Apostasi dalam Islam: Perbedaan antara revisi
fixing interwiki conflict |
k Illchy memindahkan halaman Kemurtadan menurut Islam ke Apostasi dalam Islam Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(24 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}} |
|||
'''Kemurtadan |
'''Kemurtadan menurut Islam''' ([[Bahasa Arab]]: ارتداد, ''irtidād'' or ''ridda'') didefinisikan oleh kaum [[Muslimin]] sebagai keadaan penolakan dalam ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dulunya memeluk agama [[Islam]]. Termasuk dalam hal ini ialah tindakan meninggalkan Islam dan sejumlah tindakan pemfitnahan terhadap Islam. Konsep inilah yang membedakan dengan sistem keagamaan lainnya. |
||
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di [[Madinah]], orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang [[Makkah]]), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi [[perang]] dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at. |
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di [[Madinah]], orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang [[Makkah]]), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi [[perang]] dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at. |
||
Pada masa Khilafah Islam, kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan, dan karena itu diperlakukan sebagai pelanggaran hukum yang dikenakan hukuman mati (''hudud'').<ref>Dari [[Abdullah bin Mas’ud]], bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, |
|||
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ |
|||
⚫ | |||
”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari 6878, Muslim 1676, Nasai 4016, dan yang lainnya).</ref><ref>Dalam hadis lain, dari [[Ibnu Abbas]], rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, |
|||
⚫ | |||
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ |
|||
[[ar:ردة (إسلام)]] |
|||
[[ca:Apostasia en l'islam]] |
|||
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya).</ref> Tokoh kontemporer yang paling menonjol yang dicap sebagai murtadin secara individual adalah [[Salman Rushdie]]. |
|||
[[de:Apostasie im Islam]] |
|||
[[en:Apostasy in Islam]] |
|||
== Ketentuan hukuman == |
|||
[[fr:Apostasie dans l'islam]] |
|||
Ada beberapa ketentuan yang berlaku dalam menerapkan hukuman untuk orang murtad, yaitu: |
|||
[[it:Ridda]] |
|||
* Hukuman ini masuk dalam hukum Islam, maka penetapan hukum bunuh untuk orang murtad, hanya bisa dilakukan, dan diputuskan oleh pengadilan [[Syariat Islam|syariah]] yang resmi ditunjuk oleh pemerintahan Islam.<ref>Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ditegaskan, "Hukuman untuk orang yang murtad tidak boleh diputuskan kecuali oleh mahkamah syariah, dan pelaksanaannya tidak bisa dilakukan kecuali oleh pemerintah kaum muslimin." (''Fatawa Syabakah Islamiyah'', no. 73924).</ref> |
|||
[[ja:イスラム教における棄教]] |
|||
* Dianjurkan untuk menunda hukuman mati, jika ada harapan seseorang untuk kembali memeluk Islam.<ref>Syaikhul Islam dalam kitabnya ''as-Sharim al-Maslul'' mengutip keterangan ulama tabi’in, “Sufyan At-Tsauri mengatakan, ‘Ditunda hukumanya, jika diharapkan dia mau bertaubat.’ Demikian pula makna dari keterangan Ibrahim an-Nakhai.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).</ref> |
|||
[[pl:Ridda]] |
|||
* Selama penundaan hukuman, dia harus didakwahi dan ditawari untuk bertaubat. Bisa bentuknya diajak berdebat, dialog, atau diberi harta, untuk menghilangkan segala sebab yang membuat seseorang murtad.<ref>Syaikhul Islam menyebutkan keterangan at-Thahawi, At-Thahawi menyebutkan dari para ulama hanafi: “Orang yang murtad tidak boleh dibunuh, hingga dia diminta bertaubat.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).</ref><ref>Dalam ''Mukhtashar Kholil''–ulama Malikiyah–dinyatakan, "Orang yang murtad diminta bertaubat selama 3 hari, tanpa dikondisikan lapar, haus, dan tanpa hukuman.. Jika dia mau bertaubat (kembali masuk islam), dia dilepaskan, jika tidak maka dibunuh. (''Mukhtashar Kholil'', hlm. 251).</ref> |
|||
== Referensi == |
|||
{{Reflist}} |
|||
== Lihat pula == |
|||
* [[Musailamah al-Kazzab]] |
|||
* [[Perang Riddah]] |
|||
[[Kategori:Kemurtadan dalam Islam]] |
|||
[[Kategori:Persekusi terhadap ateis]] |
|||
[[Kategori:Persekusi Kristen oleh Muslim]] |
|||
[[Kategori:Islam dan hukuman mati]] |
|||
⚫ | |||
[[Kategori:Keluar dari agama]] |
|||
⚫ |
Revisi terkini sejak 6 Agustus 2023 02.09
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Kemurtadan menurut Islam (Bahasa Arab: ارتداد, irtidād or ridda) didefinisikan oleh kaum Muslimin sebagai keadaan penolakan dalam ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dulunya memeluk agama Islam. Termasuk dalam hal ini ialah tindakan meninggalkan Islam dan sejumlah tindakan pemfitnahan terhadap Islam. Konsep inilah yang membedakan dengan sistem keagamaan lainnya.
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di Madinah, orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang Makkah), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi perang dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at.
Pada masa Khilafah Islam, kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan, dan karena itu diperlakukan sebagai pelanggaran hukum yang dikenakan hukuman mati (hudud).[1][2] Tokoh kontemporer yang paling menonjol yang dicap sebagai murtadin secara individual adalah Salman Rushdie.
Ketentuan hukuman
[sunting | sunting sumber]Ada beberapa ketentuan yang berlaku dalam menerapkan hukuman untuk orang murtad, yaitu:
- Hukuman ini masuk dalam hukum Islam, maka penetapan hukum bunuh untuk orang murtad, hanya bisa dilakukan, dan diputuskan oleh pengadilan syariah yang resmi ditunjuk oleh pemerintahan Islam.[3]
- Dianjurkan untuk menunda hukuman mati, jika ada harapan seseorang untuk kembali memeluk Islam.[4]
- Selama penundaan hukuman, dia harus didakwahi dan ditawari untuk bertaubat. Bisa bentuknya diajak berdebat, dialog, atau diberi harta, untuk menghilangkan segala sebab yang membuat seseorang murtad.[5][6]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ ”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari 6878, Muslim 1676, Nasai 4016, dan yang lainnya).
- ^ Dalam hadis lain, dari Ibnu Abbas, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya).
- ^ Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ditegaskan, "Hukuman untuk orang yang murtad tidak boleh diputuskan kecuali oleh mahkamah syariah, dan pelaksanaannya tidak bisa dilakukan kecuali oleh pemerintah kaum muslimin." (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924).
- ^ Syaikhul Islam dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul mengutip keterangan ulama tabi’in, “Sufyan At-Tsauri mengatakan, ‘Ditunda hukumanya, jika diharapkan dia mau bertaubat.’ Demikian pula makna dari keterangan Ibrahim an-Nakhai.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).
- ^ Syaikhul Islam menyebutkan keterangan at-Thahawi, At-Thahawi menyebutkan dari para ulama hanafi: “Orang yang murtad tidak boleh dibunuh, hingga dia diminta bertaubat.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).
- ^ Dalam Mukhtashar Kholil–ulama Malikiyah–dinyatakan, "Orang yang murtad diminta bertaubat selama 3 hari, tanpa dikondisikan lapar, haus, dan tanpa hukuman.. Jika dia mau bertaubat (kembali masuk islam), dia dilepaskan, jika tidak maka dibunuh. (Mukhtashar Kholil, hlm. 251).
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]