Jaipongan: Perbedaan antara revisi
PL223 Tyas (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
k Merapikan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(91 revisi perantara oleh 60 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{More footnotes|date=Desember 2020}} |
|||
{{Musik Indonesia}} |
|||
[[Berkas: |
[[Berkas:Jaipong.jpg|jmpl|Jaipongan|193x193px]] |
||
'''[[Jaipongan]]''' ([[Aksara Sunda Baku|aksara Sunda]]: {{Sund|ᮏᮄᮕᮧᮌᮔ᮪}}) adalah sebuah jenis [[Tarian Indonesia|tari pergaulan]] tradisional [[Suku Sunda|masyarakat Sunda]] yang berasal dari wilayah [[Kabupaten Karawang|Karawang]] dan sangat populer di [[Indonesia]]. |
|||
'''Jaipongan''' adalah sebuah genre [[seni tari]] yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal [[Bandung]], [[Gugum Gumbira]]. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah [[Ketuk Tilu]] menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada [[Kliningan]]/[[Bajidoran]] atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak ''bukaan'', ''pencugan'', ''nibakeun'' dan beberapa ragam gerak ''mincid'' dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama '''Jaipongan'''. |
|||
== Sejarah == |
|||
⚫ | Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi |
||
[[Jaipongan]] terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H. Suanda sekitar tahun 1976 di [[Kabupaten Karawang|Karawang]]. Jaipongan merupakan garapan yang menggabungkan beberapa elemen seni tradisi Karawang seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan di Karawang pesat pertumbuhannya di mulai tahun 1976, ditandai dengan munculnya rekaman Jaipongan SUANDA GROUP dengan instrumen musik sederhana yang terdiri dari gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden atau juru kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label tersebut (indi label), Jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh H. Suanda di wilayah Karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat sambutan hangat. Selanjutnya, Jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat Karawang dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari segenap masyarakat Karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya Karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan pada saat itu menjadi seni pertunjukan hiburan alternatif dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di Karawang seperti pencak silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek. Keberadaan jaipong memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda dalam bentuk pengemasannya, mulai dari penataan pada komposisi musikalnya hingga dalam bentuk komposisi tariannya. |
|||
⚫ | Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/[[Doger]]/[[Tayub]]) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat ([[Karawang]], [[Bekasi]], [[Purwakarta]], [[Indramayu]], dan [[Subang]]) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam [[Topeng Banjet]] cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih |
||
Mungkin di antara kita hanya tahu asal tari jaipong dari [[Kota Bandung|Bandung]] ataupun malah belum mengetahui dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Karawang, Acep Jamhuri berkata Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang berasal dari tepak Topeng. Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, [[Gugum Gumbira]]. Akhirnya dikemas dengan membuat rekaman. Seniman-seniman Karawang dibawa bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah Bandung. Karawang hanya dikenal gendangnya atau nayaga (pemain musik). Makanya sekarang kami di Disbudpar akan mencoba menggali kembali seni tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal dari Karawang”. Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh [[Gugum Gumbira]], sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk mengembangkan tarian asal Karawang di kota Bandung yang menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, Jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta [[Ronggeng]]. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak ''bukaan'', ''pencugan'', ''nibakeun'' dan beberapa ragam gerak ''mincid'' dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian Jaipongan. |
|||
⚫ | Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan. |
||
⚫ | Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan [[Priangan]] misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa ''Ball Room'' dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan [[ronggeng]] dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh [[Suku Sunda|masyarakat Sunda]], diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun [[1916]]. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi [[rebab]], [[kendang]], dua buah [[kulanter]], tiga buah [[ketuk]], dan [[gong]]. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan. |
||
== Berkembang == |
|||
⚫ | Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "[[Rendeng Bojong]]" yang keduanya merupakan jenis [[tari putri]] dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti [[Tati Saleh]], [[Yeti Mamat]], [[Eli Somali]], dan [[Pepen Dedi Kurniadi]]. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, |
||
⚫ | Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/[[Doger]]/[[Tayub]]) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat ([[Karawang]], [[Bekasi]], [[Purwakarta]], [[Indramayu]], dan [[Subang]]) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam [[Topeng Banjet]] cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakkan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan [[Pencak Silat]]. |
||
⚫ | Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, |
||
⚫ | Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan. |
||
⚫ | Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan ( |
||
== Perkembangan == |
|||
⚫ | Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada |
||
[[Berkas:Jaipongan Bunga Tanjung 02.jpg|jmpl|kiri|200px|Jaipongan Mojang Priangan]] |
|||
⚫ | Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "[[Rendeng Bojong]]" yang keduanya merupakan jenis [[tari putri]] dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti [[Tati Saleh]], [[Yeti Mamat]], [[Eli Somali]], dan [[Pepen Dedi Kurniadi]]. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun [[1980]] dipentaskan di [[TVRI (saluran televisi)|TVRI stasiun pusat Jakarta]]. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah. |
||
⚫ | Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, di mana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara). |
||
⚫ | |||
⚫ | Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (seorang sinden tetapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor). |
||
⚫ | Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada tahun [[1980]]-[[1990-an]], di mana [[Gugum Gumbira]] menciptakan tari lainnya seperti [[Toka-toka]], [[Setra Sari]], [[Sonteng]], [[Pencug]], [[Kuntul Mangut]], [[Iring-iring Daun Puring]], [[Rawayan]], dan [[Tari Kawung Anten]]. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain [[Iceu Effendi]], [[Yumiati Mandiri]], [[Miming Mintarsih]], Nani, Erna, [[Mira Tejaningrum]], [[Ine Dinar]], [[Ega, Nuni]], Cepy, Agah, [[Aa Suryabrata]], dan Asep. |
||
⚫ | Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini tampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan [[wayang]], [[degung]], genjring/terbangan, [[kacapi jaipongan|kacapi Jaipongan]], dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Jaipongan-[[Dangdut]]. |
||
== Sumber rujukan == |
== Sumber rujukan == |
||
* http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2012/06/tari-jaipong-antara-ada-dan-tiada-dalam_10.html |
|||
* http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pemprov-jabar/13/12/29/myj46g-pemda-karawang-diminta-bikin-patung-penari-jaipong |
|||
* Ganjar Kurnia. 2003. ''Deskripsi kesenian Jawa Barat''. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung. |
* Ganjar Kurnia. 2003. ''Deskripsi kesenian Jawa Barat''. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung. |
||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
||
* {{commonscat-inline}} |
|||
* [http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/18/Jabar/7730.htm Jaipongan sebagai Pembangkit Energi Kolektif], Kompas 18 November 2006 |
|||
* [http://forumkajiansenikarawang.wordpress.com/2012/04/14/menguak-sejarah-lahirnya-jaipong/ Menguak Sejarah Lahirnya Jaipong] |
|||
{{indo-tari-stub}} |
|||
{{Tarian di wilayah pulau Jawa|state=autocollapse}} |
|||
[[Kategori:Seni di Indonesia]] |
[[Kategori:Seni di Indonesia]] |
||
[[Kategori:Tari di Indonesia]] |
[[Kategori:Tari di Indonesia]] |
||
[[Kategori:Kesenian Sunda]] |
|||
[[Kategori:Budaya Sunda]] |
|||
[[en:Jaipongan]] |
|||
[[Kategori:Tarian Sunda]] |
|||
[[fr:Jaipongan]] |
|||
[[ja:ジャイポンガン]] |
|||
[[jv:Jaipongan]] |
|||
[[su:Jaipongan]] |
Revisi terkini sejak 14 Oktober 2024 11.21
Jaipongan (aksara Sunda: ᮏᮄᮕᮧᮌᮔ᮪) adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda yang berasal dari wilayah Karawang dan sangat populer di Indonesia.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Jaipongan terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H. Suanda sekitar tahun 1976 di Karawang. Jaipongan merupakan garapan yang menggabungkan beberapa elemen seni tradisi Karawang seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan di Karawang pesat pertumbuhannya di mulai tahun 1976, ditandai dengan munculnya rekaman Jaipongan SUANDA GROUP dengan instrumen musik sederhana yang terdiri dari gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden atau juru kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label tersebut (indi label), Jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh H. Suanda di wilayah Karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat sambutan hangat. Selanjutnya, Jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat Karawang dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari segenap masyarakat Karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya Karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan pada saat itu menjadi seni pertunjukan hiburan alternatif dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di Karawang seperti pencak silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek. Keberadaan jaipong memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda dalam bentuk pengemasannya, mulai dari penataan pada komposisi musikalnya hingga dalam bentuk komposisi tariannya.
Mungkin di antara kita hanya tahu asal tari jaipong dari Bandung ataupun malah belum mengetahui dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Karawang, Acep Jamhuri berkata Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang berasal dari tepak Topeng. Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, Gugum Gumbira. Akhirnya dikemas dengan membuat rekaman. Seniman-seniman Karawang dibawa bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah Bandung. Karawang hanya dikenal gendangnya atau nayaga (pemain musik). Makanya sekarang kami di Disbudpar akan mencoba menggali kembali seni tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal dari Karawang”. Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk mengembangkan tarian asal Karawang di kota Bandung yang menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, Jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian Jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakkan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
Perkembangan
[sunting | sunting sumber]Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, di mana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (seorang sinden tetapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada tahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini tampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi Jaipongan, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Jaipongan-Dangdut.
Sumber rujukan
[sunting | sunting sumber]- http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2012/06/tari-jaipong-antara-ada-dan-tiada-dalam_10.html
- http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pemprov-jabar/13/12/29/myj46g-pemda-karawang-diminta-bikin-patung-penari-jaipong
- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Media tentang Jaipongan di Wikimedia Commons
- Menguak Sejarah Lahirnya Jaipong