Lompat ke isi

Mesir Kuno: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
Baris 180: Baris 180:
{{Main|Masakan Mesir Kuno}}
{{Main|Masakan Mesir Kuno}}
Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.<ref>Manuelian (1998) pp. 399–400</ref>
Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.<ref>Manuelian (1998) pp. 399–400</ref>

=== Seni ===
[[File:Nefertiti 30-01-2006.jpg|thumb|upright|[[Patung dada Nefertiti]], karya [[Thutmose (sculptor)|Thutmose]], adalah salah satu mahakarya terkenal bangsa Mesir Kuno.]]
{{Main|Seni Mesir Kuno}}
Bangsa Mesir Kuno memproduksi seni untuk berbagai tujuan. Selama 3500 tahun, seniman mengikuti bentuk artistik dan ikonografi yang dikembangkan pada masa Kerajaan Lama. Aliran ini memiliki prinsip-prinsip ketat yang harus diikuti, mengakibatkan bentuk aliran ini tidak mudah berubah dan terpengaruh aliran lain.<ref>Robins (1997) hal. 29</ref> Standar artistik—garis-garis sederhana, bentuk, dan area warna yang datar dikombinasikan dengan karakteristik figure yang tidak memiliki kedalaman spasial—menciptakan rasa keteraturan dan keseimbangan dalam komposisinya. Teks dan gambar terjalin dengan baik di tembok makam dan kuil, peti mati, dan patung.<ref>Robins (1997) hal. 21</ref>

Ancient Egyptian artisans used stone to carve statues and fine reliefs, but used wood as a cheap and easily carved substitute. Paints were obtained from minerals such as iron ores (red and yellow ochres), copper ores (blue and green), soot or charcoal (black), and limestone (white). Paints could be mixed with [[gum arabic]] as a binder and pressed into cakes, which could be moistened with water when needed.<ref>Nicholson (2000) p. 105</ref> Pharaohs used [[relief]]s to record victories in battle, royal decrees, and religious scenes. Common citizens had access to pieces of [[funerary art]], such as [[Ushabti|shabti]] statues and books of the dead, which they believed would protect them in the afterlife.<ref name="James122">James (2005) p. 122</ref> During the Middle Kingdom, wooden or clay models depicting scenes from everyday life became popular additions to the tomb. In an attempt to duplicate the activities of the living in the afterlife, these models show laborers, houses, boats, and even military formations that are scale representations of the ideal ancient Egyptian afterlife.<ref>Robins (1998) p. 74</ref>

Despite the homogeneity of ancient Egyptian art, the styles of particular times and places sometimes reflected changing cultural or political attitudes. After the invasion of the Hyksos in the Second Intermediate Period, [[Minoan civilization|Minoan]]-style frescoes were found in [[Avaris]].<ref>Shaw (2002) p. 216</ref> The most striking example of a politically driven change in artistic forms comes from the Amarna period, where figures were radically altered to conform to [[Akhenaten]]'s revolutionary religious ideas.<ref>Robins (1998) p. 149</ref> This style, known as [[Amarna art]], was quickly and thoroughly erased after Akhenaten's death and replaced by the traditional forms.<ref>Robins (1998) p. 158</ref>


===Agama dan kepercayaan===
===Agama dan kepercayaan===

Revisi per 26 Oktober 2010 08.09

Piramida Khafre (dinasti keempat Mesir) dan Sphinx Agung Giza (± 2500 SM atau lebih tua).

Daftar Dinasti
pada zaman Mesir Kuno

Periode Pra-Dinasti
Periode Proto-Dinasti
Periode Dinasti Awal
ke-1 ke-2
Kerajaan Lama
ke-3 ke-4 ke-5 ke-6
Periode Menengah Pertama
ke-7 ke-8 ke-9 ke-10
ke-11 (hanya Thebes)
Kerajaan Pertengahan
ke-11 (seluruh Mesir)
ke-12 ke-13 ke-14
Periode Menengah Kedua
ke-15 ke-16 ke-17
Kerajaan Baru
ke-18 ke-19 ke-20
Periode Menengah Ketiga
ke-21 ke-22 ke-23
ke-24 ke-25
Periode Akhir
ke-26
ke-27 (Periode Persia Pertama)
ke-28 ke-29 ke-30
ke-31 (Periode Persia Kedua)
Periode Yunani-Romawi
Alexander Agung
Dinasti Ptolemaik
Mesir Romawi
Serbuan Arab

Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat sepanjang pertengahan hingga hilir Sungai Nil yang mencapai kejayaannya pada sekitar abad ke-2 SM, pada masa yang disebut sebagai periode Kerajaan Baru. Daerahnya mencakup wilayah Delta Nil di utara, hingga Jebel Barkal di Katarak Keempat Nil. Pada beberapa zaman tertentu, peradaban Mesir meluas hingga bagian selatan Levant, Gurun Timur, pesisir pantai Laut Merah, Semenajung Sinai, serta Gurun Barat (terpusat pada beberapa oasis).

Peradaban Mesir Kuno berkembang selama kurang lebih tiga setengah abad. Dimulai dengan unifikasi awal kelompok-kelompok yang ada di Lembah Nil sekitar 3150 SM, peradaban ini secara tradisional dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, sewaktu Kekaisaran Romawi awal menaklukkan dan menyerap wilayah Mesir Ptolemi sebagai bagian provinsi Romawi. Walaupun hal ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara bertahap di Lembah Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya perkembangan peradaban independen Mesir.

Peradaban Mesir Kuno didasari atas kontrol keseimbangan yang baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh

  • irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
  • eksploitasi mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
  • perkembangan awal sistem tulisan dan literatur independen;
  • organisasi proyek kolektif;
  • perdagangan dengan wilayah Afrika timur dan tengah serta Mediterania timur; serta
  • aktivitas militer yang menunjukkan karakteristik kuat hegemoni kerajaan dan dominasi wilayah terhadap kebudayaan tetangga pada beberapa periode berbeda.

Pengelolaan kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh elit sosial, politik, dan ekonomi yang mencapai konsensus sosial melalui sistem yang rumit didasari kepercayaan agama di bawah sosok penguasa setengah dewa (semi-divine), yang biasanya laki-laki, melalui suatu suksesi dinasti penguasa yang dikenal oleh dunia luas sebagai kepercayaan politeisme. Lembah yang dahulunya dibanjiri Sungai Nil, maka lembah tersebut terlihat jauh lebih subur daripada gurun pasir disekitarnya.

Sejarah

Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi nadi kehidupan Mesir.[1] Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[2]

Periode pradinasti

Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada hari ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak hewan yang didomestikasi.[3]

Kendi pada periode predinastik.

Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik. Peradaban yang terbesar diantara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.[4]

Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia,[5] yang menunjukan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.[6]

Di Mesir selatan, peradaban Naqada, mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 4000 SM. Pada In southern Egypt, the Naqada culture, similar to the Badari, began to expand along the Nile by about 4000 BC. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake.[7] Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka memiliki kekuasaan penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[8] Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.[9]

Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang menunjukan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya - seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi, pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan gading. Mereka juga mengembangkan keramik glasir yang dikenal sebagai faience.[10] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.[11]

Periode Dinasti Awal

Pelat Narmer menggambarkan penyatuan Mesir Hulu dan Hilir.[12]

Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho, mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini.[13] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (sekitar 3200 SM).[14] Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap, berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[15]

Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis. Dengan ini, firaun dapat mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur perdagangan ke Levant yang penting dan menguntungkan.. Peningkatan kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal dilambangkan melalui mastaba (makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos, yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[16] Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan kekuasaan negara atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.[17]

Kerajaan Lama

Patung firaun Menkaura di Boston Museum of Fine Arts.

Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama. Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang dimungkinkan karena pemerintahan pusat dibina dengan baik.[18] Dibawah pengarahan wazir, pejabat-pejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi untuk meningkatkan hasil panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan sistem keadilan untuk menjaga keamanan.[19] Dengan sumber daya surplus yang ada karena ekonomi yang produktif dan stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek kolosal dan menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun oleh Djoser, Khufu, dan keturunan mereka, merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling diingat.

Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis (sesh[20]) dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai bayaran atas jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada struktur-struktur kultus kamar mayat dan kuil-kuil lokal untuk memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode Kerajaan Lama, lima abad berlangsungnya praktek-praktek feudal pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi firaun. Firaun tak lagi mampu membiayai pemerintahan terpusat yang besar.[21] Dengan berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200 hingga 2150 SM,[22] sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.[23]

Periode Menengah Pertama Mesir

Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan Lama, pemerintah tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi negara. Gubernur-gubernur regional tidak dapat menggantungkan diri kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan pangan dan sengketa politik meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil. Meskipun berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak berhutang upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk mengembangkan budaya di provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi lebih kaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik diantara kelas-kelas sosial lainnya.[24] Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin provinsial menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi oleh Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan optimisme dan keaslian periode.[25]

Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai berebut kekuasaan. Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis menguasai Mesir Hilir, sementara keluarga Intef di Thebes mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef, serta perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua dinasti sudah tak terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara Thebes dibawah pimpinan Nebhepetre Mentuhotep II berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal sebagai Kerajaan Pertengahan.[26]

Kerajaan Pertengahan

Amenemhat III, penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan.

Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan kestabilan negara, sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan proyek pembangunan monumen.[27] Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM), memindahkan ibukota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[28] Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12 melakukan reklamasi tanah dan irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara kerajaan berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang disebut "Walls-of-the-Ruler", sebagai perlindungan dari serangan asing.[29]

Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda dengan pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan Pertengahan mengalami peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh dewa-dewa di akhirat.[30] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[25] sementara relief dan pahatan potret pada periode ini menampilkan ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang mencapai tingkat baru dalam kesempurnaan teknis.[31]

Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III, memperbolehkan pendatang dari Asia tinggal di wilayah delta untuk memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk penambangan dan pembangunan. Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah dengan meluapnya sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran ke Periode Menengah Kedua pada dinasti ke-13 dan 14. Selama masa kemunduran, pendatang dari Asia mulai menguasai wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir sebagai Hyksos.[32]

Periode Menengah Kedua dan Hyksos

Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan, imigran Asia yang tinggal di Delta Timur kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa pemerintah pusat mundur ke Thebes. Di sanam firaun diperlakukan sebagai vassal dan diminta untuk membayar upeti.[33] Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu dengan budaya Zaman Perunggu Pertengahan mereka.[34]

Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush, di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa stagnansi, pada 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[33] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I, berhasil mengusir Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan Baru, kekuatan militer menjadi prioritas utama firaun agar dapat memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan atas wilayah Timur Dekat.[35]

Jangkauan terluas Mesir Kuno (abad ke-15 SM).

Kerajaan Baru

Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak tertandingi sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik dengan tetangga-tetangga diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu.[36] Firaun-firaun Kerajaan juga memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya.[37] Masa kekuasaannya yang berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan, pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.

Patung Ramses II di pintu masuk kuil Abu Simbel.

Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten. Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan dewa-dewa lain.[38] Akhenaten juga memindahkan ibukota ke kota baru yang bernama Akhetaten (kini Amarna). Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik dengan gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus Aten segera ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb, menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.[39]

Ramses II naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil, mendirikan patung-patung dan obelisk, serta memiliki anak yang lebih banyak daripada firaun-firaun lain dalam sejarah.[40] Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin tentaranya melawan bangsa Hittite dalam Pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat sekitar 1258 SM.[41]

Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Libya dan Sea Peoples. Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan kehilangan kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman luar diperburuk dengan masalah internal seperti korupsi, penjarahan makan, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[42]

Pada tahun 730 SM, orang-orang Libya dari barat memecahkan kesatuan politik Mesir Kuno.

Periode Menengah Ketiga

Setelah kematian firaun Ramesses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja.[43] Pada masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan kepala-kepala suku penetap tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka. Pangeran-pangeran Libya mengambil alih delta dibawah pimpinan Shoshenq I pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti Bubastite yang akan berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir selatan dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting. Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia berhasil menguasai Thebes dan delta.[44]

Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh kedalam pengaruh Asiria, dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak terhindarkan lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang Mesir. Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik melawan Asiria.[45] Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke Nubia. Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.[46]

Periode Akhir

Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai raja-raja Saite dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Saite Psamtik I berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya, pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.

Dibawah raja-raja Saite, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi. Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.[47]

Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6 Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga dikenal sebagai dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30 berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat kekuasaan Persia, terkadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM, penguasa Persia, Mazaces, menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa perlawanan.[48]

Dinasti Ptolemeus

Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan dari bangsa Persia. Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan sistem Mesir, dengan ibukota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukan kekuatan dan martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di Perpustakaan Iskandariyah.[49] Mercusuar Iskandariyah membantu navigasi kapal-kapal yang berdagang di kota tersebut, terutama setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan perdagangan dan usaha-usaha, seperti produksi papirus.[50]

Budaya Yunani tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun kuil-kuil baru dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Beberapa tradisi akhirnya bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga mempengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga, dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.[51] Lebih lagi, bangsa Romawi memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang ambisius, serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak stabil, sehingga bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.[52]

Dominasi Romawi

Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada tahun 30 SM setelah Oktavianus berhasil mengalahkan Mark Antony dan Ratu Cleopatra VII dalam Pertempuran Actium. Romawi sangat memerlukan gandum dari Mesir, dan legiun Romawi, dibawah kekuasaan praefectus yang ditunjuk oleh kaisar, memadamkan pemberontakan, memungut pajak yang besar, serta mencegah serangan bandit.[53]

Meskipun Romawi berlaku lebih kasar daripada Yunani, beberapa tradisi, seperti mumifikasi dan pemujaan dewa-dewa, tetap berlanjut.[54] Seni potret mumi berkembang, dan beberapa kaisar Romawi menggambarkan diri mereka sebagai firaun (meskipun tidak sejauh penguasa-penguasa dinasti Ptolemeus). Pemerintahan lokal diurus dengan gaya Romawi dan tertutup dari gaya Mesir asli.[54]

Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan mulai mengakar di Iskandariyah. Agama tersebut dipandang sebagai kultus lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada akhirnya dianggap sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme dan mengancam tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap orang-orang Kristen. Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada masa pembersihan Diocletianus yang dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang.[55] Pada tahun 391, kaisar Kristen Theodosius memperkenalkan undang-undang yang melarang ritus-ritus pagan dan menutup kuil-kuil.[56] Iskandariyah menjadi latar kerusuhan anti-pagan yang besar.[57] Akibatnya, budaya pagan Mesir terus mengalami kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif terus berkurang karena melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara itu, kuil-kuil dialihfungsikan menjadi gereja, atau ditinggalkan begitu saja.[58]

Pemerintahan dan ekonomi

Administrasi dan perdagangan

Firaun biasanya digambarkan menggunakan simbol kebangsawanan dan keuasaan.

Firaun adalah raja yang berkuasa penuh atas negara dan, setidaknya dalam teori, memiliki kontrol atas semua tanah dan sumber dayanya. Firaun juga merupakan komandan militer tertinggi dan kepala pemerintahan, yang bergantung pada birokrasi pejabat untuk mengurusi masalah-masalahnya. Yang bertanggung jawab terhadap masalah administrasi adalah orang kedua di kerjaan, sang wazir, yang juga berperan sebagai perwakilan raja yang mengkordinir survey tanah, kas negara, proyek pembangunan, sistem hukum, dan arsip-arsip kerajaan.[59] Di level regional, kerajaan dibagi menjadi 42 wilayah administratif yang disebut nome, yang masing-masing dipimpin oleh seorang nomarch, yang bertanggung jawab kepada wazir. Kuil menjadi tulang punggung utama perekonomian yang berperan tidak hanya sebagai pusat pemujaan, namun juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan negara dalam sebuah sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi biji-bijian dan barang-barang lainnya.[60]

Sebagian besar perekonomian diorganisasi secara ketat dari pusat. Bangsa Mesir Kuno belum mengenal uang koin hingga Periode Akhir sehingga mereka menggunakan sejenis uang barter[61] berupa karung beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram) tembaga atau perak sebagai denominatornya.[62] Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian; pekerja kasar biasanya hanya mendapat 5 karung (200kg) biji-bijian per bulan sementara mandor bisa mencapai 7 karung (250kg) per bulan. Harga tidak berubah di seluruh wilayah negara dan biasanya dicatat utuk membantu perdagangan; misalnya kaus dihargai 5 deben tembaga sementara sapi bernilai 140 deben.[62] Pada abad ke 5 sebelum masehi, uang koin mulai dikenal di Mesir. Awalnya koin digunakan sebagai nilai standar dari logam mulia dibanding sebagai uang yang sebenarnya; baru beberapa abad kemudian uang koin mulai digunakan sebagai standar perdagangan.[63]

Status sosial

Masyarakat Mesir Kuno ketika itu sangat terstratifikasi dan status sosial yang dimiliki seseorang ditampilkan secara terang-terangan. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani, namun demikian hasil pertanian dimiliki dan dikelolah oleh negara, kuil, atau keluarga ningrat yang memiliki tanah.[64] Petani juga dikenai pajak tenaga kerja dan dipaksa bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée.[65] Seniman dan pengrajin memiliki status yang lebih tinggi dari petani, namun mereka juga berada di bawah kendali negara, bekerja di toko-toko yang terletak di kuil dan dibayar langsung dari kas negara. Juru tulis dan pejabat menempati strata tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut "kelas kilt putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai status mereka.[66] Perbudakan telah dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui.[67]

Mesir Kuno memandang pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di mata hukum.[68] Baik pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual properti, membuat kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri mereka dari perceraian dengan menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat menjatuhkan denda pada pasangannya bila terjadi perceraian. Dibandingkan bangsa lainnya di Yunani, Roma, dan bahkan tempat-tempat lainnya di dunia, wanita di Mesir Kuno memiliki kesempatan memilih dan meraih sukses yang lebih luas. Wanita seperti Hatshepsut dan Celopatra bahkan bisa menjadi firaun. Namun demikian, wanita di Mesir Kuno tidak dapat mengambil alih urusan administrasi dan jarang yang memiliki pendidikan dari rata-rata pria ketika itu.[68]

Juru tulis adalah golongan elit dan terdidik. Mereka menghitung pajak, mencatat, dan bertanggung jawab untuk urusan administrasi.

Sistem hukum

Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang bertanggung jawab membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga hukum dan ketentraman, sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno sebagai Ma'at.[59] Meskipun belum ada aturan hukum yang ditemukan, dokumen pengadilan menunjukkan bahwa hukum di Mesir Kuno dibuat berdasarkan pandangan umum (common-sense) tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta menekankan cara untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan konflik.[68]

Dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru, bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kecil.[59] Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya pembunuhan, transaksi tanah dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan kepada Kenbet Besar yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat diharapkan mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya.

Dalam beberapa kasus, negara berperan baik sebagai jaksa dan hakim, serta berhak menyiksa terdakwa dengan pemukulan untuk mendapatkan pengakuan dan nama-nama lain yang bersalah. Tidak peduli apakah tuduhan itu sepele atau serius, juru tulis pengadilan mendokumentasikan keluhan, kesaksian, dan putusan kasus untuk referensi di masa mendatang.[69]

Hukuman untuk kejahatan ringan di antaranya pengenaan denda, pemukulan, mutilasi di bagian wajah, atau pengasingan, tergantung pada beratnya pelanggaran. Kejahatan serius seperti pembunuhan dan perampokan makam dihukum oleh eksekusi berat, di antaranya pemenggalan leher, ditenggelamkan, atau ditusuk. Hukuman juga bisa diperluas ke keluarga penjahat.[59] Sejak pemerintahan Kerajaan Baru, oracle memiliki peran penting dalam sistem hukum, baik pidana maupun perdata. Prosedurnya adalah dengan memberikan pertanyaan "ya" atau "tidak" kepada Tuhan terkait sebuah isu. Sang Tuhan, diwakili oleh sejumlah imam, memberi keputusan dengan memilih salah satu jawaban, melakukan gerakan maju atau mundur, atau menunjuk pada selembar papirus atau ostracon.[70]

Pertanian

Relief yang menggambarkan pertanian di Mesir.

Kondisi geografi yang mendukung dan tanah di tepi sungai Nil yang subur membuat bangsa Mesir mampu memproduksi banyak makanan, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan sumber daya dalam pencapaian budaya, teknologi, dan artistik. Pengaturan tanah sangat penting di Mesir Kuno karena pajak dinilai berdasarkan jumlah tanah yang dimiliki seseorang.[71]

Pertanian di Mesir sangat bergantung kepada siklus sungai Nil. Bangsa Mesir mengenal tiga musim: Akhet (banjir), Peret (tanam), dan Shemu (panen). Musim banjir berlangsung dari Juni hingga September, menumpuk lanau kaya mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober hingga Februari. Petani membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman.[72] Dari Maret hingga Mei, petani menggunakan sabit untuk memanen. Selanjutnya, hasil panen diirik untuk memisahkan jerami dari gandum. Proses penampian menghilangkan sekam dari gandum, lalu gandum ditumbuk menjadi tepung, diseduh untuk membuat bir, atau disimpian untuk kegunaan lain.[73]

Bangsa Mesir menanam gandum emmer dan barley, serta beberama gandum sereal lain, sebagai bahan roti dan bir.[74] Tanaman-tanaman Flax ditanam dan diambil batangnya sebagai serat. Serat-serat tersebut dipisahkan dan dipintal menjadi benang, yang selanjutnya digunakan untuk menenun linen dan membuat pakaian. Papirus ditanam untuk pembuatan kertas. Sayur-sayuran dan buah-buahan dikembangkan di petak-petak perkebunan, dekat dengan permukiman, dan berada di permukaan tinggi. Tanaman sayur dan buah tersebut harus diairi dengan tangan. Sayur-sayuran meliputi bawang perai, bawang putih, melon, squash, kacang, selada, dan tanaman-tanaman lain. Anggur juga ditanam untuk diolah menjadi wine.[75]

Sennedjem membajak ladangnya dengan sepasang lembu, digunakan sebagai hewan pekerja dan sumber makanan.

Hewan

Bangsa Mesir percaya bahwa hubungan yang seimbang antara manusia dengan hewan merupakan elemen yang penting dalam susunan kosmos; maka manusia, hewan, dan tumbuhan diyakini sebagai bagian dari suatu keseluruhan.[76] Hewan, baik yang didomestikasi maupun liar, merupakan sumber spiritualitas, persahabatan, dan rezeki bagi bangsa Mesir Kuno. Sapi adalah hewan ternak yang paling penting; pemerintah mengumpulkan pajak terhadap hewan ternak dalam sensus-sensus reguler, dan ukuran ternak melambangkan martabat dan kepentingan pemiliknya. Selain sapi, bangsa Mesir Kuno menyimpan domba, kambing, dan babi. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring dan dibesarkan di peternakan. Di peternakan, unggas-unggas tersebut dipaksa makan adonan agar semakin gemuk.[77] Sementara itu, di sungai Nil terdapat sumber daya ikan. Lebah-lebah juga didomestikasi dari masa Kerajaan Lama, dan hewan tersebut menghasilkan madu dan lilin.[78]

Keledai dan lembu digunakan sebagai hewan pekerja. Hewan-hewan tersebut bertugas membajak ladang dan menginjak-injak bibit ke dalam tanah. Lembu-lembu yang gemuk dikorbankan dalam ritual persembahan.[77] Kuda-kuda dibawa oleh Hyksos pada Periode Menengah Kedua, sementara unta, meskipun sudah ada sejak periode Kerajaan Baru, tidak digunakan sebagai hewan pekerja hingga Periode Akhir. Selain itu, terdapat bukti yang menunjukan bahwa gajah sempat dimanfaatkan pada Periode Akhir, tetapi akhirnya dibuang karena kurangnya tanah untuk merumput.[77] Anjing, kucing, dan monyet menjadi hewan peliharaan, sementara hewan-hewan seperti singa yang diimpor dari jantung Afrika merupakan milik kerajaan. Herodotus mengamati bahwa bangsa Mesir adalah satu-satunya bangsa yang menyimpan hewan di rumah mereka.[76] Selama periode pradinasti dan akhir, pemujaan dewa dalam bentuk hewan menjadi sangat populer, seperti dewi kucing Bastet dan dewa ibis Thoth, sehingga hewan-hewan tersebut dibesarkan dalam jumlah besar untuk dikorbankan dalam ritual.[79]

Sumber daya alam

Mesir kaya akan batu bangunan dan dekoratif, bijih tembaga dan timah, emas, dan batu-batu semimulia. Kekayaan itu memungkinkan orang Mesir Kuno untuk membangun monumen, memahat patung, membuat alat-alat, dan perhiasan.[80] Pembalsem menggunakan garam dari Wadi Natrun untuk mumifikasi, yang juga menjadi sumber gypsum yang diperlukan untuk membuat plester.[81] Batuan yang mengandung bijih besi dapat ditemukan di wadi-wadi gurun timur dan Sinai yang kondisi alam yang tidak ramah. Membutuhkan ekspedisi besar (biasanya dikontrol negara) untuk mendapatkan sumber daya alam di sana. Terdapat sebuah tambang emas luas di Nubia, dan salah satu peta pertama yang ditemukan adalah peta sebuah tambang emas di wilayah ini. Wadi Hammamat adalah sumber penting dari granit, greywacke, dan emas. Rijang adalah mineral yang pertama kali dikumpulkan dan digunakan untuk membuat alat-alat, dan kapak Rijang adalah potongan awal yang membuktikan adanya habitat manusia di lembah Sungai Nil. Nodul-nodul mineral secara hati-hati dipipihkan untuk membuat bilah dan kepala panah dengan tingkat kekerasan dan daya tahan yang sedang, dan ini tetap bertahan bahkan setelah tembaga digunakan untuk tujuan tersebut.[82]

Perdagangan

Orang Mesir kuno berdagang dengan negeri-negeri tetangga untuk memperoleh barang yang tidak ada di Mesir. Pada masa pra dinasti, mereka berdagang dengan Nubia untuk memperoleh emas dan dupa. Orang Mesir kuno juga berdagang dengan Palestina, dengan bukti adanya kendi minyak bergaya Palestina di pemakaman firaun Dinasti Pertama.[83] Koloni Mesir di Kanaan selatan juga berusia sedikit lebih tua dari dinasti pertama.[84] Firaun Narmer memproduksi tembikar Mesir di Kanaan, dan mengekspornya kembali ke Mesir.[85]

Paling lambat dari masa Dinasti Kedua, Mesir kuno mendapatkan kayu berkualitas tinggi (yang tak dapat ditemui di Mesir) dari Byblos. Pada masa Dinasti Kelima, Mesir kuno dan Punt memperdagangkan emas, damar, eboni, gading, dan binatang liar seperti monyet.[86] Mesir bergantung pada Anatolia untuk memasok persediaan timah dan tembaga (keduanya merupakan bahan baku untuk membuat perunggu). Orang Mesir kuno juga menghargai batu biru lapis lazuli, yang harus diimpor dari Afganistan. Partner dagang Mesir di Laut Tengah meliputi Yunani dan Kreta, yang menyediakan minyak zaitun (selain barang-barang lainnya).[87] Sebagai ganti impor bahan baku dan barang mewah, Mesir mengekspor gandum, emas, linen, papirus, dan barang-barang jadi seperti kaca dan benda-benda batu.[88]

Bahasa

Perkembangan historis

Bahasa Mesir adalah bahasa Afro-Asiatik yang berhubungan dekat dengan bahasa Berber dan Semit.[89] Bahasa ini memiliki sejarah bahasa terpanjang kedua (setelah Sumeria). Bahasa Mesir telah ditulis sejak 3200 SM dan sudah dituturkan sejak waktu yang lebih lama. Fase-fase pada bahasa Mesir Kuno adalah bahasa Mesir Lama, Pertengahan, Akhir, Demot, dan Koptik.[90] Tulisan Mesir tidak menunjukan perbedaan dialek sebelum Koptik, tetapi mungkin dituturkan dalam dilek-dialek regional di sekitar Memphis dan nantinya Thebes.[91]

Budaya

Masakan

Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno. Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan, serta direbus atau dibakar.[92]

Seni

Patung dada Nefertiti, karya Thutmose, adalah salah satu mahakarya terkenal bangsa Mesir Kuno.

Bangsa Mesir Kuno memproduksi seni untuk berbagai tujuan. Selama 3500 tahun, seniman mengikuti bentuk artistik dan ikonografi yang dikembangkan pada masa Kerajaan Lama. Aliran ini memiliki prinsip-prinsip ketat yang harus diikuti, mengakibatkan bentuk aliran ini tidak mudah berubah dan terpengaruh aliran lain.[93] Standar artistik—garis-garis sederhana, bentuk, dan area warna yang datar dikombinasikan dengan karakteristik figure yang tidak memiliki kedalaman spasial—menciptakan rasa keteraturan dan keseimbangan dalam komposisinya. Teks dan gambar terjalin dengan baik di tembok makam dan kuil, peti mati, dan patung.[94]

Ancient Egyptian artisans used stone to carve statues and fine reliefs, but used wood as a cheap and easily carved substitute. Paints were obtained from minerals such as iron ores (red and yellow ochres), copper ores (blue and green), soot or charcoal (black), and limestone (white). Paints could be mixed with gum arabic as a binder and pressed into cakes, which could be moistened with water when needed.[95] Pharaohs used reliefs to record victories in battle, royal decrees, and religious scenes. Common citizens had access to pieces of funerary art, such as shabti statues and books of the dead, which they believed would protect them in the afterlife.[96] During the Middle Kingdom, wooden or clay models depicting scenes from everyday life became popular additions to the tomb. In an attempt to duplicate the activities of the living in the afterlife, these models show laborers, houses, boats, and even military formations that are scale representations of the ideal ancient Egyptian afterlife.[97]

Despite the homogeneity of ancient Egyptian art, the styles of particular times and places sometimes reflected changing cultural or political attitudes. After the invasion of the Hyksos in the Second Intermediate Period, Minoan-style frescoes were found in Avaris.[98] The most striking example of a politically driven change in artistic forms comes from the Amarna period, where figures were radically altered to conform to Akhenaten's revolutionary religious ideas.[99] This style, known as Amarna art, was quickly and thoroughly erased after Akhenaten's death and replaced by the traditional forms.[100]

Agama dan kepercayaan

Buku Kematian adalah panduan perjalanan untuk kehidupan setelah kematian.

Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah kematian dipegang secara turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa yang memiliki kekuatan supernatural dan menjadi tempat untuk meminta perlindungan. Namun, dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang baik; orang mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak mengeluarkan amarah. Struktur ini dapat berubah, tergantung siapa yang berkuasa ketika itu.

Patung Ka.

Dewa-dewa disembah dalam sebuah kuil yang dikelola oleh seorang imam. Di bagian tengah kuil biasanya terdapat patung dewa. Kuil tidak dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada hari-hari tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari marabahaya.[101] Setelah Kerajaan Baru, peran firaun sebagai perantara spiritual mulai berkurang seiring dengan munculnya kebiasaan untuk memuja langsung tuhan, tanpa perantara. Di sisi lain, para imam mengembangkan sistem ramalam (oracle) untuk mengkomunikasikan langsung keinginan dewa kepada masyarakat.[102]

Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama.[103] Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah kematian, aspek spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak sesuka hati, namun mereka membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang. Tujuan utama mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba dan menjadi "arwah yang diberkahi." Untuk mencapai kondisi itu, mereka yang mati akan diadili, di mana jantung akan ditimbang dengan "bulu kejujuran." Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan tetap tinggal di bumi dalam bentuk spiritual.[104]

Makan firaun dipenuhi oleh harta karun dalam jumlah yang sangat besar, salah satunya adalah topeng emas dari mumi Tutankhamun.

Adat pemakaman

Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang mereka yakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian. Adat ini termasuk mengawetkan tubuh melalui mumifikasi, melakukan upacara pemakaman, dan memasukkan tubuh ke dalam kubur bersama dengan barang-barang yang akan digunakan oleh almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama, tubuh dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan mengawetkan tubuh melalui proses pengeringan. Kegersangan dan kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang mati di kuburan batu, akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yang melibatkan mencabut organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan mengubur dalam sebuah sarkofagus batu empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan dinasti keempat, beberapa bagian tubuh diawetkan secara terpisah dalam toples kanopik.[105]

Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan seni mumifikasi. Teknik terbaik memakan waktu selama 70 hari termasuk mengeluarkan organ internal, mengeluarkan otak melalui hidung, dan mengeringkan tubuh dengan campuran garam yang disebut natron.

Militer

Chariot Mesir.

Angkatan perang Mesir kuno bertanggung jawab untuk melindungi Mesir dari serangan asing, dan menjaga kekuasaan Mesir di Timur Dekat kuno. Tentara Mesir kuno melindungi ekspedisi penambangan ke Sinai pada masa Kerajaan Lama, dan terlibat dalam perang saudara selama Periode Menengah Pertama dan Kedua. Angkatan perang Mesir juga bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap jalur perdagangan penting, seperti kota Buhen pada jalan menuju Nubia. Benteng-benteng juga didirikan, seperti benteng di Sile, yang merupakan basis operasi penting untuk melancarkan ekspedisi ke Levant. Pada masa Kerajaan Baru, firaun menggunakan angkatan perang Mesir untuk menyerang dan menaklukan Kerajaan Kush dan sebagian Levant.[106]

Peralatan militer yang digunakan pada masa itu adalah panah, tombak, dan perisai berbahan dasar kerangka kayu dan kulit binatang. Pada masa Kerajaan Baru, angkatan perang mulai menggunakan chariot yang awalnya diperkenalkan oleh penyerang dari Hyksos. Senjata dan baju zirah terus berkembang setelah penggunaan perunggu: perisai dibuat dari kayu padat dengan gesper perunggu, ujung tombak dibuat dari perunggu, dan Khopesh (berasal dari tentara Asiatik) mulai digunakan.[107] Tentara direkrut dari penduduk biasa; namun, selama dan terutama sesudah masa Kerajaan Baru, tentara bayaran dari Nubia, Kush, dan libya dibayar untuk membantu Mesir.[108]

Teknologi, pengobatan, dan matematika

Teknologi

Dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno telah mencapai standar yang relatif tinggi dan canggih di masanya. Empirisme tradisional, sebagaimana dibuktikan oleh Edwin Smith dan Ebers papyri (c. 1600 SM), ditemukan oleh bangsa Mesir. Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.

Salah satu peninggalan Mesir kuno yang bernilai seni tinggi.

Faience dan kaca

Bahkan sebelum masa keemasan di bawah kekuasaan Kerajaan Lama, bangsa Mesir kuno telah mampu mengembangkan sebuah material kilap yang dikenal sebagai Faience, yang dianggap sebagai bahan artifisial yang cukup berharga. Faience adalah keramik yang terbuat dari silika, sedikit kapur dan soda, serta bahan pewarna, biasanya tembaga.[109] Faience digunakan untuk membuat manik-manik, ubin, arca, dan lainnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menciptakan Faience, namun yang sering digunakan adalah menaruh bahan baku yang telah diolah menjadi pasta di atas tanah liat, kemudian membakarnya. Dengan teknik yang sama, bangsa Mesir kuno juga dapat memproduksi sebuah pigmen yang dikenal sebagai Egyptian Blue, yang diproduksi dengan menggabungkan silika, tembaga, kapur dan sebuah alkali seperti natron.[110]

Bangsa mesir kuno juga mampu membuat berbagai macam objek dari kaca, namun tidak jelas apakah mereka mengembangkan teknik itu sendiri atau bukan.[111] Tidak diketahui pula apakah mereka membuat bahan dasar kaca sendiri atau mengimpornya, untuk kemudian dilelehkan dan dibentuk. Namun, mereka dipastikan memiliki kemampuan teknis untuk membuat objek dan menambahkan elemen mikro untuk mengontrol warna dari kaca tersebut. Banyak warna yang dapat mereka ciptakan, termasuk di antaranya kuning, merah, hijau, biru, ungu, putih, dan transparan.[112]

Pengobatan

Prasasti yang menggambarkan alat-alat pengobatan Mesir kuno.

Permasalahan medis di Mesir kuno kebanyakan berasal dari kondisi lingkungan di sana. Hidup dan bekerja di dekat sungai Nil mengakibatkan mereka terancam penyakit seperti malaria dan parasit schistosomiasis, yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan dan pencernaan. Binatang berbahaya seperti buaya dan kuda nil juga menjadi ancaman. Cidera akibat pekerjaan yang sangat berat, terutama dalam bidang konstruksi dan militer, juga sering terjadi. Kerikil dan pasir di tepung (muncul akibat proses pembuatan tepung yang belum canggih) merusak gigi, sehingga menyebabkan mereka mudah terserang abses.[113]

Hidangan yang dimakan orang kaya di Mesir kuno biasanya mengandung banyak gula, yang mengakibatkan banyaknya penyakit periodontitis.[114] Meskipun di dinding-dinding makam kebanyakan orang kaya digambarkan memiliki tubuh yang kurus, berat badan mumi mereka menunjukkan bahwa mereka hidup secara berlebihan. [115] Ekspetasi hidup orang dewasa berkisar antara 35 tahun untuk laki-laki dan 30 tahun untuk wanita.[116]

Tabib-tabib Mesir Kuno termasyhur dengan kemampuan pengobatan mereka dan beberapa, seperti Imhotep, tetap dikenang meskipun telah lama meninggal. [117] Herodotus mengatakan bahwa terdapat pembagian spesialisasi yang tinggi di antara tabib-tabib Mesir; misalnya beberapa tabib hanya mengobati permasalahan pada kepala atau perut, sementara yang lain hanya mengobati masalah mata atau gigi.[118] Pelatihan untuk tabib terletak di Per Ankh atau institusi "Rumah Kehidupan," yang paling terkenal terletak di Per-Bastet semasa Kerajaan Baru dan di Abydos serta Saïs di Periode Akhir. Sebuah papirus medis menunjukkan bahwa bangsa Mesir memiliki pengetahuan empiris soal anatomi, luka, dan perawatannya.[119]

Luka-luka dirawat dengan cara membungkusnya dengan daging mentah, linen putih, jahitan, jaring, blok, dan kain yang dilumuri madu untuk mencegah infeksi.[120] Mereka juga menggunakan opium untuk mengurangi rasa sakit. Bawang putih maupun merah dikonsumsi secara rutin untuk menjaga kesehatan dan dipercaya dapat mengurangi gejala asma. Ahli bedah mesir mampu menjahit luka, memperbaiki tulang yang patah, dan melakukan amputasi. Mereka juga mengetahui bahwa ada beberapa luka yang sangat serius sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah mebuat pasien merasa nyaman menjelang ajalnya.[121]

Pembuatan kapal

Bangsa Mesir kuno telah tahu bagaimana merakit papan kayu menjadi lambung kapal sejak tahun 3000 SM. Archaeological Institute of America melaporkan[122] bahwa beberapa kapal tertua yang pernah ditemukan berjenis kapal Abydos. Kapal-kapal yang ditemukan di Abydos ini dibuat dari papan kayu yang "dijahit" menggunakan tali pengikat.[123][122] Awalnya kapal-kapal tersebut diperkirakan sebagai milik Firaun Khasekhemwy karena ditemukan dikubur bersama dan berada di dekat kamar mayat Firaun Khasekhemwy[123], namun penelitian menunjukkan bawa kapal-kapal itu lebih tua dari usia sang firaun, sehingga kini diperkirakan sebagai kapal milik firaun yang lebih terdahulu. Menurut profesor David O'Connor dari New York University, kapal-kapal itu kemungkinan merupakan kapal milik Firaun Aha.[123]

Namun meskipun bangsa Mesir Kuno memiliki kemampuan untuk membuat kapal yang sangat besar dan mudah dikendalikan di atas sungai Nil, mereka tidak dikenal sebagai pelaut yang handal.

Matematika

Perhitungan matematika tertua yang ditemukan berasal dari periode Naqada, yang juga menunjukkan bahwa bangsa Mesir ketika itu telah mengembangkan sistem bilangan.[124] Nilai penting matematika bagi seorang intelektual kala itu digambarkan dalam sebuah surat fiksi dari zaman Kerajaan Baru. Pada surat itu, penulisnya mengusulkan untuk mengadakan kompetisi antara dirinya dan ilmuwan lain berkenaan masalah penghitungan sehari-hari seperti penghitungan tanah, tenaga kerja, dan padi.[125] Teks seperti Papirus Matematika Rhind dan Papirus Matematika Moskow menunjukkan bahwa bangsa Mesir Kuno dapat menghitung empat operasi matematika dasar — penambahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian — menggunakan pecahan, menghitung volume kubus dan piramid, serta menghitung luas kotak, segitiga, lingkaran, dan bola.[butuh rujukan]. Mereka memahami konsep dasar aljabar dan geometry, serta mampu memecahkan persamaan simultan.[126]

Matematikawan Mesir Kuno juga telah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari teorema Pythagoras.[127] Mereka juga dapat memperkirakan luas lingkaran dengan mengurangi satu per sembilan diameternya dan memangkatkan hasilnya:

Luas ≈ [(8⁄9)D]2 = (256⁄81)r 2 ≈ 3.16r 2,

yang hasilnya mendekati rumus πr 2.[127][128]

Peninggalan

Dr. Zahi Hawass, Sekretaris Jenderal Supreme Council of Antiquities.

Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer di masa Kekaisaran Romawi.[129] Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti Herodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.[130] Di Abad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.[131]

Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang kemudian memancing terjadinya gelombang Egyptomania di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.[132] Meskipun penjajahan kolonial Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah, kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir kuno. Napoleon, misalnya, melakukan studi pertama mengenai Egyptology ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte.[133] Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan pengawasan terhadap kegiatan penggalian di Mesir dengan membentuk Supreme Council of Antiquities.

Referensi

  1. ^ Shaw (2002) hal. 17
  2. ^ Shaw (2002) hal. 17, 67–69
  3. ^ Ikram, Salima (1992). Choice Cuts: Meat Production in Ancient Egypt. University of Cambridge. hlm. 5. ISBN 9789068317459. OCLC 60255819. Diakses tanggal 22 July 2009.  LCCN 1997-140867
  4. ^ Hayes (1964) hal. 220
  5. ^ Childe, V. Gordon (1953), "New light on the most ancient Near East" (Praeger Publications)
  6. ^ Patai, Raphael (1998), "Children of Noah: Jewish Seafaring in Ancient Times" (Princeton Uni Press)
  7. ^ Barbara G. Aston, James A. Harrell, Ian Shaw (2000). Paul T. Nicholson and Ian Shaw editors. "Stone," in Ancient Egyptian Materials and Technology, Cambridge, 5–77, pp. 46–47. Also note: Barbara G. Aston (1994). "Ancient Egyptian Stone Vessels," Studien zur Archäologie und Geschichte Altägyptens 5, Heidelberg, pp. 23–26. (See on-line posts: [1] and [2].)
  8. ^ "Chronology of the Naqada Period". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  9. ^ Shaw (2002) hal. 61
  10. ^ "Faience in different Periods". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  11. ^ Allen (2000) hal. 1
  12. ^ Robins (1997) hal. 32
  13. ^ Clayton (1994) hal. 6
  14. ^ Shaw (2002) hal. 78–80
  15. ^ Clayton (1994) hal. 12–13
  16. ^ Shaw (2002) hal. 70
  17. ^ "Early Dynastic Egypt". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  18. ^ James (2005) hal. 40
  19. ^ Shaw (2002) hal. 102
  20. ^ "Scribes", Life in Ancient Egypt, Carnegie Museum of Natural History: [3]. Diakses pada 29 Januari 2009.
  21. ^ Shaw (2002) hal. 116–7
  22. ^ Fekri Hassan. "The Fall of the Old Kingdom". British Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 10 March 2008. 
  23. ^ Clayton (1994) hal. 69
  24. ^ Shaw (2002) hal. 120
  25. ^ a b Shaw (2002) hal. 146
  26. ^ Clayton (1994) hal. 29
  27. ^ Shaw (2002) hal. 148
  28. ^ Clayton (1994) hal. 79
  29. ^ Shaw (2002) hal. 158
  30. ^ Shaw (2002) hal. 179–82
  31. ^ Robins (1997) hal. 90
  32. ^ Shaw (2002) hal. 188
  33. ^ a b Ryholt (1997) hal. 310
  34. ^ Shaw (2002) hal. 189
  35. ^ Shaw (2002) hal. 224
  36. ^ James (2005) hal. 48
  37. ^ "Hatshepsut". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 December 2007. 
  38. ^ Aldred (1988) hal. 259
  39. ^ Cline (2001) hal. 273
  40. ^ Clayton (1994) hal. 146
  41. ^ Tyldesley (2001) hal. 76–7
  42. ^ James (2005) hal. 54
  43. ^ Cerny (1975) hal. 645
  44. ^ Shaw (2002) hal. 345
  45. ^ "The Kushite Conquest of Egypt", Ancient~Sudan: Nubia.
  46. ^ Shaw (2002) hal. 358
  47. ^ Shaw (2002) hal. 383
  48. ^ Shaw (2002) hal. 385
  49. ^ Shaw (2002) hal. 405
  50. ^ Shaw (2002) hal. 411
  51. ^ Shaw (2002) hal. 418
  52. ^ James (2005) hal. 62
  53. ^ James (2005) hal. 63
  54. ^ a b Shaw (2002) hal. 422
  55. ^ Shaw (2003) hal. 431
  56. ^ "The Church in Ancient Society", Henry Chadwick, hal. 373, Oxford University Press US, 2001, ISBN 0-19-924695-5
  57. ^ "Christianizing the Roman Empire A.D 100–400", Ramsay MacMullen, p. 63, Yale University Press, 1984, ISBN 0-300-03216-1
  58. ^ Shaw (2002) hal. 445
  59. ^ a b c d Manuelian (1998) p. 358
  60. ^ Manuelian (1998) p. 363
  61. ^ Meskell (2004) p. 23
  62. ^ a b Manuelian (1998) hal. 372
  63. ^ Walbank (1984) p. 125
  64. ^ Manuelian (1998) hal. 383
  65. ^ James (2005) hal. 136
  66. ^ Billard (1978) hal. 109
  67. ^ "Social classes in ancient Egypt". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 11 December 2007. 
  68. ^ a b c Janet H. Johnson. "Women's Legal Rights in Ancient Egypt". University of Chicago, 2004. Diakses tanggal 31 August 2010. 
  69. ^ Oakes (2003) p. 472
  70. ^ McDowell (1999) p. 168
  71. ^ Manuelian (1998) hal. 361
  72. ^ Nicholson (2000) hal. 514
  73. ^ Nicholson (2000) hal. 506
  74. ^ Nicholson (2000) hal. 510
  75. ^ Nicholson (2000) hal. 577 dan 630
  76. ^ a b Strouhal (1989) hal. 117
  77. ^ a b c Manuelian (1998) hal. 381
  78. ^ Nicholson (2000) hal. 409
  79. ^ Oakes (2003) hal. 229
  80. ^ Greaves (1929) p. 123
  81. ^ Lucas (1962) p. 413
  82. ^ Nicholson (2000) p. 28
  83. ^ Shaw (2002) hal. 72
  84. ^ Naomi Porat and Edwin van den Brink (editor), "An Egyptian Colony in Southern Palestine During the Late Predynastic to Early Dynastic," in The Nile Delta in Transition: 4th to 3rd Millennium BC (1992), hal. 433–440.
  85. ^ Naomi Porat, "Local Industry of Egyptian Pottery in Southern Palestine During the Early Bronze I Period," in Bulletin of the Egyptological, Seminar 8 (1986/1987), hal. 109–129. See also University College London web post, 2000.
  86. ^ Shaw (2002) hal. 322
  87. ^ Manuelian (1998) hal. 145
  88. ^ Harris (1990) hal. 13
  89. ^ Loprieno (1995b) hal. 2137
  90. ^ Loprieno (2004) hal. 161
  91. ^ Loprieno (2004) hal. 162
  92. ^ Manuelian (1998) pp. 399–400
  93. ^ Robins (1997) hal. 29
  94. ^ Robins (1997) hal. 21
  95. ^ Nicholson (2000) p. 105
  96. ^ James (2005) p. 122
  97. ^ Robins (1998) p. 74
  98. ^ Shaw (2002) p. 216
  99. ^ Robins (1998) p. 149
  100. ^ Robins (1998) p. 158
  101. ^ James (2005) hal. 117
  102. ^ Shaw (2002) p. 313
  103. ^ Allen (2000) pp. 79, 94–5
  104. ^ Wasserman, et al. (1994) pp. 150–3
  105. ^ "Mummies and Mummification: Old Kingdom". Digital Egypt for Universities, University College London. Diakses tanggal 9 March 2008. 
  106. ^ Shaw (2002) hal. 245
  107. ^ Manuelian (1998) hal. 366–67
  108. ^ Shaw (2002) hal. 400
  109. ^ Nicholson (2000) p. 177
  110. ^ Nicholson (2000) p. 109
  111. ^ Nicholson (2000) p. 195
  112. ^ Nicholson (2000) p. 215
  113. ^ Filer (1995) hal. 94
  114. ^ Filer (1995) hal. 78–80
  115. ^ Filer (1995) hal. 21
  116. ^ Filer (1995) p. 25
  117. ^ Filer (1995) hal. 39
  118. ^ Strouhal (1989) hal. 243
  119. ^ Stroual (1989) hal. 244–46
  120. ^ Stroual (1989) p. 250
  121. ^ Filer (1995) hal. 38
  122. ^ a b Ward, Cheryl. "World's Oldest Planked Boats", in Archaeology (Volume 54, Number 3, May/June 2001). Archaeological Institute of America.
  123. ^ a b c Schuster, Angela M.H. "This Old Boat", 11 December 2000. Archaeological Institute of America.
  124. ^ Pemahaman ilmuwan terhadap matematika Mesir masih belum sempurna disebabkan karena tidak cukupnya bahan dan kurangnya penelitian terhadap teks-teks yang telah ditemukan. Imhausen et al. (2007) hal. 13
  125. ^ Imhausen et al. (2007) p. 11
  126. ^ Clarke (1990) hal. 222
  127. ^ a b Strouhal (1989) p. 241
  128. ^ Imhausen et al. (2007) p. 31
  129. ^ Siliotti (1998) p. 8
  130. ^ Siliotti (1998) p. 10
  131. ^ El-Daly (2005) p. 112
  132. ^ Siliotti (1998) p. 13
  133. ^ Siliotti (1998) p. 100

Lihat pula

Pranala luar

Templat:Link FA Templat:Link FA Templat:Link FA