Lompat ke isi

Muhammad Mangundiprojo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Romanda~idwiki (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Romanda~idwiki (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 57: Baris 57:
|signature =
|signature =
}}
}}
'''Muhammad Mangoendiprodjo''' ([[EYD]]: '''Muhammad Mangundiprojo'''; {{lahirmati||5|1|1905||13|12|1988}}) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer [[Indonesia]] yang memimpin [[Pertempuran Surabaya]] pada tanggal 10 November 1945. Ia diangkat sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] oleh Presiden [[Joko Widodo]] pada tanggal 7 November 2014.
'''Muhammad Mangoendiprodjo''' ([[EYD]]: '''Muhammad Mangundiprojo'''; {{lahirmati||5|1|1905||13|12|1988}}) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer [[Indonesia]] yang ikut serta dalam [[Pertempuran Surabaya]] pada tanggal 10 November 1945. Ia diangkat sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] oleh Presiden [[Joko Widodo]] pada tanggal 7 November 2014.


==Kehidupan awal ==
==Kehidupan awal ==
Baris 67: Baris 67:
Setelah lulus pendidikan militer di [[Surabaya]], Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di [[Sidoarjo]], Jawa Timur. Setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Proklamasi Kemerdekaan]] tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR) dan kemudian [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR), yang merupakan cikal bakal [[TNI]].
Setelah lulus pendidikan militer di [[Surabaya]], Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di [[Sidoarjo]], Jawa Timur. Setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Proklamasi Kemerdekaan]] tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR) dan kemudian [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR), yang merupakan cikal bakal [[TNI]].


Masuknya kembali pasukan Belanda ([[NICA]]) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama
Masuknya kembali pasukan Belanda ([[NICA]]) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama [[Bung Tomo]], [[Doel Arnowo]], Abdul Wahab dan Drg [[Moestopo]], memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan [[Bung Hatta]] untuk melakukan [[gencatan senjata]]. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal [[Oerip Soemohardjo]] sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.
[[Bung Tomo]], [[Doel Arnowo]], Abdul Wahab dan Drg [[Moestopo]], memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan [[Bung Hatta]] untuk melakukan [[gencatan senjata]]. Pada pertemuan tersebut, Muhamad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal [[Oerip Soemohardjo]] sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.


Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di
sore hari, Muhammad bersama Brigadir [[Mallaby]] berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di [[Jembatan Merah]] di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara [[Inggris]] dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.
sore hari, Muhammad bersama Brigadir
[[Mallaby]] berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di [[Jembatan Merah]] di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara [[Inggris]] dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.


Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda
Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan [[Pertempuran Surabaya|pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945]]. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.<ref>{{cite web|url= http://m.jpnn.com/news.php?id=268590|title= Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional|publisher=jpnn.com|work=|date=|accessdate=9 November 2014}}</ref>
Surabaya melakukan [[Pertempuran Surabaya|pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945]]. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.<ref>{{cite web|url= http://m.jpnn.com/news.php?id=268590|title= Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional|publisher=jpnn.com|work=|date=|accessdate=9 November 2014}}</ref>


Setelah [[Pertempuran Surabaya]] usai, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi [[Mayor Jenderal]] oleh Presiden [[Soekarno]].
Setelah [[Pertempuran Surabaya]] usai, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi [[Mayor Jenderal]] oleh Presiden [[Soekarno]].

Revisi per 8 November 2014 17.14

H.R
Muhammad Mangundiprojo
Berkas:Muhammad Mangundiprojo.png
Residen Lampung 1
PresidenSoekarno
[[Bupati Ponorogo]] 4
Masa jabatan
1951 – 1955
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
R. Prajitno
Pengganti
R. Mahmoed
Sebelum
[[Kepala Divisi Tentara Keamanan Rakyat Jawa Timur]] 1
Masa jabatan
1945 – 1946
Informasi pribadi
Lahir(1905-01-05)5 Januari 1905
Hindia Belanda Sragen, Hindia Belanda
Meninggal13 Desember 1988(1988-12-13) (umur 83)
Indonesia Bandar Lampung, Indonesia
MakamTaman Makam Pahlawan Bandar Lampung
HubunganIndroyono Soesilo (cucu)
Penghargaan sipilPahlawan Nasional Indonesia
Karier militer
Pihak
Dinas/cabangTentara Keamanan Rakyat
Masa dinas1944–1951
PangkatMayor Jenderal
Komando
Pertempuran/perangPertempuran Surabaya
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Muhammad Mangoendiprodjo (EYD: Muhammad Mangundiprojo; 5 Januari 1905 – 13 Desember 1988) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer Indonesia yang ikut serta dalam Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014.

Kehidupan awal

H.R. Muhammad Mangoendiprodjo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Januari 1905. Dia adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setjodiwirjo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Keduanya memperluas pemberontakan melawan penjajah Belanda hingga ke daerah Kertosono, Ngawi, dan Banyuwangi, Jawa Timur.[1]

Garis hidup sebenarnya memberi kesempatan kepada Muhammad Mangoendiprodjo untuk bisa hidup berkecukupan dengan menjadi Pamong Praja, wakil kepala jaksa, dan kemudian asisten wedana, di Jombang, Jawa Timur, setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927. Namun setelah Jepang menduduki Indonesia, ia memilih untuk menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944.

Karier militer

Setelah lulus pendidikan militer di Surabaya, Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal TNI.

Masuknya kembali pasukan Belanda (NICA) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.

Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Muhammad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.

Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.[2]

Setelah Pertempuran Surabaya usai, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi Mayor Jenderal oleh Presiden Soekarno.

Karier politik

Setelah mengakhiri karier militer, Muhammad ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo dari tahun 1951 sampai 1955, yang salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso pada tahun 1948. Prestasinya ini kemudian mengantar Muhammad Mangundiprojo menjadi Residen (Gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini.[3]

Kematian dan penghargaan

Muhammad Mangundiprojo tutup usia di Bandar Lampung pada tanggal 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung.

Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 7 November 2014. Penerimaan tanda jasa ini diwakili oleh cucunya, Menteri Kemaritiman Indonesia Indroyono Soesilo.[4]

Referensi

  1. ^ "Mohamad Mangoendiprodjo, Pejuang Perang 10 November di Surabaya". liputan6.com. Diakses tanggal 9 November 2014. 
  2. ^ "Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional". jpnn.com. Diakses tanggal 9 November 2014. 
  3. ^ "Pimpinan Pertempuran 10 November Raih Gelar Pahlawan Nasional". jpnn.com. Diakses tanggal 9 November 2014. 
  4. ^ "Ini Profil Empat Tokoh yang Diberikan Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi". kompas.com. Diakses tanggal 9 November 2014. 

Pranala luar