer|url=http://books.google.com/?id=wreF80OHTicC&pg=PA142&lpg=PA142&dq=boyer+modern+soap+opera|pages=142–243|publisher=Basic Books|location=New York}}{{Pranala mati|date=Mei 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> [[Bertrand du Castel]] dan [[Timothy Jurgensen]] mendemonstrasikan melalui formalisasi bahwa penjelasan Boyer cocok dengan [[epistemologi]] fisika dalam memosisikan entitas yang diamati sebagai intermedian tidak secara langsung.<ref name="ducasteljurgensen">{{cite book|title=Computer Theology,|isbn=0-9801821-1-5|publisher= Midori Press|location= Austin, Texas|year=2008|last= du Castel|first= Bertrand|coauthors= Jurgensen, Timothy M.|authorlink=Bertrand du Castel|pages=221–222}}</ref> [[Antropolog]] [[Stewart Elliott Guthrie|Stewart Guthrie]] berpendapat bahwa masyarakat memproyeksikan ciri manusia kepada aspek-aspek non-manusia di dunia karena itu akan membuat aspek-aspek tersebut lebih familier. [[Sigmund Freud]] juga menyatakan bahwa konsep ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah bagi seseorang.<ref>{{cite journal|url=http://www.yale.edu/cogdevlab/People/Lab_Members/Frank/Frank%27s%20papers%20pdfs%20/Frank%27s%20articles/conceptualizingnonnaturalentity.pdf|format=PDF|title=Conceptualizing a Nonnatural Entity: Anthropomorphism in God Concepts|year=1996|last=Barrett|first=Justin}}</ref>

[[Émile Durkheim]] adalah salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan merepresentasikan ekstensi kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-unsur gaib. Mengimbangi pernyataan tersebut, psikolog [[Matt Rossano]] berpendapat bahwa ketika manusia mulai hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, mereka menciptakan sosok tuhan sebagai penegakan atas moralitas. Dalam kelompok yang lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan kekuatan sosial seperti penyebaran gosip atau penjagaan nama baik. Akan tetapi, lebih sulit untuk menjaga moralitas dalam kelompok besar dengan menggunakan kekuatan sosial. Rossano menyatakan bahwa dengan menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk gaib yang mahatahu, maka manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan keegoisan dan membangun kelompok yang lebih kooperatif.<ref name="supernature">{{cite journal|last=Rossano|first=Matt|title=Supernaturalizing Social Life: Religion and the Evolution of Human Cooperation|year=2007|url=http://www2.selu.edu/Academics/Faculty/mrossano/recentpubs/Supernaturalizing.pdf|format=PDF|accessdate=2009-06-25|archive-date=2012-03-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20120303101304/http://www2.selu.edu/Academics/Faculty/mrossano/recentpubs/Supernaturalizing.pdf|dead-url=yes}}</ref>

== Persentase kepercayaan akan Tuhan ==
[[Berkas:Europe belief in god.svg|jmpl|250px|Persentase populasi di negara-negara Eropa sebagai hasil survei tahun 2005 bahwa mereka "percaya akan Tuhan". Negara mayoritas [[Katolik Roma]] (e.g.: [[Polandia]], [[Portugal]]), [[Gereja Ortodoks Timur]] ([[Yunani]], [[Romania]], [[Siprus]]) atau [[Muslim]] ([[Turki]]) cenderung menunjukkan persentase tinggi.]]

Sampai tahun 2000, sekitar 53% populasi dunia teridentifikasi sebagai penganut salah satu dari tiga agama samawi terbesar (33% Kristen, 20% Islam, <1% Yahudi), 6% Buddhis, 13% umat Hindu, 6% penganut [[kepercayaan tradisional Tionghoa]], 7% penganut agama lainnya, dan kurang dari 15% mengaku tak beragama. Kebanyakan agama yang dianut mengandung kepercayaan akan Tuhan, roh, dewa-dewi, dan makhluk gaib.<ref>National Geographic Family Reference Atlas of the World p. 49</ref> Agama samawi selain Kristen, Islam, dan Yahudi meliputi agama [[Baha'i]], [[Samaritanisme]], [[Gerakan Rastafari]], [[Yazidi]]sme, dan [[Gereja Unifikasi]].

== Peran pada kemanusiaan ==
Pemikiran mengenai peran Tuhan dalam keberadaan manusia di alam semesta telah dikembangkan oleh [[Giovanni Pico della Mirandola]] dan [[Marsilio Ficino]]. Pico meyakini bahwa Tuhan telah memberikan kesadaran kepada manusia mengenai hakikat keberadaannya di alam semesta sebagai ketetapanNya. Berdasarkan kesadaran ini, manusia memiliki tanggung jawab atas kehidupan yang diberikan kepadanya oleh Tuhan. Sedangkan Ficino berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk rasional. Tuhan berperan membimbing manusia di dalam kehidupannya. Tanpa keberadaan Tuhan, manusia tidak dapat melakukan perbaikan apapun pada dirinya sendiri.<ref>{{Cite book|last=Faza|first=Abrar M. Dawud|date=2010|url=http://repository.uinsu.ac.id/5096/1/Buku%20Filsafat%20Ketuhanan%20Ali%20Shariati.pdf|title=Perspektif Sufistik Ali Shariati dalam Puisi "One Followed by Eternity of Zeroes”|location=Medan|publisher=Penerbit Panjiaswaja Press|isbn=978-602-96654-2-0|editor-last=Harahap|editor-first=Ahmad Gozali|pages=6-7|url-status=live}}</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
{{Portal-inline|Agama}}
* [[Agama]]
* [[Agama]]
* [[Ateisme]]
* [[Ateisme]]
Baris 61: Baris 102:
* [[Mistisisme]]
* [[Mistisisme]]
* [[Tuhan dalam agama Buddha]]
* [[Tuhan dalam agama Buddha]]
* [[Lord]]

{{clear}}
== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist|2}}

== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
{{wikiquote|God|Tuhan}}
{{wikiquote|God|Tuhan}}
{{commonscat|God|Tuhan}}
{{commonscat|God|Tuhan}}
* {{en}} [http://www.armatabianca.org/eng/padre.php?sottomenu=4 Konsep Tuhan dalam Kekristenan]
* {{en}} [http://www.islam-info.ch/en/Who_is_Allah.htm Konsep Tuhan dalam Islam]
* {{en}} [http://www.allaboutgod.com Tuhan dalam sudut pandang Kristen]
* {{en}} [http://www.chabad.org/search/keyword.asp?kid=3001 Konsep Tuhan dalam agama Yahudi]
* {{en}} [http://www.chabad.org/search/keyword.asp?kid=3001 Konsep Tuhan dalam agama Yahudi]
* {{en}} [http://www.shaivam.org/hipgodco.htm Konsep Tuhan dalam agama Hindu]
* {{en}} [http://www.armatabianca.org/eng/padre.php?sottomenu=4 Konsep Tuhan dalam Kekristenan]
* {{en}} [http://www.islam-info.ch/en/Who_is_Allah.htm Konsep Tuhan dalam Islam] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190421081921/http://www.islam-info.ch/en/Who_is_Allah.htm |date=2019-04-21 }}
* {{en}} [http://www.shaivam.org/hipgodco.htm Konsep Tuhan dalam agama Hindu] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20030504073425/http://www.shaivam.org/hipgodco.htm |date=2003-05-04 }}
* {{en}} [http://glennwallis.com/yahoo_site_admin/assets/docs/Counsels1.114110129.pdf Konsep Tuhan menurut agama Buddha klasik]{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{en}} [http://www.fatherspeaks.net Pandangan mistis tentang Tuhan]
* {{en}} [http://www.fatherspeaks.net Pandangan mistis tentang Tuhan]
* {{en}} [http://www.newadvent.org/cathen/06614a.htm Hubungan antara Tuhan dengan jagat raya]
* {{en}} [http://www.newadvent.org/cathen/06614a.htm Hubungan antara Tuhan dengan jagat raya]
* {{en}} [http://glennwallis.com/yahoo_site_admin/assets/docs/Counsels1.114110129.pdf Tuhan menurut agama Buddha klasik]



{{Sistem kepercayaan}}
{{Sistem kepercayaan}}
{{Teisme}}


{{Authority control}}


[[Kategori:Tuhan| ]]
{{agama-stub}}

[[Kategori:Agama]]
[[Kategori:Agama]]
[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Tuhan]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Istilah agama]]

[[af:God]]
[[an:Dios]]
[[ang:God]]
[[ar:الله]]
[[arc:ܐܠܗܐ]]
[[ast:Dios]]
[[ay:Tatitu]]
[[bar:Gott]]
[[bat-smg:Dievs]]
[[be:Бог]]
[[be-x-old:Бог]]
[[bg:Бог]]
[[bn:ঈশ্বর]]
[[br:Doue]]
[[bs:Bog]]
[[ca:Déu]]
[[ckb:خودا]]
[[co:Diu]]
[[cs:Bůh]]
[[cu:Бо́гъ]]
[[cv:Турă]]
[[cy:Duw]]
[[da:Gud (monoteistisk)]]
[[de:Gott]]
[[ee:Mawu]]
[[el:Θεός]]
[[eml:Dio]]
[[en:God]]
[[eo:Dio]]
[[es:Dios]]
[[et:Jumal]]
[[eu:Jainko]]
[[fa:خدا]]
[[fi:Jumala]]
[[fiu-vro:Jummal]]
[[fr:Dieu]]
[[fur:Diu]]
[[fy:God]]
[[ga:Dia]]
[[gd:Dia]]
[[gl:Deus]]
[[gn:Ñandejára]]
[[got:𐌲𐌿𐌸]]
[[gu:ઈશ્વર]]
[[hak:Song-ti]]
[[he:אלוהים]]
[[hi:ईश्वर]]
[[hr:Bog]]
[[ht:Bondye]]
[[hu:Isten]]
[[hy:Աստված]]
[[ia:Deo]]
[[is:Guð]]
[[it:Dio]]
[[ja:神]]
[[jv:Hyang]]
[[ka:ღმერთი]]
[[ko:하느님]]
[[ku:Xwedê]]
[[kw:Duw]]
[[la:Deus]]
[[lb:Gott]]
[[ln:Nzámbe]]
[[lt:Dievas]]
[[lv:Dievs]]
[[mk:Бог]]
[[ml:ദൈവം]]
[[mr:देव]]
[[ms:Tuhan]]
[[myv:Паз]]
[[nds:Gott]]
[[nds-nl:God]]
[[ne:ईश्वर]]
[[new:ईश्वर]]
[[nl:God (monotheïsme)]]
[[nn:Gud]]
[[no:Gud]]
[[nrm:Dùu]]
[[oc:Dieu]]
[[os:Хуыцау]]
[[pih:God]]
[[pl:Bóg]]
[[pnb:اللّہ]]
[[ps:الله]]
[[pt:Deus]]
[[qu:Dyus]]
[[ro:Dumnezeu]]
[[ru:Бог]]
[[sah:Таҥара]]
[[scn:Diu]]
[[sh:Bog]]
[[simple:God]]
[[sk:Boh]]
[[sl:Bog]]
[[sq:Perëndia]]
[[sr:Бог]]
[[sv:Gud]]
[[sw:Mungu]]
[[szl:Bůg]]
[[ta:கடவுள்]]
[[te:దేవుడు]]
[[th:เทวดา]]
[[tl:Diyos]]
[[tpi:Got]]
[[tr:Tanrı]]
[[uk:Бог]]
[[uz:Xudo]]
[[vec:Dio]]
[[vi:Thiên Chúa]]
[[vls:God]]
[[war:Diyos]]
[[wo:Yàlla]]
[[wuu:上帝]]
[[yi:גאט]]
[[yo:Ọlọ́run]]
[[zh-min-nan:Siōng-tè]]
[[zh-yue:上帝]]
[[zu:UNkulunkulu]]

Revisi terkini sejak 3 Agustus 2024 17.14

Representasi (untuk seni atau penyembahan) Tuhan dalam (dari kiri atas, searah jarum jam) Kristen, Atenisme, Zoroastrianisme, dan Hindu Bali.

Dalam pemikiran monoteistik, Tuhan biasanya dipandang sebagai wujud tertinggi, pencipta, dan objek utama dari iman.[1] Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, tetapi tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. Penganut monoteisme percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".[1] Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.[2]

Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimiliki-Nya. Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta alam semesta,[3] yang disebut Aten.[4] Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab Ibrani, dan "Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan Yahweh, dan Yehuwa kadang kala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil vokalisasi dari YHWH. Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99 nama suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa Mesir Kuno, Aten).[5][6][7][8][9] Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan monistis.[10] Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam agama Baha'i,[11] Waheguru dalam Sikhisme,[12] dan Ahura Mazda dalam Zoroastrianisme.[13]

Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal sifat, maksud, dan tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-pemikiran seperti omniteisme, pandeisme,[14][15] atau filsafat Perennial, yang menganggap adanya satu kebenaran teologis yang mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda, maka sesungguhnya agama-agama di dunia menyembah satu Tuhan yang sama, tetapi melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya.[16]

Etimologi dan terminologi

Kata Tuhan dalam bahasa Melayu berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik.[17] Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya (dalam bahasa Inggris: Lord). Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.[18]

Ahli bahasa Remy Sylado menemukan bahwa perubahan kata "tuan" yang bersifat insani, menjadi "Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu karya Melchior Leijdecker yang terbit pada tahun 1733.[19][20] Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang diperuntukkan bagi Yesus Kristus ini diterjemahkannya menjadi "tuan". Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai "Tuan"—sama dengan bahasa Portugis Senhor, Prancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere—melalui Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.[19] Di dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974), kata Tuhan (dan keluarga katanya, mis. Tuhanku) disebutkan sebanyak 7677 kali dalam 6510 ayat di seluruh protokanonika Perjanjian Lama (Ibrani) dan Perjanjian Baru (Yunani).[21] Kata ini paling sering digunakan untuk menerjemahkan kata Kurios (Yunani) dan Adonai (Ibrani). Selain itu, khusus untuk menerjemahkan Tetragrammaton YHWH, penerjemah TB dalam edisi cetak menggunakan huruf kapital (smallcaps) Tuhan, mengikuti tradisi terjemahan yang sudah ada,[22] misalnya dalam Kejadian 2:4, "Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika Tuhan Allah (YHWH Elohim) menjadikan bumi dan langit, --".[23] (Namun untuk menulis "Adonai YHWH" digunakan "Tuhan Allah", misalnya dalam Yesaya 61:1, "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara,")

Dalam bahasa Indonesia modern, kata "Tuhan" pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Dzat abadi dan supernatural. Dalam konteks rumpun agama samawi, kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu pada Allah, yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik langit dan bumi yang disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan kata rabb. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat.[24] Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an,[25]. Dalam monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan dewa. Penganut monoteisme biasanya menolak menggunakan kata dewa, karena merujuk kepada entitas-entitas dalam agama politeistis. Meskipun demikian, penggunaan kata dewa pernah digunakan sebelum penggunaan kata Tuhan. Dalam Prasasti Trengganu, prasasti tertua di dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan huruf Arab (huruf Jawi) menyebut Sang Dewata Mulia Raya. Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata devata, sebagai hasil penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara. Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal, sementara dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan sehingga cenderung mengacu kepada politeisme. Selain itu dalam teks terkadang juga digunakan kata "tuhan" dengan huruf kecil (mirip dengan kata "allah" dengan huruf kecil), terutama ketika memperbandingkan antara Tuhan Allah yang esa dengan tuhan (tuan) yang lain, misalnya dalam Ulangan 10:17: "Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; " 1 Korintus 8:5, dan Mazmur 136:3

Konsep tentang Tuhan

Konsep ketuhanan telah dikenal sejak manusia ada di dunia. Dasar dari konsep ketuhanan ini ialah adanya sesuatu yang maha gaib. Konsep ketuhanan yang paling awal ialah animisme dan dinamisme. Kedua konsep ini mulai ada sejak zaman manusia purba dan sifatnya sangat sederhana. Segala sesuatu yang sifatnya gaib dikatikan dengan keberadaan Tuhan. Kemudian, konsep ketuhanan berkembang seiring terbentuknya struktur masyarakat pada manusia. Konsep Tuhan ikut berkembang dengan terbentuknya hierarki ketuhanan. Pada masa ini, terbenuklah politeisme yang meyakini bahwa Tuhan tidak tunggal. Dalam konsep ini, Tuhan memiliki keluarga atau masyarakat seperti pada masyarakat manusia. Dari politeisme berkembang konsep ketuhanan lain, yaitu henoteisme. Dalam henotesime, Tuhan diyakini memiliki struktur pemerintahan dengan pemerintah tertinggi oleh Dewa. Perkembangan selanjutnya dari henoteisme memunculkan monoteisme dengan konsep bahwa Tuhan adalah sesuatu yang esa.[26]

Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi, pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-agama dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui oleh Gautama Buddha, terutama Śakra dan Brahma.

Monoteisme dan henoteisme

Hubungan antara Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus dalam Scutum Fidei, menjelaskan garis besar konsep Tritunggal.

Penganut monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa ajaran monoteistis mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja oleh semua agama dengan nama yang berbeda-beda. Pandangan bahwa seluruh pemuja Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda) sesungguhnya memuja satu Tuhan yang sama—entah disadari atau tidak disadari oleh umat tersebut—terutama diajarkan dalam agama Hindu[27] dan Sikh.[28]

Agama samawi atau dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena meyakini Abraham/Ibrahim sebagai nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk menunjuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama-agama ini dikenal sebagai agama monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan. Yahudi dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering disebutkan yaitu: Yahweh dalam agama Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen; Allah dalam Islam.

Agama Kristen mengenal konsep Tritunggal, yang maksudnya Tuhan memiliki tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep ini terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini merupakan paham monoteistis yang dipakai sejak Konsili Nicea I pada tahun 325 M. Kata "Tritunggal" sendiri tidak ada dalam Alkitab. Di dalam Ulangan 6:4 ditulis bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah "kesatuan dari berbagai satuan". Contohnya, pada Kejadian 2:24 ditulis "keduanya (manusia dan istrinya) menjadi satu (ekhad) daging" berarti kesatuan dari 2 manusia. Di Kejadian 1:26 Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti "Kita", mengandung kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi ketuhanan, tetapi terdiri dari tiga pribadi.

Di samping monoteisme yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada ajaran henoteisme yang meyakini dan memuja satu Tuhan, tetapi juga meyakini keberadaan dewa-dewi lainnya dan bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi istilah tersebut adalah "monoteisme inklusif" dan "politeisme monarkis", dipakai untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme mirip namun kurang eksklusif daripada monolatri (pemujaan satu Tuhan) karena monolator hanya memuja satu Tuhan (menolak keberadaan dewa-dewi untuk disembah), sedangkan penganut henoteisme dapat memuja dewa-dewi dari panteon yang mereka yakini, tergantung keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan memuja satu Tuhan saja sepanjang hidup mereka (kecuali ada konversi tertentu). Dalam beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa dalam kerangka henoteistis dapat saja terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis, bahkan politis.

Teisme, deisme, dan panteisme

Teisme pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif, dan independen. Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal; mahakuasa dan kekal abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta melalui pengalaman religius dan doa-doa umat-Nya.[29] Teisme menegaskan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan bersifat tak terbatas sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia.[30] Meski demikian, tidak seluruh penganut teisme mengakui dalil tersebut.[29] Teologi Katolik menyatakan bahwa Tuhan Mahakuasa sehingga tidak akan terikat pada waktu. Banyak penganut teisme percaya bahwa Tuhan Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini memicu timbulnya pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan diri meskipun memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, menurut teisme terbuka, karena adanya sifat asasi waktu, atribut Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan juga dapat memprediksikan masa depan. "Teisme" kadang kala digunakan untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan dewa/dewi secara umum, contohnya monoteisme dan politeisme.[31][32]

Deisme mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut penganut deisme, Tuhan itu ada, tetapi tidak ikut campur dalam urusan kejadian di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta.[30] Menurut pandangan ini, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa umat-Nya dan tidak menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme meyakini bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu mengenai apa yang diperbuat manusia. Dua cabang deisme, pandeisme dan panendeisme mengkombinasikan deisme dengan panteisme dan panenteisme.[15][33][34] Pandeisme dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam semesta kemudian mengabaikannya,[35] sebagaimana panteisme menjelaskan asal mula dan maksud keberadaan alam semesta.[35][36]

Panteisme mengajarkan bahwa Tuhan adalah alam semesta dan alam semesta itu Tuhan, sedangkan panenteisme menyatakan bahwa Tuhan meliputi alam semesta, tetapi alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan pandangan dalam ajaran Gereja Katolik Liberal, Theosophy, beberapa mazhab agama Hindu, Sikhisme, beberapa divisi Neopaganisme dan Taoisme. Kabbalah, mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan yang panteistis/panenteistis—yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik, khususnya dari pendiri mereka, Baal Shem Tov—namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang menolak batas-batas persona Tuhan.

Konsep ketuhanan lainnya

Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara.[37]

Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya teologi proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel Henry menyatakan suatu pendekatan fenomenologi dan pengertian Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.[38]

Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang berkepribadian, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".[1] Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog Yahudi, Kristen awal, dan muslim, yang terkemuka di antaranya adalah: Maimonides,[39] Agustinus dari Hippo,[39] dan Al-Ghazali.[2]

Keberadaan Tuhan

Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan induktif.

Ada banyak pendapat yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan Tuhan.[40] Beberapa pendapat terkemuka adalah Quinque viae, argumen dari keinginan yang dikemukakan oleh C.S. Lewis, dan argumen ontologis yang dikemukakan oleh St. Anselmus dan Descartes.[41] Bukti-bukti tersebut diperdebatkan dengan sengit, bahkan di antara para penganut teisme sekalipun. Beberapa di antaranya, misalnya argumen ontologis, masih sangat kontroversial di kalangan penganut teisme. Aquinas menulis risalah tentang Tuhan untuk menyangkal bukti-bukti yang diajukan Anselmus.[42]

Pendekatan yang dilakukan Anselmus adalah untuk mendefinisikan Tuhan sebagai "tidak ada yang lebih besar daripada-Nya untuk bisa direnungkan". Filsuf panteis Baruch Spinoza membawa gagasan tersebut lebih ekstrem: "Melalui Tuhan aku memahami sesuatu yang mutlak tak terbatas, yaitu, suatu zat yang mengandung atribut-atribut tak terbatas, masing-masing menyiratkan esensi yang kekal dan tidak terbatas". Bagi Spinoza, seluruh alam semesta terbuat dari satu zat, yaitu Tuhan, atau padanannya, yaitu alam.[43] Bukti keberadaan Tuhan yang diajukannya merupakan variasi dari argumen ontologis.[44]

Fisikawan kondang, Stephen Hawking, dan penulis Leonard Mlodinow menyatakan dalam buku mereka, The Grand Design, bahwa merupakan hal yang wajar untuk mencari tahu siapa atau apa yang membentuk alam semesta, tetapi bila jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya berbalik menjadi siapa atau apa yang menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah terdengar bahwa ada sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu disebut Tuhan. Hal ini dikenal sebagai argumen sebab pertama untuk mendukung keberadaan Tuhan. Akan tetapi, kedua penulis tersebut mengklaim bahwa pasti ada jawaban masuk akal secara ilmiah, tanpa mencampur keyakinan tentang hal-hal gaib.[45]

Beberapa teolog, misalnya ilmuwan sekaligus teolog A.E. McGrath, berpendapat bahwa keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan metode ilmiah.[46][47] Agnostik Stephen Jay Gould berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.[48]

Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung dan menentang keberadaan Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" (ateisme kuat); "Tuhan hampir tidak ada"[49] (ateisme de facto); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau tidak" (agnostisisme[50]); "Tuhan ada, tetapi tidak bisa dibuktikan atau dibantah (teisme lemah); dan "Tuhan ada dan dapat dibuktikan" (teisme kuat).

Tuhan dalam sudut pandang nonteistis

Menurut ajaran nonteisme, alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-hal gaib atau sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep ketuhanan, sementara menurut yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-nilai dan aspirasi manusia. Ateis asal Inggris, Charles Bradlaugh menyatakan bahwa ia menolak untuk berkata "Tuhan itu tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan untuk maksud yang tidak jelas atau tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini Tuhan menurut agama Kristen.[51]

Stephen Jay Gould melakukan pendekatan dengan membagi dunia filosofi menjadi "non-overlapping magisteria" (NOMA). Menurut pandangan tersebut, pertanyaan seputar hal-hal gaib/supernatural, seperti halnya keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih layak diulas dalam bidang teologi. Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan mengenai dunia nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan sejati dan nilai-nilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi pilihan pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.[52]

Menurut pandangan lainnya, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins, dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah pertanyaan empiris, dengan alasan bahwa "alam semesta dengan tuhan akan sungguh berbeda dengan yang tanpa tuhan, dan itu tentu merupakan perbedaan ilmiah."[49] Carl Sagan berpendapat bahwa doktrin Pencipta Alam Semesta sulit dibuktikan maupun dibantahkan, dan penemuan ilmiah yang dapat menyangkal keberadaan Sang Pencipta tentu menjadi penemuan bahwa usia alam semesta tidak terbatas.[53]

Tuhan antropomorfis

Pascal Boyer berpendapat bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai konsep seputar hal gaib yang berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib tersebut cenderung bertindak selayaknya manusia. Penggambaran dewa-dewi dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia adalah ciri yang mudah dikenali dari suatu agama. Sebagai contoh, mitologi Yunani, yang menurutnya cenderung menyerupai opera sabun masa kini daripada suatu sistem kepercayaan.[54] Bertrand du Castel dan Timothy Jurgensen mendemonstrasikan melalui formalisasi bahwa penjelasan Boyer cocok dengan epistemologi fisika dalam memosisikan entitas yang diamati sebagai intermedian tidak secara langsung.[55] Antropolog Stewart Guthrie berpendapat bahwa masyarakat memproyeksikan ciri manusia kepada aspek-aspek non-manusia di dunia karena itu akan membuat aspek-aspek tersebut lebih familier. Sigmund Freud juga menyatakan bahwa konsep ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah bagi seseorang.[56]

Émile Durkheim adalah salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan merepresentasikan ekstensi kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-unsur gaib. Mengimbangi pernyataan tersebut, psikolog Matt Rossano berpendapat bahwa ketika manusia mulai hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, mereka menciptakan sosok tuhan sebagai penegakan atas moralitas. Dalam kelompok yang lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan kekuatan sosial seperti penyebaran gosip atau penjagaan nama baik. Akan tetapi, lebih sulit untuk menjaga moralitas dalam kelompok besar dengan menggunakan kekuatan sosial. Rossano menyatakan bahwa dengan menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk gaib yang mahatahu, maka manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan keegoisan dan membangun kelompok yang lebih kooperatif.[57]

Persentase kepercayaan akan Tuhan

Persentase populasi di negara-negara Eropa sebagai hasil survei tahun 2005 bahwa mereka "percaya akan Tuhan". Negara mayoritas Katolik Roma (e.g.: Polandia, Portugal), Gereja Ortodoks Timur (Yunani, Romania, Siprus) atau Muslim (Turki) cenderung menunjukkan persentase tinggi.

Sampai tahun 2000, sekitar 53% populasi dunia teridentifikasi sebagai penganut salah satu dari tiga agama samawi terbesar (33% Kristen, 20% Islam, <1% Yahudi), 6% Buddhis, 13% umat Hindu, 6% penganut kepercayaan tradisional Tionghoa, 7% penganut agama lainnya, dan kurang dari 15% mengaku tak beragama. Kebanyakan agama yang dianut mengandung kepercayaan akan Tuhan, roh, dewa-dewi, dan makhluk gaib.[58] Agama samawi selain Kristen, Islam, dan Yahudi meliputi agama Baha'i, Samaritanisme, Gerakan Rastafari, Yazidisme, dan Gereja Unifikasi.

Peran pada kemanusiaan

Pemikiran mengenai peran Tuhan dalam keberadaan manusia di alam semesta telah dikembangkan oleh Giovanni Pico della Mirandola dan Marsilio Ficino. Pico meyakini bahwa Tuhan telah memberikan kesadaran kepada manusia mengenai hakikat keberadaannya di alam semesta sebagai ketetapanNya. Berdasarkan kesadaran ini, manusia memiliki tanggung jawab atas kehidupan yang diberikan kepadanya oleh Tuhan. Sedangkan Ficino berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk rasional. Tuhan berperan membimbing manusia di dalam kehidupannya. Tanpa keberadaan Tuhan, manusia tidak dapat melakukan perbaikan apapun pada dirinya sendiri.[59]

Lihat pula

 Portal Agama

Referensi

  1. ^ a b c swinburne, R.G. (1995), "God", dalam Honderich, Ted, The Oxford Companion to Philosophy, Oxford: Oxford University Press 
  2. ^ a b Platinga, Alvin (2000), "God, Arguments for the Existence of", Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge 
  3. ^ Lichtheim, M. (1980), Ancient Egyptian Literature, 2, hlm. 96 
  4. ^ Assmann, Jan (2005), Religion and Cultural Memory: Ten Studies, hlm. 59 
  5. ^ Sigmund, Freud (1939), Moses and Monotheism: Three Essays 
  6. ^ Stent, Gunther Siegmund (2002), Paradoxes of Free Will, DIANE, hlm. 34–38, ISBN 0-87169-926-5 
  7. ^ Assmann, Jan (1997), Moses the Egyptian: The Memory of Egypt in Western Monotheism, Harvard University Press, ISBN 0-674-58739-1 
  8. ^ Shupak, N. (1995), The Monotheism of Moses and the Monotheism of Akhenaten, Sevivot 
  9. ^ Albright, William F. (Mei 1973), The Biblical Archaeologist, 36, No. 2, hlm. 48–76, doi:10.2307/3211050, ISSN 0006-0895 
  10. ^ Levine, Michael P. (2002), Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity, hlm. 136 
  11. ^ Watanabe, Joyce (2006), "Baháʾuʾlláh", A Feast for the Soul: Meditations on the Attributes of God, hlm. x 
  12. ^ Duggal, Kartar Singh (1988), Philosophy and Faith of Sikhism, hlm. ix 
  13. ^ Kidder, David S.; Oppenheim, Noah D., The Intellectual Devotional: Revive Your Mind, Complete Your Education, and Roam Confidently With the Cultured Class, hlm. 364 
  14. ^ Raphael Lataster (2013). There was no Jesus, there is no God: A Scholarly Examination of the Scientific, Historical, and Philosophical Evidence & Arguments for Monotheism. hlm. 165. ISBN 1492234419. 
  15. ^ a b Alan H. Dawe (2011). The God Franchise: A Theory of Everything. hlm. 48. ISBN 0473201143. 
  16. ^ Hick, John; Hebblethwaite, Brian (1980), Christianity and Other Religions, hlm. 178 
  17. ^ Heuken, Adolf (1976), Ensiklopedi Populer Gereja 
  18. ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan". Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 2013-08-15. 
  19. ^ a b Sylado, Remy, Asal kata Tuhan 
  20. ^ (Belanda) Luk 1:46 (Pujian Maria) terjemahan Leydekker/Leijdecker
  21. ^ Tuhan, hasil pencarian alkitab.sabda.org
  22. ^ Misalnya dalam bahasa Inggris Lord Holman Illustrated Bible Dictionary. Nashville, TN: Holman Bible Publishers. 2003. hlm. 1046. ISBN 0-8054-2836-4. 
  23. ^ Catatan Full Life Study Bible: Kejadian 2:4
  24. ^ 'Ar-Rabb, Yang Maha Mengatur dan Menguasai Alam Semesta, Muslim.Or.Id [pranala nonaktif permanen]
  25. ^ Tuhan, hasil pencarian www.dudung.net
  26. ^ Kasno (2018). Salsabila, Intan, ed. Filsafat Agama (PDF). Surabaya: Alpha. hlm. 33. ISBN 978-602-6681-18-8. 
  27. ^ Bhaskarananda, Swami (2002), Essentials of Hinduism, Viveka Press, ISBN 1-884852-04-1 
  28. ^ "Sri Guru Granth Sahib", Sri Granth, Srigranth.org, diakses tanggal 30 Juni 2011 
  29. ^ a b Smart, Jack (2003). Atheism and Theism. Blackwell Publishing. hlm. 8. ISBN 0-631-23259-1. 
  30. ^ a b Lemos, Ramon M. (2001). A Neomedieval Essay in Philosophical Theology. Lexington Books. hlm. 34. ISBN 0-7391-0250-8. 
  31. ^ "Philosophy of Religion.info–Glossary–Theism, Atheism, and Agonisticism". Philosophy of Religion.info. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-24. Diakses tanggal 2008-07-16. 
  32. ^ "Theism–definition of theism by the Free Online Dictionary, Thesaurus and Encyclopedia". TheFreeDictionary. Diakses tanggal 2008-07-16. 
  33. ^ Sean F. Johnston (2009). The History of Science: A Beginner's Guide. hlm. 90. ISBN 1-85168-681-9. 
  34. ^ Paul Bradley (2011). This Strange Eventful History: A Philosophy of Meaning. hlm. 156. ISBN 0875868762. 
  35. ^ a b Allan R. Fuller (2010). Thought: The Only Reality. hlm. 79. ISBN 1608445909. 
  36. ^ Peter C. Rogers (2009). Ultimate Truth, Book 1. hlm. 121. ISBN 1438979681. 
  37. ^ Dostoyevsky, Fyodor, "The Brothers Karamazov", The Project Gutenberg EBook, Gutenberg.org, hlm. 259–261 
  38. ^ Henry, Michel (2003). I Am the Truth. Toward a Philosophy of Christianity. Translated by Susan Emanuel. Stanford University Press. ISBN 0-8047-3780-0. 
  39. ^ a b Edwards, Paul (1995), "God and the Philosophers", dalam Honderich, Ted, The Oxford Companion to Philosophy, Oxford University Press, ISBN 978-1-61592-446-2 
  40. ^ Aquinas, Thomas (1990). Kreeft, Peter, ed. Summa of the Summa. Ignatius Press. hlm. 63. 
  41. ^ Aquinas, Thomas (1990). Kreeft, Peter, ed. Summa of the Summa. Ignatius Press. hlm. 65–69. 
  42. ^ Aquinas, Thomas (1274). Summa Theologica. Part 1, Question 2, Article 3. 
  43. ^ Curley, Edwin M. (1985). The Collected Works of Spinoza. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-07222-7. 
  44. ^ Nadler, Steven, "Baruch Spinoza", dalam Edward N. Zalta, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Musim Gugur 2012) 
  45. ^ Stephen Hawking (2010). The Grand Design. Bantam Books. hlm. 172. ISBN 978-0-553-80537-6. 
  46. ^ Alister E. McGrath (2005). Dawkins' God: genes, memes, and the meaning of life. Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-4051-2539-0. 
  47. ^ Floyd H. Barackman (2001). Practical Christian Theology: Examining the Great Doctrines of the Faith. Kregel Academic. ISBN 978-0-8254-2380-2. 
  48. ^ Gould, Stephen J. (1998). Leonardo's Mountain of Clams and the Diet of Worms. Jonathan Cape. hlm. 274. ISBN 0-224-05043-5. 
  49. ^ a b Dawkins, Richard. "Why There Almost Certainly Is No God". The Huffington Post. Diakses tanggal 2007-01-10. 
  50. ^ Dixon, Thomas (2008). Science and Religion: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press. hlm. 63. ISBN 978-0-19-929551-7. 
  51. ^ Iconoclast (1876), A Plea for Atheism, London: Austin & Co., hlm. 2 
  52. ^ Dawkins, Richard (2006). The God Delusion. Great Britain: Bantam Press. ISBN 0-618-68000-4. 
  53. ^ Sagan, Carl (1996). The Demon Haunted World p.278. New York: Ballantine Books. ISBN 0-345-40946-9. 
  54. ^ Boyer, Pascal (2001). Religion Explained,. New York: Basic Books. hlm. 142–243. ISBN 0-465-00696-5. [pranala nonaktif permanen]
  55. ^ du Castel, Bertrand (2008). Computer Theology,. Austin, Texas: Midori Press. hlm. 221–222. ISBN 0-9801821-1-5. 
  56. ^ Barrett, Justin (1996). "Conceptualizing a Nonnatural Entity: Anthropomorphism in God Concepts" (PDF). 
  57. ^ Rossano, Matt (2007). "Supernaturalizing Social Life: Religion and the Evolution of Human Cooperation" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-03-03. Diakses tanggal 2009-06-25. 
  58. ^ National Geographic Family Reference Atlas of the World p. 49
  59. ^ Faza, Abrar M. Dawud (2010). Harahap, Ahmad Gozali, ed. Perspektif Sufistik Ali Shariati dalam Puisi "One Followed by Eternity of Zeroes” (PDF). Medan: Penerbit Panjiaswaja Press. hlm. 6–7. ISBN 978-602-96654-2-0. 

Pranala luar