Lompat ke isi

Tirto Adhi Soerjo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 34: Baris 34:
Kondisi Sarekat Prijaji yang semakin meredup membuat Tirto akhirnya bergabung dengan Budi Utomo sebagai anggota cabang [[Kota Bandung|Bandung]]. Tirto pernah memuat tentang Budi Utomo di Medan Prijaji. Saat penyelenggaraan rapat besar Budi Utomo pada tanggal 17 Januari 1909, Tirto menyampaikan pendapatnya bahwa Budi Utomo perlu untuk merangkul para pedagang pribumi sebagai anggota BU. Selain itu, Tirto juga menekankan agar Budi Utomo berfokus kepada pengajaran anak negeri serta mengharapkan Budi Utomo menjadi perhimpunan yang tangguh secara perlahan.{{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=48-49}}
Kondisi Sarekat Prijaji yang semakin meredup membuat Tirto akhirnya bergabung dengan Budi Utomo sebagai anggota cabang [[Kota Bandung|Bandung]]. Tirto pernah memuat tentang Budi Utomo di Medan Prijaji. Saat penyelenggaraan rapat besar Budi Utomo pada tanggal 17 Januari 1909, Tirto menyampaikan pendapatnya bahwa Budi Utomo perlu untuk merangkul para pedagang pribumi sebagai anggota BU. Selain itu, Tirto juga menekankan agar Budi Utomo berfokus kepada pengajaran anak negeri serta mengharapkan Budi Utomo menjadi perhimpunan yang tangguh secara perlahan.{{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=48-49}}


Selama bergabung dengan Budi Utomo, Tirto telah membentuk [[Sarekat Islam|Sarekat Dagang Islam]] (SDI) yang bertujuan membantu para pedangang bumi putra bersaing dengan pedagang dari negara asing. Rapat perdana organisasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 1909 di timpat tinggal Tirto di Bogor dan organisasi ini secara resmi dibentuk pada tanggal 5 April 1909 ketika telah memiliki dua kantor yang berada di Bogor dan Betawi.<ref name=":0" />
Selama bergabung dengan Budi Utomo, Tirto telah membentuk [[Sarekat Islam|Sarekat Dagang Islam]] (SDI) yang bertujuan membantu para pedangang bumi putra bersaing dengan pedagang dari negara asing. Rapat perdana organisasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 1909 di timpat tinggal Tirto di Bogor dan organisasi ini secara resmi dibentuk pada tanggal 5 April 1909 ketika telah memiliki dua kantor yang berada di Bogor dan Betawi.<ref name=":0" /> Berita berdirinya SDI tersebar ke banyak surat kabar. Salah satu surat kabar yang memuat berita ini adalah Medan Priyayi Edisi Tahun III 1909 serta ''[[Retnodhoemilah]]'' pada edisi 7 April 1909 yang menyatakan bahwa SDI bertujuan " Menjaga kepentingan kaum muslimin di Hindia Belanda". SDI pun mendapat sambutan baik dari Keluarga Badjenet yang merupakan saudagar besar dari Bogor yang menjadi anggota SDI.{{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=51,53}}


Pada masa itu, SDI terdiri dari Sjech Achmad bin Abdoelrachman Badjenet sebagai Presiden, Mohamad Dagrim sebagai wakil presiden, Sjech Achmad bin Said Badjenet sebagai kasir dan Tirto sendiri sebagai sekretaris dan penasihat. Sedangkan komisaris organisasi ini terdiri dari Sjech Achmad bin Said Badjenet, Sjech Galib bin Said Tebe, Sjech Mohamad bin Badjenet, Mas Railoes, dan Haji Mohamad Arsad.{{Sfn|Sudiyo|Santano|Nugroho|Suwardi|1997|p=24}}
Akan tetapi, hubungan Tirto dengan Budi Utomo tidak selamanya berjalan baik yang dimulai setelah kepulangan Tirto dari Lampung pada tanggal 2 Mei 1910. Pada hari itu, Tirto melayangkan protes kepada Budi Utomo melalui Medan Prijaji. Di dalam surat kabar itu, Tirto menuduh bahwa Budi Utomo memboikot surat kabarnya karena rasa cemburu terhadap kesuksesan surat kabarnya yang dibuktikan dengan tidak pernahnya Budi Utomo mengirimkan laporan ke surat kabarnya.{{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=48-49}} Tuduhan ini tidak muncul tanpa alasan karena sebelumnnya Tirto pernah memiliki perselisihan dengan pengurus pusat Budi Utomo. Perselisihan ini bermula saat Budi Utomo berencana menunjuk [[Ernest Douwes Dekker]] sebagai editor majalah milik Budi Utomo yang saat itu dekat dengan pengurus Budi Utomo.<ref name=":0" /> Tirto berpendapat bahwa seharusnya surat kabar harusnya dipimpin oleh orang dalam karena sejak awal Budi Utomo didirikan untuk menonjolkan semangat kejawaan. Hal ini ini juga berkaitan dengan perasaan Tirto yang bosan dengan keadaan bahwa kaum pribumi dianggap lebih rendah dibandingkan dengan bangsa Belanda, Indo, Tionghoa dan Arab yang menempati Hindia Belanda sesuai Undang-Undang Kolonial, padahal banyak kaum pribumi yang mempunyai kecakapan hanya untuk memimpin sebuah surat kabar. {{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=50-51}}

Akan tetapi, hubungan Tirto dengan Budi Utomo tidak selamanya berjalan baik yang dimulai setelah kepulangan Tirto dari Lampung pada tanggal 2 Mei 1910. Pada hari itu, Tirto melayangkan protes kepada Budi Utomo melalui Medan Prijaji. Di dalam surat kabar itu, Tirto menuduh bahwa Budi Utomo memboikot surat kabarnya karena rasa cemburu terhadap kesuksesan surat kabarnya yang dibuktikan dengan tidak pernahnya Budi Utomo mengirimkan laporan ke surat kabarnya.{{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=48-49}} Tuduhan ini tidak muncul tanpa alasan karena sebelumnnya Tirto pernah memiliki perselisihan dengan pengurus pusat Budi Utomo. Perselisihan ini bermula saat Budi Utomo berencana menunjuk [[Ernest Douwes Dekker]] sebagai editor majalah milik Budi Utomo yang saat itu dekat dengan pengurus Budi Utomo.<ref name=":0" /> Tirto berpendapat bahwa seharusnya surat kabar harusnya dipimpin oleh orang dalam karena sejak awal Budi Utomo didirikan untuk menonjolkan semangat kejawaan. Hal ini ini juga berkaitan dengan perasaan Tirto yang bosan dengan keadaan bahwa kaum pribumi dianggap lebih rendah dibandingkan dengan bangsa Belanda, Indo, Tionghoa dan Arab yang menempati Hindia Belanda sesuai Undang-Undang Kolonial, padahal banyak kaum pribumi yang mempunyai kecakapan hanya untuk memimpin sebuah surat kabar. {{Sfn|Raditya|Dahlan|2008|p=50-51}}


== Pandangan ==
== Pandangan ==
Baris 86: Baris 88:
== Daftar pustaka ==
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|30em}}
{{refbegin|30em}}
* {{Cite book|last=Raditya|first=Iswara N|last2=Dahlan|first2=Muhidin M|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=22YKEAAAQBAJ&pg=PA46&lpg=PA46&dq=Raden+Mas+Prawirodiningrat+jaksa+kepala&source=bl&ots=C14uFOQdDK&sig=ACfU3U0gY3JWJ9JKiP7qMt3UnX9nRzHCGw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiQ9cyV17b0AhUn3jgGHaMYBdgQ6AF6BAgNEAM#v=onepage&q=Raden%20Mas%20Prawirodiningrat%20jaksa%20kepala&f=false|title=Karya-karya lengkap Tirto Adhi Soerjo : pers pergerakan dan kebangsaan|location=Jakarta|publisher=I Boekoe|isbn=978-979-15093-9-8|editor-last=Raditya|editor-first=Iswara N|edition=1|chapter=catatan penyusun|oclc=317068524|editor-last2=Dahlan|editor-first2=Muhidin M|url-status=live}} {{Refend}}
* {{Cite book|last=Raditya|first=Iswara N|last2=Dahlan|first2=Muhidin M|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=22YKEAAAQBAJ&pg=PA46&lpg=PA46&dq=Raden+Mas+Prawirodiningrat+jaksa+kepala&source=bl&ots=C14uFOQdDK&sig=ACfU3U0gY3JWJ9JKiP7qMt3UnX9nRzHCGw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiQ9cyV17b0AhUn3jgGHaMYBdgQ6AF6BAgNEAM#v=onepage&q=Raden%20Mas%20Prawirodiningrat%20jaksa%20kepala&f=false|title=Karya-karya lengkap Tirto Adhi Soerjo : pers pergerakan dan kebangsaan|location=Jakarta|publisher=I Boekoe|isbn=978-979-15093-9-8|editor-last=Raditya|editor-first=Iswara N|edition=1|chapter=catatan penyusun|ref={{sfnRef|Raditya|Dahlan|2008}}|oclc=317068524|editor-last2=Dahlan|editor-first2=Muhidin M|url-status=live}}
* {{cite book|last=Sudiyo|first=Peter|last2=Santano|first2=Dalimun|last3=Nugroho|first3=Agus|last4=Suwardi|first4=Edy|date=1997|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/12972/1/Sejarah%20pergerakan%20nasional%20indonesia%20dari%20budi%20utomo%20sampai%20dengan%20pengakuan%20kedaulatan.pdf|title=Sejarah pergerakan nasional Indonesia dari Budi Utomo sampai dengan pengakuan kedaulatan|location=Jakarta|publisher=DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN|pages=|ref={{sfnRef|Sudiyo|Santano|Nugroho|Suwardi|1997}}|url-status=live}}
{{Refend}}
{{Pahlawan Indonesia}}
{{Pahlawan Indonesia}}
{{indo-bio-stub}}
{{indo-bio-stub}}

Revisi per 28 November 2021 19.20

Tirto Adhi Soerjo (lahir sebagai Raden Mas Djokomono di Blora, Jawa Tengah 1880 – meninggal di Batavia, 7 Desember 1918 pada umur 37 atau 38 tahun) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 7 Desember 1918.[1][2]

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.[3]

Sarekat Prijaji

Setelah pulang dari Maluku ke Jawa, Tirto melakukan kunjungan ke para saudagar dan para bangsawan seperti yang dilakukan Wahidin Soedirohoesodo. [4]Kunjungan-kunjungan ini dilakukan untuk menggalang dana guna sebagai biaya untuk mendirikan terbitan surat kabarnya. Selama kunjungan tersebut, dia juga menyampaikan gagasannya untuk mendirikan sebuah perhimpunan yang bertujuan untuk memajukan kaum pribumi yang dia sebut "bangsa yang terprentah" agar terlepas dari penjara kolonial. Tokoh-tokoh yang dia kunjungi dalam perencanaan perhimpunan ini , seperti Raden Mas Prawirodiningrat yang saat itu menjabat sebagai Jaksa Kepala Batavia, Taidji’in Moehadjilin, Tamrin Mohammad Tabrie dan Bachram.[5]

Pada akhirnya, pengumuman di selebaran-selebaran surat kabar berbahasa melayu pun mengabarkan bahwa Sarikat Priyayi telah didirikan pada tahun 1906. Pada selebaran tersebut dinyatakan bahwa cabang awal berada di Betawi dan akan memperbanyak cabang. Tujuan mereka adalah pendidikan priyayi dan bangsawan pribumi dengan mendirikan studiefonds (Lembaga dana pendidikan). Medan Prijaji memiliki 5 program, yaitu :[6]

  1. Mendirikan asrama bagi murid diluar Betawi yang harganya murah dan gratis bagi murid tidak mampu
  2. Mendirikan Taman kanak-kanak (frobel onderwijs) serta kursus ( Hollandsche Cursus) bagi anak-anak dan orang dewasa yang tidak diterima sekolah Belanda.
  3. Memberikan beasiswa bagi murid tidak mampu sampai lulus dan mendapat pekerjaan dengan perjanjian harus membayar beasiswa tersebut ketika mendapatkan pekerjaan tetap.
  4. Memberikan beasiswa bagi murid yang berprestasi
  5. Membuka taman baca

Selanjutnya, sumber dana himpunan dijelaskan:[7]

  1. Uang pendaftaran anggota yang berjumlah 10 florin yang dibayar lunas untuk orang yang berpenghasilan lebih dari 100 florin per bulan dan boleh dicicil bila kurang
  2. kontribusi anggota sebesar 0,50 florin yang dibayar 3 bulan sekaligus.
  3. Sumbangan dari siapa saja
  4. Keuntungan dari biaya taman kanak-kanak dan kursus, biaya makan dan pondok, pameran serta penjualan karya produksi pribumi yang dikelola perhimpunan.

Bersamaan dengan pengumuman tersebut, susunan perhimpunan juga tertera. Susunan perhimpunan terdiri dari Prawirodiningrat sebagai Ketua, Tirto sebagai sekretaris, Moehadjilin sebagai komandan distrik Tanah Abang, Tabrie sebagai komandan distrik Mangga Besar dan Bachram sebagai komandan distrik Penjaringan. Pernyataan ini ditulis dalam Surat kabar Medan Prijaji tahun III 1909.[8] Setelah pengumuman, 700 anggota telah mendaftat serta mendapatkan sumbangan sebesar 1000 florin dairi R.A.A Prawidiredja yang saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur. Berkat saran beliau juga, surat kabar Medan Prijaji didirkan menggunakan uang sumbangannya sebagai media penyebaran informasi gerakan yang ia juga ikut serta dalam penulisan beberapa bidang di bidang politik. Akhirnya, Medan Prijaji didirkan pada 1 Januari 1907.[8]

Perkembangan Serikat Prijaji ternyata tidak terlalu baik, apalagi sejak Moehadjilin dan ketuanya, Prawirodiningrat meninggal dan digantikan oleh Thamrin. Selain itu, sepertinya Tirto lebih sibuk mengurus Medan Prijaji yang saat itu perkembangannya sangat pesat sehingga memperparah kondisi perhimpunan.[9]

Perjalanan Tirto saat bergabung dengan Budi Utomo

Kondisi Sarekat Prijaji yang semakin meredup membuat Tirto akhirnya bergabung dengan Budi Utomo sebagai anggota cabang Bandung. Tirto pernah memuat tentang Budi Utomo di Medan Prijaji. Saat penyelenggaraan rapat besar Budi Utomo pada tanggal 17 Januari 1909, Tirto menyampaikan pendapatnya bahwa Budi Utomo perlu untuk merangkul para pedagang pribumi sebagai anggota BU. Selain itu, Tirto juga menekankan agar Budi Utomo berfokus kepada pengajaran anak negeri serta mengharapkan Budi Utomo menjadi perhimpunan yang tangguh secara perlahan.[10]

Selama bergabung dengan Budi Utomo, Tirto telah membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan membantu para pedangang bumi putra bersaing dengan pedagang dari negara asing. Rapat perdana organisasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 1909 di timpat tinggal Tirto di Bogor dan organisasi ini secara resmi dibentuk pada tanggal 5 April 1909 ketika telah memiliki dua kantor yang berada di Bogor dan Betawi.[5] Berita berdirinya SDI tersebar ke banyak surat kabar. Salah satu surat kabar yang memuat berita ini adalah Medan Priyayi Edisi Tahun III 1909 serta Retnodhoemilah pada edisi 7 April 1909 yang menyatakan bahwa SDI bertujuan " Menjaga kepentingan kaum muslimin di Hindia Belanda". SDI pun mendapat sambutan baik dari Keluarga Badjenet yang merupakan saudagar besar dari Bogor yang menjadi anggota SDI.[11]

Pada masa itu, SDI terdiri dari Sjech Achmad bin Abdoelrachman Badjenet sebagai Presiden, Mohamad Dagrim sebagai wakil presiden, Sjech Achmad bin Said Badjenet sebagai kasir dan Tirto sendiri sebagai sekretaris dan penasihat. Sedangkan komisaris organisasi ini terdiri dari Sjech Achmad bin Said Badjenet, Sjech Galib bin Said Tebe, Sjech Mohamad bin Badjenet, Mas Railoes, dan Haji Mohamad Arsad.[12]

Akan tetapi, hubungan Tirto dengan Budi Utomo tidak selamanya berjalan baik yang dimulai setelah kepulangan Tirto dari Lampung pada tanggal 2 Mei 1910. Pada hari itu, Tirto melayangkan protes kepada Budi Utomo melalui Medan Prijaji. Di dalam surat kabar itu, Tirto menuduh bahwa Budi Utomo memboikot surat kabarnya karena rasa cemburu terhadap kesuksesan surat kabarnya yang dibuktikan dengan tidak pernahnya Budi Utomo mengirimkan laporan ke surat kabarnya.[10] Tuduhan ini tidak muncul tanpa alasan karena sebelumnnya Tirto pernah memiliki perselisihan dengan pengurus pusat Budi Utomo. Perselisihan ini bermula saat Budi Utomo berencana menunjuk Ernest Douwes Dekker sebagai editor majalah milik Budi Utomo yang saat itu dekat dengan pengurus Budi Utomo.[5] Tirto berpendapat bahwa seharusnya surat kabar harusnya dipimpin oleh orang dalam karena sejak awal Budi Utomo didirikan untuk menonjolkan semangat kejawaan. Hal ini ini juga berkaitan dengan perasaan Tirto yang bosan dengan keadaan bahwa kaum pribumi dianggap lebih rendah dibandingkan dengan bangsa Belanda, Indo, Tionghoa dan Arab yang menempati Hindia Belanda sesuai Undang-Undang Kolonial, padahal banyak kaum pribumi yang mempunyai kecakapan hanya untuk memimpin sebuah surat kabar. [13]

Pandangan

Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.

Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Dalam budaya populer

Karya

Daftar karya ini dikutip dari Ensiklopedia Sastra Indonesia[15] dan buku Sang Pemula oleh Pramoedya Ananta Toer.[16]

Fiksi

  • Doenia Pertjintaan 101: Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan (1906)
  • Tjerita Njai Ratna (1909)
  • Membeli Bini Orang (1909)
  • Busono (dimuat sebagai cerita bersambung di Medan Prijaji (MP), 1912)

Non-Fiksi

  • Gerakan Bangsa Cina di Surabaya melawan Handelsvereniging Amsterdam (Dimuat di Soenda Berita, no. 16 Th. II, 19 Juni 1904, halaman 2-3, judul asli: Geraknya bangsa Cina di Surabaya)
  • Bangsa Cina di Priangan (Dimuat di Soenda Berita, no. 17 Th. II, 26 Juni 1904, halaman 1-2)
  • Pelajaran Buat Perempuan Bumiputera (Dimuat di Soenda Berita, no. 20-23 Th. II, 1904)
  • Suratnya Orang-Orang Desa Bapangan (Dimuat di Medan Prijaji (MP), Th. II, 1909, halaman 15-18, judul asli: Suratnya Orang-Orang Desa Bapangan Pada Hoofdred, M.P.)
  • Persdelict: Umpatan (Dimuat di Medan Prijaji (MP) no. 19 Th. III, 1909, halaman 223-235 dan Soeloeh Keadilan, Th. III, Jilid IV, 1909, halaman 193-220)
  • Satu Politik di Banyumas (Dimuat di Medan Prijaji (MP), Th. III, 1909, halaman 463-365)
  • Dreyfusiana di Madiun (Dimuat di Medan Prijaji (MP), Th. III, 1909, halaman 560-563)
  • Kekejaman di Banten (Dimuat di Medan Prijaji (MP), Th. III, 1909), halaman 592-598)
  • Omong-Omong di Hari Lebaran (Dimuat di Medan Prijaji (MP), Th. III, 1909, halaman 672-680)
  • Turki pada Masa Ini (Dimuat di Medan Prijaji (MP), no. 11 Th. 14, 19 Maret 1910, halaman 121-124)
  • Apa yang Gubermen Kata dan Apa yang Gubermen Bikin (Dimuat di Medan Prijaji (MP), No. 17 Th. IV, 30 April 1910, halaman 193-195)
  • Oleh-Oleh dari Tempat Pembuangan (Dimuat di Medan Prijaji (MP), no. 20-24 Th. IV, 1910, halaman 235-239, 246-252, 257-264, 265-273, 291-296)
  • Boycott (Dimuat di Medan Prijaji (MP), tahun tidak diketahui)

Pranala luar

Sumber

  1. ^ "Minke, yang Mati dalam Kesepian". suara.com. 2018-06-05. Diakses tanggal 2021-03-14. 
  2. ^ Abdillah, Fahri. "Tirto Adhi Soerjo: Sang Pemula Pers Bumiputera". www.ruangguru.com. Diakses tanggal 2021-03-14. 
  3. ^ "Tokoh Jabar dapat anugrah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-11. Diakses tanggal 2006-11-10. 
  4. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 43.
  5. ^ a b c Raditya, Iswara N (8 Desember 2018). "Peran Besar Tirto Adhi Soerjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional". tirto.id. Diakses tanggal 26 November 2021. 
  6. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 43-44.
  7. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 45.
  8. ^ a b Raditya & Dahlan 2008, hlm. 46.
  9. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 47.
  10. ^ a b Raditya & Dahlan 2008, hlm. 48-49.
  11. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 51,53.
  12. ^ Sudiyo et al. 1997, hlm. 24.
  13. ^ Raditya & Dahlan 2008, hlm. 50-51.
  14. ^ "Tentang Kami". Tirto. Diakses tanggal 13 September 2018. 
  15. ^ "R.M. Tirto Adhi Soerjo (1880–1918)". Ensiklopedia Sastra Indonesia. Diakses tanggal 2020-11-17. 
  16. ^ Ananta Toer, Pramoedya (1985). Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra. hlm. 189–370. 

Daftar pustaka