Dursasana: Perbedaan antara revisi
M. Adiputra (bicara | kontrib) k +gambar |
M. Adiputra (bicara | kontrib) k Pengembalian suntingan oleh Liona Fernandes (bicara) ke revisi terakhir oleh 103.210.202.132 Tag: Pengembalian |
||
(53 revisi perantara oleh 31 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{TMH Infobox| |
{{TMH Infobox| |
||
| Image = |
| Image = Draupadi dragged from her chamber.jpg |
||
| Caption = Dursasana |
| Caption = Dursasana menjambak [[Dropadi]]. Lukisan karya Evelyn Paul, 1911. |
||
| Nama = Dursasana |
| Nama = Dursasana |
||
| Devanagari = दुःशासन |
|||
| Ejaan_Sansekerta = Duśśāsana (Dushasana) |
|||
| Ejaan_Sanskerta = Duḥśāsana |
|||
| Nama_lain = |
| Nama_lain = |
||
| Kasta = kesatria |
|||
| Ayah = [[Dretarastra]] |
|||
| Ibu = [[Gandari]] |
|||
| Dinasti = [[Dinasti Kuru|Kuru]] |
|||
| Tokoh = ''Mahabharata'' |
|||
| Kitab = ''[[Mahabharata]]'' |
|||
| Tempat = [[Hastinapura]] |
|||
| Asal = [[Hastinapura]], [[Kerajaan Kuru]] |
| Asal = [[Hastinapura]], [[Kerajaan Kuru]] |
||
}} |
}} |
||
'''Dursasana''' atau '''Duhsasana''' |
'''Dursasana''' atau '''Duhsasana''' {{Sanskerta|दुःशासन|Duḥśāsana}} adalah tokoh antagonis dalam [[wiracarita]] ''[[Mahabharata]]''. Ia merupakan adik [[Duryodana]], pemimpin para [[Korawa]], putra Raja [[Drestarasta]] dengan Dewi [[Gandari]]. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa. |
||
Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam ''[[Sabhaparwa]]'' (kitab kedua ''Mahabharata''), yang mengisahkan permainan dadu antara lima [[Pandawa]] melawan seratus [[Korawa]]. [[Dropadi]], istri para Pandawa menjadi budak para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi tidak berhasil berkat pertolongan [[Kresna]]. Peristiwa itu memperkeruh permusuhannya dengan [[Bhima|Bima]]. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam [[perang di Kurukshetra]] pada hari ke-16. |
|||
⚫ | |||
Dalam [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]], Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Candramukiwati, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama [[Dursala]]. Ia digambarkan sebagai wayang dengan tubuh yang gagah, bermulut lebar, dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, gemar menggoda wanita, dan senang menghina orang lain. |
|||
Saat [[Gandari]] hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap [[Kunti]], yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja [[Byasa]], seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian [[Byasa]] memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah [[Duryodana]], diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain. |
|||
Nama ''Duhsasana'' terdiri dari dua kata [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]], yaitu ''duh'' dan ''śāsana''. Secara [[harfiah]], kata ''Dusśāsana'' memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi". |
|||
⚫ | |||
[[Berkas:DraupadiDhusasa.jpg|right|180px|thumb|Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai [[Dropadi]], namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri [[Kresna]]]] |
|||
⚫ | |||
⚫ | |||
Saat [[Yudistira]] kalah main dadu dengan [[Duryodana]], [[Dropadi]] yang menjadi taruhannya jatuh ke tangan Duryodana. Duryodana mengutus pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Kemudian Duryodana mengutus adiknya sendiri, yaitu Dursasana. Dengan kasar ia datang ke kediaman Dropadi kemudian menjambak rambut Dropadi serta menyeretnya sampai di arena dadu, dimana suami beserta ipar-iparnya berkumpul. Kemudian Duryodana menyuruh [[Pandawa]] dan Dropadi untuk menanggalkan pakaian mereka sebab harta mereka sudah menjadi milik [[Duryodana]]. |
|||
Dalam ''[[Adiparwa]]'' diceritakan bahwa Dursasana lahir dari kandungan [[Gandari]] dalam keadaan tidak wajar. Dikisahkan bahwa Gandari merasa iri terhadap [[Kunti]], iparnya sendiri yang telah melahirkan seorang putra bernama [[Yudistira]], sementara ia belum melahirkan meskipun sudah hamil tua. Dalam frustasi, Gandari memukul-mukul kandungannya sehingga mengeluarkan segumpal daging berwarna keabu-abuan dari rahimnya. Resi [[Byasa]], paman suaminya segera dipanggil ke istana untuk mengatasi keanehan tersebut. Berkat pengetahuannya, daging tersebut dibelah sampai berjumlah seratus potongan. Ia memasukkan potongan daging tersebut, masing-masing ke dalam sebuah pot, lalu menguburnya di dalam tanah. |
|||
[[Dropadi]] yang menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dropadi memuja-muja Tuhan agar mendapatkan pertolongan. Kemudian [[Kresna]] muncul secara gaib (kasat mata) dan memberi keajaiban kepada pakaian Dropadi agar kain yang dikenakannya tidak habis-habis meski ditarik terus-menerus. Saat Dursasana menarik pakaian Dropadi dengan paksa, kain <i>sari</i> yang melilit di tubuhnya tidak habis-habis meski terus diulur-ulur. Akhirnya Dursasana merasa lelah dan pakaian Dropadi tidak berhasil dilepas. |
|||
Setahun kemudian, salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama [[Duryodana]], yang lahir bersamaan dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama [[Bimasena]]. Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran [[Arjuna]], putra ketiga Kunti. Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran [[Nakula]] dan [[Sahadewa]], putra kembar [[Madri]], istri kedua Pandu. |
|||
Atas tindakan tersebut, [[Bima (tokoh Mahabharata)|Bima]] bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. |
|||
Sebanyak 100 orang putra Dretarastra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan [[Korawa]], sedangkan kelima putra Pandu disebut [[Pandawa]]. Dalam ''Mahabharata'' dikisahkan bahwa meskipun bersaudara sepupu, Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat iri hati, karena Yudistira dicalonkan sebagai penerus takhta. Di samping itu, mereka diajarkan cara-cara untuk mencelakai para Pandawa oleh paman mereka, yaitu [[Sangkuni]], saudara Gandari yang memiliki dendam terhadap [[Dinasti Kuru]]. |
|||
==Kematian== |
|||
⚫ | |||
Dalam [[perang di Kurukshetra|pertempuran besar]] di [[Kurukshetra]], [[Bima (tokoh Mahabharata)|Bima]] membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada [[Dropadi]]. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan [[Duryodana]]. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima. |
|||
[[Berkas:Draupadi s presented to a pachisi game.jpg|ka|280px|jmpl|[[Litograf]] dari Chore Bagan Art (1895), melukiskan Dropadi diantar secara paksa ke balairung tempat [[Korawa]] dan [[Pandawa]] bermain dadu.]]{{main|Sabhaparwa}} |
|||
Dalam ''[[Sabhaparwa]]'' diceritakan bahwa kecemburuan para [[Korawa]] terhadap [[Pandawa]] semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama [[Indraprastha]]. Berkat bantuan licik [[Sangkuni]], para Korawa berhasil merebut Indraprastha melalui sebuah [[Sabhaparwa|permainan dadu]]. |
|||
⚫ | |||
Saat [[Yudistira]] dan keempat adiknya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh [[Duryodana]] untuk mempertaruhkan [[Dropadi]]. Dropadi adalah putri [[Kerajaan Pancala]] yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Setelah Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya. |
|||
Dursasana dikenal pula dalam khazanah [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]]. Misalkan menurut cerita pedalangan [[Yogyakarta]] ia tewas dalam kisah ''Bratayuda'' babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya. |
|||
Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kemudian memerintahkan agar Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam keadaan tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. [[Sri Kresna]] pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak ada habisnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Akhirnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan. |
|||
Dalam kisah "Pandawa Dadu" (''[[Sabhaparwa]]''), [[Yudistira]] kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudara-saudara, dan istrinya telah berada dalam kekuasaan [[Korawa]] sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling bernafsu untuk menelanjangi [[Dropadi]] (istri [[Yudistira]]), sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula [[Bima (tokoh Mahabharata)|Bima]] bersumpah akan meminum darah Dursasana sebelum mati. |
|||
Setelah peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga [[Bimasena]] (Pandawa nomor dua) bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya. |
|||
Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang [[Bharatayuddha]]. |
|||
== |
== Kematian == |
||
[[Berkas:Bhima drinks blood.jpg|250px|jmpl|Bima memenuhi sumpah untuk membunuh Dursasana dan meminum darahnya di medan perang [[Kurukshetra]].]] |
|||
* [[Sabhaparwa]] |
|||
Puncak permusuhan [[Pandawa]] dan [[Korawa]] meletus dalam sebuah [[perang di Kurukshetra|pertempuran besar]] di [[Kurukshetra]]. Pada hari keenam belas, Dursasana bertarung melawan [[Bimasena]]. Dalam perkelahian tersebut Bimasena berhasil menarik lengan Dursasana sampai putus, kemudian merobek dada dan meminum darah sepupunya itu. Bimasena kemudian menyisakan segenggam darah Dursasana untuk diusapkannya ke rambut [[Dropadi]] yang menunggu di tenda. |
|||
⚫ | |||
Dalam [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]], Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjumput. Istrinya bernama Dewi Candramukiwati, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama [[Dursala]]. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang [[Baratayuda]] di tangan [[Gatotkaca]] putra [[Wrekudara]]. |
|||
Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra [[Duryudana]] yang bernama [[Laksmanakumara|Lesmana Mandrakumara]] pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai [[putra mahkota]] yang baru. Namun, Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke [[Hastinapura|Hastina]] dengan alasan menjaga Dewi [[Banowati]], kakak iparnya. Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Sebagai balasannya, Dursasana membongkar perselingkuhan Banowati dengan [[Arjuna]]. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata [[Pandawa]]. Sebagai pembenaran, ia menuding bahwa Banowati lebih menyesali kematian [[Abimanyu]] putra Arjuna daripada kematian [[Laksmanakumara|Lesmana]], anaknya sendiri. |
|||
Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan [[Bima]]. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah [[Kresna]] (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh [[Resi]] [[Drona]]. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial. Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama [[Pandu]]. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan [[Kurawa]]. |
|||
Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga ia itu gagal mencapai sungai. Bima segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling. Melihat adiknya tersiksa, Duryudana segera memohon agar Bima mengampuni Dursasana, bahkan ia menjanjikan bahwa perang dapat berakhir pada hari itu juga, dengan Pandawa sebagai pemenangnya. Ia juga merelakan [[Hastinapura|Kerajaan Hastina]] dan [[Indraprastha]] asalkan Dursasana dibebaskan. |
|||
Penawaran dari Duryodana membuat Bima bimbang. Tetapi [[Kresna]], penasihat para Pandawa mendesaknya supaya tidak mengampuni Dursasana. Menurutnya, Pandawa pasti menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna yang mengingatkan kembali kekejaman para Korawa, berhasil membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh, kemudian memutus kedua lengan Dursasana secara paksa. Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil. Pada saat itulah Dewi [[Drupadi]] muncul diantarkan [[Yudistira]] untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi. |
|||
Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya. |
|||
=== Versi pewayangan ''Gagrag Mataraman'' === |
|||
[[Berkas:Dusasana-kl.jpg|jmpl|Dursasana sebagai tokoh wayang, dalam corak [[Surakarta]].]] |
|||
Cerita penuh ini bisa disimak dalam lakon wayang kulit "Gathutkaca Gugur" atau "Dursasana Jambak" atau juga "Karna Tandhing". Dalam versi ''Gagrag Mataraman'' atau [[Surakarta]], dikisahkan bahwa setelah [[Gatotkaca]] gugur tertusuk tombak Kuntawijayadanu, [[Bhima|Bima]] mengejar pembunuh anaknya tersebut, yaitu Adipati [[Karna]]. Dalam suasana malam yang gelap, saat Bima dan para pengawalnya masih tekun mencari Karna, Dursasana dan laskarnya muncul secara tiba-tiba, dan menghalangi Bima. Dalam pertemuan itu, Dursasana menantang Bima untuk bertarung, tetapi Bima tidak mengacuhkannya. Secara paksa, Dursasana menyerang Bima dan keduanya berkelahi di pinggir sungai. [[Petruk]], yang mengetahui tuannya sedang bertarung melawan Dursasana, segera melapor kepada Kyai [[Semar]] Badranaya dan Prabu [[Kresna]]. Mereka segera menuju lokasi kejadian. |
|||
Pertarungan antara Bhima melawan Dursasana berlangsung sengit, dan para pengawal dari kedua belah pihak yang melihatnya tidak berani mencegahnya dan hanya bisa menyaksikan saja. Pertarungan ini diwarnai dengan saling ejek-ejekan, membakar emosi keduanya, sampai pada akhirnya Dursasana kelelahan dan berniat lari dari pertarungan. Ia berhasil dicegat oleh Bima. Setelah babak belur, [[Duryudana]] dan para [[Kurawa]] yang lain datang menemui Bima. Duryudana memohon agar adiknya tersebut tidak disiksa terus-menerus, sambil berjanji bahwa apabila Dursasana diampuni, maka [[Kerajaan Hastina]] dan [[Kerajaan Amarta]] akan diberikan secara sukarela. Mendengar tawaran Duryudana, Bima menghentikan siksaannya terhadap Dursasana. Setelah mengingat bahwa Dursasana pernah menjambak rambut Dewi [[Drupadi]], Bima pun menjambak rambut Dursasana kembali. |
|||
Tak lama kemudian, Prabu Kresna dan Kyai Semar Badranaya tiba. Mereka menasehati agar Dursasana tidak diampuni. Semar berkata bahwa Dursasana lebih pantas dihukum atas dosa-dosanya terhadap Dewi [[Drupadi]] yang hingga saat ini tidak mau memakai sanggul karena rambutnya pernah dijambak oleh Dursasana dan diseret sampai tempat perjudian. Sementara itu, Prabu Kresna berkata bahwa dahulu Dursasana pernah bersumpah bahwa apabila kerajaan milik Pandawa yang ada di Hastina diserahkan, maka darahnya siap menjadi minuman untuk Pandawa sebagai pelepas dahaga atas hukuman pembuangan 12 tahun. Saran mereka membuat emosi Bima tersulut kembali, sehingga ia memutuskan untuk membunuh Dursasana. Darah Dursasana diminumnya, dan sebagian darinya ia peras untuk dipakai keramas oleh Dewi Drupadi. Sedangkan kulitnya dikelupas untuk dijadikan ikat kepala Begawan [[Abyasa]]. |
|||
== Lihat pula == |
|||
⚫ | |||
* [[Bima]] |
|||
* [[Dropadi]] |
|||
{{Tokoh Mahabharata}} |
{{Tokoh Mahabharata}} |
||
[[Kategori:Korawa]] |
[[Kategori:Korawa]] |
||
[[en:Dushasana]] |
Revisi terkini sejak 9 Mei 2023 03.54
दुःशासन | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Dursasana |
Ejaan Dewanagari | दुःशासन |
Ejaan IAST | Duḥśāsana |
Kitab referensi | Mahabharata |
Asal | Hastinapura, Kerajaan Kuru |
Kediaman | Hastinapura |
Kasta | kesatria |
Dinasti | Kuru |
Ayah | Dretarastra |
Ibu | Gandari |
Dursasana atau Duhsasana (Dewanagari: दुःशासन; IAST: Duḥśāsana ) adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik Duryodana, pemimpin para Korawa, putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gandari. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa.
Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam Sabhaparwa (kitab kedua Mahabharata), yang mengisahkan permainan dadu antara lima Pandawa melawan seratus Korawa. Dropadi, istri para Pandawa menjadi budak para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi tidak berhasil berkat pertolongan Kresna. Peristiwa itu memperkeruh permusuhannya dengan Bima. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam perang di Kurukshetra pada hari ke-16.
Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Candramukiwati, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala. Ia digambarkan sebagai wayang dengan tubuh yang gagah, bermulut lebar, dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, gemar menggoda wanita, dan senang menghina orang lain.
Nama Duhsasana terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".
Kelahiran
[sunting | sunting sumber]Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam keadaan tidak wajar. Dikisahkan bahwa Gandari merasa iri terhadap Kunti, iparnya sendiri yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira, sementara ia belum melahirkan meskipun sudah hamil tua. Dalam frustasi, Gandari memukul-mukul kandungannya sehingga mengeluarkan segumpal daging berwarna keabu-abuan dari rahimnya. Resi Byasa, paman suaminya segera dipanggil ke istana untuk mengatasi keanehan tersebut. Berkat pengetahuannya, daging tersebut dibelah sampai berjumlah seratus potongan. Ia memasukkan potongan daging tersebut, masing-masing ke dalam sebuah pot, lalu menguburnya di dalam tanah.
Setahun kemudian, salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama Duryodana, yang lahir bersamaan dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama Bimasena. Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran Arjuna, putra ketiga Kunti. Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.
Sebanyak 100 orang putra Dretarastra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pandawa. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa meskipun bersaudara sepupu, Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat iri hati, karena Yudistira dicalonkan sebagai penerus takhta. Di samping itu, mereka diajarkan cara-cara untuk mencelakai para Pandawa oleh paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari yang memiliki dendam terhadap Dinasti Kuru.
Pelecehan Dropadi
[sunting | sunting sumber]Dalam Sabhaparwa diceritakan bahwa kecemburuan para Korawa terhadap Pandawa semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama Indraprastha. Berkat bantuan licik Sangkuni, para Korawa berhasil merebut Indraprastha melalui sebuah permainan dadu.
Saat Yudistira dan keempat adiknya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh Duryodana untuk mempertaruhkan Dropadi. Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Setelah Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya.
Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kemudian memerintahkan agar Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam keadaan tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. Sri Kresna pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak ada habisnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Akhirnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan.
Setelah peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga Bimasena (Pandawa nomor dua) bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya.
Kematian
[sunting | sunting sumber]Puncak permusuhan Pandawa dan Korawa meletus dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra. Pada hari keenam belas, Dursasana bertarung melawan Bimasena. Dalam perkelahian tersebut Bimasena berhasil menarik lengan Dursasana sampai putus, kemudian merobek dada dan meminum darah sepupunya itu. Bimasena kemudian menyisakan segenggam darah Dursasana untuk diusapkannya ke rambut Dropadi yang menunggu di tenda.
Versi pewayangan Jawa
[sunting | sunting sumber]Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjumput. Istrinya bernama Dewi Candramukiwati, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.
Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai putra mahkota yang baru. Namun, Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke Hastina dengan alasan menjaga Dewi Banowati, kakak iparnya. Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Sebagai balasannya, Dursasana membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Sebagai pembenaran, ia menuding bahwa Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.
Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial. Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.
Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga ia itu gagal mencapai sungai. Bima segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling. Melihat adiknya tersiksa, Duryudana segera memohon agar Bima mengampuni Dursasana, bahkan ia menjanjikan bahwa perang dapat berakhir pada hari itu juga, dengan Pandawa sebagai pemenangnya. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dibebaskan.
Penawaran dari Duryodana membuat Bima bimbang. Tetapi Kresna, penasihat para Pandawa mendesaknya supaya tidak mengampuni Dursasana. Menurutnya, Pandawa pasti menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna yang mengingatkan kembali kekejaman para Korawa, berhasil membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh, kemudian memutus kedua lengan Dursasana secara paksa. Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil. Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.
Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya.
Versi pewayangan Gagrag Mataraman
[sunting | sunting sumber]Cerita penuh ini bisa disimak dalam lakon wayang kulit "Gathutkaca Gugur" atau "Dursasana Jambak" atau juga "Karna Tandhing". Dalam versi Gagrag Mataraman atau Surakarta, dikisahkan bahwa setelah Gatotkaca gugur tertusuk tombak Kuntawijayadanu, Bima mengejar pembunuh anaknya tersebut, yaitu Adipati Karna. Dalam suasana malam yang gelap, saat Bima dan para pengawalnya masih tekun mencari Karna, Dursasana dan laskarnya muncul secara tiba-tiba, dan menghalangi Bima. Dalam pertemuan itu, Dursasana menantang Bima untuk bertarung, tetapi Bima tidak mengacuhkannya. Secara paksa, Dursasana menyerang Bima dan keduanya berkelahi di pinggir sungai. Petruk, yang mengetahui tuannya sedang bertarung melawan Dursasana, segera melapor kepada Kyai Semar Badranaya dan Prabu Kresna. Mereka segera menuju lokasi kejadian.
Pertarungan antara Bhima melawan Dursasana berlangsung sengit, dan para pengawal dari kedua belah pihak yang melihatnya tidak berani mencegahnya dan hanya bisa menyaksikan saja. Pertarungan ini diwarnai dengan saling ejek-ejekan, membakar emosi keduanya, sampai pada akhirnya Dursasana kelelahan dan berniat lari dari pertarungan. Ia berhasil dicegat oleh Bima. Setelah babak belur, Duryudana dan para Kurawa yang lain datang menemui Bima. Duryudana memohon agar adiknya tersebut tidak disiksa terus-menerus, sambil berjanji bahwa apabila Dursasana diampuni, maka Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta akan diberikan secara sukarela. Mendengar tawaran Duryudana, Bima menghentikan siksaannya terhadap Dursasana. Setelah mengingat bahwa Dursasana pernah menjambak rambut Dewi Drupadi, Bima pun menjambak rambut Dursasana kembali.
Tak lama kemudian, Prabu Kresna dan Kyai Semar Badranaya tiba. Mereka menasehati agar Dursasana tidak diampuni. Semar berkata bahwa Dursasana lebih pantas dihukum atas dosa-dosanya terhadap Dewi Drupadi yang hingga saat ini tidak mau memakai sanggul karena rambutnya pernah dijambak oleh Dursasana dan diseret sampai tempat perjudian. Sementara itu, Prabu Kresna berkata bahwa dahulu Dursasana pernah bersumpah bahwa apabila kerajaan milik Pandawa yang ada di Hastina diserahkan, maka darahnya siap menjadi minuman untuk Pandawa sebagai pelepas dahaga atas hukuman pembuangan 12 tahun. Saran mereka membuat emosi Bima tersulut kembali, sehingga ia memutuskan untuk membunuh Dursasana. Darah Dursasana diminumnya, dan sebagian darinya ia peras untuk dipakai keramas oleh Dewi Drupadi. Sedangkan kulitnya dikelupas untuk dijadikan ikat kepala Begawan Abyasa.